• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
no image

HUKUM MENSUCIKAN DAN MENSALATKAN PERCAMPURAN TUBUH JENAZAH MUSLIM DAN NON MUSLIM DALAM PANDANGAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ASY-SYAFI‘I

HUKUM MENSUCIKAN DAN MENSALATKAN  PERCAMPURAN TUBUH  JENAZ|AH MUSLIM DAN NON MUSLIM DALAM PANDANGAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ASY-SYAFI‘I

 Oleh Team www.seowaps.com


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah                      

        Tuhan telah menciptakan alam semesta beserta isinya ini begitu indah, mempesona dan sempurna. Namun sifat dari keindahan dan kesempurnaan itu hanyalah sementara (temporal), tidak kekal dan abadi. Tak pelak lagi, seluruh makhluk yang hidup di dalamnya, termasuk manusia, akan mengalami peristiwa paripurna kehidupan yang ditandai dengan datangnya ajal. Sehingga pada saat apapun dan dalam kondisi bagaimana pun manusia tidak bisa menghindar dari peristiwa sakral tersebut, sebab ia tidak mampu menentukan kapan ajal itu datang. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt:
قل لوكنتم فى بيوتكم لبرزالذين كتب عليهم القتل الى مضاجعهم وليبتلىالله مافى صدوركم وليمحص مافى قلوبكم([1]
        Sungguh, kematian memang menakutkan. Tetapi, justru penyebab dari kematian itulah yang menjadi persoalan. Terdapat berbagai macam penyebab kasus kematian yang menimpa diri manusia, baik kematian secara normal maupun tidak normal. Di antara penyebab kasus kematian yang tidak normal adalah kecelakaan, kebakaran, peledakan bom dan lain sebagainya dan lebih tragis lagi bila tubuh korban hancur berkeping-keping sehingga tidak mungkin untuk  dikenali lagi. Misalnya, kasus Bom Bali yang belum hilang dari ingatan kita yang terjadi begitu dahsyat sehingga ratusan potongan tubuh manusia menjadi hancur lebur dan berbaur berserakan bagai sampah. Akibatnya, identitas jenis kelamin, kewarga-negaraan dan agama masing-masing korban hampir tidak dapat teridentifikasi.
            Berangkat dari kasus di atas, di mana mayat-mayat tersebut meninggal dalam keadaan yang tidak wajar dan kondisi tubuh yang tidak normal, dalam artian tubuh korban sudah terpotong-potong, bercampur-lebur dan berserakan bagai sampah sehingga tidak mungkin untuk diidentifikasi lagi, sehingga memunculkan problematika pelik dalam proses pelaksanaan perawatan jenaz\ah tersebut, baik yang berkaitan dengan tata cara pemandian, pengafanan, ataupun pensalatan masing-masing korban, sehingga Islam tertantang untuk menghadirkan kontribusi pemikiran guna memberikan solusi terhadap problematika tersebut.
Dalam Islam sendiri terdapat silang pendapat antar tokoh maz\hab. Baik Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi‘i, Imam Malik Maupun Ahmad bin Hanbal. Namun, di sini penyusun lebih membatasi pembahasan pada pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i tentang proses pelaksanaan pengurusan jenaz\ah yang “tidak normal”. Lebih spesifik lagi, penyusun ingin membedah kasus pencampuradukan potongan-potongan tubuh mayat yang diduga bahwa di situ terdapat mayat Muslim dan non-Muslim dari perspektif kedua tokoh di atas. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak wajib dimandikan dan disalatkan bagi jenaz\ah yang sebagian anggota tubuhnya terpotong-potong atau hilang, kecuali kalau memang kebanyakan anggota tubuhnya atau minimal separuhnya beserta kepalanya diketemukan.2( Hukum ini berlaku pula bagi jenaz\ah yang terpotong-potong dan telah bercampur baur dengan non-Muslim, namun dalam hal memadikannya beliau tetap membolehkan, meskipun tidak seperti memandikan jenaz\ah Muslim.3)
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi‘i mengatakan bahwa jikalau ditemukan mayat manusia terpotong-potong karena peristiwa kebakaran, dimakan binatang atau karena sebab lain, maka wajib hukumnya memandikan mayat tersebut sebagaimana biasanya, meski hanya berupa sebagian dari potongan tubuh.4) Namun jikalau tidak memungkinkan untuk dimandikan karena adanya kekhawatiran akan lebih memperparah kondisi si mayat misalnya, maka potongan tadi tidak usah dimandikan, akan tetapi cukup ditayammumi. Yang demikian ini bisa dilakukan bila dalam realitasnya potongan tersebut tidak bercampur dengan najis. Lain halnya jika pada tubuh korban masih ditemukan najis dan kondisi mayatnya tidak boleh terkena air, maka ia tidak perlu ditayammumi.5( Kendati demikian, bila ditilik lebih jauh, pendapat Imam asy-Syafi‘i tersebut mempunyai kesamaan dengan peristiwa bersejarah dari perang Jamal, tepatnya persoalan yang dialami oleh sahabat Abdurrahman, di mana tubuhnya terpotong-potong. Tangannya yang telah terpisah dari jasad dimakan oleh burung Nasar dan dibawa terbang ke Makkah, hingga akhirnya ditemukan oleh sahabat lain yang kemudian pengurusannya diproses sebagaimana layaknya pengurusan mayat biasa, yaitu dikafani, disalati dan dikebumikan.6( Hukum ini juga berlaku bagi mayat yang bercampur antara Muslim dengan non-Muslim dan tidak bisa dikenali lagi antara keduanya, maka tetaplah wajib dimandikan dan disalatkan. Pendapat ini senada dengan pemikiran Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, Dawud az-Zahiri dan Ibn Munzir 7).
Bertolak dari sudut pandang kedua tokoh maz\hab di atas, maka persoalan yang menurut penyusun sangat penting untuk dibahas adalah mengapa terjadi perbedaan pandangan antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim yang sudah tidak teridentifikasi lagi? Tanpa melihat apa yang melatar belakangi perbedaan antara keduanya, tentunya tidak akan didapatkan solusi yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman.
Dari paparan di atas, penyusun mencoba menelusuri dan membandingkan pandangan dan alasan kedua tokoh tersebut tentang hukum perawatan jenaz\ah yang kondisi tubuhnya tidak wajar ataupun tidak  normal dan diduga bahwa di situ terdapat mayat Muslim dan non-Muslim yang sudah bercampur baur. Kajian ini menjadi menarik sebab mereka sama-sama berasal dari aliran Sunni.8) Di samping itu, mereka juga mempunyai sudut sistem ijtihad yang berbeda dalam melihat permasalahan hukum.9)

B. Pokok  Masalah

        Dari latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
  1. Mengapa terjadi perbedaan pandangan dalam hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i?
  2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pandangan antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim ?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
  1. Menjelaskan mengapa terjadi perbedaan pandangan antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim.
  2. Menjelaskan persamaan dan perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim.
2. Kegunaan Penelitian:
Sebagai sumbangan pemikiran dalam khazanah hukum Islam, khususnya mengenai tata cara perawatan jenaz\ah yang kondisinya tidak wajar ataupun tidak normal (hukum mensucikan/ memandikan dan mensalatkan) dan telah bercampur antara Muslim dengan non-Muslim.

D. Telaah Pustaka

        Kajian tentang Hukum Islam yang berkaitan dengan perawatan jenaz\ah telah banyak dilakukan dan ditulis orang, namun yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim, sebagai persoalan hukum kontemporer belum ada yang membahasnya secara khusus, apalagi dengan mengkomparasikan pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i masih jarang penyusun temukan, kalaupun ada maka hanya sebatas ringkasan sederhana di dalam kitab-kitab Fiqh ataupun dalam bentuk makalah/artikel dengan menggunakan kacamata maz\hab mereka sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Imam al-Muzani dalam Mukhtasar al-Muzanni ‘ala al-Umm, yang di dalamnya hanya berupa ringkasan-ringkasan pendapat Imam asy-Syafi‘i baik yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah muslim dan non-Muslim ataupun lainnya.10) Begitu juga dengan Syaikh Nizam, dalam bukunya yang berjudul al-Fatawa al-Hindiyyah fi Maz\\hab al-Imam al-a‘z\am Abi Hanifah, beliau hanya menjelaskan persoalan di atas yang menyangkut hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim, hanya sebatas pandangan Imam Abu Hanifah saja dan tidak dijeslaskan bagaimana menurut pandangan Imam asy-Syafi‘i. 11)  Hal yang sama juga dilakukan oleh Zayn ad-Din Ibn Nujaym al-Hanafi dalam Bahr ar-Raiq, di sini juga hanya sedikit sekali pembahasannya, itupun hanya memaparkan pandangan-pandangan menurut kacamata maz\hab mereka sendiri. Sedangkan dalam skripsi ini, penyusun mencoba menjelaskan persoalan di atas, bukan hanya sebatas memaparkan pandangan Imam asy-Syafi‘i ataupun Imam Abu Hanifah saja, melainkan dengan mengkomparasikan pandangan kedua-Nya.
        Sedangkan kajian yang bersifat komparatif seringkali terjebak pada keterbatasan media sehingga hanya disinggung secara garis besarnya saja.        Seperti yang dilakukan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu‘ fi Syarh al-Muhaz\z\ab, di dalam bukunya, beliau hanya menjelaskan persoalan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim secara garis besarnya saja, tetapi tidak dijelaskan mengapa beliau menggunakan alasan yang berbeda dengan Imam Abu Hanifah di dalam melihat permasalahan hukum tersebut. 12) Begitu juga yang dilakukan oleh Syams ad-Din as-Sarakhsi dalam al-Mabsut, beliau  hanya menyinggung persoalan di atas dengan tidak memaparkan secara detail alasan-alasan mengapa beliau menggunakan kaidah yang berbeda dalam istidlal hukum dengan Imam Asy-Syafi‘i. Hal yang sama juga dilakukan oleh Muhammad Jawad Mugniyah dalam Fiqh Lima Maz\hab dan lain-lain. Namun Dalam skripsi ini, penyusun mencoba mengkaji secara komparatif dan komprehensif mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim baik yang berkaitan dengan istidlal hukum yang dipakai maupun alasan-alasan mengapa beliau menggunakan istidlal hukum tersebut. 
        Kajian secara khusus dan komprehensif mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim dengan mengkomparasikan pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i dilakukan oleh TIM Redaksi Tanwirul Afkar dan Ma‘had Aly PP. Salafiyah Syafi‘iyah Sukorejo Situbondo dalam Fiqh Rakyat, Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, walaupun di dalam bukunya telah dibahas secara khusus dan komprehensif tetapi beliau tidak menjelaskan mengapa Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i mempunyai isitidlal yang berbeda dalam istinbat hukumnya. 13Oleh karena itu, dalam penelitian ini penyusun mencoba memaparkan dan menganalisis pandangan, dalil serta metode istinbat yang digunakan oleh kedua tokoh tersebut. \
E. Kerangka Teoretik
        Syari‘at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dari garis besar permasalahan. Oleh karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah lantaran berubahnya masa dan berlainan tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, syari‘at Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan pada ijtihad para ulama.
        Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syari‘at Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal, dapat diterima di setiap tempat dan setiap saat. Setiap saat umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-Qur‘an sehingga mereka tidak melenceng.
        Penetapan hukum dalam bentuk yang global dan simpel ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini diharapkan hukum Islam dapat berlaku sepanjang masa.
        Hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Syar‘i sesungguhnya terbagi dalam dua kategori pertama: hukum-hukum dalam kategori qat‘i. Artinya, hukum-hukum yang masuk dalam kategori ini telah ditetapkan secara pasti oleh nass, ia tidak membuka peluang untuk dilakukannya tafsir maupun ta’wil. Dalam disiplin Usul Fiqh biasa disebut Syari‘ahKedua: hukum-hukum dalam kategori zanni yaitu hukum yang lahir dari derivasi para mujtahid terhadap ayat-ayat hukum tertentu yang masih mengandung kemungkinan untuk ditafsirkan ataupun dita‘wilkan. Kategori ini biasa disebut Fiqh.
        Kenyataannya, hampir kebanyakan hukum Islam lahir sebagai hasil dari ijtihad ini membuktikan bahwa ayat-ayat yang zanni lebih banyak dari ayat-ayat yang qat‘i. Artinya, mayoritas ayat-ayat al-Qur‘an pada dasarnya membutuhkan interpretasi­ tentunya tanpa melupakan aspek historis yang menjadi salah satu faktor penentu bagi suatu hukum yang lahir dari interpretasi tersebut.  
        Kaitannya dengan tema yang penyusun kaji adalah adanya kontradiksi antara nass al-Qur‘an dan al-Hadis yang mewajibkan untuk mensalati kaum Muslim dan mengharamkan untuk mensalati kaum Kuffar. Namun dalam persoalan percampuran antara keduanya masih diperlukan interpretasi lebih lanjut.
Dalam menentukan langkah awal penelitian ini penyusun mencoba mengkaji kaidah usuliyyah yang erat kaitannya dengan metode stratifikasi istinbat yang dipakai oleh kedua tokoh di atas. Selain kaidah usuliyyah, penyusun juga mencoba mengkaji ayat-ayat atau dalil-dalil al-Qur’an, hadis\-hadis\ serta pendapat-pendapat dari kalangan ulama yang mendukung kedua tokoh tersebut. Kemudian penyusun mencoba untuk melacak sejauh mana persamaan ataupun perbedaan berikut alasan dari kedua tokoh tersebut yang kemudian setelah itu akan ditarik suatu titik temu atau benang merah yang menghubungkan antara keduanya, sehingga diharapkan dapat menjembatani perbedaan yang muncul dari kedua-duanya. Dan pada akhirnya dapat diketahui secara jelas bagaimana mensikapi persoalan yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim tersebut

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian
      Jenis penelitian yang penyusun lakukan adalah telaah pustaka (library research), yaitu dengan mencari dan menganalisis referensi-referensi primer dan sekunder, di mana obyeknya berupa pendapat dan pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i yang tertulis di dalam beberapa kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan kajian ini.
  1. Sifat Penelitian
            Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yakni mendeskripsikan atau memaparkan data-data yang berkaitan erat dengan masalah hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim dalam pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i. Kemudian menganalisisnya untuk memperoleh sebuah sintesa obyektif yang relevan dengan konteks kekinian. Oleh karena itu, kajian ini sama sekali tidak melakukan pencarian penjelasan atas produk pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i. Dengan kata lain, kajian ini tidak melakukan penghakiman dengan menyalahkan atau membenarkan salah satu pemikiran atas produk pemikiran yang lain. Penilaian tentang salah benarnya dikembalikan pada ahlinya, karena hal ini adalah sebuah hasil ijtihad yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i.
  1. Pendekatan Penelitian
      Pendekatan yang digunakan dalam pemecahan masalah pada penelitian ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan Usul Fiqh. Dalam hal ini, Pendekatan Normatif dan Usul Fiqh dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekati masalah yang diteliti berdasarkan aturan, norma, dan kaidah yang sesuai dengan obyek kajian.
  1. Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah kajian kepustakaan, maka sumber datanya adalah pendapat atau pemikiran dari kedua tokoh mujtahid maz\hab (Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi‘i) yang ada di beberapa buku dan sudah penyusun temukan. Selanjutnya, data berupa pendapat-pendapat tersebut dinamakan sumber primer, di antaranya: Mukhtasar  al-Muzanni ‘ala al-Umm karya Imam al-Muzani, al-Majmu’ fi Syarh al-Muhaz\z\ab karya Imam An-Nawawi, al-Mabsut karya Syams ad-Din as-Sarakhsi. Sedangkan sumber data bantu atau tambahan (sekunder) adalah kajian-kajian yang membahas masalah yang ada hubungannya dengan pokok bahasan. Di antaranya: Fiqh Rakyat, Fiqh Lima Maz\hab, Fiqh Sunnah dan lain sebagainya.
        
5. Analisis Data
      Dalam menganalisis data, penyusun menggunakan metode komparatif yaitu metode yang dipakai untuk menganalisis data yang berbeda dengan jalan membandingkan pendapat-pendapat tersebut untuk mengetahui persamaan ataupun perbedaan serta mencari kemungkinan titik temu antara pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i.

G. Sistematika Pembahasan

            Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian ini penyusun membuat topik-topik yang akan dibahas secara sistematik, sebagai berikut:
        Dalam BAB pertama skripsi ini penyusun memulainya dengan  pendahuluan, bagian ini penting sebagai pijakan berfikir penyusun untuk menganalisis pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i tentang hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah; pokok masalah; tujuan dan  kegunaan; telaah pustaka; kerangka teoretik; metode penelitian dan sistematika pembahasan.
        BAB kedua membicarakan secara umum tentang jenaz\ah. Dalam bab ini diuraikan tentang pengertian jenaz\ah, hukum perawatan jenaz\ah, kategori jenaz\ah yang boleh dan tidak boleh dimandikan dan disalatkan serta tata-cara memandikan dan menyalatkan jenaz\ah. Pembahasan ini penting sebagai tolok-ukur dalam melihat permasalahan yang akan dikaji
            Selanjutnya, di dalam bab ketiga dideskripsikan mengenai pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i tentang hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim. Bagian ini  meliputi dua sub-bab: Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i, yang masing-masing meliputi biografi tokoh dan pandangan tokoh tersebut mengenai hukum mensucikan/memandikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim. Hal ini bertujuan agar dapat diketahui dengan jelas mengenai pendapat kedua tokoh maz\hab tersebut
        BAB keempat adalah bagian analisis, di mana penyusun menganalisis pendapat yang telah diuraikan dalam bab terdahulu yang meliputi analisis mengenai istinbat hukum yang diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i serta berbagai letak persamaan dan perbedaan dari kedua tokoh tersebut mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim.
        BAB kelima merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Bab ini merupakan bagian terakhir yang ditutup dengan saran-saran (sumbangsih) agar dapat dijadikan sebagai bahan bagi penelitian selanjutnya, khususnya bagi studi-studi yang berkaitan dengan jenaz\ah di masa yang akan datang.


Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD
Tags:  HUKUM MENSUCIKAN DAN MENSALATKAN  PERCAMPURAN TUBUH  JENAZAH MUSLIM DAN NON MUSLIM DALAM PANDANGAN  IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ASY-SYAFI‘I
no image

Hubungan Kristen Protestan dengan Pancasila di Indonesia

Hubungan Kristen Protestan dengan Pancasila di Indonesia 

 

BAB I   

PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia, sejak semula telah dikenal sebagai bangsa yang religius, bangsa yang memiliki kepercayaan dan hubungan dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang dinyatakan dalam sikap hidup yang didasarkan kepada ajaran-ajaran agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang penuh toleransi di antara pemeluk-pemeluknya.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah diakui oleh masyarakat Indonesia. Namun sejarah dari masa ke masa menunjukkan, bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah menjadi dasar dan memberikan warna terhadap semua segi kehidupan bangsa.[1]
Menurut pandangan Kristen Protestan, tidak ada masalah untuk menerima Pancasila. Bahwa Pancasila telah memberikan banyak inspirasi, selama pemahaman tentang kelima sila dari Pancasila tetap terbuka dan Pancasila tidak kemudian menjadi doktrin yang tertutup. Orang-orang Kristen Protestan dapat memahami sila pertama, dengan menyatakan bahwa di dalam kerangka kepercayaan kepada yang transenden, orang-orang yang sudah memiliki agama dapatlah terus melakukan dialog berdasarkan sikap saling menghargai demi tanggung jawab bersama.[2]
Negara Indonesia yang memilki Pancasila sebagai dasar negara maupun filsafat hidup atau pegangan hidup bangsa Indonesia, setiap rakyat Indonesia harus mempercayai Tuhan Yang Maha Esa, pada dasarnya sila-sila dari Pancasila itu telah berakar pada jiwa Bangsa Indonesia.[3]
Pancasila berfungsi sebagai bimbingan moral dan etika, yang telah ditransformasikan menjadi dasar konsep politik yang sedemikian rupa. Ada dua kelompok yang sangat berpengaruh dalam pembentukan ideologi suatu bangsa. Pertama, kelompok nasionalis sekuler kedua kelompok nasionalis muslim. Yang dimaksud nasionalis sekuler adalah kelompok-kelompok yang menjadi pemimpin politik yang di Indonesia seperti pemimpin pilitik dari kalangan muslim, pemimpin politik dari kalangan Katolik, pemimpin politik dari kalangan Protestan, pemimpin politik dari kalangan Hindu. Secara tegas kelompok-kelompok nasionalis sekuler menolak agama dijadikan sebagai dasar negara. Meskipun secara personal nasionalis sekuler bukan kaum sekuleris, bahkan nasionalis sekuler tidak menggunakan agama sebagai ideologi atau sistem politik.[4]
Kelompok nasionalis muslim adalah kelompok yang mempunyai gagasan bahwa Islam harus dijadikan  sebagai dasar negara, antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan karena tidak ada pemisahan antara persoalan duniawi dan ukhrawi dalam Islam.[5]
Di bumi Indonesia tidak hanya mayoritas agama Islam saja tetapi masih ada agama-agama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu dan Budha yang butuh perlindungan dari negara. Oleh sebab itu , yang pantas dijadikan dasar negara adalah Pancasila, agar semua agama yang ada di Indonesia dapat menerimanya, bukan berarti setelah ber Pancasila lalu meninggalkan agama, tetapi Pancasila dan agama harus sejalan, Pancasila tanpa agama akan kosong hasilnya.[6]
 Menurut Faisal Ismail Konflik antara kelompok nasionalis sekuler dengan kelompok nasionalis muslim mengenai landasan falsafah negara tetap tegang, sehingga terbentuklah Piagam Jakarta pada butir pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Bunyi butir pertama Piagam Jakarta yang memberikan posisi umat Islam di Indonesia yang memungkinkan untuk menerapkan syariat Islam, di negara Indonesia yang meskipun umat Islam yang pada dasarnya harus menerima Pancasila sebagai ideologi negara.[7]
Bunyi butir pertama dari Piagam Jakarta mendapatkan tantangan yang keras dari orang-orang yang non muslim, yang menyatakan bahwa konsekuensi kalimat Islam sangat mengesampingkan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Seakan-akan menonjolkan agama orang yang mayoritas yaitu  agama Islam,  jika tidak diganti butir pertama dari Piagam Jakarta, maka dari kalangan agama orang yang minoritas  yaitu  agama non  Islam akan memisahkan diri dari Republik Indonesia.8        
Agar bangsa Indonesia tidak terpecah-pecah maka kedua kelompok tersebut melakukan musyawarah untuk mengganti bunyi pertama dari Piagam Jakarta agar tidak menyinggung perasaan dari kalangan agama minoritas, maka dengan kesepakatan  bersama antara kelompok nasionalis sekuler dengan kelompok nasionalis muslim , maka Piagam Jakarta diganti dengan bunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.9
Untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan antara kelompok nasionalis sekuler dan kelompok nasionalis muslim, maka PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara.10 Dengan disahkannya UUD 45, maka nilai-nilai yang esensial dalam Pancasila adalah:
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia .
Selain itu juga kebebasan untuk memeluk agama di Indonesia ditegaskan dalam UUD 45 Pasal 29 yang berbunyi: 1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.11
Pasal-pasal yang terdapat dalan UUD 45 yang merupakan sebuah transformasi Pancasila sebagai norma-norma untuk hidup bermasyarakat, dalam bidang keagamaan, hukum, politik, sosial dan ekonomi.12 Pancasila dapat dijadikan sebagi alat pemersatu bangsa Indonesia, dapat diterima oleh semua pihak. Kenyataan telah mewujudkan bahwa dengan Pancasila dapat menimbulkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa dapat membawa keutuhan negara Republik Indonesia.13
Butir demi butir dari kelima sila Pancasila dalam penjelasannya jelas tidak bertentangan dengan Al-Kitab, dalam pelaksanaannya secara keseluruhan dapat mendukung pengembangan kegiatan setiap agama yang ada di Indonesia.14 Penjelasan butir demi butir dari kelima butir Pancasila yang erat hubungannya dengan Al-Kitab adalah:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ini dapat memberikan suatu kebebasan ruang gerak bagi kemerdekaan beragama, setiap orang harus meyakini adanya Tuhan Yang maha Esa dan memberikan kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing.
Penjelasan Al-Kitab:
Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai mana jelas dalam tindakannya Penciptaan langit dan bumi. (Kejadian 1:1-27). Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Maha Kasih (1 Yohanes 4:8)
Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Maha Penolong, Tuhan Khalik Langit dan Bumi beserta segala isinya (Mazmur. 121:1-2)
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila ini menjelaskan bahwa Bangsa Indonesia harus meningkatkan martabat manusia, dan dapat menikmati hak-haknya dan melaksanakan tanggung jawabnya.
Penjelasan Al-Kitab:
Manusia itu agung dan mulia karena manusia adalah satu-satunya mahluk hidup yang dibentuk atau diciptakan Allah (Kejadian: 1:22)
3. Sila Persatuan Indonesia
Sila ini menjelasakan untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan demi keselamatan bangsa dan negara, mendahulukan kepentingan masyarakat dari kepentingan pribadi walaupun berbeda-beda kita tetap satu.
Penjelasan Al-Kitab:
“Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri…” (Roma 14:7a)
4. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Sila ini menjelaskan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan, musyawarah untuk mancapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
Penjelasan Al-Kitab:
“Kasih itu sabar, Kasih itu murah hati……” (I. Korintus. 13:14)
“Tidak mengambil keuntungan diri sendiri” (I. Korintus. 13:5)
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 
Sila ini menjelaskan, untuk bersikap adil, suka memberikan pertolongan kepada orang lain.
Penjelasan Al-Kitab:
“Berilah keadilan kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim belalah hak orang-orang yang sengsara dan orang yang kekurangan”. (Mazmur 82:3)

Dengan demikian menurut orang Kristen sila-sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Al-Kitab bahkan dalam pelaksanaannya secara konsekuen/mendukung apa yang terdapat dalam Al-Kitab.15
Penjelasan di atas menurut pandangan T.B. Simatupang Pancasila adalah lebih dari sekedar payung, Pancasila mempunyai daya tarik emosionalnya tersendiri. Pancasila sebuah ideologi dan sebuah pandangan hidup.16

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi fokus perhatian untuk diteliti adalah:
Bagaimana pemikiran T.B. Simatupang tentang hubungan Kristen Protestan dengan Pancasila di Indonesia ?
Apa pengaruh pemikiran T.B. Simatupang  terhadap agama Kristen Protestan di Indonesia ?

Tujuan Penelitian
Penelitian tentang pemikiran T.B. Simatupang tentang hubungan Kristen Protestan dengan Pancasila di Indonesia mempunyai beberapa tujuan yaitu :
Untuk mengetahui dan menelusuri pemikiran T.B. Simatupang tentang hubungan Kristen Protestan dengan Pancasila di Indonesia dalam konteks yang lebih spesifik
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejauh mana pengaruh pemikiran T.B. Simatupang terhadap agama  Kristen Protestan di Indonesia.
Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah:
2.      Secara akademik penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran di bidang ilmu perbandingan agama.
3.      Untuk menambah pengetahuan tentang pemahaman umat Kristen Protestan dalam menerima Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia .

Telaah Pustaka
Setelah mengadakan penelusuran pustaka, sejauh penulis ketahui agar tidak terjadi duplikasi dalam penelitian ini yang sebelumnya membahas T.B. Simatupang, maka penulis melakukan telaah pustaka sebagai berikut:
Karya ilmiah yang mengkaji tentang pemikiran T.B. Simatupang dalam buku, Spiritualis, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, di tulis oleh Victor I Tanja pada tahun 1996. Dalam buku ini menggunakan pendekatan sosiologis, yang memaparkan bagaimana peranan agama khususnya Iman Kristiani dalam memberikan sumbangan terhadap tuntutan pembangunan di tengah masyarakat Indonesia yang pluralistik berdasarkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bermasyarakat, berbangsa, dan beragama.
Kemudian ada buku yang di tulis oleh : A.G. Hoekema, yang di terjemahkan oleh Ny. Amsy Susilaradeya pada tahun 1997, yang berjudul : Berpikir Dalam Keseimbangan Yang Dinamis , Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di  Indonesia  ( 1860- 1960).Dalam buku ini menggunakan pendekatan  historis-teologis, yang memaparkan tentang bagaimana perkembangan teologi Protestan di Indonesia selama tahun 1860-1960, dan kapan teologi Protestan di Indonesia lahir ?  dan juga siapa tokoh yang membangun teologi Protestan di Indonesia.
Kemudian ada buku yang di tulis oleh Bambang Ruseno Utomo, pada tahun1993 yang berjudul: Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia. Dalam buku ini mengunakan pendekatan sosiologis dan teologis, yang memaparkan untuk mengungkap dan mengkaji perkembangan dan pertemuan kedua agama tersebut di bumi Indonesia atau di bumi Pancasila, dan juga untuk membantu bisa saling mengenal satu sama lain dalam rangka saling mengasihi sesama insan yang saling berlainan agama dan kepercayaan. 
Kemudian ada skripsi yang berjudul: Gereja dan Pancasila ( Studi Analisa Pemahaman dan Sikap PGI Terhadap Pancasila ), yang ditulis oleh: Tri Budi Waryanto, dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis dan metode historis. Dalam skripsi ini lebih memfokuskan tentang pengertian organisasi kemasyarakatan dalam arti apakah persekutuan gereja-gereja di Indonesia dapat dijadikan sebagai organisasi kemasyarakatan yang dapat mengayomi atau melindungi masyarakat Kristen Protestan di Indonesia.
Kemudian ada skripsi yang berjudul : Gereja dan Pembangunan ( Studi Pemikiran  Tahi Bonar ( T.B.) Simatupang ), di tulis oleh Ahmad Musfik,  skripsi tersebut menggunakan pendekatan historis, dan pembahasannya lebih terfokus  bagaimana gereja-gereja yang ada di Indonesia dapat ikut andil dalam membangun bangsa ini agar menjadi bangsa yang makmur dan beradab.
Berdasarkan telaah pustaka di atas maka peneliti akan  mengkaji mengenai pemikiran T.B. Simatupang tentang hubungan Kristen Protestan dengan Pancasila di Indonesia. Akan tetapi peneliti harus membedakan terlebih dahulu antara penelitian  yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian sebelumnya,  penelitian sebelumnya  yang sudah pernah mengkaji pemikiran T.B. Simatupang adalah Viktor I Tanja yang berjudul Gereja dan Pembangunan. Kemudian ada juga penelitian yang di tulis oleh Tri Budi Waryanto yang berjudul Gereja dan Pancasila ( Studi Analisa Pemahaman dan Sikap PGI Terhadap Pancasila ). Kemudian ada juga penelitian yang di tulis oleh Ahmad Musfik yang berjudul Gereja dan Pembangunan.  Kemudian  ada juga penelitian yang di tulis oleh Bambang Ruseno Utomo yang berjudul Hidup Bersama di Bumi Pancasila : Tinjauan Hubungan  Islam dan Kristen di Indonesia.
Kemudian yang membedakan antara penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya adalah: Bahwa penelitian sebelumnya hanya memfokuskan bagaimana gereja-gereja yang ada di Indonesia dapat ikut andil dalam membangun bangsa ini,dan apakah gereja –gereja yang di Indonesia dapat mengayomi atau melindungi umat Kristiani di Indonesia. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis  sekarang yang berjudul hubungan Kristen Protestan  dengan Pancasila di Indonesia ( Studi atas Pemikiran T.B. Simatupang ) yang tidak terlepas dari beberapa faktor yaitu: Faktor sejarah, faktor politik dan faktor agama.
Metodologi Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian ini bercorak Library Research (Penelitian Pustaka), dalam arti sumber-sumber datanya berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Melalui karya-karya ilmiah, baik yang tertuang dalam buku, majalah, maupun data-data kepustakaan lainnya yang berkenaan dengan pemikiran T.B. Simatupang.
Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis dalam mencari data menggunakan metode dokumentasi.17 Dalam metode dokumentasi  nantinya peneliti akan menemukan sumber data primer dan sumber data sekunder, maka sumber data primer yang utama adalah tulisan T.B. Simatupang yang berjudul. Iman Kristen dan Pancasila , dan juga buku yang berjudul Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Dapan Masyarakat, Bangsa dan Negara. Dan data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku yang  memang representatif dalam mendukung penelitian ini.
Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis dapat mengumpulan tulisan atau data yang berhubungan dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini, kemudian penulis menelaah data yang telah terkumpul tersebut, kemudian dianalisis dan diinterpretasikan sesuai dengan wawasan penulis. Kemudian dalam penelitian ini juga penulis dalam menganalisis data menggunakan metode deskriptif 18, jadi dalam menganalisis data  tidak hanya sebatas mengumpulan data saja dan menyusunan data, tapi  harus mencakup analisis dan interpretasi tentang data itu agar mendapat pemahaman yang lebih jelas lagi 19.
Metode Pendekatan
  Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan historis, karena pendekatan sejarah biasanya meliputi pengalaman masa lalu yang menggambarkan secara kritis seluruh kebenaran kejadian atau fakta untuk membantu mengetahui apa yang harus di kerjakan sekarang dan masa yang akan datang.20

Sistematika Pembahasan
Untuk lebih memudahkan dalam penyelesaian penelitian ini, penyusun akan menggunakan sistematika sebagai berikut :
Bagian depan memuat halaman judul, halaman nota dinas, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar , daftar isi, daftar singkatan dan  abstrak.
Sedangkan bagian isi yang merupakan inti dari pembahasan skripsi ini, penulis susun dalam bab-bab sebagai berikut:
Bab pertama, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metodologi  penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, sketsa biografi T.B. Simatupang. Masa kecil dan latar belakang pendidikan, karir dan kegiatan, karya-karya T.B. Simatupang , dan orang-orang yang mempengaruhi pemikiran T.B. Simatupang
Bab ketiga, membahas pemikiran T.B. Simatupang tentang hubungan Kristen Protestan dengan Pancasila di Indonesia, yang  meliputi pemahaman T.B.Simatupang tentang Kristen Protestan di Indonesia.  yang meliputi sejarah  singkat masuknya Kristen Protestan di Indonesia,dan pemahaman T.B.Simatupang tentang ideologi Pancasila. Kemudian aspek-aspek pemikiran T.B. Simatupang tentang hubungan Kristen Protestan dengan Pancasila di Indonesia, yang meliputi : aspek sejarah, aspek politik, dan aspek agama. Kemudian pemahaman tentang Pancasila yang meliputi, pengertian Pancasila, sejarah singkat tentang Pancasila, fungsi Pancasila.
Bab keempat, membahas tentang apa pengaruh pemikiran T.B. Simatupang  terhadap agama Kristen Protestan  di Indonesia, yang meliputi pemahaman Kristen Protestan terhadap Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dan meningkatkan partisipasi gereja dalam membangun bangsa Indonesia sebagai pengamalan Pancasila. Kemudian analisis penulis.
Bab kelima, penutup, yang terdiri dari kesimpulan, saran-saran, kata penutup daftar pustaka dan curriculum vitae.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags : Hubungan Kristen Protestan dengan Pancasila di Indonesia
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net