• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Rabu, 15 Januari 2014
no image

QIYAS DALAM USHUL FIQH

qiyas
Makalah Ushul Fiqh
“QIYAS”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang Masalah
Pengambilan suatu keputusan hukum dalam Islam bukanlah hal yang mudah, semua harus bersandar pada Al-Quran dan Hadis. Kita ketahui bersama bahwasannya perkembangan tekhnologi dan peradaban manusia telah membuat permasalahan umat juga semakin kompleks. Banyak dari  permasalahan umat memang tidak temaktub dalam Al-Quran  maupun as-Sunnah, itulah yang membuat para ulama berfikir keras dalam pemecahan permasalannya. Namun kita ingat juga bahwasannya Rosulullah pada saat ia mengutus seorang sahabat dan membenarkan penyelesaiannya yang tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah dengan melakukan ijma’ dan qiyas. Maka dalam makalah ini kami mencoba mengupas tentang apa qiyas sebenarnya, mudah-mudahan bermanfaat dan menjawab atas segala pertanyaan.
1.2.       Rumusan Masalah
a.         Apakah pengertian qiyas?
b.        Apakah syarat dan rukun qiyas?
c.         Apa sajakah Jenis/ macam-macam qiyas?
1.3.       Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini tidak lain untuk mengetahui tentang qiyas dan peran pentingnya dalam penyelesaian suatu masalah.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Ada beberapa golongan pendapat. Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat illahiyah yang dibuat syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dan Istinbath hukum.
1.        Al-Ghazali dalam al-Mustahfa
"Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
2.        Qadhi Abu Bakar
“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3.      Ibnu Subki
“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).”
4.       Abu Zahrah
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5.      Ibnu Qudamah
Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.”
6.      Ibnu al-Hummam
“Samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’  hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebiasaan.”
7.       Abu Hasan al-Bashri
“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.
8.       Al-Human
“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”
2.2.    Rukun Qiyas
1.        Ashl (pokok)
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat menqiyaskan. Ini bedasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqish alaih (yang dijadikan tempat menqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau masyabbah bin (tempat menyerupakan).
Menurut sebagian besar ulama fiqih, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nash, baik nash Al-Qur’an atau hadis atau ijma’. Jadi tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Pembatasan sumber hukum tersebut berdasarkan:
a.         Bahwa nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedang sumber hukum lain apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan demikian nash hukum itu harus dijadikan sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
b.         Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat adanya ‘‘illat. Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita dapat menemukan ‘‘illat.
c.         Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang dengan Al-Quran dan hadis.
Sebagian besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesuatu berdasarkan hukum yang ditetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun tidak selalu tegas menunjukkan hukum.
2.        Al-Hukm
Al-Hukm adalah hukum ketetapan nash, baik AL-Qur’an maupun hadis, atau ketetapan ijma’ (bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal) yang hendak ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan.
Penetapan hukum asal pada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara keduanya, harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
a.         Harus berupa hukum syara’ yang amaliah.
Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali  pada hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran atau obyek fiqih Islam, karena kerangka luas.
b.         Harus berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na)
Hukum rasional ialah suatu hukum yang apat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab itu.
Sebaliknya hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya oleh akal, seperti hukum tayamum dan jumlah rakaat sholat. Oleh sebab itu, di sini tidak berlaku hukum qiyas.
3.        Far’u
Far’u Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya. Al-far’u ialah kasus yang hendak diketahui hukumnya melalui qiyas terhadap hukum asalnya. Al-far’u atau kasus baru itu harus memenuhi dua persyaratan:
a.         Kasus itu belum terdapat nash hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis. Sebab, qiyas tidak berlaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas ialah mempertemukan kasus hukm baru yang belum ada nashnya. Oleh sebab itu tidaklah logis menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada nashnya.
b.        ‘illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan ‘‘illat hukum asal. Apabila ‘‘illat dilarangnya meminum minuman khamer itu ‘memabukkan’ maka setiap minuman atau makanan yang memabukkan sama hukumnya dengan khomer, yaitu haram. Sebaliknya apabila makanan atau minuman itu tidak memabukkan, misalnya sekedar membuat orang pusing, baik karena faktor orang yang meminum atau faktor makanan atau minuman yang bersifat sementara selama tidak memabukkan, maka makanan atau minuman tersebut tidak haram, seperti khomer. Alasannya : tidak adanya kesamaan ‘illat. Makanan dan minuman jenis ini memanglah tidak memabukkan, berbeda dengan khomer yang mempunyai sifat yang memabukkan.
4.         ‘Illat
‘Illat adalah pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah menegaskan bahwa ‘‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari bangunan qiyas. Sebagian ulama mendefinisikan ‘illat sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Orang yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Kami berpendapat, dalam memandang ‘illat, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
a.         Golongan yang pertama (mazhab Hanafiah dan Jumhur) berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat. Selanjutnya mereka mengatakan :”sesungguhnya sumber hukum asal adalah  ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
b.         Golongan kedu beranggapan sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
c.         Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang menganggap tidak adanya ‘illat hukum.
Lima syarat yang mensyahkan ‘illat manjadi dasar qiyas ialah sebagai berikut:
a.         ‘illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan.
b.         ‘illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif.
c.         Harus ada kolerasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi ‘illat.
d.        Sifat-sifat yang menjadi ‘illat yang kemudian  melahirkan qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
e.         Syarat yang terakhir bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.
2.3.    Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya ‘illah yang ada pada ashal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi 3 yaitu:
1.        Qiyas aula
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibbkan adanya hukum. Dan antara hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17): 23
Artinya: Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan “ah”, “busyet” dan sebagainya hukumnya lebih utama.
2.        Qiyas Musaway
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman allah Surah an-Nisa’ (4):10.

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.
3.        Qiyas Adna
Yang dimaksud dengan qiyas ini yaitu adanya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini ‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar.
4.        Qiyas Dalalah
Yaitu ‘illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak diwajibkan furu’ seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai senisab, tetapi bagi anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji tidak wajib bagi anak-anak.
5.        Qiyas Syabah
Adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan diantara kedua pangkal kemana yang paling banyak menyamai. Seperti budak yang di bunuh mati, dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka karena sama-sama keturunan adam.
BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
1.        Pendapat yang mengatakan bahwa qiyas tidaklah bersandarkan atas nash maupun hadist tidaklah benar. Karena sesuatu yang diqiyaskan melihat kembali pada permasalahan yang diselesaikan melalui nash.
2.        Qiyas sangatlah penting dalam kehidupan sekarang ini, dilihat dari perkembangan permasalahan ummat yang kian berkembang.
3.2.    Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan karya-karya selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Bakry,Nazar . Fiqih dan Ushul Fiqih. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada). 1994.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia). 1998.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu). 1997
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang). 1978
Uman, Chaerul dkk. Ushul Fiqih 1.(Bandung: Pustaka setia). 2000
no image

KHAWARIJ DAN MURJI’AH DALAM ISLAM

khawarij
MENGENAL ALIRAN
KHAWARIJ DAN MURJI’AH
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Ketika peperangan Shiffin antara Sayidina Ali dengan Saidina Muawiyah ra. Pihak Sayidina Muawiyah hampir kalah lalu mereka mengangkat Mushaf pada ujung tombak dan menyerukan perhentian peperangan dengan bertahkim. Akibat itu golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka yang tidak setuju dengan tahkim beralasan bahwa orang yang mau berdamai pada ketika pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran peperangan yang ditegakkannya. Hukum Allah sudah nyata kata mereka, siapa yang melawan khalifah yang sah harus diperangi. Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij yaitu kaum yang keluar yakni keluar dari Sayyidina Muawiyah dan keluar dari Sayyidina Ali.
Kemudian selain Khawarij, umat islam juga mengenal aliran Murji’ah. Aliran Murji’ah ini merupakan golongan yang tak sepaham dengan kaum Khawarij dan Syi’ah. Pengertian Murji’ah sendiri adalah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT, sehingga seorang muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim dan mempunyai harapan untuk bertobat.
Setiap orang Islam harus mengetahui macam dan bentuk paham Khawarij dan Murji’ah, agar kita bisa mengambil pelajaran penting yang bisa diambil dari kedua paham tersebut. Memang kedua golongan ini sudah hilang dibawa arus sejarah, tetapi pahamnya masih berkeliaran dimana-mana.
2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana sejarah kemunculan Khawarij?
b.      Bagaimana pemikiran dan doktrin-doktrin Khawarij?
c.       Bagaimana perkembangan Khawarij?
d.      Bagaimana sejarah kemunculan Murji’ah?
e.       Bagaimana pemikiran dan doktrin-doktrin Murji’ah?
f.       Apa saja sekte-sekte Murji’ah?
g.      Perbandingan antara Khawarij dan Murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Aliran Khawarij
a.      Sejarah Munculnya Khawarij
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja”  berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.
Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Keputusan tahkim (arbitrase), yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali, ini sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan. Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka sampai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
b.      Doktrin-doktrin pokok Khawarij:
a.       Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
b.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c.       Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh jika zalim.
d.      Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
e.       Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
f.       Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan menjadi kafir.
g.      Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
h.      Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
i.        Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh), dan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
j.        Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
k.      Wa’ad dan wa’id (orang baik harus masuk surga, dan yang jahat masuk neraka).
l.        Amar ma’ruf nahyi munkar.
m.    Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar)
n.      Quran adalah makhluk.
o.      Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
c.       Perkembangan Khawarij
Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh seperti Al-Bagdadi dan Al-Asfarayani, sepakat bahwa subsekte khawarij yang besar terdiri dari delapan macam, yaitu:
1.      Al-Muhakkimah                5. Al-Ajaridah
2.      Al-Azriqah                        6. As-Saalabiyah
3.      An-Nadjat                         7. Al-Abadiyah
4.      Al-Baihasiyah                   8. As-Sufriyah
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya doktrin teologi ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain hanya sebagai pelengkap saja.
2.      Aliran Murji’ah
a.      Sejarah kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan. Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sekretarianisme (terikat pada satu aliran saja), baik sebagai kelompok politik maupun teologis.
Awal mula timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan) yang kemudian mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi dua yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Setelah wafatnya Ali, Muawiyyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah (661M). Kaum Khawarij dan Syi’ah yang saling bermusuhan, mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah itu. Syi’ah menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak mendukung Muawiyyah karena ia dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di antara ke tiga golongan itu terjadi saling mengkafirkan.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan Tuhan.
Dari persoalan politik mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin. Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini bahwa orang islam yang  berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman.
Aliran Murji’ah ini berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Dinasti bani Umayyah, karena bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintahan yang sah. Dalam perkembangan berikutnya, lambat laun aliran ini tak mempunyai bentuk lagi, bahkan beberapa ajarannya diakui oleh aliran kalam berikutnya. Sebagai aliran yang berdiri sendiri, golongan Murji’ah ekstrim pun sudah hilang  dan tidak bisa ditemui lagi sekarang. Namun ajaran-ajarannya yang masih ekstrim itu masih didapati pada sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya.
b.      Pemikiran dan doktrin-doktrin Murji’ah
1.    Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2.    Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3.    Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4.    Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis (Helenis, Helenistik: Istilah yang dipakai secara tradisional oleh orang Yunani sendiri untuk menyebutkan nama etnik mereka)
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :
1.    Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.    Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.    Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
4.    Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abdul A’la al-Maududi menyebut ajaran Murji’ah dalam dua doktrin pokok, yaitu:
1.    Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
2.    Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk dapat pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan aqidah tauhid.
Sebagaimana aliran-aliran lain, aliran Murji’ah ini juga memiliki banyak sekte turunannya atau bias juga disebut subsekte. Perpecahan dalam kelompok Murji’ah ini tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri.
Pimpinan dari kaum Murji’ah adalah Hasan Ibn Bilal al-Muzni, Abu Salat as-Saman, Tsauban, Dirar Ibn Umar. Penyair mereka yang  terkenal pada masa Bani Umayyah adalah Tsabit Ibn Quthanah yang mengarang sebuah syair tentang I’tiqad dan kepercayaan kaum Murji’ah.
Secara garis besar, kelompok Murji’ah terbagi kepada dua golongan yakni golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan Murji’ah moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murjiah di atas. Sementara itu, golongan Murji’ah ekstrim memiliki doktrin masing-masing.
Yang termasuk golongan Murji’ah ekstrim antara lain:
1.    Golongan al-Jahmiyah yang dipelopori oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas. Apabila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, syirik, dan minum minuman keras. Golongan ini juga meyakini surga  dan neraka itu tidak abadi, yang abadi hanya Allah SWT semata.
2.    Golongan al-Salihiyah dengan tokohnya  Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat al-Jahmiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya yakni tidak mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan dalam arti mengetahui Tuhan.
3.    Golongan Yunusiah pengikut Yunus Ibn an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak  percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketaburannya. Mereka juga percaya bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
4.    Golongan al-Ubaidiyah dipelopori oleh Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama dengan golongan al-Yunusiah. Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
5.    Golongan al-Gailaniyah dipelopori oleh Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabbah (cinta) dan tunduk kepada-Nya.
6.    Golongan al-Saubaniyah dipimpin oleh Abu Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte al-Gailaniyah, namun mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian, sekte ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
7.    Golongan al-Marisiyah dipelopori oleh Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di samping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-nya, juga harus diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur merupakan kebalikan dari iman.
8.    Golongan al-Karamiyah dipelopori oleh Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
9.    Golongan al-Khassaniyah. Berpendapat jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.
Menyikapi ajaran Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan moral masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.        Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
2.        Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
3.        Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu.  dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Nata Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Hamdani, Maslani, Ratu Suntiah. Ilmu Kalam, Sega Asry, 2011.
Nasution, Harun, Theology Islam, UI Press, Jakarta, cet.II, 1972, hlm. 11.
Abul A’la Al-Maudidi, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Al-baqir, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 279-80
Copyright © Teologi ~ Sufisme & Tasawuf All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net