• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
no image

DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara)

DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA 
(Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara) 

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
Oleh Team www.seowaps.com

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
      Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan  mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive pada momen-momen tertentu. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis, maupun Islam.
      Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam.[1] Pada tahun 1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai sampai sekarang. Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang menggunakan sistem multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara.  Berhubung partai politik merupakan salah satu alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan, tidak menutup kemungkinan bahwa pemilu 2004 yang akan datang juga muncul polemik sistem negara apalagi Islam formalis masih berada di ujung kekakalahan.
      Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada  tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah relasi Islam dan negara,[2]  khususnya mengenai sistem negara  apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler ?     
      Penelitian ini mengambil judul "Diskursus Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid[3] tentang Relasi Islam dan Negara)," penyusun lebih memfokuskan pada dua tokoh ini yang tentunya telah banyak mewarnai wacana perdebatan Islam dan Negara sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia sampai saat ini.
      Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.[4]
      Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis, dalam hal ini penyusun lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh modernis, sedangkan Gus Dur sebagai tokoh neo-modernis (meminjam istilah Greg Barton), ini karena pemikirannya yang liberal dan rasional tentang isu kontemporer (baik itu politik, budaya dan agama) dengan tetap  setia pada posisi konservatif-tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran al-Qur'an tidak perlu diganggu gugat.[5]   
      Kedua tokoh ini menarik untuk dikaji. Pertama, secara umum keduanya masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu integratif modernis tetapi beda pendapat mengenai relasi Islam dan negara, khususnya azas negara, apalagi  kelompok (background) yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan dan prilaku politik tokoh tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan kaum tradisionalis,[6] yaitu NU yang nota bene orientasi politiknya berkiblat pada ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali ternyata mampu mengapresiasikan pemikiran liberal yang cenderung ala Ali Abd al-Raziq,[7] sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru lebih akrab dengan pemikiran politik Islam fundamentalis seperti al-Maududi yang sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar negara karena menurut M. Natsir sendiri meniru sistem pemerintahan Barat adalah tindakan sekuler yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.[8]
      Kedua, wacana ini selalu aktual di Indonesia apalagi ketika mendekati pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh tersebut juga masih banyak mempengaruhi wacana perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Setidaknya kedua alasan inilah yang menyebabkan penelitian ini dilakukan.
      M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara bukanlah aksi pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12 November 1957) ia menghendaki negara Indonesia ini berazaskan ideologi  Islam. "Negara demokrasi berdasarkan Islam".[9] Keinginannya ini Bukan semata-mata karena Islam agama mayoritas di Indonesia melainkan ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat itu mempunyai sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara.[10]
      Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, M. Natsir berpendapat boleh meniru pemerintahan Barat asalkan tidak melanggar nilai-nilai dasar Islam. Karena baginya  Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna.[11] Ini menarik untuk dicermati satu sisi M. Natsir terbuka untuk memakai sistem apa yang akan dipakai di Indonesia sisi lain dia bersikeras memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.[12]
      Sedangkan menurut Gus Dur apabila politik, budaya dan agama diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal.[13] Hal yang senada diungkapkan oleh Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.[14]
      Dalam memandang relasi Islam dan negara, masalah ketatanegaraan merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan, sebab faktor inilah yang kemudian seringkali memunculkan perdebatan antara kelompok muslim idealis dan realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan” di masa Rasulullah S.A.W. dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim dunia semakin menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul, sebenarnya Islam telah mempunyai sistem Tata Negara sendiri.
      Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>‘ah pemerintahan dinilai dari segi fungsionalnya  bukan pada formalitas bentuknya, apakah negara Islam atau bukan. Disamping itu, menurut Gus Dur Islam tidak mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya tentang suksesi kepemimpinan terkadang memakai istikhla>f, bay‘ah, dan ahl al-H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam inkonsisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.[15]
      Atas dasar pemikiran inilah, Gus Dur menerima ideologi pancasila sebagai azas negara, dan yang terpenting baginya adalah umat Islam bisa melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan tetap berpegang pada etika sosial (social ethic).
      Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas ideologi pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti jalannya pemerintahan terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja karena baginya Islam sendiri tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan. Menurut penyusun "posisi Gus Dur yang menempatkan pancasila sebagai pra-syarat demokratisasi dan pembangunan keIslaman yang sehat di Indonesia nampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme."[16]
        Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakangi keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi negara di Indonesia selama ini.
B.     Pokok Masalah.
      Dari uraian di atas dipaparkan bahwa ada persamaan dan perbedaan pemikiran di antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai hubungan Islam dan negara, keduanya sama-sama menjunjung nilai demokrasi tetapi berbeda dalam gagasan dan prilaku politiknya Hal ini bisa disebabkan latar belakang sosiohistoris yang berbeda. Oleh sebab itu perlu penyusun tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu:
  1. Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara?
2.      Mengapa kedua tokoh itu mengajukan tesis yang berbeda?
3.      Apa implikasi tesis mereka terhadap pemikiran politik Islam di Indonesia?
      Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.
C.    Tujuan dan Kegunaan.
      Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Perbandingan Madzhab Dan Hukum di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga ada tujuan yang lain yaitu:
1. Untuk mendapatkan penjelasan (explanation) yang lebih tajam tentang karakteristik pemikiran antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai wacana Islam dan negara, khususnya azas negara Indonesia.
2. Mengidentifikasi asal-usul gagasan kedua tokoh tersebut dalam perspektif perbandingan, baik itu latar belakang sosial, pendidikan dan politik.
3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi kedua gagasan tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.
Adapun dari penulisan ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat atau kegunaan, di antaranya:
1.      Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap karakteristik pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mengkaji azas negara (Pancasila).
2.      Bisa dijadikan salah satu sumber diskusi dalam mengkaji relasi Islam dan negara di Indonesia, khususnya dalam perspektif Islam modernis dan neo-modernis.
3.      Sebagai prediksi, sejauh mana implikasi kedua pemikiran itu dalam perubahan dan perkembangan politik Islam di Indonesia saat ini.
D.    Telaah Pustaka.
      M. Natsir dan Gus Dur adalah tokoh pemikir dan sekaligus seorang politikus yang sangat dikenal oleh masyarakat luas, meskipun keduanya hidup pada masa yang berlainan, namun gagasannya selalu aktual bahkan sering dijadikan rujukan dalam diskusi dan aksi politik.
      Penelitian ini mempunyai Dua variabel. Pertama, mengenai diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia. Kedua, pemikiran M. Natsir dan Gus Dur mengenai Relasi Islam dan Negara di Indonesia. Banyak buku atau karya ilmiah yang membahas M. Natsir dan Gus Dur, baik itu biografi, prilaku politik maupun gagasannya. Akan tetapi pembahasan itu sering kali tidak dilakukan secara bersamaan hanya difokuskan pada satu tokoh saja kalau memang ada yang mengkaji perbandingan itu juga tidak membahas M. Natsir dan Gus Dur sekaligus. Karena penulisan ini meliputi dua variabel di atas, maka penyusun merasa perlu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan variabel tersebut.
      Dalam tesisnya A. Syafi'i Maarif yang dibukukan dengan judul Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Karya ini meneliti tentang relasi Islam dan politik yang kemudian menggambarkan prilaku partai-partai Islam dalam menghadapi kebijakan politik Soekarno saat itu, khususnya partai Masyumi yang dibubarkannya. Di sini penyusun sempat membahas M. Natsir namun tidak lengkap karena lebih memfokuskan pada gerakan partai politiknya.
      Disamping itu, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama'at Islami (Pakistan) karya Yusril Ihza Mahendra, buku ini lebih menitik beratkan pada partai-partai di atas meskipun ada tokoh yang dilibatkan seperti M. Natsir dan Maududi sebagai representasi dari modernisme dan fundamentalisme akan tetapi kedua tokoh itu tidak menjadi fokus  kajiannya karena lebih pada partai tempat tokoh ini berpolitik.
      Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) yang menjelaskan relasi Islam dan negara di Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa buku ini hanya menyoroti keterwakilan kaum muslim secara proporsional dalam lembaga-lembaga negara dan dipertahankannya komitmen bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Di samping itu penulis juga menyinggung sedikit polemik M. Natsir dengan Soekarno mengenai azas negara.
      Sedangkan Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (1999) juga mengkaji pemikiran kenegaraan dalam perspektif M. Natsir, khususnya pandangan M. Natsir vis-a-vis Soekarno. Buku ini lebih melihat sosok pemikir M. Natsir dibanding Natsir yang mewakili tokoh modernisme Islam.
      Sementara itu, Buku politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance yang ditulis Douglas E. Ramage membahas Islam dan demokrasi, khususnya mengenai ideologi pancasila dalam relevansinya dengan persoalan dekonfensionalisasi politik Islam di Indonesia. Buku ini merupakan hasil penelitian yang banyak didasarkan pada wawancara personal untuk melihat pola pemikirannya Abdurrrahman Wahid dalam mengakaji pancasila sebagai asas negara.
      Skrpisi yang dibukukan dengan judul Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi. Karya Umaruddin Masdar, berusaha melacak pola pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mempertemukan Islam dan demokrasi. Dalam hal ini  penulis lebih memfokuskan pada konsep demokrasi dengan menggunakan teori politik sunni sebagai rujukan utama untuk meneliti gagasan kedua tokoh tersebut.
      Sedangkan buku Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais yang disunting oleh Arief Affandi merupakan buku yang lebih menyoroti tentang strategi perjuangan kedua tokoh tersebut dalam menyikapi gerakan demokratisasi di Indonesia.
      Dan yang terakhir tesis yang berjudul Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara karya Ma'mun Murod al-Brebesy, tesis ini telah dibukukan dengan fokus kajian membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara, civil society dan demokratisasi.     
      Selain buku-buku di atas penyusun juga menelaah karya asli dari kedua tokoh tersebut yang banyak berupa tulisan lepas dan artikel media.
E. Kerangka Teoretis.
      Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler maupun Islam untuk berfikir serius dalam meletakan dasar filosofis negara, terlepas itu perjuangan atau kepentingan golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala kemudlaratan .
      Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar‘iyyah. Menurut Abdul Wahab Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar‘iyyah ialah wewenang seorang penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan.[17] Dengan demikian siapapun yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada Mas}lah}ah al-Mursalah  (kepentingan umum).
      Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu merupakan salah satu dari epistimologi syari'ah. Dengan syarat bahwa: 1) kepentingan umum itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadat (transeden). 2) kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar Syari‘ah (Al-qur'an dan Sunnah).3) kemaslahatan umum itu haruslah merupakan kepentingan esensial yang sangat diperlukan.[18]
      Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara Ka>ffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.[19]
      Objek kajian fiqih siyasah atau Siya>syah as-Syari‘yyah menurut Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama yang bertujuan merealisasikan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan mereka.[20] Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-Siya>syah meliputi tiga aspek utama di  antaranya: 1) Peraturan dan Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasaan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan kemaslahatan. 3) Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.[21]
      Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak lepas dari Fiqih as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam dibagi menjadi dua yaitu hukum yang bersifat Qat}‘i (Syari'ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih), karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi maka penyusun memasukkanya dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah mempunyai dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan kestabilan.[22]
      Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati posisi yang sangat penting dalam mengkaji diskursus relasi Islam dan negara, lebih khusus lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan. Apakah berideologikan Islam atau sekuler? Karena yang terpenting bukanlah formalitas bentuk pemerintahan tetapi esensi nilai dasar al-Qur'an dan Sunnah tetap berjalan (tidak kontradiktif),[23] sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan zaman.
      Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini, penyusun meminjam istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran yang concern terhadap relasi Islam dan negara, meskipun berbeda dalam menggunakan terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada tiga aliran dalam hal ini. Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara karena menurutnya Islam adalah ad-Din wa ad-Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh aliran ini ialah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Ketiga, aliran nasionalis sekuler, yang mengatakan Islam tidak ada hubungannya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.[24]
      Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan beberapa tokoh politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis penelitian ini, diantaranya Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan Fazlur Rahman.[25] Tokoh-tokoh ini dikaji guna membidik kerangka teoritis pemikiran M. Natsir dan Gus Dur.
      Jamaluddin al-Afghani, [26] Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan menganjurkan pembentukan Jam‘iyah Isla>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme,[27] ikatan ini didasarkan pada akidah Islam yang bertujuan 1) menentang sistem pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang) dan diganti dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, 2) menentang kolonialisme atas dominasi barat.[28]
      Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan gagasan revolusioner, seperti pembentukan pemerintah dan dewan melalui partisipasi rakyat, selain itu dia juga menganjurkan kepada rakyat untuk merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu dengan pertumpahan darah.[29] Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara yang ia kunjungi.[30]  Oleh sebab itu Afghani lebih cocok diposisikan sebagai tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.
      Ali Abdul Raziq,[31] menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan Allah yang ditugaskan syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam misinya mendirikan sebuah negara Islam (Khilafah).[32] Dia sama seperti nabi-nabi sebelumnya bukan nabi atau pendiri negara yang diutus mendirikan kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia menolak adanya keharusan sistem khilafah dalam pengertian pemimpin negara, karena menurutnya tidak ada ayat ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar kuat untuk mendirikan khilafah. al-Raziq memang mengakui perlunya pemerintahan untuk mengatur negara tapi bukan berarti harus bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator, republik atau totaliter.[33] 
      Meskipun ia mengakui Ijma‘ sebagai H{ujjah Syar‘iyyah akan tetapi dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma' yang shahih, alasannya sejak sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja ada pihak oposisi yang tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana bagi Islam dan umatnya, terkecuali Abu Bakar, Umar dan Usman.[34]
      Fazlur Rahman,[35] pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman didasarkan pada konsepsi al-Qur'an. Dalam al-Qur'an, menurut Rahman, umat merupakan suatu "penengah" sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme dan kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain.[36] "Tugas umat adalah menciptakan ketertiban di muka bumi di mana tata tertib itu merupakan sosiopolitis yang harus ditegakkan atas dasar etika yang sah dan viable.[37] Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an.[38]

كنتم خير أمـ أخرجت للنـاس تأمرون بالمعروف وتـنهون عن المنكروتؤمنون بالله ولوأمن أهل الكـتاب لكان خيرالهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقـون !  (ال عمران: ١١۰)

الذين أخرجوامن ديارهم بغـيرحق إلاان يقولواربنـاالله ولودفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجديذكرفيهااسم الله كثيـراولينصرن الله من ينصره إن الله لقوى عزيز! (الحج:٤٠)

      Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura yang merupakan nilai dasar al-Qur'an bisa dikembangkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi apabila secara formal institusional proses dan bentuk demokrasi ‘ala Barat itu tetap sejalan dengan orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.[39]
      Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya, menurut hemat penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap tantangan modernitas yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir kontemporer yang menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan demikian karena pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman meskipun modernisme memberikan sumbangan positif pada era kebangkitan Islam tetapi tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.[40] 
      Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh Islam kontempoer yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam membuat kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun yang bisa dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya karena dalam kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula.
      Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur, sekilas pemikiran Natsir tampak maududian akan tetapi banyak juga diwarnai paham Abduhis.
F. Metode Penelitian.
      Dalam sub bab ini perlu penyusun paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannyadan analisa data.
1.      Jenis penelitian.
      Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut. Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan kedua tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.[41]
2.      Sifat Penelitian.
      Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif-analisis dan komparatif. Yang dimaksud dengan deskriptif adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini ialah karakter dari kedua tokoh tersebut dan fenomena yang mempengaruhi pemikiran mereka. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan mereka, dalam hal ini penyusun lebih memfokuskan pada dua aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang penyusun anggap sebagai representasi dari kedua tokoh tersebut.
Sedangkan komparatif berarti membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut dalam proses penelitiannya, supaya mendapatkan letak persamaan dan perbedaan yang tepat.
3.      Tehnik Pengumpulan Data.
        Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu: data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari kedua tokoh tersebut baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan kedua tokoh tersebut dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.
4.   Pendekatan.
      Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siya>sah.
      Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya.[42] Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran M. Natsir dan Gus Dur akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran mereka dalam masalah ini.
5.      Analisa Data
      Setelah data terkumpul penyusun akan menganalisa dengan metode kualitatif analisis deduksi dan komparasiDeduksi yaitu metode yang berawal dari pengetahuan umum ditarik ke pengetahuan khusus.[43] Dalam hal ini analisa dari kedua tokoh tersebut tentang Islam dan negara di Indonesia, khususnya mengenai asas negara akan dipersempit dalam paradigma modernisme dan neo-modernisme Islam. Sementara komparasi dimaksudkan untuk membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut apakah terdapat persamaan dan perbedaan yang tajam dan signifikan di antara keduanya.[44]         
G. Sistematika Pembahasan.
            Dalam pembahasan ini penyusun membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan.
            Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi relasi agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Selain  itu karakteristik pemikiran ini kemudian dibagi pada dua perspektif, yaitu modernisme dan neo-modernisme. Yang dalam pembahasannya  kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada dua tokoh yang dikaji.
               Bab ketiga memaparkan biografi M. Natsir dan Gus Dur. Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik kedua tokoh tersebut dalam menggagas relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi negara yang mereka perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa, di antaranya yang berkaitan dengan  Islam, demokrasi dan dasar negara.
               Bab keempat menganalisa pemikiran kedua tokoh tersebut tentang relasi Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi pancasila,  yaitu dengan membandingkan gagasan kedua tokoh di atas,  apakah dalam penelitian ini terdapat persamaan dan perbedaan yang signifikan. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan kedua tokoh tersebut terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi  saat ini.    
            Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran M. Natsir dan Gus Dur tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penyusun atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.


Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tag: DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA 
no image

DEMOKRASI TERPIMPIN DALAM PEMIKIRAN IDHAM CHALID

DEMOKRASI TERPIMPIN DALAM PEMIKIRAN IDHAM CHALID

DEMOKRASI TERPIMPIN
Oleh Team www.seowaps.com

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi Terpimpin ( guided democracy ) adalah suatu fase politik dan realitas ketatanegaraan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebuah eksperimentasi sistem politik yang pernah dilakukan oleh tokoh dan pemimpin bangsa ini. Terlaksana secara formal antara tahun 1959-1965, atau tepatnya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga gagalnya kudeta 30 September ( G 30 S ) 1965. Suatu masa yang tidak lebih lama dari masa Demokrasi Parlementer yang sebelumnya pernah dijalankan di Indonesia.[1]
          Demokrasi Terpimpin muncul karena ketidaksenangan sebagian dari masyarakat politik di Indonesia terhadap sistem demokrasi parlementer.[2] Adalah Soekarno yang menggagas Demokrasi Terpimpin. Seorang presiden yang hanya berposisi sebagai kepala negara, sebuah jabatan simbolik dan seremonial, di masa demokrasi parlementer.
Ia mengemukakan gagasannya ini dengan mengajak untuk menguburkan partai-partai politik pada 28 Oktober 1956. Sistem kepartaian yang dianut di Indonesia saat itu dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah nasional. “Demokrasi Liberal”, demikianlah Soekarno menyebutnya, mengizinkan pemaksaan mayoritas oleh minoritas, dan itu tidak sesuai dengan sifat orang Indonesia.
Dengan terinspirasi oleh model pengambilan keputusan di pedesaan, di mana setiap ada pihak yang belum yakin terhadap satu usul, maka musyawarah tetap akan dijalankan hingga dicapai kata mufakat. Tidak ada pemaksaan, tidak ada vooting. Keputusan-keputusan diambil sesudah pertimbangan-pertimbangan yang lama dan cermat dengan seorang pimpinan. Tata cara musyawarah mufakat yang khas Indonesia ini bersama dengan kepemimpinan, memungkinkan semua pendapat dipertimbangkan dengan menenggang perasaan minoritas ; dan ini seharusnya menjadi model untuk bangsa Indonesia. Demokrasi liberal didasarkan kepada pertentangan – tata kerja musyawarah-untuk-mufakat meningkatkan kerukunan.[3]
Dalam prakteknya, Soekarno menginginkan terbentuknya Kabinet Gotong-Royong yang terdiri dari empat partai besar pemenang pemilu yang dianggapnya sebagai manifestasi parlemen[4]. Empat partai dimaksud adalah PNI, mewakili golongan nasionalis, NU, mewakili muslim tradisionalis, Masyumi, mewakili muslim modernis, dan PKI, mewakili kaum komunis. Selain itu, perlu dibentuk suatu lembaga yang disebut Dewan Nasional yang terdiri dari wakil-wakil golongan karya, seperti buruh, petani, ulama dan sebagainya yang dipimpin oleh Soekarno yang bertugas menyusun arah kebijakan politik negara. Dewan ini dalam pandangan Soekarno merupakan cerminan dari seluruh rakyat Indonesia [5]
          Gagasan ini disampaikan Soekarno seiring situasi politik nasional yang mulai memanas. Kabinet yang saat itu sedang menjalankan pemerintahan adalah kabinet Ali Sastroamijoyo II. Masalah terbesar yang mereka hadapi adalah semakin berkembangnya krisis politik di berbagai daerah. Ketidakpuasan beberapa daerah di luar Jawa atas berbagai kebijakan politik pemerintah pusat telah dirasakan sejak awal tahun 1950-an dan akhirnya mencapai puncaknya pada 1956.[6]
Aksi Kudeta di Sumatera menjadi penyebab timbulnya perpecahan dalam Kabinet Ali. NU dan PNI menentang segala bentuk perubahan dalam pemerintahan, sedangkan Masyumi dan Perti, dua partai yang banyak memiliki pengikut di Sumatera, mendukung pembentukan kabinet baru di bawah pimpinan Hatta. Masyumi dan Perti secara berturut-turut memutuskan untuk mengundurkan diri dari semua jabatan menteri pada tanggal 9 dan 15 Januari 1957. Pada tahun 1958 beberapa tokoh Masyumi dan PSI terlibat dengan panglima-panglima militer daerah dalam pendirian PRRI/ Parmesta. Tak ayal lagi ini merupakan pemberontakan yang terjadi di tengah carut-marut pertikaian politik.
          Terjadinya krisis dalam kabinet dan kekecewaan masyarakat yang semakin mendalam terhadap partai-partai politik semakin meningkatkan dukungan terhadap mereka yang mengusulkan dilakukan perubahan politik secara menyeluruh untuk mengatasi berbagai masalah nasional. Reformasi politik secara menyeluruh inilah yang diajukan oleh Soekarno dan militer. Meskipun terdapat perbedaan mendasar antara Soekarno dan militer, namun keduanya sama-sama menginginkan agar kekuatan dialihkan dari tangan partai-partai politik dan parlemen ke lembaga eksekutif. Usulan yang mereka ajukan ini jelas bertujuan untuk memperluas peran politik mereka sendiri.[7]
          Akhirnya setelah berbagai dinamika yang terjadi, kekuatan pendukung sistem baru ini terkonsolidasikan dengan baik dan mendapatkan kemenangan dengan “peresmiannya” dalam satu dekrit. Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 menandai kemenangan perebutan kekuasaan ini oleh koalisi Soekarno-Militer. Dekrit ini berhasil pula “menyelesaikan” beberapa masalah yang selama ini melanda. (Pertama), menyelesaikan perdebatan alot dan melelahkan mengenai dasar negara dengan “kembali ke UUD 1945” yang berarti Indonesia bukan negara agama, (kedua) mengalihkan kekuasaan dari parlemen kepada eksekutif yang berarti memberikan legitimasi pada kekuasaan Soekarno, dan (ketiga) membubarkan Majelis Konstituante. Konstelasi politik pun berubah: Partai-partai politik telah kehilangan kekuatan yang pernah mereka miliki semasa demokrasi parlementer.
Penguasa melanjutkan gebrakannya dengan melakukan penyederhanaan partai politik dan pembubaran parlemen lama hasil pemilu dan pembentukan parlemen baru (DPR-GR) dengan cara penunjukan atau pengangkatan. Parlemen tidak lagi punya hak interpelasi, pers diberangus, tokoh-tokoh politik oposisi dipenjarakan, tulisan-tulisan kritis dilarang beredar, dan sebagainya. Sebuah cara yang tidak demokratis bagi sistem politik yang menyebut diri Demokrasi. Tetapi, alasan yang dikemukakan adalah bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Segala bentuk demokrasi liberal kemudian digusur, dicap Barat dan dimusuhi hingga menjadi tidak populer dan partai-partai tak bisa berbuat banyak.
Hanya dua hal yang menjadi pilihan bagi partai-partai politik saat itu: menerima Demokrasi Terpimpin dan mau bekerja sama dengan elemen-elemen di dalamnya atau menolak dan terlempar dari percaturan politik secara menyakitkan. PNI, NU, (apalagi) PKI dan beberapa partai kecil lainnya memilih yang pertama sehingga mereka “diperbolehkan” terus terlibat di arena politik. Sementara pimpinan Masyumi dan PSI menolaknya dan mereka harus menerima kenyataan partainya dibubarkan dan banyak di antara anggotanya yang ditangkap.[8]  
NU yang diketuai Idham menerima Demokrasi Terpimpin terutama karena alasan politis, yakni mempertahankan posisi NU di tengah percaturan politik nasional. Para pemimpin NU di masa ini menganggap politik adalah sarana utama untuk mewujudkan kepentingan keagamaan dan melayani ummat. Kehilangan tempat di peta politik berarti NU tak bisa mencapai tujuannya, baik sebagai organisasi keagamaan maupun partai politik. Selama masa transisi hingga pelaksanaan Demokrasi Terpimpin partai ini banyak menggunakan politik akomodasi sebagai strategi.[9]
Selain karena pertimbangan-pertimbangan politis, para pemimpin NU menyatakan kewajiban amr ma’ruf nahi mungkar[10] lebih mungkin dilakukan bila berada di dalam sistem. Kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah lebih besar jika NU masih diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan politik.
Pertimbangan keagamaan lainnya berasal dari Idham Chalid. Dia menyatakan bahwa Demokrasi Terpimpin yang menonjolkan musyawarah mufakat sejalan dengan syu>ra dalam Islam. Idham berpendapat bahwa “pertentangan” di antara partai-partai politik yang sangat khas di era Parlementer tidak diajarkan dalam Islam. Islam tidak mengajarkan pertentangan melainkan menawarkan syu>ra (musyawarah) untuk memecahkan masalah. Kata syu>ra sendiri berarti musyawarah atau dengar pendapat. Seorang pemimpin harus selalu bermusyawarah dengan para ahli (ahl hall wa al aqd) sebelum mengambil keputusan. Di dalam syu>ra yang diharapkan adalah munculnya pendapat-pendapat yang lebih tepat untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, diharapkan munculnya solidaritas dari masyarakat yang mencerminkan rasa tanggung jawab bersama. Dengan demikian tidak akan terjadi perdebatan untuk saling mengalahkan. Lagi pula, jika pendapat yang beredar dianggap tidak tepat, seorang pemimpin boleh saja memutuskan lain asalkan tindakannya itu dilandasi rasa tanggung jawab.[11]
Pemikiran Idham ini berbeda dengan rekan-rekannya dari Partai Masyumi. Mereka menolak gagasan Demokrasi Terpimpin karena menganggapnya sebagai sistem yang tidak demokratis. Hamka, seorang tokoh Masyumi misalnya, menyatakan bahwa Demokrasi Terpimpin hanyalah namanya pada lahirnya. Adapun hakikatnya ialah demokrasi funksionil dengan tujuan membulatkan kekuasaan kepada Presiden. “Dalam cara berfikir yang logis, apabila kekuasaan seluruhnya telah berkumpul ke dalam satu tangan, atau total ke dalam satu tangan bernamalah dia “totaliter”, ujarnya.[12]
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Hatta juga mengkritik keras tindakan-tindakan Soekarno sebagai “tidak konstitusional” bahkan merupakan “coup d’etat”. “Demokrasi Terpimpin Soekarno”, ujar  mantan wakil presiden itu, “mendjadi suatu DIKTATUR jang didukung oleh golongan-golongan tertentu.”[13]
Pemikiran Idham tentang syu>ra yang dianggapnya sejalan dengan Demokrasi Terpimpin inilah yang menarik untuk dicermati. Bukan saja karena fungsi legitimasinya, tetapi terutama karena sebelumnya belum ada yang membicarakan syu>ra dalam konteks seperti ini. Bila sebelumnya kaum intelektual muslim membicarakan syu>ra dalam persinggungannya dengan konsep demokrasi Barat (baca: liberal), maka Idham menelaahnya dalam konteks Demokrasi Terpimpin yang khas Indonesia. Artinya, realitas politik Indonesia era Demokrasi Terpimpin telah membuat Idham memahami konsep syu>ra dari sisi yang lain dari biasanya.
B. Pokok Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas, penyusun akan merumuskan masalah yang akan diteliti dalam skripsi ini. Perumusan tersebut tercermin dari pertanyaan berikut :
1.    Bagaimanakah pemikiran Idham Chalid tentang syu>ra yang dianggap sejalan dengan Demokrasi Terpimpin ?
2.    Dalam konteks sosial-politik seperti apa pemikiran tersebut muncul dan bagaimanakah implikasinya bagi NU ?
C. Tujuan Penelitian
1.    Menelaah pemikiran Idham Chalid tentang syu>ra yang dianggap sejalan dengan Demokrasi Terpimpin.
2.    Menelaah konteks sosial-politik di mana pemikiran tersebut muncul dan implikasinya bagi NU.
D. Kegunaan Penelitian
1.    Menambah khazanah penelitian pemikira tokoh NU dan sejarah Islam politik di Indonesia.
2.    Memberikan gambaran positioning seorang ulama yang sekaligus politisi.
E. Telaah Pustaka
Dari sekian penelitian mengenai Demokrasi Terpimpin, tidak ada yang secara khusus membahas pemikiran Idham mengenai sistem tersebut. Howard Federspiel sempat menyentuh secara sepintas pemikiran Idham, terkait dengan aktivitasnya dalam Yayasan Api Islam. Di dalam artikelnya berjudul “Soekarno dan Apolog-apolog Muslimnya”, Federspiel menjelaskan bahwa Idham senantiasa mendukung gagasan mendiang presiden pertama RI itu. Idham menerima konsep dasar revolusi Soekarno-isme dan menyatakan bahwa Islam harus menjadi bagian dari revolusi ini, karena ia telah dijegal kolonialisme. Idham juga mengatakan bahwa Pancasila dirumuskan dengan “inspirasi dari Allah” karenanya kaum muslim punya kewajiban untuk menerima dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menerapkan “konsep api Islamnya Soekarno”, ujar Idham, kaum muslim dapat melepaskan belenggu pemikirannya dan dengan semangat jihad akan bisa memerangi eksploitasi manusia oleh manusia, dan eksploitasi negara oleh negara.[14] Demikianlah, Federspiel tidak menjelaskan lebih mendalam pemikiran Idham, kecuali bahwa ia mendukung Soekarno-isme. Dan sebuah fakta yang lebih penting lagi, Federspiel tidak mencantumkan buku Idham “Islam dan Demokrasi Terpimpin” yang berisi pemikiran atas sistem politik yang dibawa Soekarno, sebagai salah satu sumbernya.
Penelitian lainnya lebih banyak memfokuskan pembahasan pada transisi kekuasaan menuju Demokrasi Terpimpin dan dinamika yang terjadi di sekitarnya. “The Transition to Guided Democracy : Indonesian Politics, 1957-1959”[15] yang ditulis Daniel S. Lev mengamati masa transisi menuju Demokrasi Terpimpin, baik kondisi sosial maupun politik. Sementara 3 buah artikel Herbert Feith yang diterbitkan menjadi satu buku berjudul “Soekarno - Militer dalam Demokrasi Terpimpin”[16] membahas dinamika Demokrasi Terpimpin. Yakni mengenai segi-segi penting kehidupan politik dan pemerintahan, struktur konstitusi dan ideologi Demokrasi Terpimpin, dan terakhir beberapa aspek interaksi politik dan ekonomi pada masa tersebut. Dalam dua penelitian di atas Idham hanya disebut sebagai pimpinan partai muslim tradisional yang cenderung oportunis dan sama sekali tidak menyentuh pemikirannya.
Salah satu penulis Indonesia yang mengkaji masa Demokrasi Terpimpin adalah Syafi’i Ma’arif. Kajiannya berfokus pada peran politik partai-partai Islam di masa Demokrasi Terpimpin. Dengan mengambil judul “ Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)”,[17] Syafi’i Ma’arif menggambarkan bahwa sistem baru ini menyebabkan partai-partai Islam harus menempuh jalan bersibak dua. Terlibat dalam sistem baru ini dan bisa terus hidup, atau mati dikubur sebagai kontra-revolusioner. Ia menyoroti betapa ukhuwwah Isla>miyyah (solidaritas Islam) tidak mampu menjadi perekat partai-partai Islam pada masa sulit itu.
Secara khusus dia memandang bahwa masa Demokrasi Terpimpin sebagai masa “kolaborasi” partai Islam dengan Soekarno. Dengan NU sebagai partai Islam yang memiliki kekuatan basis massa yang besar, yang lalu menjadi manifestasi politik golongan Islam di Indonesia saat itu, Soekarno membangun persatuan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Terakhir sebuah karya Greg Fealy harus diketengahkan di sini. Disertasi doktoral yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967”. [18] Sesuai dengan judulnya, buku ini membahas sejarah NU di tahun-tahun mana organisasi ini tengah giat bermain di kancah politik praktis. Walaupun demikian, di dalamnya Fealy menjelaskan banyak hal mengenai kondisi politik Indonesia pada awal 50-an, saat mana pertikaian politik menjadi-jadi. Partai-partai berebut menguasai parlemen, tentara mulai bergerak masuk ke kancah politik dan akhirnya Soekarno mulai membangun sistem Demokrasi Terpimpin sebagai tawaran solusi atas persaingan politik elit yang semakin negatif. Idham Chalid adalah ketua PBNU saat itu, sehingga di dalam buku ini namanya seringkali disebut. Idham Chalid bersama dengan Abdul Wahab Chasbullah, Saifuddin Zuhri dan juga Zainal Arifin digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang membentuk corak dan warna NU yang akomodatif pada masa Soekarno.
Argumen pokok buku ini bertujuan merevisi pandangan para peneliti sebelumnya terhadap NU yang dianggap oportunis, dalam pengertian tidak berprinsip. NU sebenarnya selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang sudah lama dianutnya. Ideologinya didasarkan pada fikih Sunni klasik yang meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya. Ideologi ini menuntut kaum muslimin, terutama para ulama yang memimpin mereka, agar menjauhi segala bentuk aksi yang dapat mengancam kesejahteraan fisik dan spritual masyarakat.
Karya-karya tersebut di atas secara umum dapat menjadi perbandingan dengan apa yang nantinya penyusun inginkan dalam penelitian ini. Penyusun akan lebih mengkonsentrasikan diri pada pandangan-pandangan Idham mengenai Demokrasi Terpimpin dan ingin melihat faktor-faktor apa saja yang mendorong pandangan tersebut muncul. Tetapi sebagaimana akan terlihat, karya-karya tersebut sangatlah membantu bahkan tergolong data primer dalam memahami konteks pemikiran Idham.
F. Kerangka Teoretik
            Menelaah pemikiran Idham Chalid tentang Demokrasi Terpimpin berarti melihat sistem politik yang dicetuskan Soekarno tersebut dari kacamata seorang tokoh Islam. Tokoh yang menjadikan agama Islam sebagai cara pandang bagi dunianya, baik dalam menjalani kehidupan sosial maupun politik.
Idham menemukan konsep musyawarah atau syu>ra sebagai bentuk demokrasi di dalam Islam dan kemudian memberikannya makna baru dalam konteks Demokrasi Terpimpin. Dengan demikian Idham mengaitkan Demokrasi Terpimpin dengan ajaran-ajaran yang berasal dari tradisi Islam. Hal ini dapat dimaknai sebagai usaha memberikan warna Islam pada Demokrasi Terpimpin atau bahkan usaha untuk “meng-Islam-kan” Demokrasi Terpimpin.
            Dua hal pokok di atas : konsep syu>ra yang dikaitkan dengan Demokrasi Terpimpin dan konteks sosio-politis dimana gagasan itu muncul, akan menjadi dua poin yang dianalisa dalam penelitian ini. Terkait dengan itu, berikut penulis akan memaparkan teori yang berhubungan dengan poin-poin tersebut.
Pembicaraan mengenai syu>ra dan demokrasi telah banyak dilakukan oleh para intelektual Muslim. Pertama, karena kemunculan wacana Demokrasi sebagai suatu sistem, baik sosial maupun politik, yang diterima oleh sebagian terbesar masyarakat dunia abad ini. Sejak negeri-negeri Arab mengalami masa-masa kejatuhan, dan penerapan beberapa ideologi politik menemui jalan buntu, tuntutan terhadap demokrasi tampak semakin nyaring terdengar. Hal ini disebabkan demokrasi tampak memberikan jalan menuju kebebasan dan persamaan, yang selama ini absen dalam memori kolektif umat Islam, karena hampir seluruh pengalaman historis umat Islam berjalan dalam koridor kekuasaan khalifah dan dalam bentuk monarki. Dan alasan kedua, karena Demokrasi berasal dari tradisi Barat yang nyaris selalu dikontraskan dengan tradisi Islam. 
            Salah satu tokoh pemikir Islam yang membahas mengenai hal ini adalah Muhammad ‘Abed al-Ja>biri>. Ia menyatakan bahwa demokrasi berbeda dengan syu>ra. Syu>ra berarti meminta pendapat kepada ahl al-hall wal-a’qd yang terdiri dari para ulama, fuqaha, pemuka-pemuka masyarakat sebelum melakukan tindakan apapun. Syu>ra dalam pengertian ini tidak mengikat penguasa: ia memang melakukan konsultasi, namun keputusan akhir tetap berada di tangannya sendiri, baik keputusan itu merupakan hasil konsultasi tersebut atau tidak sesuai dengan hasil keputusan tersebut.[19]
Hal ini karena syu>ra, sebagaimana dalam rujukan bahasa, berasal dari kata syara yang berarti mengambil. Contoh yang dikemukakan oleh kamus-kamus dalam menjelaskan arti kata ini adalah perkataan orang Arab: syartu al-‘as}al artinya aku mengambil madu dari tempatnya, juga ungkapan syawartu fulanan artinya aku mengemukakan pendapatku dan pendapatnya. Dengan demikian menurut al-Ja>biri>syu>ra artinya mengambil sesuatu dari tempatnya, yaitu kepada seseorang yang memang pantas diambil pendapatnya. Mengambil pendapat seseorang sama sekali tidak berarti adanya keharusan mengikuti pendapat tersebut sebagaimana “orang-orang yang diambil pendapatnya” juga sama sekali tidak ditentukan dan dibatasi.[20]
Jadi syu>ra itu bukan hanya tidak mengikat penguasa, tapi juga tidak memberikan penentuan mengenai siapa yang harus diajak bermusyawarah selain istilah umum: ahl hall wa al-‘aqd. Yang dimaksud dengan istilah ini adalah setiap orang yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat baik karena ilmu, hubungan sosial, ekonomi atau agama, namun tanpa adanya batasan kuantitas, kualitas, ruang ataupun waktu.
Sedangkan demokrasi memiliki pola yang berbeda dengan syu>ra baik dalam pengalaman historis Eropa maupun dalam aplikasinya. Secara historis demokrasi pertama kali muncul di Yunani dan kemudian disusul oleh bangsa Romawi. Demokrasi berkaitan erat dengan kehancuran sistem kesukuan dan pudarnya kekuasaan kepala suku dan sebagai gantinya muncullah fenomena “masyarakat sipil” dan gagasan tentang “warga negara”.
Pada saat agama Kristen tampil, negara dan imperium benar-benar kokoh, agama menjadi medium resistensi terhadap kekuasaan imperium. Ini adalah awal dari rangkaian konflik yang sangat panjang antara agama dan negara di mana masing-masing ingin membatasi kekuasaan yang lain dan ingin menjadikan kekuasaanya di atas kekuasaan lainnya. Konflik seperti yang terjadi antara penguasa dan gereja ini juga terjadi pada kaum feodal melawan “para feodal besar” yang berkuasa atas nama mereka dengan bertopang pada fasilitas, alat-alat, uang dan tentara yang mereka kuasai. Konflik ini terus menerus terjadi sebagai satu bentuk pembatasan wilayah kekuasaan. Konflik ini kemudian melahirkan dewan-dewan “perwakilan” yang bersifat lokal maupun umum.
Sedangkan di abad modern, dimulai pada abad 17, konflik melawan kekuasaan tiranik semakin meluas dan mendalam seiring dengan munculnya kekuatan-kekuatan sipil, terbentuknya kelompok-kelompok pedagang dan kaum pengusaha industri sebagai kekuatan sosial yang kemudian menjadi kelas borjuis dan membawa panji perjuangan demi demokrasi dalam arti kontemporer, yaitu demokrasi berarti membangun pemerintahan melalui proses pemilihan bebas, adanya pengawasan terhadap penguasa dan pembagian kekuasaan: legislatif, eksekutif dan yudikatif[21]. Demikianlah, al-Ja>biri> menyimpulkan bahwa syu>ra berbeda dengan demokrasi.
Lebih lanjut bagaimana menilai pemikiran Idham (setelah mengetahui konteks sosio-politisnya). Hal ini bisa kita lihat dengan mencari tahu bagaimana Islam “digunakan” tokoh ini dan untuk tujuan yang seperti apa. Atau dengan kata lain bagaimanakah kedudukan dan fungsi Islam baginya.
Mengenai hal ini, Taufik Abdullah dalam tulisannya “Islam dalam Sejarah Nasional” menjelaskan bahwa Islam di Indonesia memiliki 3 kedudukan (dan fungsi).[22] Pertama, Islam sebagai dasar kesadaran yang membentuk etos dan pandangan hidup. Tak kurang pentingnya ialah Islam sebagai peletak dasar ukuran tentang sah atau tidaknya sesuatu. Dengan begini Islam menentukan pula corak interpretasi terhadap situasi yang mengitari diri. Dalam interpretasi inilah tersalur segala hasrat normatif dan pengetahuan akan kenyataan berbagai corak perilaku.
Kedua, Islam sebagai dasar ikatan solidaritas dari komunitas-komunitas pemeluknya. Hal ini akan menjadi jelas ketika kekuasaan politik dari masing-masing komunitas itu telah digerogoti ataupun ditiadakan oleh kolonialisme. Islam bahkan menjadi simbol perjuangan menghadapi penjajah dan dengan demikian Islam telah memberikan cita kesatuan dan anti-kolonialisme. Dan ketiga, sebagai agama yang universal, Islam memberikan kepada pemeluknya kosmopolitanisme Islam. Perasaan sebagai bagian dari masyarakat penganut yang menjembatani berbagai ikatan politik dan kultural, memberikan suatu corak komunitas yang bersifat antar bangsa. Dengan kosmopolitanisme, maka pengambilan inspirasi – atau bahkan peniruan dari apa yang telah terjadi pada masyarakat Islam di negeri lain – tidaklah dirasakan sebagai suatu peniruan atau imitasi. 
G. Metode Penelitian
1.    Jenis Penelitian
Penelitian ini pertama-tama menggunakan model kepustakaan (librarian research). Artinya, bahan-bahan penelitian beroleh data dari sumber-sumber kepustakaaan, baik berupa buku-buku, hasil penelitian, naskah, jurnal, maupun majalah. Tetapi, penulis juga melakukan serangkaian wawancara untuk melacak informasi yang tidak direkam oleh sumber tertulis. Wawancara dilakukan bersama tokoh-tokoh yang mempunyai hubungan dengan Idham Chalid. Sumber tertulis yang akan menjadi rujukan utama penyusun yaitu : booklet yang berjudul “Islam dan Demokrasi Terpimpin”[23] yang ditulis oleh Idham Chalid sebagai bahan-bahan kuliah yang disampaikannya di Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama Surakarta dan  kumpulan pidatonya sekitar tahun-tahun berlangsungnya Demokrasi Terpimpin, yang diberi judul “Mendajung dalam Taufan”.[24]
2.    Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dalam pengertian pemikiran Idham tentang demokrasi terpimpin dan konteks sosio-politisnya akan didiskripsikan secara sistematis dan sesudah itu akan dilakukan  analisis terhadap kedua poin tersebut.


3.    Pendekatan      
Untuk memahami pemikiran Idham Chalid mengenai Demokrasi Terpimpin dan konteks sosio-politisnya, penulis menggunakan pendekatan historis. Artinya, pemikiran Idham Chalid dan alasan-alasan sosial dan politik yang melatar belakanginya dicari melalui rekaman perjalanannya di dalam sejarah Indonesia atau bahkan sejarah dunia.
4.    Pengumpulan Data
Di dalam pengumpulan data tidak digunakan metode khusus. Hanya saja diupayakan agar data-data yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dikumpulkan selengkap mungkin, baik yang termasuk data primer maupun sekunder. Semua karya, maupun ceramah Idham Chalid merupakan sumber primer, sedangkan tulisan-tulisan orang lain tentang dia dijadikan bahan penunjang penelitian (data sekunder). Termasuk juga dalam data-data sekunder tulisan-tulisan yang memaparkan tulisan-tulisan tentang partai-partai politik di masa orde lama.
5.    Analisis Data
Data yang telah dikelola akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode Induktif dan Deduktif secara bergantian. Dalam metode Induktif, kita punya kasus dan akibat, kemudian kita mengasumsikan sebuah aturan umum (generalisasi), hasilnya adalah probabilitas. Sementara dengan metode deduktif kita dapat menarik kesimpulan dengan berangkat dari aturan umum dan kasus, dan hasilnya adalah validitas logis.[25]
Metode deduktif dipakai saat menganalisa pemikiran Idham Chalid. Adapun metode induktif akan digunakan dalam menganalisa akibat-akibat dari pemikiran dan sikap politik Idham
H. Sistematika Pembahasan
          Penulisan skripsi ini akan terdiri dari lima bab di mana di dalamnya terdiri dari sub-sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut :
          Bab pertama merupakan panduan umum penelitian ini. Berisi pemaparan masalah, urgensi penelitian, cara penulis menjawab permasalahan dan lain sebagainya.
Bab kedua menguraikan biografi singkat Idham Chalid. Biografi ini berguna untuk memahami lika-liku perjalanan hidup, karakter dan kepribadian, gaya berpolitik, serta orang-orang yang memiliki pengaruh besar terhadap dirinya.
Bab ketiga berisi pemikiran Idham Chalid tentang syu>ra yang dianggap sejalan dengan Demokrasi Terpimpin.
Bab keempat menjelaskan konteks sosial dan politik dimana pemikiran Idham Chalid muncul.
Bab kelima merupakan analisis poin-poin yang terdapat di bab ketiga dan keempat. Analisis diarahkan untuk mengungkap watak, menafsirkan konteks, dan implikasi dari pemikiran Idham Chalid bagi perjalanan NU selanjutnya.
Bab keenam berisi kesimpulan penelitian ini dan saran dari penulis

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tag: DEMOKRASI TERPIMPIN DALAM PEMIKIRAN IDHAM CHALID
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net