• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
no image

GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

GADAI TANAH  MASYARAKAT BUGIS

Oleh Team www.seowaps.com
BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

            Agama Islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggarakan tatacara kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubugan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan khaliq-Nya.
            Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup manusia. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global, yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia baik yang meliputi aspek ritual (ibadah) maupun sosial (mualamah). Dengan demikian akan dapat digali (diistimbat) berbagai pemecahan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan manusia.
            Dalam menjawab permasalahan yang timbul nampaknya peranan hukum Islam dalam era moderen dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat lagi  dihindarkan. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring dengan berkembangnya zaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta dapat memberikan kemaslahatan  bagi umat manusia.
            Oleh karena itu dalam hubungan antara sesama manusia diberi kebebasan untuk berijtihad sepanjang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana yang dinyatakan dalam suatu hadis Nabi SAW :
أنتم أعـلم بأمـوردنـياكم([1]                                                                        Dengan dasar ini maka manusia diberi kebebasan untuk mengatur segala kebutuhan hidupnya yang serba dinamis asalkan aturan itu tidak bertentangan dengan nas maupun maksud syar’i.     
            Agama Islam mengajarkan kepada umatnya agar supaya hidup saling tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman.
            Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan  kreditur, jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, maka barang jaminan boleh dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam Fiqih Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.[2])
                Salah satu bentuk muamalah yang disyari’atkan oleh Allah adalah Gadai berdasarkan firman Allah sebagai berikut :
وان كـنـتم عـلي سفـر ولم تجـد وا كاتبا فـرهـن مـقــبـو ضـة فان ا مـن بـعـضكـم بـعـضـا فـلـيـوء د الـذ ي  اوء تـمـن امـا نـتـه و لـيـتـق االله  ولاتـكــتمـوا الشــهـا دة و مـن يـكـتـمـهـا فـا نـه ا ثـم قـاـبـه وا الله بـمـا تـعــمـلـو ن عــلـيم ([3]                                                                                                       
            Gadai  merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang,  untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Praktek seperti ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-menolong.
            Dalam masalah gadai, Islam telah mengaturnya seperti yang telah diungkapkan oleh ulama fiqh, baik mengenai rukun, syarat, dasar hukum maupun tentang pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai yang semua itu bisa dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan dari aturan yang ada.
            Gadai atau ar-rahn dalam bahasa Arab (arti lughat) berarti al-s|ubut wa al-dawam (tetap dan kekal). Sebahagian ulama lughat memberi arti ar-rahn dengan al-habs (tertahan)[4])
Menurut Ahmad Azhar Basyir gadai menurut istilah ialah :
Menjadikan benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang ; dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[5])

Sedangkan unsur-unsur gadai (rahn) adalah orang yang menyerahkan barang gadai disebut rahi>n, orang yang menerima (menahan) barang gadai disebut murtahin. Barang gadai disebut Marhu>n dan sigat akad.[6])
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa gadai adalah penahanan suatu barang atau jaminan atas utang, jika utang sudah dilunasi maka jaminan itu akan dikembalikan kepada yang punya. 
Di masyarakat Indonesia praktek gadai mengalami perkembangan yang sangat pesat karena mengadaikan benda (barang) baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jalan keluar bagi orang-orang yang membutuhkan  bantuan. Dalam masyarakat adat sering terjadi suatu perbuatan untuk mengadaikan tanah (sawah). Di dalam hukum adat gadai tanah biasa dikenal dengan istilah jual gadai. Jual gadai merupakan penyerahan tanah dengan pembayaran kontan, dengan ketentuan sipenjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.[7]) Gadai tanah tidak dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum perdata karena tanah merupakan benda tak bergerak dikategorikan dalam hipotik.
Setelah undang-undang pokok agraria berlaku maka gadai diatur dalam PERPU No. 56 Tahun 1960 tentang “ PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN”.[8]) 
Selanjutnya penyusun akan menggambarkan pelaksanaan praktek gadai tanah sawah yang ada di masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng kebupaten Sidrap.
Kecamatan Watang Sidenreng secara geografis termasuk daerah yang subur bila dilihat dari tanah dan pengairan yang berasal dari sungai Saddang di kabupaten Pinrang, sehingga sawah mampu panen dua kali dalam setahun.
Masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng mayoritas beragama Islam. Akan tetapi masih perlu adanya peningkatan kualitas keagamaan, karena pada umumnya mereka belum mementingkan akan pentingnya pendidikan. Hal ini terjadi dalam praktek gadai tanah sawah (masyarakat Watang Sidenreng menyebutnya Nappakateniang). Menurut penyusun perlu adanya penelitian karena status gadai tersebut belum jelas. Dalam praktek gadai tersebut Murtahin (penerima gadai) diperbolehkan mengambil manfaat dari sawah rahin (yang menggadaikan).
Di dalam masyarakat Bugis terutama di kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan sering kali terjadi transaksi utang piutang yang mana tanah dijadikan sebagai barang jaminan atas utang mereka. Menurut pengamatan penyusun praktek gadai  dalam masyarakat tersebut terdapat hal yang bisa menyebabkan penggadai (pemilik tanah) rugi, karena penerima gadai sering kali mendapat keuntungan yang lebih besar dari pada uang yang dipinjamkan.
Selain itu tidak adanya ketetapan diantara kedua belak pihak tentang masa waktu/jangka waktu gadai tersebut, sehingga penerima gadai akan mengembalikan tanah gadai tersebut sampai pemiliknya mampu melunasi utangnya. Dengan praktek yang semacam itu maka akan terjadi keuntungan yang lebih besar bagi penerima gadai (Murtahin).
Praktek jual gadai dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap dilakukan dengan cara : si A sebagai orang yang ingin mengadaikan tanahnya (sawah) datang kepada si B dengan maksud untuk meminjam uang. Dalam transaksi tersebut si A memberikan tanah (sawah) sebagai jaminan utangnya. Namun di dalam perjanjian itu tidak disepakati tentang siapa yang akan mengelolah tanah (sawah) tersebut. Tetapi pada kenyataannya yang mengelolah tanah (sawah) tersebut adalah si B (Murtahin).
Dalam praktek gadai tersebut murtahin (penerima gadai) mengambil manfaat dari sawahnya rahin. Dalam fiqh Mu’amalah dijelaskan bahwa :
Hak murtahin kepada marhun hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mengandung nilai, tidak pada penggunaan dan pemungutan hasilnya.[9]

Oleh karena itu peneliti ingin mengadakan penelitian dengan tema gadai tanah pada masyarakat bugis dalam perspektif hukum Islam dan selanjutnya akan dianalisis dari segi hukum adat dan hukum Islam. Disamping itu juga untuk mengetahui apakah pemanfaatan barang gadai (tanah gadai) tersebut sesuai dengan norma-norma dalam ajaran Islam?.

B. Pokok Masalah.
Dari dasar pemikiran tersebut di atas, maka dapat ditarik pokok masalah, yakni sebagai berikut :   
1.      Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktek gadai tanah serta pemanfaatannya dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan?

 

C. Tujuan dan Kegunaan

  1. Tujuan Penelitian adalah :
    1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang  gadai tanah dalam masyarakat Bugis di Kecamatan watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.
    2. Untuk menjelaskan pemanfaatan tanah gadai dalam perspektif hukum Islam.
  2. Kegunaan Penelitan adalah :
    1. Penelitan ini diharapkan dapat menambah khasana keilmuan Islam khususnya tentang konsep gadai terutama gadai tanah.
    2. Juga dapat dimanfaatkan untuk merumuskan program pembinaan dan pemantapan kehidupan beragama, yang berkenaan dengan perkara mu’amalah, khususnya dalam praktek gadai tanah.

D. Telaah Pustaka

            Beberapa karya tulis  yang membahas tentang gadai tanah ini sudah banyak, diantaranya adalah karya Iman Sudiyat dengan judul Hukum Adat, Sketsa Asas, Dan karya Muhammad dan Sholikul Hadi dengan judul  Pegadaian Syariah. Kedua buku tersebut merupakan proyeksi perbandingan antara Hukum Adat, dan Hukum Islam. Diantara pembahasan dari kedua buku tersebut adalah tentang hukum tanah, Transaksi Tanah, Transaksi yang berhubungan dengan tanah, Konsep dan asas legal pegadaian syariah (Rahn) dan Pegadaian dalam perspektif Islam.
            Karya-karya lain yang penyusun dapatkan adalah Karya Dr. H. Chuzaimah T. Yanggo dan Drs. HA. Hafiz Anshary AZ, MA dengan judul Problematika Hukum Islam Kontemporer buku ketiga. Karya Prof Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan SH dengan judul Hukum Perdata : Hukum Benda. Karya-karya di atas menghasilkan hasilkan suatu kajian yang menyeluruh dan utuh serta kritis dan falid.
            Selain itu karya yang lain adalah Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq. Menurur beliau barang gadai tidak boleh dimanfaatkan barangnya, kecuali jika yang digadai itu berbentuk binatang, ia boleh memanfaatkan sebagai imbalan memberi makan binatang tersebut.[10])
            Tindakan memanfaatkan barang gadaian adalah tak ubahnya  qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba. Ini sesuai hadis Nabi SAW :
كل قـر ض مـنـفـعـة فـهـو ربـا([11]                                                                                              Menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mugny menyebutkan sebagai berikut :
“Penerima gadai tidak boleh menerima hasil dari atau manfaat dari gadaian sedikitpun kecuali dari yang bisa ditunggangi dan diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan”[12])

Di sini penyusun tidak terlalu banyak mungkin untuk menyebutkan buku-buku apa saja yang ditelaah dalam membatu penyusunan penelitian ini. Karena menurut penyusun yang namanya telaah pustaka adalah hasil penelitian orang lain yang sudah pernah meneliti dalam kasus yang sama tapi di tempat atau permasalahan yang berbeda.

Adapun penelitian yang sudah pernah dilakukan dalam tenggang yang sama  ada beberapa skripsi yang penyusun telah baca, diantaranya adalah :
Skripsi Antoni Eka Putra, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Gadai Tanah Sawah di Desa Talang Kecamatan Perwakilan Mungka kab. 50 Kota Sumatera Barat”, hanya membahas tentang batasan waktu yang tidak terjadi dalam praktek gadai tanah sawah kemudian dianalisis. Skripsi tersebut tidak membahas masalah yang sedang penyusun bahas.
Skripsi Arifatul Latifah, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Gadai Tanah Sawah di Desa Gondowangi Kec. Sawangan, Magelang, Jawa Tengah”, hanya menjelaskan kategori sistem gadai yang memerlukan pembiayaan dan dimanfaatkan oleh penerima gadai.
Melihat dari dua uraian skripsi di atas serta sekian banyak buku yang penyusun baca, belum terdapat pembahasan mengenai praktek gadai tanah (sawah) pada masyarakat Bugis terutama di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, sehingga kami mengambil keputusan untuk melakukan penelitian tentang hal tersebut di daerah setempat. Dengan demikian penelitian ini layak untuk dilakukan.

E. Kerangka  Teoritik.
            Gadai adalah merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu pinjaman barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[13])
            Sedangkan menurut hukum Islam gadai diistilakan dengan “rahn” dan dapat juga dinamai dengan “al-habsu” Secara etimologi kata rahn berarti “tetap atau lestari”, sedangkan al-habsu berarti “penahanan”. Adapun pengertian yang terkandung dalam istilah tersebut “ menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya tersebut. Demikian menurut defenisi para ulama.[14])
            Menurut pengertian di atas terutama gadai dalam kitab undang-undang hukum perdata dijelaskan bahwa benda yang dapat dijadikan barang gadai adalah benda bergerak baik yang bertubuh maupun tidak bertubuh. Sedangkan benda yang tidak bergerak tidak dapat digadaikan. Perbedaan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak dalam kitab undang-undang hukum perdata mempunyai konsekuensi dimana lembaga jaminan juga dibagi dua yaitu gadai untuk benda bergerak sedangkan hipotik untuk benda tidak bergerak.[15])
             Sebenarnya pengertian gadai dan hipotik itu mempunyai pengertian yang sama, hanya saja bedanya kalau gadai dapat diberikan melulu atas benda-benda yang bergerak, sedangkan hipotik hanya melulu atas benda-benda yang tidak bergerak. Kedua hal kebendaan ini (gadai dan hipotik) memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan sebagai jaminan bagi hutang seseorang semata.[16])
            Secara umum gadai merupakan tindakan atau perbuatan dalam bidang perekonomian. Orang yang menggadaikan suatu barang mendapatkan uang sebagai imbalannya, uang tersebut merupakan utang dengan jaminan barang yang diserahkan kepada kreditur. Kegiatan perekonomian terutama perekonomian syari’ah tidak terbatas hanya merujuk pada bebasnya dari suatu riba, garar, dan maisir. Para ahli ekonomi Islam dan fuqaha mendiskusikan  tentang perekonomian yang Islami dengan menyepakati bahwa perekonomian Islam harus memenuhi sekurang-kurangnya dua kreteria, yaitu :
  1. Diselenggarakan dengan tidak melanggar rambu-rambu syari’ah.
  2. membantu mencapai tujuan sosio-ekonomi umat dan masyarakat dengan berdasar pada ajaran agama.
Dalam prakteknya pelaku bisnis harus memperhatikan segala tindakannya apakah berada dalam bingkai ajaran Islam dengan memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etika atau bahkan sebaliknya. Karena hal ini sangat berimplikasi pada seluruh aspek kehidupan manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu kegiatan ekonomi (Muamalah) Islam, termasuk di dalamnya gadai (gadai tanah) harus didasarkan pada empat prinsip muamalah, yaitu :
  1. Pada dasarnya, segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan sunah Rasul.
  2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
  3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam kehidupan masyarakat.
  4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.[17])
Disamping itu pada dasarnya Islam memberi kebebasan pada seseorang untuk melakukan akad (perjanjian). Kebebasan itu sepanjang tidak melanggar aturan umum dan nilai kesusilaan. Oleh karena itu dikenal kaedah ushul fiqh yang berbunyi :
الاصل في العقدرضي المتعاقد ين و نتجته ما التزما ه با لتعاقد([18]                                      
Maksud dari qaidah tersebut adalah bahwa seseorang tidak harus terkait dengan rumusan-rumusan perjanjian yang telah ditetapkan nash, atau bahkan formulasi akad para ulama klasik. Atas dasar itu, maka tidak menutup kemungkinan dilakukan perjanjian gadai, baik itu gadai terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
Gadai tanah (benda tidak bergerak), sebagaimana yang berlaku dalam hukum perdata dan hukum adat di Indonesia, tidak ditemukan secara khusus yang membahas dalam fiqh. Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripannya dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun hanya dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu.[19])

Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual beli gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripan dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfatkannya dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn (Jaminan) adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. [20])

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan (Field Reseach). Penelitian ini dilaksanakan di Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan khususnya di kecamatan Watang Sidenreng, kabupaten Sidrap.

  1. Sifat Penelitian
Penelitian ini dilihat dari sifatnya termasuk penelitian deskriptif-analitik, yaitu penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan, menggambarkan dan menguraikan suatu masalah (Gadai Tanah) secara obyektif dari obyek yang diselidiki tersebut[21]). Yaitu praktek gadai tanah sawah yang dilakukan dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng. Selanjutnya, guna mendapatkan manfaat yang lebih luas, maka data yang telah didapatkan tersebut dianalisis dan diagnosis menggunakan metode normatif untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas tentang gadai tanah dalam hukum Islam.
  1. Pendekatan Masalah.
Pendekatan yang digunakan adalah normatif, pendekatan ini dapat didefenisikan sebagai berikut :
    1. Normatif, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat suatu masalah yang dikaitkan dengan keadaan yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini adalah gadai tanah yang terjadi di kecamatan Watang Sidenreng yang telah menjadi adat kebiasaan.
  1. Teknik Pengumpulan data.
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik  fenomena-fenomena yang diselidiki.[22]) Ini penyusun gunakan untuk memperoleh data yang diperlukan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam melakukan observasi selama penelitian ini dilaksanakan, terjadi praktek gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat.
            b. Wawancara
Dilakukan sebagai pelengkap untuk memperoleh data dengan memakai pokok-pokok wawancara sebagai pedoman agar wawancara terarah. Wawancara ini dilakukan dengan mengambil responden dari pihak penggadai dan penerima gadai, dan sebagai informannya adalah tokoh masyarakat setempat dan pihak pemerintah agar wawancara ini lebih kuat.
      c. Dokumentasi
Pengumpulan data dengan cara mengambil data dari dokumen yang merupakan suatu pencatatan formal dengan bukti otentik.
d. Populasi dan Penentuan Sampel.
1.      Populasi
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah para penggadai dan penerima gadai yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng khususnya di 3 kelurahan yaitu kelurahan Empagae, Sidenreng dan kelurahan Kanyuara. Karena di kecamatan Watang Sidenreng karakter masyarakat dan perilaku dalam praktek gadai tanah sawah hampir sama.
2.      Penentuan Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling, yaitu cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi yang dijadikan obyek penelitian, penyusun menggunakan.[23]) Penelitian ini mengambil Sampel dari populasi yaitu penggadai dan penerima gadai yang ada di kelurahan Empagae, Sidenreng dan Kanyuara kecamatan Watang Sidenreng masing-masing 10 orang. Penyusun menggunakan non-random sampling karena tidak semua populasi melaksanakan praktek gadai tanah sawah.
             e. Angket.
Untuk mengetahui lebih mendalam praktek gadai tanah sawah di kecamatan Watang Sidenreng penyusun menggunakan angket yang diberikan kepada masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat memberikan jawaban atas pertanyaan dalam angket tersebut. Jumlah angket seluruhnya ada 60 buah dan setiap kelurahan 20 buah. Penggunaan angket dalam penelitian ini untuk memperkuat pengamatan dan wawancara yang penyusun lakukan.
  1. Analisis Data.
Setelah data mengenai gadai tanah terkumpul, maka kemudian dilakukan analisis dan diagnosis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan cara menganalisis data tanpa mempergunakan perhitungan angka-angka melainkan mempergunakan sumber informasi yang relevan untuk memperlengkap data yang penyusun inginkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keadaaan dan kondisi masyarakat tersebut mempengaruhi eksistensi kasus-kasus yang ada dalam data yang didapatkan tersebut. Selanjutnya, data yang terhimpun tersebut dianalisis berdasarkan hukum Islam. Dengan metode analisis data seperti ini diharapkan akan didapatkan suatu kesimpulan akhir mengenai status gadai tanah dalam perspektif hukum Islam dari kasus yang ada dalam data tersebut.

G. Sistematika Pembahasan.
            Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab. Sistematika pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :
            Untuk bab pertama, adalah membicarakan pendahuluhan yang merupakan abstraksi dari keseluruhan isi skripsi ini yang akan menguraikan latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian yang diterapkan serta yang terakhir sistematika pembahasan.
            Pada bab dua, membahas gambaran umum gadai menurut hukum Islam. Pada bab ini penyusun mencoba memaparkan tentang pengertian dan dasar hukum gadai menurut hukum Islam, selain itu penyusun juga menjelaskan tentang mekanisme pelaksanaan gadai dan pemanfaatan barang gadai menurut hukum Islam. Nilai penting dari pembahasan ini adalah sebagai kerangka dasar tentang gadai, juga dijadikan alat analisis dan diagnosis pada pembahasan inti dalam penelitian ini.
            Kemudian bab tiga, bab ini penyusun membahas deskripsi  daerah penelitian yang meliputi keadaan geografis, demografi,ekonomi, pendidikan dan keagamaan dan data obyektif di lapangan yaitu praktek yang dilakukan masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap dalam melakukan gadai tanah. Pada bab ini juga akan dibahas tentang mekanisme pelaksanaan gadai tanah dalam masyarkat tersebut. Selain itu juga akan dibahas pemanfaatan tanah gadai oleh penerima gadai.
            Bab empat, bab ini membahas tentang analisis pelaksanaan gadai tanah dalam masyarakat tersebut sesuai dengan norma-norma hukum Islam. Dalam bab ini dimuat analisis dari praktek dan mekanisme pelaksanaan gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat bugis di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap serta pemanfaatan tanah gadai menurut hukum Islam.
            Terakhir bab lima, bab ini merupakan penutup yang mana penyusun akan mengambil kesimpulan dari hasil penelitian, dan saran-saran yang dirasa dapat memberikan alternatif bagi solusi masalah-masalah hukum.
           
Selengkapnya SIlahkan >>> DOWNLOAD


Tags: GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
no image

GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP DAN HUKUM ISLAM

GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP DAN HUKUM ISLAM (Sebuah Studi Komparatif)

TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP
 Oleh Team www.seowaps.com

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Setiap individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup dan hidup sebagai manusia. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut maka masing-masing individu memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan.
Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan. Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.
Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada.
Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Di satu sisi manusia ingin hidup secara tentram, damai, tertib dan berkeadilan, artinya tidak diganggu oleh hal-hal yang mengandung unsur kejahatan. Upaya untuk meminimalkan tingkat kejahatan pun terus dilakukan, baik yang bersifat preventif maupun represif, yang bersifat preventif misalnya dengan dikeluarkannya peraturan dan undang-undang. Sedangkan yang bersifat represif yaitu adanya hukuman-hukuman terhadap pihak-pihak yang telah melakukan kejahatan ataupun pelanggaran.
Adanya suatu hukuman yang diancamkan kepada seorang pembuat agar orang banyak tidak memperbuat sesuatu jarimah, sebab larangan atau perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun hukuman itu sendiri bukan suatu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pembuat sendiri. Namun hukuman tersebut diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat.[1] Ketika terdapat seseorang yang berbuat jahat kemudian ia dihukum, maka ini merupakan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan.
Di samping itu suatu hukuman yang diancamkan terhadap seorang pelanggar, dalam Islam dimaksudkan agar seseorang tidak melanggar jarimah, sangsi itu sendiri pada intinya adalah bukan supaya si pembuat jarimah itu dapat derita karena pembalasan, akan tetapi bersifat preventif terhadap perbuatan jarimah dan pengajaran serta pendidikan.[2]
Pada masa sekarang ini yang menjadi dasar penjatuhan hukuman ialah rasa keadilan dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan menghendaki agar sesuatu hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan pembuat. Dalam KUHP berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain-lain sudah ada ketentuannya sendiri. Akan tetapi berat ringannya hukuman tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh para hakim. Hal ini berhubungan dengan adanya batas maksimal dan minimal hukuman yang ada dalam KUHP. Kebanyakan para hakim menjatuhkan hukuman mengambil di antara kedua batas tersebut, dan jarang sekali hakim menjatuhkan hukuman maksimal kecuali dalam kasus tertentu.
Bahkan dalam prakteknya seorang hakim atau penuntut umum dalam melakukan tuntutan dianggap terlalu ringan terutama terhadap pelaku-pelaku tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Dalam hal ini tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa baik penuntut umum ataupun hakim diharapkan menuntut dan menjatuhkan hukuman yang setimpal, sehingga mempunyai dampak di samping mempunyai aspirasi dan keadilan masyarakat juga merupakan daya tangkal bagi anggota masyarakat yang mempunyai potensi untuk menjadi pelaku tindak pidana (general deterrent effect).[3]
Dalam kehidupan manusia adakalanya sering kita temukan seseorang melakukan perbuatan jarimah tidak hanya murni satu jenis, terkadang terdapat niat untuk melakukan satu macam jarimah, namun yang terjadi justru beberapa jarimah pun dilakukannya. Sebagai contoh misalnya, pada suatu malam A yang tidak mempunyai SIM bahwa ia boleh mengemudi mobil, menjalankan kendaraannya dalam kota dengan kecepatan yang lebih dari 40 km/jam tanpa memasang lampu. Dalam hal ini A telah mengadakan pelanggaran 1) menjalankan kendaraan tanpa mempunyai SIM, 2) melampaui batas kecepatan mobil yang diperbolehkan dalam kota, dan 3) tidak memasang lampu pada waktu malam hari. Dari kasus ini timbul pertanyaan bagaimanakah hukuman yang harus dijatuhkan? Apakah A itu akan dijatuhi tiga hukuman sekaligus (karena mengadakan tiga pelanggaran) ataukah ia dijatuhi hanya satu hukuman saja tetapi yang diterberat?[4]
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa telah terjadi suatu gabungan melakukan tindak pidana, dimana satu orang telah melakukan beberapa peristiwa pidana. Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum positif sering diistilahkan dengan delik cumulatie atau concursus yang diatur dalam bab VI buku 1 KUHP pasal 63 – 71.
Adanya gabungan peristiwa pidana ini, menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Jadi gabungan pemidanaan ada karena adanya gabungan melakukan tindak pidana di mana masing-masing belum mendapatkan putusan akhir. Dalam sistematika KUHP peraturan tentang perbarengan perbuatan pidana merupakan ketentuan mengenai ukuran dalam menentukan pidana (straftoemeting) yang mempunyai kecenderungan pada pemberatan pidana.[5]
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yaitu:
“Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu-satu dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai, jika pidana berlain maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.

Dari pasal tersebut orang yang melakukan dua atau beberapa tindak pidana sekaligus dapat dikatakan melakukan peristiwa pidana gabungan sebagaimana dimaksud oleh pasal di atas.[6]
Sementara itu dalam hukum Islam gabungan melakukan tindak pidana ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama, sebagaimana diketahui bahwa dalam Syariat Islam terdapat bermacam-macam dan berbeda-beda dalam masalah pidananya, sehingga boleh dikatakan bahwa untuk satu jenis pidana tertentu ada hukumnya tersendiri, seperti mencuri dengan hukuman potong tangan, pembunuhan dengan qishos, zina dengan rajam dan lain-lain. Namun perlu ditinjau kembali bahwa tidak semua peristiwa pidana itu ada ketentuannya dalam nash Al Qur’an maupun Sunnah Rosul. Maka dalam hal ini para hakim diberikan wewenang untuk memberikan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan secara berbarengan atau bersamaan.
Akibat dari adanya perbedaan jenis hukuman itu, menyebabkan orang merasa tidak perlu untuk memikirkan bagaimana cara menerapkan hukuman, jika seseorang sekaligus melakukan lebih dari satu macam peristiwa pidana oleh karena tidak menghadapi kesukaran apa-apa. Dalam hukum Islam dicontohkan dengan kasus pencurian yang diikuti dengan pemerkosaan dan pembunuhan. Dalam hal ini apakah ia akan dijatuhi tiga hukuman sekaligus yaitu hukuman potong tangan, rajam dan kemudian hukuman qishos, ataukah ia hanya akan menjalani salah satu hukuman yang terberat saja yakni hukuman qishos. Para ulamapun berbeda pendapat mengenai bagaimana pemberian hukuman bagi gabungan perbuatan ini.
Bagaimana Islam memandang masalah ini tentu berbeda dengan pandangan KUHP dalam menyelesaikan gabungan perbuatan ini, dimana hal ini berkaitan erat dengan masalah pemberian pidana yang nentinya akan dijatuhkan.
Adanya perbedaan antara hukum Islam dan KUHP dalam menyelesaikan masalah ini menjadikan dasar bagi penyusun untuk mengadakan penelitian lebih lanjut yaitu dengan cara membandingkan antara keduanya sehingga nampak adanya segi-segi persamaan dan perbedaan antara keduanya.


B.     Pokok Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dan agar pembahasan nantinya dapat terarah dengan baik, penyusun perlu mengidentifikasikan pokok-pokok masalah yang perlu dibahas.
Adapun pokok-pokok masalah tersebut adalah:
1.      Ada berapakah teori gabungan melakukan tindak pidana baik dalam hukum Islam maupun KUHP?
2.      Bagaimana pandangan hukum Islam dan KUHP mengenai teori gabungan melakukan tindak pidana?

C.    Tujuan dan Kegunaan
1.      Tujuan
a.       Untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pemberian pidana bagi suatu jarimah ganda baik menurut hukum Islam maupun KUHP.
b.      Untuk memberikan penjelasan yang lebih mendalam tentang teori gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam dan KUHP.

2.      Kegunaan
a.       Untuk memberikan pemahaman baru terhadap masalah-masalah yang perlu diselesaikan dengan mengacu pada pasal-pasal KUHP dan teori-teori yang terdapat dalam hukum Islam mengenai teori gabungan pemidanaan
b.      Untuk menambah sumbangan pemikiran pada khasanah ilmu pengetahuan baik hukum Islam maupun KUHP.
D.    Telaah Pustaka
Gabungan pemidanaan atau hukuman ada manakala terdapat gabungan jarimah atau perbuatan pidana dimana masing-masing perbuatan pidana itu belum mendapatkan keputusan tetap. Perbarengan merupakan bentuk permasalahan yang bertalian dengan pemberian pidana. Utrecht mendefinisikan gabungan dengan satu orang melakukan beberapa peristiwa pidana.[7]
Gabungan melakukan tindak pidana ini juga disebut perbarengan perbuatan pidana, hal ini dijelaskan oleh Sahetapy dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai seseorang yang melakukan gabungan tindak pidana akan dijatuhi hukuman maksimal.
Sedangkan menurut rumusan undang-undang yang dimaksud dengan perbarengan perbuatan pidana ialah seseorang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa peraturan hukum pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing perbuatan berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus dan salah satu dari perbuatan pidana itu belum dijatuhi putusan hakim.[8]
Dalam KUHP dan penjelasannya, gabungan peristiwa pidana ini terdapat dalam pasal 63 sampai 71. Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan, terdapat tiga bentuk gabungan perbuatan pidana dan sistem hukuman yang harus diterapkan. Adapun bentuk-bentuk gabungan yang dimaksud adalah pertama, Concursus Idealis atau Eendaadse Samenloop (gabungan satu perbuatan), kedua, perbuatan yang berkelanjutan (diteruskan) atau Voorgezette Handeling, ketiga, Concursus Realis atau Meerdaadse Samenloop.
Sementara itu Muhammad Anwar dalam bukunya Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama KUHP menjelaskan tentang gabungan melakukan tindak pidana mempunyai dua bentuk yaitu concursus idealis dan concursus realis. Hal ini juga dijelaskan oleh E. Utrecht dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana II.
Mas’ad Ma’shum dalam bukunya Hukum Pidana I membahas mengenai sistem pemidanaan bagi gabungan perbuatan pidana, di dalam buku tersebut juga membahas empat macam cara dalam memberikan hukuman bagi seseorang yang melakukan tindak pidana gabungan, keempat cara tersebut adalah[9] pertama, sistem hisapan (absorbtie stelsel), kedua, sistem hisapan yang diperkeras (verscherpte absorotie stelsel), ketiga, sistem cumulatie yang murni (het zuivere comulatie stelsel), keempat, sistem cumulatie yang terbatas (het gemetigde cumulatie stelsel).
Sementara itu dalam menanggapi gabungan hukuman ini dalam hukum Islam, Abdul Qadir Audah juga menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum syara’ sudah mengenal gabungan hukuman ini, tetapi tidak menggunakannya secara mutlak.
Hukum Islam membatasinya pada dua hal yaitu 1) teori saling memasuki (at-Tadakhul) yaitu hukuman beberapa jarimah tersebut saling masuk memasuki, sebagian masuk pada sebagian yang lain sehingga untuk seluruh jarimah diberikan satu hukuman, 2) teori penyerapan yaitu mencukupkan pelaksanaan hukuman yang pelaksanaannya menghalangi pelaksanaan hukuman lain.[10] Begitu pula M. Hanafi membahas masalah ini dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana Islam.
Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al Fiqh al – Islam Waadillatuhu dijelaskan mengenai gabungan hukuman bagi pelaku tindak pidana gabungan, dimana tindak pidana gabungan itu tidak terlepas dari tiga kategori yaitu pertama, gabungan jarimah dimana semua hukumannya ialah murni hak Allah, kedua, gabungan jarimah dimana semua hukumannya merupakan hak Allah dan sekaligus hak anak manusia, ketiga gabungan jarimah dimana hukumannya merupakan hak anak manusia murni.
Al-Ramli, dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj, sebagaimana dikutib oleh Ahmad Djazuli dalam bukunya Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai gabungan dan penyerapan hukuman. Imam Malik misalnya mengenal teori at-Tadakhul yaitu apabila seseorang melakukan jarimah qadhaf dan minum khamr, sesudah itu tertangkap, menurut teori ini, hukumannya cuma satu, yaitu 80 kali jilid. Alasannya karena jenis dan tujuannya sama.
Sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad, bahwa hukuman mati ini menyerap semua jenis hukuman, demikian pula jika kejahatannya itu berkenaan dengan hak-hak Allah murni. Sedangkan jika kejahatan itu merupakan gabungan antara hak Allah dan hak Adami, maka hukuman yang dijatuhkan adalah hak adami terlebih dahulu, baru hukuman yang berkaitan dengan hak Allah. Menurut Imam Syafi’i, setiap jarimah tidak dapat digabungkan, melainkan harus dijatuhi hukuman satu persatu.[11]
Berdasarkan pada perbedaan pendapat tersebut di atas, dan karena masih minimnya pembahasan secara akademis tentang Gabungan melakukan tindak pidana menurut perspektif Hukum Islam dan KUHP (dalam study komparatif), mendorong penyusun untuk membahas lebih lanjut tentang gabungan hukuman ini dan menurut penyusun kajian ini menjadi sangat penting untuk dibahas.
Sepanjang pengetahuan penyusun ada sebuah skripsi yang membahas mengenai delik gabungan, yang berjudul Pandangan Imam Syafi’i tentang Delik Gabungan dan Akibat Hukumnya yang ditulis oleh Roziqin tahun 2000. Namun skripsi tersebut berbeda dengan yang akan dibahas oleh penulis, karena di dalam skripsi penyusun membahas tentang Gabungan Melakukan Tindak Pidana dalam Perspektif dan Hukum Islam dalam sebuah study komparatif. Jadi penelitian ini jelas berbeda dengan skripsi yang dibahas oleh Roziqin, karena tidak hanya dibahas dalam satu pandangan saja, tetapi dibandingkan antara KUHP dengan Hukum Islam.

E.     Kerangka Teoritik
Arti praktis dari seluruh ketentuan tentang perbarengan makin lama makin berkurang seiring dengan perjalanan waktu. Arti praktis justru sebaliknya sebanding dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam yurisprudensi dan ilmu pengetahuan untuk menjernihkan persoalan-persoalan yang timbul. Alasan makin berkurang arti praktisnya dari ketentuan perbarengan, oleh karena dalam praktek hakim menjatuhkan pidana jauh di bawah ketentuan maksimum yang berlaku. Padahal ketentuan pelanggaran adalah penting terutama untuk menentukan diijinkannya pidana maksimum berdasarkan undang-undang.[12]
Pada dasarnya syariat Islam telah memberikan ketentuan bahwa suatu sangsi bagi suatu perbuatan jarimah adalah dengan satu sangsi. Hal ini telah ditetapkan dalam berbagai ayat al-Qur’an di antaranya yaitu:
ومن جأ بالسيئة فلا يجزى الامثلها وهم لا يظلمون.   [13] 
-  وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسن بالسن والجروح قصاص.        [14]
-  وجزؤ اسيئة سيئة مثلها.  [15]
-  والذين كسيوا السيات جزاء سيئة بمثلها وترهقهم ذلة.  [16]

Dengan ketentuan tersebut di atas maka jelas bahwa dalam hukum Islam telah memberikan aturan perundang-undangan yang mendasar terhadap pelaku kejahatan.
Dalam syari'at Islam sendiri persoalan mengenai gabungan pemidanaan ini masih menjadi perdebatan dikalangan para imam madzhab. Dimana ketiga imam madzhab yakni Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengakui adanya gabungan pemidanaan ini. Sedangkan Imam Syafi’i tidak memberlakukan adanya gabungan pemidanaan ini namun sebagian ulama Syafi’iyah nampaknya memakai teori gabungan melakukan tindak pidana ini. Sedangkan dalam hukum positif ketentuan mengenai gabungan melakukan tindak pidana ini sudah diatur dalam buku 1 KUHP pasal 63 – 71. Sehingga menjadi asumsi dasar penyelesaian skripsi ini adalah mengadakan klarifikasi antara ketetapan hukum yang sudah ada dalam hukum Islam dan KUHP.

F.     Metode Penelitian
Adapun penulisan skipsi ini berdasarkan metode sebagai berikut:
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini berdasarkan pada penelitian literer atau pustaka (library research) yaitu dengan menelusuri berbagai sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang ada yaitu gabungan melakukan tindak pidana yang ditinjau dari KUHP dan hukum Islam.
2.      Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitik yaitu menggambarkan tentang gabungan melakukan tindak pidana dalam KUHP dan hukum Islam, yang selanjutnya dilakukan analisa dari masing-masing hukum tersebut.
3.      Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penyusun menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melihat ketentuan-ketentuan hukum yang ada dengan maksud memberikan penilaian tentang gabungan melakukan tindak pidana dalam pandangan KUHP dan hukum Islam.
4.      Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan yaitu dengan memperoleh data primer dan sekunder.
Data-data primer antara lain Abdul Qadir Audah dengan kitabnya at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamy, Muhammad Abu Zahrah dengan kitabnya al-‘Uqubat: al-jarimah wa al-uqubah fi al Fiqh al Islami, kemudian dari segi hukum positif yaitu KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Sedangkan data sekunder meliputi buku-buku, majalah-majalah, hasil penelitian yang memuat informasi yang relevan dengan pembahasan ini.
5.      Metode Analisis
Dalam menganalisis data yang terkumpul, penyusun menggunakan metode komparatif yaitu menganalisis data dengan membandingkan antara dua hukum yang berbeda yaitu antara KUHP dan hukum Islam mengenai gabungan pemidanaan untuk mencari persamaan dan perbedaan antara keduanya.


G.    Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dapat terarah dengan baik, maka pembahasan ini dibagi dalam beberapa bab dan sub bab.
Bab I merupakan pendahuluan, pendahuluan ini mencakup keseluruhan isi yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, dan metode penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab II merupakan pembahasan mengenai gabungan melakukan tindak pidana (concursus) menurut KUHP, yang berisi tentang pengertian dan dasar hukum, teori gabungan melakukan tindak pidana, dan bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana.
Sedang pada Bab III membahas tentang gabungan melakukan tindak pidana menurut hukum Islam, yang terdiri dari pengertian dan dasar hukum, teori gabungan melakukan tindak pidana, dan bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana.
Kemudian pada Bab IV menjelaskan tentang analisa perbandingan antara hukum pidana positif atau KUHP dengan hukum Islam, yang mencakup letak persamaan dan perbedaan antara kedua hukum tersebut.
Terakhir, Bab V merupakan akhir dari semua pembahasan yang meliputi kesimpulan dan saran.

Selengkapnya Silakan >>> DOWNLOAD
 Tags: GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM  PERSPEKTIF KUHP DAN HUKUM ISLAM
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net