• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
no image

HADIS-HADIS TENTANG TERPUTUSNYA SALAT KARENA MELINTASNYA ANJING, KELEDAI DAN WANITA

HADIS-HADIS TENTANG TERPUTUSNYA SALAT KARENA MELINTASNYA ANJING, KELEDAI DAN WANITA (Kajian Ma’ãnī al-Hadīs

anjing dan shalat

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang semua ayatnya diterima secara mutawãtir. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Al-Qur’an periwayatan semua ayat-ayatnya secara mutawătir, sedang hadis Nabi, sebagian periwayatannya secara mutawătir dan sebagian lagi secara ãhăd. Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan qaţ’ī al-wur­ūd dan sebagian lagi zannī al-wurūd[1], sehingga tidak diragukan lagi orisinalitasnya. Berbeda dengan hadis Nabi yang berkategori ãhăd, diperlukan penelitian terhadap orisinalitas dan otentisitas hadis-hadis tersebut.
Untuk hadis-hadis yang periwayatannya secara mutawătir, setelah jelas kesahihannya, maka  diperlukan pemaknaan yang tepat, proporsional dan representatif  terhadap hadis  tersebut melalui beberapa kajian, di antaranya kajian

linguistik,[2] kajian tematis komprehensif,[3] kajian konfirmatif[4] dan kajian-kajian lainnya dalam rangka pemahaman teks hadis tersebut.[5]
Hadis dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual. Tekstual dan kontekstual adalah dua hal yang saling berseberangan, seharusnya pemilahannya seperti dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan secara dikotomis, sehingga tidak semua hadis dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual. Di samping itu ada hal yang harus diperhatikan yang dikatakan Komaruddin Hidayat[6] bahwa di balik sebuah teks sesungguhnya terdapat, sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar  mendekati kebenaran mengenai gagasan yang disajikan oleh pengarangnya.
Asbãbul wurūd hadis akan mengantarkan pada pemahaman hadis secara kontekstual, namun tidak semua  hadis terdapat  asbãbul wurūdnya. Pengetahuan akan konteks suatu hadis, tidak bisa menjamin adanya persamaan pemahaman pada setiap pemerhati hadis. Menurut Komaruddin Hidayat, hal ini disebabkan oleh keadaan hadis yang pada umumnya merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan sahabat. Oleh karena itu, menurutnya pemahaman ulama yang mengetahui sejarah hidup Rasul akan berbeda dengan yang tidak mengetahuinya.[7] Di samping itu muatan sejarah secara detail telah banyak tereduksi, sehingga dalam sejarah pun sering didapatkan perbedaan informasi.
Permasalahan makna adalah konsekuensi logis dari adanya jarak yang begitu jauh antara pengarang, dalam hal ini Rasulullah dengan pembaca, yaitu umatnya, yang kemudian dihubungkan oleh sebuah teks yaitu hadis. Dengan terpisahnya teks dan pengarangnya serta dari situasi sosial yang melahirkannya maka implikasinya lebih jauh yaitu sebuah teks bisa tidak komunikatif  lagi dengan realitas sosial yang melingkupi  pihak pembaca. Di samping itu adanya jarak, perbedaan bahasa, tradisi dan cara berpikir antara teks dan pembaca, merupakan problematika tersendiri bagi penafsiran teks, karena bahasa dan muatannya tidak bisa dilepaskan dari kultural.[8]
Menurut Dilthey, satu peristiwa itu, termasuk peristiwa munculnya teks, dapat dipahami dengan tiga proses;  yaitu memahami  sudut pandang atau gagasan para pelaku asli, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah dan menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan yang bersangkutan hidup.[9]
Senada dengan pandangan Dilthey tersebut, Carl Braaten berpandangan bahwa berusaha memahami suatu teks berarti mencoba memahami horizon zaman yang berbeda untuk dipahami dan diwujudkan dalam situasi konteks masa kini.[10]
Hadis yang disebut sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an  telah mengalami perjalanan yang panjang, bukan hanya dalam kodifikasi dan penelitian validitasnya, tapi juga berkembang pada “pemaknaan” yang tepat untuk sebuah matan hadis yang dapat membumikan keuniversalan ajaran Islam. Pemaknaan hadis merupakan probematika yang rumit. Pemaknaan hadis dilakukan terhadap hadis yang telah jelas validitasnya minimal hadis-hadis yang dikategorikan bersanad hasan.[11]
Dalam pemaknaan hadis diperlukan kejelasan apakah suatu hadis akan dimaknai  dengan tekstual ataukah kontekstual. Pemahaman akan kandungan hadis apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal atau universal, serta apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapan saja atau mencakup mitra bicara kondisi sosial ketika teks itu muncul.
Memahami hadis itu  tidak “mudah” khususnya jika terdapat hadis-hadis yang saling bertentangan. Terhadap problem yang demikian, para ulama hadis menggunakan metode al-jam’u, al-tarjīh, al-nãsikh wa al-mansūkh, atau al-tawaqquf.[12]
Dari berbagai problem-problem pemahaman hadis secara global tersebut,  maka penulis meneliti dan mengkaji pemaknaan dan pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita.
Identifikasi awal adalah apa makna salat dan bagaimana tata cara pelaksanaan salat menurut ketentuan syariat termasuk  hal-hal yang dapat membatalkan salat menurut syariat. Para fuqaha memberikan pengertian shalat adalah

اَقْوَالٌ وَاَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِمُخْتَتَمَة ٌبِالتَّسْلِيْمِ يَتَعَبَّدُ بِهَا بِشَرَائِطِ مَخْصُوْصَةٌ


"Beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadat kepada Allah, menurut syarat-syarat yang ditentukan”.[13]

Salat merupakan ritual ibadah bagi muslimin sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mewujudkan ketakwaan kepada Ilahi Rabbi. Dalam salat itu terdapat aturan-aturan pelaksanaannya sesuai ketentuan syariat, di antaranya  syarat sah salat, rukun-rukun salat dan hal-hal yang dapat membatalkan salat.  Adapun syarat-syarat sah salat adalah mengetahui telah masuk waktu salat, suci dari hadas besar dan kecil, suci badan, pakaian dan tempat salat, menutup aurat  dan menghadap kiblat.[14]
 Selain itu ada beberapa hal yang membatalkan salat, yakni makan, minum dengan sengaja, berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan salat, mengerjakan pekerjaan yang banyak dengan sengaja, meninggalkan (merusakkan) suatu rukun atau dan syarat dengan sengaja dan tak ada udzur.[15]
Di sisi lain ada beberapa hadis yang menjelaskan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Menurut al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfăz al-Hadīs al-Nabawī[16]hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita didapatkan  dalam kitab sebagai berikut : Şahīh Bukhărī sebanyak 2 buah, Şahīh Muslim sebanyak 4 buah, Sunan al-Tirmiżī sebanyak 2 buah, Sunan Abū Dăwud sebanyak 3 buah, Sunan an-Nasă’ī sebanyak 2 buah dan Sunan Ibn Măjah sebanyak 5 buah, Sunan ad-Darimī sebanyak 1 buah dan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal sebanyak 15 buah. Sehingga jumlah keseluruhan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam Kutub al-Tis'ah sebanyak 34 buah.
Di antara bunyi redaksi hadis – hadis tersebut yang didapatkan dalam Şahīh Bukhărī adalah[17] :
 حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ ح قَالَ الْأَعْمَشُ وَحَدَّثَنِي مُسْلِمٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِيَ الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafs bin Ghiyãs berkata, telah menceritakan kepada kami Abi (ayahku) berkata, telah menceritakan kepada kami al-A'masy berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahīm dari al-Aswãd dari 'Āisyah: Disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang dapat memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, jika melintas di hadapan orang yang salat, maka berkata 'Āisyah: “Tuan-tuan samakan (wanita) dengan keledai dan anjing. Sesungguhnya saya lihat Nabi saw. salat dan aku berbaring di atas tempat tidur antara Nabi dan kiblat (di hadapan Nabi), kemudian ada bagiku suatu keperluan dan saya tidak suka duduk mengganggu Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat kaki Nabi.”

Adapun hadis yang dimuat Sunăn Ibn Măjah sebagai berikut[18] :
 حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ وَالْمَرْأَةُ الْحَائِضُ

Artinya:
Telah mewartakan kepada kami Abū Bakar bin Khallãd al-Bãhilī, telah mewartakan kepada kami Yahyã bin Sa'īd, telah mewartakan kepada kami Syu'bah, telah mewartakan kepada kami Qatãdah, dari Jãbir, dari Ibnu Abbãs, dari Nabi saw., beliau bersabda: Dapat memutuskan salat, yaitu anjing hitam dan wanita yang sudah balig-usia haid-.

Dengan melihat hadis di atas, perlu kiranya menemukan pemaknaan yang tepat terhadap hadis tersebut. Problemnya adalah apakah melintasnya anjing, keledai dan wanita dapat memutuskan salat (membatalkan salat). Kedudukan hadis-hadis tersebut adalah hadīs hasan sahīh sehingga pemasalahan selanjutnya adalah memberikan pemaknaan yang tepat, proporsional dan representatif terhadap hadis tersebut. Apakah hadis yang sahih akan selalau representatif untuk dijadikan hujjah yang kemudian mampu diaplikasikan dalam realitas kekinian.
Dengan demikian, problem yang paling urgen adalah bahwa secara sekilas ada perbedaan apa yang dipaparkan ketentuan syariat tentang hal-hal yang dapat membatalkan salat dan pernyataan hadis bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Dengan demikian, bagaimana seharusnya hadis tersebut dipahami secara tekstual atau kontekstual dan kandungan hadis tersebut bersifat temporal, lokal atau universal. Dalam redaksi hadis tersebut, mengapa hanya melintasnya anjing, keledai dan wanita saja yang dapat memutuskan salat. Mengapa hal ini dikhususkan pada tiga hal tersebut saja, apa sebenarnya variabel yang terkandung di balik teks tersebut.

           Dalam  hadis yang lain lebih dikhususkan kepada melintasnya anjing hitam dan wanita haid saja yang dapat memutuskan salat.[19] Apakah yang membedakan antara anjing hitam, anjing merah dan anjing putih kemudian apa yang menyebabkan anjing hitam saja yang dapat memutuskan salat. Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa mengenai anjing hitam dapat memutuskan salat, sedangkan wanita dan keledai masih ada keraguan.[20]
     Hal yang lebih fatal lagi adalah adanya anggapan penyerupaan seorang perempuan dengan seekor anjing dan keledai dalam hal merusak salat orang yang kebetulan dilewati ketiga-tiganya.[21] Hal inilah keunikan dari interpretasi teks hadis tersebut sehingga perlu dikaji ulang dan mendalam, karena perempuan sebenarnya memiliki berbagai keistimewaan dan kesetaraan serta kesejajaran antara laki-laki dan perempuan.
            Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah problem kebahasaan (linguistik). Bagaimana seharusnya pemaknaan terhadap lafal قطع الصلاة. Menurut Abū 'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī dalam kitab Syarh Sunăn Ibn Măjah[22] bahwa secara dhahir yang dimaksud memutuskan salat di sini adalah membatalkan salat. Sedangkan menurut al-Nawãwī[23] maksud dari  قطع الصلاة, memutuskan salat adalah merusak salat, yakni mengurangi kesibukan hati dan mengganggu kekhusyukan hati  menghadap Tuhan dalam salat, artinya hanya mengurangi essensi dan substansi daripada salat, bukan membatalkan salat. Implikasinya adalah salat itu tidak mencapai puncak kesempurnaan dan kekhusyukan salat, sebagai upaya mendekatkan diri dan ketakwaan kepada Allah.[24]
           Dengan melihat kondisi kekinian dengan adanya masjid telah diterapkan konsep satir dengan adanya dinding. Mengapa melintasnya ketiga hal tersebut dapat berimplikasi besar dalam pelaksanaan salat. Di samping itu adanya perbedaan pemahaman hal-hal yang dapat membatalkan salat menurut ketentuan syariat dan menurut teks hadis tersebut. Inilah kemudian menjadikan hadis tersebut perlu dikaji ulang untuk mencapai pemahaman yang tepat.



B. Rumusan Masalah
     Dari pemaparan latar belakang masalah di atas dapat diketahui bahwa hadis tersebut perlu penjelasan yang lebih tepat. Oleh karena itu, sekiranya dapat dirumuskan beberapa permasalahan  dari penelitian hadis tersebut :
  1. Bagaimana hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut dipahami ? Apakah hadis tersebut dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual, dan apakah kandungan hadis tersebut bersifat universal, temporal atau lokal ?
  2. Bagaimana implikasi hadis tersebut terhadap ritual ibadah (salat) bagi muslim dalam kehidupan sehari – hari ?

C.    Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan :
  1. Untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dan juga mengetahui kandungan hadis tersebut bersifat universal, temporal atau lokal.
  2. Untuk mengetahui implikasi hadis tersebut terhadap ritual ibadah muslim sehingga penulis mendeskripsikan pemaknaan hadis-hadis tersebut untuk memperoleh pemaknaan yang tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perkembangan zaman.


Adapun kegunaan penelitian ini adalah :
  1. Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan  pemikiran wacana keagamaan dan menambah khazanah literatur studi hadis di Indonesia.
  2. Secara sosial, penelitian ini diharapkan berguna bagi pelaksanaan  salat umat Islam sehingga dapat melaksanakan ibadah salat sesuai ketentuan syariat.

D.    Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu  kebutuhan ilmiah untuk memberikan kejelasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, yang relevan dengan tema yang terkait. Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dimuat di berbagai kitab-kitab hadis di antaranya kutub al-tis'ah.
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw. antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual dijelaskan pemaknaan terhadap hadis-hadis terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut dengan berbagai versi redaksi hadis yang setema dan beberapa pendapat ulama.[25]
Kajian pemaknaan terhadap hadis tersebut, secara tekstual dipahami bahwa hadis itu terdapat bias gender dengan mendiskursuskan hanya perempuan yang melintas, yang dapat memutuskan salat, bukan demikian halnya dengan laki-laki, sehingga digunakan juga buku-buku yang mengkaji jender sebagai analisis wacana kesetaraan jender dalam Islam yang terdapat dalam hadis tersebut. Di antara buku-buku tersebut adalah Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender karya PSW IAIN Sunan Kalijaga[26] yang memaparkan bagaimana mengkontekstualisasikan hadis dalam studi jender dan Islam dengan menggunakan berbagai prinsip metodologi, yaitu prinsip ideologi, prinsip otoritas, prinsip klasifikasi dan prinsip regulasi terbatas.
Fatima Mernissi melalui karya-karyanya, seperti Wanita di dalam Islam[27] Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Patriarkhi[28], dengan menghadirkan hadis-hadis misoginis yang menurutnya mengandung bias jender sehingga perlu dikaji ulang. Dalam diskursusnya ini, ia menganggap pemahaman agama telah tereduksi karena kentalnya budaya patriarkis yang menyebabkan perempuan selalu berada dalam posisi subordinat, sehingga tanpa adanya pembongkaran tradisi Islam yang melahirkan kecenderungan-kecenderungan misoginis, perempuan akan tetap terdiskriminasi.
Asghar Ali Engineer, seorang tokoh yang sezaman dengan  Fatima Mernissi yang menawarkan teologi pembebasan sekaligus memperjuangkan liberasi dan humanisasi (pembebasan dan kemanusiaan) dalam mewujudkan kesetaraan jender. Asghar juga tak jarang mengupas aspek sejarah Islam sebelum dan sesudah Islam datang. Ide dan pemikirannya tertuang dalam tulisannya yang berjudul Hak-Hak Perempuan dalam Islam[29] serta Islam dan Teologi Pembebasan[30].
Kajian terhadap hadis tersebut, dilihat juga dari perspektif fikih dengan  menggunakan  buku-buku, di antaranya adalah Ibn Hazm dalam kitab al-Muhallã[31] menjelaskan berbagai pemahaman ulama terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dengan membandingkan dari berbagai jalur sanad dan juga hadis-hadis yang setema dihadirkan untuk menguatkan pemaknaan terhadap hadis tersebut. Dimanakah Shalat yang Khusyu[32] karya Muhammad Yunus bin Abdullah as-Saffar, mengemukakan berbagai pendapat ulama dalam merespons adanya hadis yang menyatakan  bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Dalam Fikih Sunnah[33] karya Sayyid Sabiq mengupas hal-hal yang dapat membatalkan salat karena anjing, keledai dan wanita tidak dapat memutuskan salat.  Abdul Qadir al-Rahbawi dalam buku Shalat Empat Madzhab[34] dipaparkan makna dan essensi dari salat, syarat sah salat, rukun salat dan hal-hal yang dapat membatakan salat sebagai acuan awal untuk melangkah pada pemaknaan hadis tersebut.
Hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita ini pernah dikaji oleh Kadarusman dalam skripsinya yang berjudul Kritik Hadis Perspektif Gender: Studi atas Pemikiraan Fatima Mernissi, yang hanya mengkaji hadis dari satu jalur sanad saja dengan menghujat eksistensi dari Abu Hurairah secara singkat.
Buku-buku di atas belum cukup memadai, walaupun penulis sendiri mengakui bahwa masing-masing saling melengkapi dalam memberikan informasi dalam penelitian ini. Sementara, sejauh penelusuran dari berbagai literatur, belum terdapat karya tulis yang khusus membahas makna hadis di atas dengan kajian ma’ãnī al-hadīs dan menjelaskan relevansi hadis tersebut. Dengan demikian, penulis mengadakan penelitian hadis yang dituangkan dalam karya tulis yang khusus membahas makna hadis tersebut dengan kajian ma’ãnī al-hadīs.



E.     Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan sumber-sumber data dari bahan-bahan tertulis dalam bentuk kitab, buku, majalah dan lain-lain yang relevan dengan topik pembahasan.
Sumber utama penelitian ini adalah Kutub al-Tis'ah yang memuat hadis-hadis tersebut dengan syarh-nya. Dalam pelacakan dan penelusuran hadis tersebut dalam Kutub al-Tis’ah, penulis menggunakan metode takhrīj hadis dengan menggunakan kamus hadis melalui petunjuk lafal hadis dengan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfãz al-Hadīs dan kata kunci (tema) hadis dengan kitab Miftãh Kunūz al-Sunnah. Di samping itu, digunakan juga jasa komputer dengan program CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf  yang mampu mengakses sembilan kitab sumber primer hadis. Sedangkan sumber penunjangnya adalah kitab-kitab dan buku-buku yang relevan dengan kajian ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu sebuah metode yang bertujuan memecahkan permasalahan yang ada, dengan menggunakan teknik deskriptif yakni penelitian, analisa dan klasifikasi.[35] Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan linguistik, pendekatan historis, dengan melihat kondisi pada saat hadis itu muncul, dan pendekatan sosiologis, dengan analisis kesetaraan jender. Dalam proses pelaksanaannya, dengan menggunakan langkah kerja ma’ãnī al-hadīs, yaitu[36]:
1.      Kritik Historis, menentukan validitas dan otentisitas hadis dengan menggunakan kaedah kesahihan dari ulama-ulama kritikus hadis.
2.      Kritik Eidetis, pemaknaan hadis dengan mengadakan berbagai analisis, yakni:
1.      Analisis Isi, muatan makna hadis melalui kajian linguistik, kajian tematis-komprehensif[37] dan kajian konfirmatif.[38]
2.      Analisis Realitas Historis, pemahaman terhadap makna hadis dari problem historis ketika hadis muncul, baik makro maupun mikro.
3.      Analisis Generalisasi, pemahaman terhadap makna universal dari teks hadis.
3.      Kritik Praksis, pengubahan makna hadis yang dihasilkan dari proses generalisasi alam realitas kehidupan kekinian sehingga maknanya praksis bagi problematika hukum dan kemasyarakatan masa sekarang.


F.     Sistematika Pembahasan
    Bahasan studi ini, disusun dalam bab dan sub bab. Adapun sistematika pembahasan penelitian ini sebagai berikut :
    Bab Pertama, Pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan latar belakang masalah, sebagai ungkapan inspirasi awal dari penelitian, kemudian pembatasan terhadap masalah yang tertuang dalam rumusan masalah. Langkah berikutnya menentukan tujuan dan kegunaan penelitian, kemudian dijelaskan  pula tinjauan pustaka sebagai acuan untuk membedakan penelitian ini dengan kajian yang serupa. Selanjutnya dijelaskan metode yang digunakan dalam penelitian hadis ini dan diakhiri dengan rangkaian sistematika pembahasan.
    Bab Kedua, Tinjauan umum tentang Salat, yang memaparkan seputar tata cara melaksanakan salat yang meliputi syarat sah salat dan rukun-rukun salat. Pada sub bab kedua dijelaskan hal-hal yang dapat membatalkan salat. Pada bab ini akan dijelaskan salat sesuai ketentuan syariat dengan hujjah al-Qur’an dan Hadis.
     Bab Ketiga, pemaparan redaksional hadis-hadis yang variatif dengan mengkategorisasikan berdasarkan  perbedaan redaksional dan juga mengungkap kritik historis, untuk menentukan validitas dan otentisitas hadis tersebut. Di samping itu, akan dijelaskan kritik Eidetis yang mencakup kajian linguistik, kajian tematik-komprehensif dan kajian konfirmatif. Pada sub bab ketiga dipaparkan analisis hadis, yang meliputi analisis pemaknaan hadis, analisis historis dan analisis generalisasi.
     Bab Keempat, kontekstualisasi hadis sesuai konteks turunnya terhadap kondisi kekinian dengan kajian linguistik, tematik-komprehensif, konfirmatif dan generalisasi makna hadis. Selanjutnya merelevansikan teks dan konteks hadis tersebut pada realitas kehidupan kekinian.
     Bab kelima, Penutup adalah bagian akhir  penelitian ini yang berisi kesimpulan, saran-saran dan kata penutup dari pembahasan-pembahasan sebelumnya.

Selengkapnya Silahkan >>>> DOWNLOAD

Tags: HADIS-HADIS TENTANG TERPUTUSNYA SALAT KARENA MELINTASNYA ANJING,  KELEDAI DAN WANITA
no image

HADIS-HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SALAT

HADIS-HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SALAT (Kajian Maani al-Hadits|)
HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK PEMIMPIN SHALAT
 Oleh Team www.seowaps.com

BAB  I

PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk individu dan sosial, selalu terdorong untuk hidup bermasyarakat atau berkelompok,[1] dengan mengaktualisasikan dirinya untuk menemukan jati diri atau identitas masing-masing. Dalam proses ini, setiap orang membutuhkan bantuan dan partisipasi orang lain. Hal ini bukan untuk menjadi sama seperti orang lain, tetapi justru untuk menjadi pribadi yang berbeda dari yang lain.
Setiap orang apabila dibandingkan antara satu dengan yang lain, akan terlihat kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap orang memiliki keinginan, kehendak, kemauan, pikiran, pendapat, kebutuhan, sifat dan tingkah laku yang berbeda-beda. Dalam kondisi bervariasi yang bersifat kodrati ini, manusia dalam mewujudkan kehidupan bersama perlu saling mengenal dan saling menghargai, dan akhirnya perlu saling menolong.[2]
Namun, di antara perbedaan tersebut terdapat kesamaan yang menjadi motivasi untuk membentuk suatu kelompok atau organisasi. Organisasi ini dibentuk untuk meningkatkan efektifitas dalam memanfaatkan kesamaannya itu sehingga mencapai tujuan bersama.[3] Demi efisiensi kerja dalam upaya mencapai tujuan dan mempertahankan hidup bersama, diperlukan bentuk kerja kooperatif yang perlu diatur dan dipimpin.[4] Oleh karena itu, diperlukan seorang pemimpin dalam kelompok tersebut.
Al-Qur’an menunjukkan bahwa manusia dibebani tugas untuk memakmurkan bumi.[5] Tugas yang disandangnya ini menempatkan setiap manusia sebagai pemimpin (khalifah).[6] Setiap orang harus memimpin –dimulai dari- dirinya sendiri, dengan berbuat amal kebajikan bagi dirinya sendiri, orang lain (masyarakat dan lingkungan sekitarnya, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa) agar mencapai tujuan hidupnya berupa keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak. Setiap manusia harus mengendalikan dirinya baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun sebagai makhluk Allah yang memikul kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban atas segala tingkah laku dan perbuatannya selama hidup di muka bumi.
Dalam masalah kepemimpinan, Nabi Muhammad SAW. menyatakan :
Ketahuilah, bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap pimpinannya itu. Maka imam adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab terhadap pimpinannya (rakyatnya). Seorang lelaki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang istri (wanita) adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadapnya. sedangkan seorang hamba (budak) adalah pemimpin dalam menjaga harta tuannya dan bertanggung jawab terhadapnya. Ketahuilah, kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertanggung jawab terhadap pimpinannya.[7]
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dalam posisi dan status apapun juga, manusia sebagai pribadi maupun sebagai umat, tanggung jawab sebagai pemimpin tidak dapat dielakkan. Apabila tanggung jawab ini ditunaikan, maka akan menjadikannya sebagai orang-orang yang beruntung. Namun sebaliknya, apabila diabaikan, maka ia termasuk orang-orang yang merugi.[8]
Tanggung jawab ini akan semakin berat, apabila seseorang menjadi pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanggung jawab ini menjadi berat, karena hakikat kepemimpinannya memiliki dua dimensi. Pertama adalah pertanggungjawaban yang harus disampaikan pada orang-orang yang dipimpinnya. Kedua adalah pertanggungjawabannya kepada Allah tentang kesungguhan dan kemampuannya dalam mengikuti serta menjalankan petunjuk Allah dan keteladanan Nabi Muhammad dalam memimpin. Dua dimensi ini akan berpadu menjadi satu kesatuan, apabila tanggung jawab yang kedua tersebut telah ditunaikan secara baik semata-mata karena Allah SWT., maka secara pasti dimensi pertama juga terpenuhi.[9] Dengan demikian, jelas bahwa kepemimpinan berkenaan dengan hubungan vertikal dengan Tuhan (h}abl min Allah) dan hubungan secara horizontal dengan sesamanya (h}abl min al-nas).
Sosok pemimpin yang bisa memenuhi dua dimensi inilah yang diharapkan ada pada setiap pemimpin pada wilayah terkecil hingga terbesar, yaitu sebuah negara. Namun kenyataan yang terjadi, tidak semua pemimpin mampu memenuhinya. Ada pemimpin yang baik, pemimpin yang buruk bahkan ada pula pemimpin yang abnormal.[10]
Kepemimpinan dalam dunia Islam dikenal dalam beberapa istilah, khilafah, imamah, imarah, wilayah, sultan, mulk dan ri’asah.  Di antara para ulama, ada yang menyamakan istilah-istilah ini dan ada pula yang membedakannya.[11] Dalam menyebut pemimpin dalam pemerintahan (kepala negara), istilah khalifah, imam dan amir  yang sering digunakan.[12]
Masalah kepemimpinan dalam Islam merupakan masalah penting dan menarik. Perselisihan terbesar di kalangan umat Islam yang terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. adalah dilatarbelakangi oleh masalah ini. Perselisihan masalah kepemimpinan ini telah mengakibatkan pertumpahan darah dalam Islam yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masing-masing pihak yang berseteru saat itu mengaku bahwasanya orang pilihan dari golongannyalah yang berhak menduduki kursi kepemimpinan umat Islam.
Seorang pemimpin adalah tampuk kekuasaan. Pemimpinlah yang memerintah dan memutuskan segala perkara yang berada dalam wilayahnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila di antara mereka baik secara individu maupun golongan saling berebut tahta tersebut. Namun tidak semua dari mereka mempunyai niat baik dalam hal ini. Mereka yang berniat busuk hanya ingin memerintah sesuka hati demi memuaskan hawa nafsu mereka yang tidak pernah habis. Akibatnya, rakyat yang dipimpinlah menjadi “korban tak berdosa”.
Salah satu hadis sahih riwayat Muslim yang membicarakan tentang kepemimpinan dalam pemerintahan (al-Imarah) dan menyebut pemimpin dengan istilah imam (A’immah), menyatakan bahwa Nabi Muhammad menyebutkan ciri-ciri seorang pemimpin yang baik dan yang buruk. Redaksi hadis ini adalah sebagai berikut. [13]
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ أَخْبَرَنِي مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ وَهُوَ رُزَيْقُ بْنُ حَيَّانَ أَنَّهُ سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ قَرَظَةَ ابْنَ عَمِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَة.ٍ
Artinya: Telah bercerita kepada kami Dawud bin Rusyaid bahwa: telah bercerita kepada kami al-Walid yakni Ibnu Muslim bahwa: telah bercerita kepada kami ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir bahwa: seorang budak dari Bani Fazarah yang bernama Ruzaiq bin H{ayyan telah memberitahukan kepadaku bahwasanya ia telah mendengar Muslim bin Qaraz}ah putra paman ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar Rasululluh SAW. bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, yang kamu doakan dan mereka pula mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka pun melaknatmu.” Mereka (yang hadir saat itu) berkata: “Wahai Nabi, jika demikian, tidakkah kita menumbangkannya?” Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Tidak, selama mereka menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu mendapatkan seorang penguasa terpilih, dan melihatnya  berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka bencilah perbuatan buruknya tersebut saja dan jangan sekali-kali membangkang terhadapnya.[14]
Hadis di atas secara implisit menyebutkan bahwa seorang pemimpin dapat dikatakan baik jika mampu menciptakan suasana saling mendukung antara kedua belah pihak yaitu antara pemimpin dan yang dipimpin yang didasari oleh perasaan saling mencintai dan menyayangi. Suasana seperti ini dapat menjadi modal awal yang sangat berpengaruh positif dalam mewujudkan tujuan bersama.
Sebaliknya, seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai pemimpin yang buruk, jika suasana yang terbangun di masa kepemimpinannya bernuansa negatif, yaitu rasa saling membenci bahkan melaknat. Kondisi demikian tentunya dapat menimbulkan efek negatif dalam proses perjalanan roda kepemimpinannya yang dapat merugikan salah satu bahkan kedua belah pihak, yaitu ketertindasan yang biasanya terjadi pada kalangan rakyat yang dipimpin.
Pernyataan Nabi dalam tentang kriteria seburuk-buruk pemimpin tentu wajar jika ditanggapi dengan pertanyaan oleh para sahabat: apakah mereka boleh menumbangkan seburuk-buruk pemimpin yang dimaksud Nabi. Yang menjadi persoalan adalah jawaban Nabi atas pertanyaan ini yaitu kata “tidak” yang diikuti dengan syarat bahwa pemimpin tadi masih menegakkan (mendirikan) salat. Hal ini menandakan bahwa pemimpin tersebut masih berhak untuk ditaati. Mengapa Nabi mensyaratkan adanya penegakan salat untuk menentukan apakah pemimpin yang buruk tersebut boleh ditentang (ditumbangkan) atau tidak ? Dalam pernyataan Nabi itu tentu mengandung makna mendalam mengenai hubungan antara kepemimpinan seseorang dengan salat ? Lalu apakah makna tersebut ? Padahal seorang pemimpin yang membenci bahkan melaknat rakyatnya dan begitupun sebaliknya dengan sikap rakyat terhadapnya, sangat tipis  kemungkinannya untuk bersedia dan mampu menciptakan kestabilan dan kesejahteraan rakyatnya. Apakah salat dalam hal ini merupakan simbol dari seorang pemimpin yang baik ?
Makna atau maksud sesungguhnya yang ditemukan dari sabda Nabi ini, diharapkan dapat memberi pedoman dan arahan bagi kepemimpinan umat Islam untuk masa kini dan masa yang akan datang. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi bahwa kemunduran umat Islam –sejak Abad Pertengahan- disebabkan oleh kemunduran dalam hal kepemimpinan  akibat kesalahpahaman dalam memahami bagaimana sikap dan pribadi seorang pemimpin yang dimaksud oleh Nabi sebagai suri tauladan terbaik bagi umat Islam.[15]
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an sekaligus penjelas al-Qur’an[16] yang dapat menjadi pegangan hidup umat manusia khususnya umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seorang Nabi tidak mungkin mengatakan sesuatu, yaitu memerintah ataupun melarang sesuatu tanpa ada tujuannya. Semua pernyataan beliau pasti mempunyai alasan dan tidak terlepas dari faktor situasi sosio-historis yang ada pada masyarakat masa Nabi. Dengan demikian, hadis tersebut harus diinterpretasi untuk memperoleh petunjuk Tuhan yang tersembunyi dalam sabda Nabi secara tepat. Oleh karena itu, berbagai pertanyaan berkenaan dengan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat di atas harus ditemukan jawabannya, sehingga kesamaran yang dapat menyebabkan perselisihan karena kesalahpahaman dalam interpretasi teks agama di antara umat Islam menjadi jelas dan permasalahan dapat teratasi.
Permasalahan sebenarnya tidak berhenti sampai pemahaman matan hadis saja, namun akan berlanjut ketika normativitas hadis harus dihadapkan dengan realitas dan tuntutan historisitas perkembangan zaman. Masalah ini akan bertambah karena sebuah teks atau matan hadis bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah, vacum historis[17], melainkan di balik sebuah teks atau matan sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan merekonstruksi makna sebuah hadis sehingga sesuai dengan tuntutan dan perkembangan humanitas kontemporer.
Jika dihadapkan dengan kondisi kekinian, yaitu pada realitas kepemimpinan yang terjadi dalam masyarakat, bagaimana kontekstualisasi hadis tersebut ? Ketika ada pemimpin yang berkualitas baik, sedikit baik, ada pemimpin buruk, sedikit buruk bahkan pemimpin abnormal yang sakit secara sosial –yang egoistis, overkompensatoris, sadistis, maha serakah, kejam, merajalela, neurotis, koruptif- dan pasti akan menyebarkan penyakitnya serta menimbulkan banyak kepedihan dan kesengsaraan di kalangan luas, bagaimana konsekuensi yang terjadi jika dilihat melalui “kacamata” hadis ini ? Terlebih lagi  melihat jumlah pemimpin abnormal ini semakin meningkat pada zaman sekarang terutama di Indonesia.[18] Upaya kontekstualisasi ini dilakukan untuk menghidupkan kembali "ruh" hadis dalam segala dimensi ruang dan waktu dalam kehidupan manusia, sehingga benar-benar menjadi rah}matan li al-'alamin,| bukan hanya sekedar goresan tinta di atas kumpulan kertas yang hanya memenuhi koleksi perpustakaan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana kandungan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat ?
2.      Bagaimana hubungan antara kepemimpinan dan salat yang dimaksud dalam hadis tersebut ?
3.      Bagaimana kontekstualisasi hadis terhadap realitas kekinian ?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami kandungan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat, mengetahui hubungan antara kepemimpinan dan salat yang dimaksud hadis serta  untuk mengetahui kontekstualisasi hadis itu terhadap realitas kekinian.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah memberi pengertian kepada masyarakat Islam tentang bagaimana seharusnya ihwal seorang pemimpin dan yang dipimpin (rakyat) yang sesuai dengan ajaran Islam yang disampaikan melalui hadis Nabi. Di samping itu, penelitian ini diadakan untuk menambah khazanah keilmuan terutama di bidang Ma’ani al-H}adis|.

Telaah Pustaka

Pembahasan tentang kepemimpinan dan salat memang cukup banyak. Namun, mayoritas dari tulisan-tulisan yang ada membahasnya secara terpisah. Adapun tulisan yang mengkajinya secara bersamaan, penyajian dalam  pembahasan terlalu singkat dan kurang memadai.
Tulisan-tulisan tentang masalah kepemimpinan yang ditemukan, mayoritas membahas kepemimpinan dalam pemerintahan sebagai bagian dalam masalah negara. Masalah kepemimpinan yang diangkat dalam tulisan-tulisan ini dibahas secara umum saja. Berikut tulisan-tulisan yang membahas masalah kepemimpinan dan salat.    
Al-Nawawi, dalam kitab syarahnya terhadap S}ah}ih} Muslim, membahas hadis yang diteliti ini. Namun pembahasannya lebih mengarah kepada penjelasan sanad. Adapun pada penjelasan matannya, al-Nawawi hanya mengartikan kata yus}alluna dengan doa.[19] Jika dibandingkan dengan penjelasan hadis yang diberikan oleh Imam Muslim sendiri dalam kitab S}ah}ih}-nya, maka penjelasan Imam Muslim lebih lengkap.[20] 
Karya Ali Ahmad al-Sulus yang berjudul Imamah dan Khilafah, memaparkan pemikiran-pemikiran tentang konsep Imamah dan khilafah menurut Jumhur dan berbagai madzhab Islam serta perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah terhadap masalah ini.[21] Tidak terdapat pembahasan tentang kepemimpinan berdasarkan pemahaman hadis yang diteliti ini.
Sedangkan dalam Imamah dan Khilafah karya Murtadha Muthahhari memaparkan konsep imam dan khalifah yang cenderung berorientasi kepada ajaran Syi’ah. Menurut Syi'ah, kedudukan imam dan khalifah umat Islam hanya diberikan kepada Ali dan keturunannya berdasarkan hadis S|aqalain, dan mereka maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). [22]
Al-Mubarak dalam tulisannya yang berjudul Nizam al-Islam: al-Mulk wa al-Daulah menguraikan beberapa prinsip dan dasar Islam tentang pemerintahan dan pendirian negara berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.[23] Di dalamnya juga mengulas masalah pemimpin pemerintahan.
Dalam buku Islam and Government Sistem: Teaching, History and Reflection yang ditulis oleh Munawir Sjadzali, membahas tentang hubungan antara Islam dan struktur negara (politik) yaitu pemerintahan dengan menengok bagaimana kepemimpinan dalam pemerintahan pada masa Nabi SAW., Khulafa' al-Rasyidin dan sesudahnya. Selain itu, buku ini membahas tokoh-tokoh ulama dan pemikirannya dalam masalah kepemimpinan dari zaman klasik hingga kontemporer.[24]
Sedangkan dalam Islam and Development : A Politico-Religious Response”yang merupakan kumpulan tulisan-tulisan oleh Sri Mulyati dkk. mengetengahkan berbagai pemikiran tokoh-tokoh Islam tentang negara, politik dan perkembangan pergerakan-pergerakan di dunia dan di Indonesia.[25]
Zainal Abidin Ahmad dalam tulisannya Konsepsi Negara Bermoral menurut Imam al-Ghazali, mengetengahkan teori-teori dan konsepsi-konsepsi kenegaraan menurut Imam al-Gazali yang bernuansa tasawuf. Dalam tulisan ini, hadis yang diteliti ini tercantum, namun dengan redaksi yang tidak lengkap disertai penjelasan hadis yang minim.[26]
Adapun Fuad Mohammad Fachruddin dalam tulisannya Pemikiran Politik Islam  sedikit menyinggung masalah hubungan antara salat dan negara. Namun pembahasannya terlalu singkat dan hal inipun ditempatkan pada bab Pendahuluan tulisannya. Dalam pembahasan juga tidak menyinggung hadis yang diteliti ini.[27]
Ihwanuddin dalam skripsinya yang berjudul “Konsepsi Kepemimpinan dalam Sahih al-Bukhari : Kajian atas Sanad dan Matan Hadis” mengetengahkan pembahasan konsep kepemimpinan dari hadis-hadis tentang kepemimpinan yang terdapat dalam kitab S}ah}ih} Bukhari. Pembahasan ini meliputi penelitian terhadap sanad dan matan hadis. Ihwanuddin menyatakan bahwa hadis-hadis tersebut sahih baik sanad maupun matannya. Sedangkan kandungan dalam matannya mengindikasikan bahwa rakyat harus taat kepada pemimpinnya dalam hal kebajikan dan amar ma’ruf. Apabila terdapat hal yang tidak menyenangkan dalam kepemimpinannya, maka rakyat harus bersabar tanpa membangkang.[28]
Sedangkan Hendrik Imran dalam skripsinya “Hadis-hadis tentang Kepemimpinan dari Suku Quraisy : Studi Kritik Sanad dan Matan” membahas validitas hadis berdasarkan sanad dan matannya, serta bagaimana makna yang dikandung hadis. Dalam pembahasannya ditemukan bahwa kepemimpinan dari suku Quraisy sama sekali tidak dimaksudkan sebagai syarat mutlak bagi jabatan pimpinan negara yang diterapkan oleh Nabi SAW. dan mengikat kepada umat secara permanen.[29]   
Hadari Nawawi dalam bukunya Kepemimpinan Menurut Islam hanya membahas masalah kepemimpinan Islam secara umum.[30] Sedangkan Muhadi Zainuddin dan Abdul Mustaqim dalam karyanya Studi Kepemimpinan Islam : Telaah Normatif dan Historis membahas pengertian kepemimpinan menurut kacamata al-Qur’an dan hadis dan memahami konsep kepemimpinan melalui sejarah Islam yaitu mulai kepemimpinan Nabi SAW., Khulafa' al-Rasyidin hingga Daulah Abbasiyyah.[31]
Tulisan-tulisan di atas merupakan tulisan yang membahas masalah kepemimpinan. Adapun tulisan-tulisan yang berkaitan dengan salat adalah sebagai berikut.
Psikologi Shalat yang merupakan karya Sentot Haryanto membahas salat dari segi sejarahnya, yaitu peristiwa Isra’ Mi’raj yang pada saat itu kewajiban melaksanakan salat bagi umat Islam langsung disampaikan Allah kepada Nabi SAW. tanpa adanya perantara.[32] Salat juga dibahas dari segi psikologis dan religiusnya. Dalam pembahasan ini dikatakan bahwa salat sangat berpengaruh positif bagi jiwa dan raga pelakunya serta mampu membentuk manusia yang bersih. Buku ini memaparkan pula bahwa di balik salat berjama’ah mengandung keistimewaan terutama dalam terapi lingkungan dan kebersamaan.[33]
Mahmud Muhammad Thaha dalam bukunya Salat Perdamaian : Risalah Kebebasan Individu dan Keadilan Sosial membahas salat melalui pendekatan sufistik. Bagi Mahmud, salat bukanlah sekedar gerakan, tapi juga pengetahuan dan sikap. Kedamaian di hati diwujudkan melalui salat yang benar, sadar dan dewasa. Kedamaian di masyarakat pun diwujudkan melalui salat. Salat adalah refleksi, pengoyakan selubung yang menutupi mata dan hati. Implikasi dari pembahasan ini adalah untuk mewujudkan Islam yang hanif, toleran dan damai.[34]
   Casmini dalam artikelnya berjudul “Keistimewaan Salat Ditinjau dari Aspek Psikologi dan Agama” mengungkapkan bahwa salat selain menjadi barometer ketaatan dan penginsyafan seorang hamba pada Sang Khalik, juga mempunyai keistimewaan, yaitu pada peristiwa Isra’ Mi’raj disampaikan perintah Allah kepada Nabi secara langsung tentang kewajiban salat bagi kaum muslimin, dan keistimewaan salat dalam melindungi jiwa agar senantiasa bersih dan suci.[35]
Ahmad Fadhil Nasrullah dalam bukunya Celaka Orang yang Salat hanya memaparkan penafsirannya tentang ayat-ayat al-Qur’an dalam surat al-Ma’un terutama pada ayat yang menyatakan : “celakalah orang-orang yang salat”.[36]
Tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan salat yang dikemukakan di atas  tidak ada yang mengupas masalah kepemimpinan yang dikaitkan dengan salat secara khusus, terlebih lagi penelitian atas hadis tentang  seburuk-buruknya pemimpin selama menegakkan salat. Adapun sejauh pengamatan penulis, penelitian tentang korelasi antara kepemimpinan dan salat yang merupakan sebuah kajian ma‘ani al-h}adis| terhadap hadis yang bersangkutan  belum diadakan. Oleh karena itu, penelitian ini perlu diadakan dan tulisan inilah sebagai realisasinya.

Metode Penelitian

Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan secara optimal.[37] Berikut penulis paparkan metode yang digunakan dalam penelitian ini.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas.
Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu data yang telah terkumpul diolah kemudian diuraikan secara obyektif untuk dianalisis secara konseptual dengan menggunakan metode ma‘ani al-h}adis|, yakni pemaknaan dan interpretasi terhadap matan hadis dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
Teknik Pengumpulan Data
Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah mengkaji dan menelaah berbagai kitab hadis, kitab syarah, kitab ilmu hadis, buku, artikel dan sumber lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini, baik yang bersifat primer maupun sekunder.
Sumber Data
Setelah ditelusuri dalam kitab-kitab hadis dengan menggunakan kitab Miftah Kunuz al-Sunnah [38] melalui tema hadis dan al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz} al-H}adis| al-Nabawi [39] melalui kata-kata dalam matan hadis dan dibantu penelusuran hadis melalui CD Mausu‘ah al-H}adis| al-Syarif [40] dengan metode penelusuran lewat topik atau tema hadis dan penelusuran lewat kata awal dalam matan hadis, hadis tentang  seburuk-buruknya pemimpin selama menegakkan salat terdapat dalam kitab S}ah}ih} MuslimMusnad Ah}mad bin H}anbal dan Sunan al-Darimi. Dengan demikian, sumber data primer dalam penelitian ini adalah ketiga kitab ini. Sedangkan sumber data sekunder adalah kitab-kitab hadis dan syarah hadis,  buku, artikel dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan topik yang dibahas, untuk membantu dalam pemahaman hadis dan kontekstualisasinya.
Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data yang masih mentah. Oleh karena itu, perlu diadakan analisis terhadap data-data tersebut. Dalam menganalisis data ini, langkah-langkah yang diambil penulis adalah sebagai berikut.[41]
a.       Kritik Historis, yaitu analisis keotentikan hadis untuk menentukan validitas dan otentisitas hadis dari segi sanad dan matan dengan menggunakan kaedah kesahihan yang telah ditetapkan oleh para ulama.
b.      Kritik Eidetis, yaitu berupa proses pemahaman yang memuat tiga langkah utama:
1)      Analisis matan, yaitu menjelaskan makna hadis setelah ditetapkan derajat otentisitas hadis yang meliputi tiga tahap.
a)      Kajian konfirmatif terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang relevan dengan tema hadis, untuk memperoleh petunjuk di dalamnya.
b)      Kajian Tematik Komprehensif, yakni mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema yang relevan dengan tema hadis yang bersangkutan, dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.
c)      Kajian linguistik, berupa kajian terhadap teks hadis dengan menggunakan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab, misalnya menyangkut bentuk kata dan arti kata.
2)      Analisis realitas historis. Dalam tahapan ini, makna atau arti suatu pernyataan dipahami dengan melakukan kajian atas realitas, situasi atau problema historis ketika pernyataan sebuah hadis muncul, baik situasi makro maupun mikro.
3)      Analisis Generalisasi, yaitu analisis untuk menangkap makna universal yang tercakup dalam hadis.
c.       Kritik Praksis, yaitu menganalisis perubahan makna hadis yang diperoleh dari proses generalisasi ke dalam realitas kehidupan saat ini, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika hukum dan kemasyarakatan. Analisis tahap ini juga dikenal dengan nama kontekstualisasi hadis  (proyeksi hadis) terhadap realitas kekinian.

Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dimulai dengan Bab I yaitu Pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.
Sedangkan pada Bab II dibahas masalah tentang konsep kepemimpinan dan salat. Pembahasan ini mengulas pengertian tentang kepemimpinan dan salat, yang akan memberi gambaran tentang topik kepemimpinan dan salat, sebagai pegangan sebelum memasuki pembahasan berikutnya di Bab III.
Pembahasan pada Bab III berupa interpretasi hadis sehingga kandungan hadis dapat dipahami secara tepat. Pembahasan ini meliputi tinjauan redaksional hadis-hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat. Dilanjutkan pada analisis keotentikan hadis dari segi sanad dan matan, analisis matan hadis meliputi kajian konfirmatif, kajian tematik-komprehensif, kajian linguistik dan kajian realitas-historis, dan diakhiri dengan generalisasi kandungan  hadis.
Bab IV mengemukakan kontekstualisasi hadis terhadap realitas kekinian, yaitu berupa analisis perubahan makna hadis yang diperoleh dari generalisasi makna hadis ke dalam realitas kehidupan saat ini, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika politik dan kemasyarakatan.
Pembahasan dalam penelitian ini diakhiri dengan Bab V yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dihasilkan merupakan jawaban atas rumusan masalah yang dikemukakan penulis pada Bab I.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: HADIS-HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SALAT
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net