• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
no image

BUNGA BANK (STUDI KOMPARASI ANTARA PENDAPAT NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH)

BUNGA BANK 
STUDI KOMPARASI ANTARA PENDAPAT NU DAN MUHAMMADIYAH
Oleh Team www.seowaps.com
Bunga Bank

BAB. I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.
Kegiatan ekonomi dari masa ke masa terus mengalami perkembangan, yang dahulu ada kini tidak ada, atau sebaliknya. Dulu institusi pemodal seperti bank tidak dikenal dan sekarang ada. Maka persoalan baru dalam fiqh muamalah muncul ketika pengertian riba dihadapkan pada persoalan bank. Di satu pihak, bunga bank (interest bank) terperangkap dalam kriteria riba, di sisi lain, bank mempunyai fungsi sosial yang besar, bahkan dapat dikatakan tanpa bank suatu negara akan hancur.1
Dalam Ensiklopedia Indonesia, bahwa Bank (perbankan) ialah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasanya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang atau giral. Jadi kegiatannya bergerak dalam bidang keuangan serta kredit dan meliputi dua fungsi yang penting yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.2 Ada yang mendefinisikan bank merupakan sebuah lembaga keuangan yang bergerak menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian dana tersebut disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun kelembagaan, dengan sistem bunga.3
Sistem hubungan perekonomian dan keuangan zaman sekarang ini, baik dalam maupun luar negeri, adalah melalui saluran bank. Tidak ada suatu negara mana pun yang tidak mempunyai perusahan bank, karena bank dapat melancarkan segala perhubungan dan lebih menjamin selamatnya pengiriman.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan dari suatu bank adalah mencari keuntungan dan keuntungan itu dicapai dengan berniaga kredit. Bank mendapat kredit dari orang luar dengan membayar bunga. Sebaliknya bank memberikan kredit dari kepada orang luar dengan memungut bunga yang lebih besar dari pada yang dibayarkannya. Jadi sedikit penjelasan di atas, maka yang disebut bunga bank adalah tambahan yang harus dibayarkan oleh orang yang berhutang kepada bank atau keuntungan yang diberikan pihak bank kepada orang yang menyimpan uang di bank dengan besar-kecil sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank tersebut. Tetapi konsensus pendapat-pendapat menganggap bahwa bunga bank merupakan tambahan tetap bagi modal, dikemukakan bahwa tambahan yang tetap ini merupakan biaya yang layak bagi proses produksi.4
Jadi selisih bunga itulah keuntungan bank. Sehingga bunga  merupakan suatu masalah yang tidak dapat dilepaskan dari perusahan bank dunia (umum). Mengenai kedudukan bank tersebut, Moh. Hatta mengatakan bahwa sampai saat ini berbagai ulama ada yang mengharamkan pemungutan bunga. Dengan larangan itu maka hilanglah sendi tempat bank berdiri. Kalau bunga tidak boleh dipungut, maka tidak dapat pula orang Islam untuk mendirikan bank. Lebih lanjut ia juga berpendapat, ada pula ulama yang mengatakan, bahwa memungut rente itu merupakan perbuatan yang tidak terpuji, tetapi apabila masyarakat mengkehendakinya, rente itu dibolehkan juga. Hal seperti ini menimbulkan pemahaman masyarakat tentang sifat hukum dalam Islam mempertimbangkan buruk dengan baik. Jika lebih besar baiknya dari pada buruknya, hukumnya menjadi harus, pekerjaan seperti itu diperbolehkan.5    
Sementara Mirza Nurul Huda sebagaimana dikutip oleh A. Chatib,  memaparkan, bahwa satu segi kegiatan yang terpenting dari bank perdagangan adalah menerima titipan uang dari orang-orang dan meminjamkan dengan jangka pendek kepada orang lain guna menegakkan perdagangannya yang direncanakan. Oleh karena itu, maka bunga bank berdiri dan ada untuk mencari keuntungan. Apabila kita menghapus bunga—sebagaimana yang diwajibkan oleh negara Islam—maka bagaimana bank akan bekerja.6          
Dalam Islam telah mengharamkan adanya riba. Masyarakat masa awal Islam belum mengenal sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga dalam menanggapi fenomena ini, terjadi pebedaan pendapat. Beda pandangan dalam menilai permasalahan ini menimbulkan kesimpulan–kesimpulan hukum yang berbeda pula, dalam hal boleh atau tidaknya, halal haramnya umat Islam bermu’amalah dengan bank.  Jika kembali kepada ajaran Islam di mana al-Quran sendiri telah melarang bentuk mu’amalah yang mengandung unsur riba. Dasar persoalan riba dapat diketahui dengan jelas dan tegas dalam 3 ( tiga ) tempat :
1.      Dalam al-Quran Surat al-Ruum : 39, sewaktu Nabi masih di Makkah di hadapan orang Arab Musyrikin.
2.      Dalam al-Quran Surat Ali Imran : 130-132, sewaktu Nabi sudah pindah ke Madinah.
3.      Dalam al-Quran Surat al-Baqarah : 275-280
Fenomena yang menarik kaitannya dengan ini adalah adanya respon dua organisasi besar Islam Indonesia dalam menyikapi masalah bunga bank tersebut, yaitu Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya. Salah satu keputusan hukum tentang bunga bank yang selama ini telah beredar dalam kalangan umat Islam di antaranya adalah keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204, dan hasil sidang Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo.
Telah menjadi sebuah pertanyaan besar masalah bunga bank ini dalam mu’tamar NUterjadilah pembahasan yang begitu panjang tentang bagaimana hukum menitipkan uang dalam bank, hingga  kemudian pemerintah menetapkan pajak kerena alasan mendapatkan bunga. Halalkah bunga itu? Dan bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanan saja dan tidak menginginkan bunga? Jawaban dari pertanyaan tersebut diambil dengan merujuk pada keputusan Mu’tamar  NU  II  di Surabaya pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28. yang memutuskan bahwa hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan hukum gadai yang telah ditetapkan dalam mu’tamar tersebut.
Di antara hasil keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai telah menghasilkan tiga pendapat yaitu:
a.       Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b.      Halal: sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut ahli hukum yang terkenal bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
c.       Syubhat (tidak tentu haram halalnya): sebab para ahli hukum masih terjadi selisih pendapat.7
Sebagai catatan penting dalam keputusan mu’tamar tersebut—bahwa  untuk lebih berhati–hati ialah dengan mengambil pendapat pertama—yakni  yang telah mengharamkannya. Adapun menitipkan uang dalam bank karena untuk keamanannya saja hukumnya makruh, dengan syarat apabila telah diyakini kalau uang tersebut akan digunakan untuk hal-hal yang bertentangan  dengan ajaran agama.
Sementara keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga Bank ditempuh melalui prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan Muktamar NU XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :
a.       Haram, kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak
b.      Boleh, kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba
c.       Subhat, kerena masih belum jelas
Sementara itu, salah satu respon dari Muhammadiyah melalui keputusan Majlis Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur tentang masalah–masalah fiqh kontemporer (khususnya mengenai bunga bank) telah dilakukan dengan cara berijtihad. Dalam berijtihad Majlis Tarjih menempuh tiga metode:
1.      Ijtihad Bayani, yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Quran dan al-Hadis
2.      Ijtihad Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam nash al-Quran dan al-Hadis
3.      Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
Dalam menetapkan hukum bunga bank, Majlis Tarjih mangaitkannya dengan masalah riba, apakah bunga bank identik dengan riba atau tidak?, untuk memastikan jawaban tersebut, Majlis Tarjih menggunakan qiyas sebagai metode ijtihadnya.8 Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram.9
Bagi  Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta. Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak.10
Dari diskripsi di atas nampak bahwa kedua organisasi tersebut mempunyai konsep yang berbeda bahkan berseberangan. Namun, keduanya mempunyai sisi kesamaan yaitu demi kemaslahatan umat manusia, meskipun implimentasinya juga berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya sudut pandang yang mempenagruhinya dalam menetapkan hukum tersebut.
Oleh karena itu penyusun tertarik untuk mencoba meneliti dan menelusuri  kembali permasalahan-permasalahan hukum bunga bank tersebut menurut pendapat Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, dengan titik tekan pada permaslahan dasar yang melatarbelakangi dari perbedaan tersebut mengenai bunga bank adalah melalui metode pengambilan keputasan hukumnya yang diambil dari segi kajian fiqhnya,
B. Pokok Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun perlu membatasi rumusan pokok masalah yang diteliti agar mengfokus dan tidak meluas, sehingga menjadi jelas. Adapun pokok masalahnya sebagai berikut : 
1.      Metode Istinbat hukum apakah yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam memandang hukum bunga bank?
2.       Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengenai hukum bunga bank dilihat dari segi hujjahnya?

C. Tujuan Dan Kegunaan.
Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.      Tujuan penelitian .
a.       Untuk menjelaskan metode istinbat apakah yang dipakai oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam memandang hukum bunga bank
b.       Untuk menggambarkan atau menjelaskan bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengenai hukum bunga bank dilihat dari segi hujjahnya.
2.      Kegunaan dari penelitian adalah:
a.       Bagi kehidupan secara umum, yaitu memberikan atau membangkitkan pengertian dan kesadaran  bagi kebanyakan masyarakat yang masih beranggapan bahwa sistem perbankkan yang belaku sekarang ini masih belum tepat atau mengena dengan ketentuan-ketentuan agama yang telah diyakini karena hukum bunga bank masih menjadi perselisihan pendapat dan juga agar mereka memiliki landasan yang kuat dalam menjalani aktifitas perekonomian
b.      Bagi  pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu syariah, yaitu memberikan pemahamam yang kokoh bagi pemikiran hukum Islam sebagai upaya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah kontemporer yang dihadapi umat Islam, khususnya masalah hukum bunga bank.

D. Telaah Pustaka
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, menuntut para ulama untuk melakukan restrukturisasi terhadap hazanah keislaman ke arah yang lebih inovatif. Termasuk di dalamnya melakukan ijtihad di bidang fiqh (hukum Islam) secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi, maka kajian tentang fiqh yang kontemporer akan selalu menjadi aktual.
Studi tentang  NU dan Muhammadiyah telah banyak dilakukan baik dari kalangan NU dan Muhammadiyah sendiri maupun dari luar serta telah dikodifikasikan.11 Seperti halnya Kacung Maridjan, dosen Fisip Unair, ia mengungkapkan bahwa dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat, NU tidak menutup kemungkinan akan melakukan pembaharuan (tajdid) bahkan islah pemikiran, dengan catatan bahwa pembaharuan tersebut tetap berakar pada kaidah-kaidah yang telah dianutnya. Hal ini perna dilakukan dalam Munas ‘Alim Ulama di Cilacap. Meskipun buku tersebut tidak berorientasi terhadap tema pokok karya  ini. Namun, Kacung Maridjan banyak memaparkan mengenai hukum bunga bank menurut NU dalam beberapa kali mu’tamar.12
Kajian yang lain dilakukan oleh Sugiri. Dalam skripsinya, dia meneliti NU sebagai organisasi kerakyatan—meminjam bahasa Dawam Raharja—dari segi penetapan hukum secara umum. Dia juga membahas istinbat hukum. Dalam NU, kalimat istinbat tidak popular, apalagi dengan diartikan ijtihad. Hal ini sulit dilakukan, karena adanya keterbatasan yang disadari oleh jami’iyyah.13
Salah satu buku yang dikeluarkan PBNU, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama. Merupakan buku yang memuat banyak tentang hasil-hasil keputusan mu’tamar yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam merespon berbagai masalah-masalah kontemporer mengenai hukum IslamDi antaranya adalah tentang bunga bank14
Sementara A. Wahid Zaini, pengarang buku dan kolomnis produktif, dalam bukunya Dunia Pemikiran Kaum Santri secara gamblang dan detail menjelaskan hukum tentang bunga bank yang telah diputuskan oleh Munas ‘Alim Ulama di Bandar Lampung, dan Majlis Tarjih Muhamdiyah di Sidorajo. Dengan harapan agar forum kajian atau musyawarah yang diikuti oleh ulama dan ahli-ahli perbankan agar kajiannya lebih komprehensip dan hasilnya diharapkan lebih mendekati bahkan sesuai dengan realita yang ada. 15
Begitu juga dengan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang bertugas merespon dan memutuskan persoalan–persoalan hukum Islam termasuk masalah–masalah kontemporer dengan metode ijtihadnya., di antaranya adalah masalah yang telah menjadi tema pokok pembahasan penyusun yaitu mengenai bunga bank. Di mana hasil keputusan–keputusan Majlis Tarjih tersebut selanjutnya hasil keputusan-keputusannya dibukukan dalam Himpunan Putusan Tarjih,16 di samping ada arsip–arsip tersendiri dari setiap Mu’tamar Tarjih.
Selanjutnya kajian yang lebih lengkap membahas tentang metode ijtihad Majlis Tarjih adalah buku karya Fathur Rahman Djamil,17 buku ini secara detail telah menyoroti ijtihad yang dilakukan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah (khususnya tentang bunga bank) dengan berusaha untuk mengungkapkan kegiatan-kegiatan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang merupakan motor penggerak tajdid Muhammadiyah.
Adapun penelitian ini tentunya berbeda dengan beberapa penelitian dan buku yang tersebut di atas. Dalam penelitian ini, lebih difokuskan terhadap penulusuran kajian tentang hasil dan keputusan mu’tamar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tentang bunga bank, dalam kapasitas keduanya  sebagai representasi pemberlakuan  hukum Islam dan merupakan organsisi Islam terbesar di Indonesia       

E. Kerangka Teoretik.
Dewasa ini perbincangan mengenai  riba di kalangan negeri dan para pemikir Islam mulai mencuat kembali. Sehingga upaya-upaya melakukan usaha yang bertujuan menghindari persoalan riba mulai dilakukan. Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, bahwa riba tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalah barang yang terlarang dalam pandangan para teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.18
Di sisi lain, apabila dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.19 Perdebatan panjang di kalangan ahli fiqh tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul pendapat yang bermacam-macam mengenai bunga bank dan riba.
Apakah sama persoalan “Riba” dengan “Bunga” itu? Pada lahirnya memang sama saja rupanya, kedua-duanya adalah bunga dari pada harta yang dipinjamkan. Akan tetapi pada sifatnya dalam kemajuan masyarakat sampai sekarang ada perbedaan yang cukup besar.20 Pro dan kontra sekitar hukum bunga bank bukan saja terjadi di kalangan sarjana muslim.
Sebagaimana dikatakan Charles Gide, seorang ahli politik dan filsafat, menyebutkan, bahwa semua agama, lebih-lebih Islam, telah mengharamkan riba. Memang sudah sewajarnya apabila riba itu diharamkan. Sebab ketika itu, orang berhutang hanya semata-mata untuk mencukupi kebutuhan hidup kesehariannya yang sangat mendesak, bukan untuk modal usaha, sebagaimana yang banyak dilakukan orang masa sekarang.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan Gide, Hatta sebagaimana dijelaskan A. Chotib, juga membedakan antara pinjaman yang terjadi di masa agraris, ketika periode bercocok tanam, yang umumnya orang meminjamkan uang bukan untuk modal usaha melainkan hanya karena keterpaksaan untuk menutupi kebutuhan hidup. Sementara untuk masa sekarang, orang meminjam uang umumnya bertujuan untuk modal usaha. Atau bunga yang semata-mata konsumtif adalah riba sedangkan bunga yang sifatnya produktif adalah sebagian dari keuntungan yang diperoleh dengan bantuan orang lain (bunga), jadi bunga produktif menurut Hatta adalah boleh.21
Dalam tafsir al-Manar, Abduh (w-1905 M) dan di dalam fatwa-fatwanya, sebagaimana dicatat ‘Ammarah, menyebutkan bahwa Muhammad Abduh membolehkan menyimpan uang di bank dan juga boleh mengambil bunga simpanannya, dengan kata lain ia mehalalkan bunga bank.22 Hal ini menurutnya, didasarkan pada maslahah-mursalah (kesejahteraan). Larangan riba menurut Muhammad Abduh adalah untuk  menghindari adanya unsur eksploitasi dan menghindari memakan harta orang lain secara batil (al-Baqarah : 188).
Sementara bunga bank, menurut Abduh tidak menimbulkan adanya pemerasan dan tidak ada persamaannya  dengan apa yang diharamkan al-Qur’an (al-Baqarah :188). Alasan lain yang menghalalkan menabung uang dan sekaligus mengambil bunga bank, menurut Abduh ada tiga alasan yaitu Pertama, karena dengan keberadaan perbankan yang ada sekarang tidak menciptakan penindasan, malahan sebaliknya mendorong kemajuan perekonomian. Kedua, bahwa menyimpan uang di bank, pada intinya sama artinya dengan perkongsian dalam bentuk lain. Ketiga, mendorong orang untuk maju di segala bidang, termasuk ekonomi, adalah sikap yang sangat dianjurkan dalam Islam. Sedangkan operasi dan jasa bank yang ada sekarang tampaknya memang mendorong kemajuan ekonomi.23
Salah satu ulama Indonesia, yang menghalalkan bunga bank, menurut catatan Khoiruddin Nasution selanjutnya adalah H. Abdullah Ahmad, seorang ulama yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Dia mengatakan, bunga bank boleh diambil dengan syarat, persentase bunga tersebut diumumkan lebih dahulu, sehingga jika bunga diumumkan sebelumnya maka berarti seorang yang meminjam rela dengan bunga yang diumumkan.24 Di sini sebagai tambahan, hendaknya agar prosentase bunga hendaknya selalu dikontrol oleh pemerintah agar bank dalam menetapkan bunga tidak sembarangan, namun mengikuti UU pemerintah
Sementara A. Hasan, pemimpin Perguruan Persis Bangil, Jawa Timur, mengatakan bahwa riba yang haram, menurutnya, mempunyai sifat :25
1.      Terpaksa, yaitu orang terpaksa menunda hutang karena tidak mampu membayar dan pihak si peminjam menerima dengan syarat  ada bayaran tambahan.
2.      Darar, yaitu pinjaman yang sekiranya digunakan untuk berdagang dengan uang tersebut tidak akan bisa untuk yang cukup buat makan, minum dan bayar hutang.
3.      Berlipat ganda.
Adapun yang dihalalkan sifat-sifatnya adalah:
1.      Tidak ganda-berganda.
2.      Tidak membawa kepada ganda berganda.
3.      Tidak mahal, artinya sekiranya orang berusaha dengan uang tersebut tidak akan membawa kepada kerugian.
4.      Pinjaman yang produktif.
Sedangkan pada tokoh yang kontra terhadap bunga bank, di antaranya adalah Mahmud Abu Su’ud, penasihat bank Pakistan, mengungkapkan bahwa bunga itu ditinjau dari segi moril dan materiil adalah memberi kemelaratan, segi morilnya ialah pengakuan dari para ahli ekonomi bahwa bunga itu memberi kemelaratan yang besar kepada rakyat dan segi materiilnya ialah bahwa kebanyakan orang yang meminjam uang itu orang-orang kaya, dan mengambil bunga dari orang-orang miskin yang meminjam uang itu tidak selayaknya.
Selanjutnya, Afif Abdulfatah Tabbarah berpendapat bahwa memungut bunga dari bank adalah haram, karena bunga itu riba. Agama Islam sudah menetapkan bahwa modal dan usaha itu harus bersekutu di dalam untung dan rugi. Dan memungut bunga yang tetap itu berarti bahwa modal itu selalu mendapat untung, meskipun usahanya rugi.
Tokoh yang berpendapat bahwa bunga itu haram karena sangat berpegang teguh pada konteks al-Qur’an (dalam arti konteksnya bukan maknanya) yang mana al-Qur’an dan as-Sunnah—dua sumber pokok Islam melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (QS. al-Muzammil dan QS. al-Baqarah) dan mengatakan bahwa beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriyah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah riba  bukan bunga. Oleh karenanya Daoualibi, seorang ahli politik dan jurnalis Syiria mengatakan, Islam semestinya membedahkan antara bunga yang dihubungkan dengan tujuan produktif dan konsumtif. Bagi pinjaman yang berhubungan dengan usaha dan tujuan produktif, seperti untuk tujuan dangang atau usaha yang lainya, maka menjadi pantas untuk mendapatkan bagian dari keuntungan yang diperoleh si peminjam. Sebaliknya, untuk pinjaman yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari peminjam, maka tidak dipungut bunga dan digunakan prinsip saling tolong menolong.26
Kemudian menurut M. Abdul Manan, dalam bukunya “Teori dan Praktek Ekonomi Islam”, menyebutkan bahwa riba dengan nama bunga bank tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun peraturan hukum Islam. Dan ia menambahkan sebetulnya, tidak ada perbedaan yang cukup mendasar antara bunga dan riba. Islam dengan tegas melarang semua bentuk bunga betapapun hebat, dan meyakinkannya nama yang diberikan kepadanya.27 Tetapi dalam ekonomi kapitalis bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan. Dikemukan juga bahwa tanpa bunga, sistem perbankan menjadi tidak bernyawa, dan seluruh kegiatan perekonomian akan lumpuh. Sedangkan Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dibuktikan bahwa konsep Islam tentang suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari pada perbankan modern. Pada taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama sekali tidak ada hubungan dengan pengaruh volume menabung.
K.H. Mas Mansur, pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, berpendapat, bahwa bunga bank, mendirikan bank, mengurus, mengerjakan dan berhubungan dengan bank adalah haram. Sementara, M. Bustami Ibrahim (Medan) adalah ulama Indonesia lain, yang mengharamkan bunga bank. Dalam upaya menolak bunga bank, ia berkata:
“Kita tidak usah berkilah ke sini dan kemari untuk mencari-cari jalan. Sebab Allah Maha Tahu apa yang tersembunyi dibalik itu, yang sama sekali di luar kemampuan manusia. Kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri tentang apa manfaat dan kemudaratan bank. Maka walau bagaimana pun keadaan memaksanya, yang haram tetap haram. Sejalan dengan itu, dalam hal bank, sedikit dan banyak, dengan langsung atau perantara hukumnya adalah tetap haram.”28
Perlu dicatat, bahwa larangan adanya bunga tidak lebih dari pada sebuah usaha proteksi terhadap orang lemah dan melawan eksploitasi yang sekaligus mendorong penanaman modal dan buruh untuk bekerja sama dengan sebutan Mudarabah.

F. Metode Penelitian

1.      Jenis Penelitian
            Dalam penulisan sekripsi ini digunakan jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menjadikan bahan kepustakaan ini dijadikan sebgai sumber (data) utama, baik data primer maupun sekunder.
  1. Sifat Penelitian
            Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif,29 analitik dan komparatif. Penelitian ini berusaha memaparkan tentang hukum bunga bank secara umum sebelum akhirnya akan mendeskripsikan kerangka pendapat dua organisasi yang diteliti yaitu NU lewat Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, melalui data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis interpretasi tentang bagaimana metode pengambilan keputusan hukum yang dilakukan oleh kedua organisasi tersebut dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan. Kemudian menjelaskan mengenai persamaan dan perbedaan pandangan tentang keharaman dan kebolehan mengambil bunga bank
  1. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam memperoleh data adalah menggunakan pendekatan normatif, yaitu suatu usaha untuk menjelaskan tentang keharaman dan kebolehan mengambil bunga di bank dengan melihat keputusan hukum yang dimiliki  NU dan Muhammadiyah dipandang dari sisi hukum Islam. Artinya, penelitian ini juga dapat dilihat baik dari kaidah ushuliyah maupun fiqhiyyah. Hal ini penting, karena masalah bunga bank merupakan satu bagian dari kajian Islam (fiqh) dan merupakan salah satu persoalan kontemporer dari sekian banyak persoalan atau masalah-masalah baru.
  1. Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka pengumpulan data adalah dengan mengumpulkan karya-karya dari kedua organisasi tersebut. Adapun data primer, dalam NU adalah diambil dari hasil Keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204. Sedangkan Muhammadiyah, dari hasil Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur. Sementara  data sekunder diambil dari buku-buku yang dikarang oleh tokoh-tokoh lain yang dapat mendukung pendalaman dan ketajaman dalam analisis penelitian ini.
  1. Analisis Data
Dalam menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah terkumpul. penyusun menggunakan cara berfikir komparasi. Komparasi, yaitu yakni membandingkan sebuah pendapat dengan pendapat yang lain tentang hal yang sama (hukum bunga bank), baik yang memiliki nuansa pemikiran yang hampir sama atau bahkan yang sangat bertentangan.30 Dalam penelitian ini, Pendapat NU dikomparasikan dengan pendapat Muhammadiyah, sehingga dapat diketahui persamaan maupun perbedaan pendapat keduanya dan dapat ditarik suatu kesimpulan yang konkrit tentang persoalan yang diteliti.

G. Sistematika Pembahasan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pokok-pokok bahasan secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan pada tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub sebagai  perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut :
Bab satu (I) merupakan pendahuluan yang berisi: pertama, latar belakang masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang diteliti. Kedua,  pokok masalah merupakan penegasan terhadap apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Ketiga, tujuan yang akan dicapai dan kegunaan (manfaat) yang diharapkan tercapainya penelitian ini. Keempat, telaah pustaka sebagai penelusuran terhadap literatur yang telah ada sebelumnya dan kaitannya dengan objek penelitian. Kelima, kerangka teoretik menyangkut pola fikir atau kerangka berfikir yang digunakan dalam memecahkan masalah. Keenam, metode penelitian berupa penjelasan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Ketujuh, sistematika pembahasan sebagai upaya yang mensistematiskan penyusunan.
Selanjutnya, tahap kedua yaitu isi, terdiri dari tiga bab, yakni bab II, III, dan IV. Bab kedua mengulas tentang gambaran umum masalah bunga bank. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang keberadaan dan praktek bunga bank saat ini. Bab ini terbagi atas enam sub, pertama, membahas sejarah bunga bank. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kapan bunga bank itu ada (dari masa pra-Islam hingga datangnya Islam). Kedua, bagaimana Islam menilik pengertian dan landasan hukum bunga bank. Ketiga, membahas mengenai macam-macam riba dan dampaknya. Keempat, menjelaskan betapa pentingnya fungsi bank dalam kegiatan transaksi ekonomi dan kehidupan modern ini. Kelima, menerangkan sejauhmana perbedaan bank konvensional dan bank Islam dan, Kelima, mengupas mengenai riba, bunga bank dan masyarakat Indonesia. Pemaparan ini perlu untuk memahami akibat hukum yang timbul dari dilaksanakannya praktek bunga bank dalam masyarakat Indonesia sekarang.
Sedangkan bab ketiga membahas pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengenai bunga bank ditinjau dari hukum Islam. Hal ini diperlukan karena pada dasarnya penelitian ini terfokus pada praktek bunga bank tersebut. Bab ini terbagi menjadi menjadi tiga sub,  pertama,  mengulas tentang sejarah dan latarbelakang lahirnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ditinjau dari segi sosial-kemasyarakatannya. Kedua, menjelaskan pokok-pokok pikiran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kelima, mengupas pandangan Nahdlatul Ulama  dan Muhammadiyah tentang bunga bank. Hal ini dimaksudkan untuk memahami secara utuh atau mnyeluruh terhadap pandangan kedua organisasi tersebut dalam merespon praktek pembungaan dalam bank konvensional.
Selanjutnya, bab keempat, memuat pendapat NU maupun Muhammadiyah yang berkenaan dengan segi-segi persamaan dan perbedaan antara keduanya tentang bunga bank dalam kerangka perbandingan (komparatif) ditinjau dari segi ketentuan hukum dan metode yang digunakan (istinbatnya). Sehingga dari ulasan ini diharapkan akan ada kejelasan bagaimana hukum Islam memandang keberadaan bunga bank.
Bab kelima (V) sebagai bab terakhir dari keseluruhan rangkaian pembahasan, memaparkan kesimpulan dan pembahasan bab-bab sebelumnya sehingga memperjelas jawaban terhadap persolan yang dikaji serta saran-saran dari penulis berkenaan dengan pengembangan keilmuan agar dapat mencapai hal-hal yang lebih baik dan lebih maju.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tag: BUNGA BANK - STUDI KOMPARASI ANTARA PENDAPAT NU DAN MUHAMMADIYAH
no image

BATAS-BATAS HAK SUAMI DALAM MEMPERLAKUKAN ISTERI SAAT NUSYUZ DAN KEMUNGKINAN SANKSI PIDANANYA

BATAS-BATAS HAK SUAMI DALAM MEMPERLAKUKAN ISTERI SAAT NUSYUZ DAN KEMUNGKINAN SANKSI PIDANANYA

HAK SUAMI PADA ISTRI 
Oleh :  seowaps.com

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah


Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, bukan saja untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia yaitu untuk membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan yang maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban antara masing-masing suami dan isteri tersebut. Apabila hak dan kewajiban mereka terpenuhi, maka dambaan berumah tangga dengan didasari rasa cinta dan kasih sayang akan dapat terwujud.[1]

Konsep sebuah “keluarga” biasanya tidak dapat dilepaskan dari empat perspektif berikut: (1) keluarga inti (nuclear family); bahwa institusi keluarga terdiri dari tiga komponen pokok, suami, isteri dan anak-anak. (2) keluarga harmonis. (3) keluarga adalah kelanjutan generasi. (4) keluarga adalah keutuhan perkawinan. Dari keempat perspektif ini bisa disimpulkan bahwa institusi keluarga (rumah tangga) adalah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu (yang terikat dalam perkawinan), anak-anak yang bertalian erat dengan unsur kakek-nenek serta saudara yang lain, semua menunjukkan kesatuanya melalui harmoni dan adanya pembagian peran yang jelas.[2]

Umumnya setiap orang yang akan berkeluarga pasti mengharapkan akan terciptanya kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangganya. Namun kanyataanya tidak selalu sejalan dengan harapan semula. Ketegangan dan konflik kerap kali muncul, perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan memaki pun lumrah terjadi, semua itu sudah semestinya dapat diselesaikan secara arif dengan jalan bermusyawarah, saling berdialog secara terbuka. Dan pada kenyataannya banyak persoalan dalam rumah tangga meskipun terlihat kecil dan sepele namun dapat mengakibatkan terganggunya keharmonisan hubungan suami isteri. Sehingga memunculkan apa yang biasa kita kenal dalam hukum Islam dengan istilah nusyuz.

Istilah nusyuz atau dalam bahasa Indonesia biasa diartikan sebagai sikap membangkang, merupakan status hukum yang diberikan terhadap isteri maupun suami yang melakukan tindakan pembakangan atau “purik” (Jawa) terhadap pasanganya. Dan ini bisa disebabkan oleh berbagai alasan, mulai dari rasa ketidakpuasan salah satu pihak atas perlakuan pasanganya, hak-haknya yang tidak terpenuhi atau adanya tuntutan yang berlebihan terhadapnya. Jadi persoalan nusyuz seharusnya tidak selalu dilihat sebagai persoalan perongrongan yang dilakukan salah satu pihak terhadap yang lain, tetapi juga terkadang harus dilihat sebagai bentuk lain dari protes yang dilakukan salah satu pihak terhadap kesewenang-wenangan pasangannya.

Selama ini memang persoalan nusyuz terlalu dipandang sebelah mata. Artinya, nusyuz selalu saja dikaitkan dengan isteri, dengan anggapan bahwa nusyuz merupakan sikap ketidakpatuhan isteri terhadap suami. Sehingga isteri dalam hal ini selalu saja menjadi pihak yang dipersalahkan. Begitu pula dalam kitab-kitab Fiqh, persoalan nusyuz seakan-akan merupakan status hukum yang khusus ada pada perempuan (isteri) dan untuk itu pihak laki-laki (suami) diberi kewenangan atau beberapa hak dalam menyikapi nusyuznya isteri tersebut. Tindakan pertama yang boleh dilakukan suami terhadap isterinya adalah menasehatinya, dengan tetap mengajaknya tidur bersama. Tidur bersama ini merupakan simbol masih harmonisnya suatu rumah tangga. Apabila tindakan pertama ini tidak membawakan hasil, boleh diambil tindakan kedua, yaitu memisahi tempat tidurnya. Apabila dengan tidakan kedua isteri masih tetap tidak mau berubah juga, suami diperbolehkan melakukan tindakan ketiga yaitu memukulya.[3] Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qur'an dalam surat an-Nisa’ (2): 34.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri disebutkan dalam pasal 80 ayat (7), “kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyuz”.[4] Yang dimaksud dengan kewajiban suami di sini adalah kewajiban memberi nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. Seperti yang telah dijelaskan dalam ayat (4) dalam pasal yang sama sebelumnya.

Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan suami tersebut sepertinya sudah menjadi hak mutlaknya dengan adanya justifikasi hukum yang menguatkannya. Dan hal itu dapat ia lakukan setiap kali ada dugaan isterinya melakukan nusyuz. Dalam suatu kutipan kitab klasik dinyatakan, “nusyuz ialah wanita-wanita yang diduga meninggalkan kewajibannya sebagai isteri karena kebenciannya terhadap suami, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami dan menentang suami dengan sombong.[5]

Apabila dipahami dari pernyataan dalam kitab tersebut, baru pada taraf menduga saja seorang suami sudah boleh mengklaim isterinya melakukan nusyuz, jelas posisi isteri dalam hal ini rentan sekali sebagai pihak yang dipersalahkan. Isteri tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pembelaan diri, apalagi mengkoreksi tindakan suaminya. Sebaliknya, suami mempunyai kedudukan yang sangat leluasa untuk menghukumi apakah tindakan isterinya sudah bisa dikatakan sebagai nusyuz atau tidak.

Orang sering mengkaitkan konsep nusyuz sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini ada benarnya juga, karena jika isteri nusyuz suami diberikan berbagai hak dalam memperlakukan isterinya. Mulai dari hak untuk memukulnya, menjahuinya, tidak memberinya nafkah baik nafkah lakhir maupun batin dan pada akhirnya suami juga berhak menjatuhkan talak terhadap isterinya. Tentu saja pihak isteri yang terus menjadi korban eksploitasi baik secara fisik, mental maupun seksual. Hal itu diperparah lagi dengan belum adanya aturan yang jelas dalam memberikan batasan atas hak-hak suami tersebut, sehingga kesewenang-wenangan suami dalam hal ini sangat mungkin sekali terjadi. Oleh karena itu ketika berbicara persoalan isteri yang nusyuz dan hak-hak yang menjadi kewenangan suami, perlu juga diajukan batasan-batasan hak suami itu sendiri secara jelas.

Di pihak lain perlu juga diupayakan agar terciptanya sebuah ruang bagi isteri untuk bisa melakukan pembelaan atas kemungkinan segala tindak kekerasan terhadap dirinya. Dan hal itu bisa dilakukan dengan menyediakan seperangkat aturan hukum pidana yang dapat melindungi terjadinya tindak kekerasan terhadap mereka. Hal itu ditempuh karena persoalan nusyuz berangkat dari aturan hukum yang telah diterima oleh masyarakat sehingga dalam upaya menyikapinya pun harus menggunakan perspektif hukum pula. Dan itu dapat diupayakan jika batas-batas hak suami dalam memperlakukan isteri saat nusyuz telah jelas aturannya, sehingga jika sewaktu-waktu suami melampaui batas-batas yang menjadi haknya, isteri dapat melakukan tuntutan pidana.    

Di sinilah yang menjadi nilai penting dari penelitian dalam skripsi ini nanti, disamping untuk mengetahui sampai di mana batas-batas hak suami dalam memperlakukan isterinya yang nusyuz sekaligus menegaskan adanya kemungkinan sanksi pidana atas suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut. Hal ini dengan tujuan untuk melindungi isteri dari  tindakan sewenang-wenang suami. Apalagi dengan adanya rencana untuk menjadikan persoalan pidana dalam rumah tangga menjadi wewenang pengadilan agama.



Pokok Masalah


Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas, maka pokok masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.      Sampai mana batasan hak-hak suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz.                                                                   

2.      Adakah ketentuan sanksi pidana dalam menindak suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut.



Tujuan dan Kegunaan


Tujuan

a. Mengetahui sampai di manakah batas-batas hak suami dalam memperlakukan isterinya saat nusyuz.

b. Menemukan ketentuan hukum dalam bemberikan sanksi pidana terhadap suami yang melampaui batas-batas haknya dalam memperlakukan isterinya yang nusyuz.

Kegunaan

a.       Sebagai sumbangsih pemikiran dalam persoalan nusyuz agar lebih memiliki nilai keadilan.

b.      Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan Islam khususnya dalam bidang keluarga Islam.

c.       Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pembuat hukum dalam merumuskan ketetapan-ketetapan hukum, khususnya yang berkaitan dengan upaya perlindungan hukum bagi perempuan atas kekerasan dalam rumah tangga.



Telaah Pustaka


Sejauh telaah yang telah dilakukan oleh penyusun atas berbagai karya tulis baik berupa buku-buku ilmiah, skripsi, jurnal, ataupun yang lain, telah banyak ditemukan karya-karya yang membahas persoalan nusyuz, hal ini tentu saja karena tema nusyuz sendiri termasuk dalam kategori persoalan klasik. Namun dalam mencari referensi yang membicarakan tentang batas-batas hak suami dalam memperlakukan isterinya saat nusyuz dan mengkaitkannya dengan kemungkinan sanksi pidananya maka penyusun belum menemukan adanya sebuah karya yang membahasnya dalam satu bahasan secara khusus. Hal ini mungkin karena kedua persoalan tersebut berasal dari dua wilayah hukum yang berbeda, yang satu dari wilayah hukum agama yang bersifat privat sedangkan yang satunya dari wilayah hukum negara yang bersifat publik.

Di antara telaah yang sudah dilakukan penyusun terhadap karya-karya yang terbatas itu terdapat beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini yang mencoba mengkorelasikan kedua persoalan tersebut, yaitu karya-karya yang mencoba mengupas persoalan nusyuz sebagai bagian isu-isu wacana keperempuanan kontemporer baik itu yang berupa refleksi pemikiran dalam menggukuhkan pemahaman yang telah ada ataupun upaya untuk mendiskontruksinya. Dan di antara karya-karya yang dapat disebutkan di sini adalah:

Wajah Baru Relasi Suami-Isteri; Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, yang dikeluarkan oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). Buku ini merupakan sebuah telaah secara kritis terhadap kitab ‘Uqud al-Lujjayn karangan syaikh an-Nawawi yang sangat popular di kalangan pesantren. Dalam membicarakan hak-hak suami ketika memperlakukan isterinya yang nusyuz, pembahasannya diawali dengan menjelaskan makna surat al-Nisa’ (4):34. "Dan pisahlah dari tempat tidur mereka", maksudnya adalah para suami dianjurkan untuk meninggalkan para isteri dari tempat tidur mereka bukan menghindari berbicara dan memukul. Sebab, memisahkan diri dari tempat tidur memberi dampak yang jelas dalam mendidik wanita. Sedangkan kalimat "dan pukullah mereka", maksudnya adalah wanita-wanita yang nusyuz itu boleh dipukul dengan pukulan yang tidak membahayakan tubuh, hal itu dilakukan kalau memang membawa faedah. Jika tidak, maka tidak perlu melakukan pemukulan. Bahkan lebih baik jika suami memaafkan.[6]

Sebuah skripsi hasil penelitian lapangan dengan judul, “Nusyuz Sebagai Alasan Penolakan Memberi Nafkah (Studi Analisis Terhadap Putusan PA. Seleman)” yang disusun oleh Isa Ansari. Setelah dilakukan penelitian ternyata dalam memutuskan persoalan nusyuz kreteria yang dipakai oleh PA. Sleman adalah sebagaimana yang ada dalam Hukum Islam serta penafsiran hakim terhadap prinsip-prinsip yang ada. Yaitu perbuatan isteri meminta cerai kepada suami tanpa ada uzur (alasan yang dibenarkan syar’i) dan isteri meninggalkan kediaman bersama tanpa izin dari suami serta tidak mau diajak tinggal di rumah kediaman bersama. Dan dalam membuktikan terjadinya nusyuz tersebut PA. Sleman mendasarkan pada alat bukti saksi-saksi, pengakuan dan alat bukti persangkaan, hal ini sebagaimana disebut dalam surat keputusanya No. 23 / pdt.G / 94 / PA. Slm. No. 185 / pdt.G / 94 / PA. Slm. Dan No. 197 / pdt.G / 94 / PA. Slm.[7]

Skripsi tentang “Korelasi nusyuz dengan Kekerasan Terhadap Isteri, Studi Kasus di Rifka Annisa’ Women’s Crisis Center Yogyakarta” yang disusun oleh Wahid Hasyim. Sebagai hasil kesimpulan dari penelitiannya ia menyatakan bahwa nusyuz bukan merupakan sebab tunggal dan mandiri dari kekerasan rumah tangga, tetapi merupakan rangkaian peristiwa yang rumit dalam lingkaran kekerasan terhadap isteri. Di satu sisi nusyuz menjadi sebab pemicu kekerasan tetapi di sisi yang lain nusyuz adalah respon isteri terhadap tindak kekerasan suami. Dengan kata lain, kekerasan dan nusyuz telah menjadi cara dan pola komunikasi antara suami isteri.[8]

Skripsi studi tokoh, “Nusyuz Dalam Pandangan Amina Wadud Dan Relasinya Dengan Upaya Penghapusan Kekerasan Terhadap Isteri” yang disusun oleh Nailis Sa’adah. Pada bagian akhir pembahasannya penyusun mengemukakan kesimpulannya tentang pandangan Amina Wadud tentang nusyuz yang lakhir dari penafsirannya terhadap ayat 34 surat an-Nisa’. Amina wadud mendefinisikan nusyuz tidak lain hanya sebatas pengertian gangguan keharmonisan rumah tangga, dan bukan kedurhakaan isteri terhadap suami sebagaimana pendapat para mufassir pada umumnya. Karena menurutnya nusyuz tidak hanya disebabkan oleh pihak isteri saja, tetapi juga pihak suami. Oleh karena itu menurut Amina Wadud usaha penyelesaianya pun harus ditempuh secara harmonis pula, tidak boleh dengan kekerasan.[9]

Skripsi studi tokoh dengan judul “Studi Terhadap Ibn Hazm Tentang Nafkah Isteri Nusyuz”, yang disusun oleh Lindra Darnela. Sebagai sebuah kesimpulan atas studinya terhadap Ibn Hazm penyusun memberikan kesimpulannya bahwa menurut Ibn Hazm Suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya meskipun isterinya itu dalam keadaan nusyuz. Kerena menurut Ibn Hazm ukuran kewajiban suami dalam memberikan nafkak kepada isterinya itu adalah karena telah terjadinya akad nikah semata, jadi selama ikatan perkawinan itu masih ada, suami masih tetap wajib memberikan nafkah kepada isterinya itu dalam keadaan apa pun.[10]

Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan, tentang isu-isu keperempuanan dalam Islam, karya Syafiq Hasyim. Di sini banyak masalah-masalah keperempuanan  yang telah dikonsepsikan pada masa klasik dicoba untuk diurai kembali (dekontruksi) sebagai langkah awal dalam upaya memperjuangkan nasib perempuan baik dalam wilayah publik maupun domestik. Dalam wilayah domestik, salah satunya adalah dengan usaha menafsirkan kembali konsep nusyuz yang selama ini lebih mengarah pada pengukuhan otoritas kaum laki-laki dan subordinasi kaum perempuan dalam rumah tangga. Fiqh menurutnya tampak hanya mempertimbangkan kepentingan laki-laki sehingga kedudukan perempuan dalam hal ini sangat lemah. Untuk itu dalam memahami persoalan nusyuz menurutnya harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, prinsip keadilan. Kedua, prinsip Mu'asyarah bil Ma’ruf. Kedua prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip umum dari keseluruhan tata hubungan suami isteri. Baik isteri maupun suami, masing-masing harus saling mempergauli secara baik. Apabila prinsip ini benar-benar dilaksanakan, kecil kemungkinan akan terjadinya nusyuz.[11]

Perempuan Kekerasan dan Hukum. Buku yang ditulis oleh Aroma Elmina Martha ini diawali dengan uraian panjang tentang fenomena kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam wilayah domestik atau rumah tangga. Walaupun istilah kekerasan terhadap perempuan sendiri tidak digunakan dalam rumusan hukum. KUHP telah menempatkan masalah kekerasan terhadap perempuan sebagian besar dalam bab kejahatan dan kesusilaan yang termuat dalam bab XIV. Begitu pula pasal 356 tentang penganiayaan terhadap anggota keluarga termasuk terhadap isteri dimasukkan dalam bab penganiayaan.

Pasal-pasal 351, 354 dan 355, yang semuanya mengatur tentang penganiayaan, justru hukumnya diperberat dengan menambah sepertiganya, jika kejahatan tersebut dilakukan kepada ibunya, bapaknya, isteri (suami) atau anak. Secara sepesifik, domestic violence diletakkan sebagai unsur yang memberatkan (aggravating circumtances). Dan dalam KUHP sendiri tindak kekerasan yang telah diatur lebih banyak merupakan tindak kekerasan fisik, seperti pornografi, perkosaan, perbuatan cabul, penganiayaan, pembunuhan dan penculikan. Lebih lanjut lagi dijelaskan, bahwa sejumlah tindak kekerasan fisik lainnya tidak diberi sanksi pidana, dan akibatnya adalah walaupun terjadi viktimisasi terhadap perempuan, tidak dilakukan tindakan hukum apa pun terhadap perempuan, misalnya incest, marital rape dan sexual harrasment.[12]



Kerangka Teoritik


Secara etimologis, nusyuz berarti “menentang” (al-isyan). Istilah nusyuz sendiri diambil dari kata al-nasyaz, artinya bangunan bumi yang tertinggi (ma-irtafa’a minal ardi). Makna ini sesuai dengan pengertian yang ada dalam surat al-Mujadalah (58):11, “waiz\a qila unsyuzu”. Secara terminologis nusyuz berarti tidak tunduk kepada Allah SWT. untuk taat kepada suami.[13] Sedangkan menurut Imam Ragib sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer dalam bukunya menyatakan bahwa nusyuz merupakan perlawanan terhadap suami dan melindungi laki-laki lain atau mengadakan perselingkuhan.[14]

Al-Tabari juga mengasumsikan makna kata nusyuz ini dengan mengartikannya sebagai  suatu tindakan bangkit melawan suami dengan kebencian dan mengalihkan pandangan dari suaminya. Dia juga mengatakan makna literer dari nusyuz adalah menentang dan melawan. Sedangkan menurut az-Zamakhsyari, ia mengatakan nusyuz bermakna menentang suami dan berdosa terhadapnya (an ta’s\a zawjaha). Imam Fakhr al-Din al-Razi juga berpendapat bahwa nusyuz juga dapat berupa perkataan (qawl) atau perbuatan (fa’l). Artinya, ketika isteri tidak sopan terhadap suaminya ia berarti nusyuz dengan perkataan dan ketika ia menolak tidur bersamanya atau tidak mematuhinya maka ia telah nusyuz dalam perbuatan (fa’l).[15]

Rumusan konsep nusyuz yang lebih menyudutkan pihak perempuan tersebut, menimbulkan implikasi tidak hanya dalam memahami makna ayat al-Qur'an yang membicarakanya, seperti pada surat an-Nisa’ (4): 34 dan 128 tetapi juga berimplikasi dalam memahami kedudukan dan hak-hak perempuan dalam Islam. Ayat dari surat tersebut banyak dikutip oleh para ahli hukum Islam untuk menunjukkan bahwa perempuan benar-benar berada di bawah laki-laki dan bahwa laki-laki memiliki hak-hak tertentu dalam memperlakukannya, terutama saat perempuan itu (isteri) melakukan pembangkangan atau nusyuz.

Hak-hak yang dimiliki laki-laki (suami) dalam memperlakukan isterinya yang sedang nusyuz dengan mengacu pada surat an- Nisa’ (4) 34 ada tiga macam: (1) menasehati isteri yang sedang nusyuz. (2) memisahi ranjangnya. (3) boleh memukulnya. Walaupun dalam memahami ketiga hal tersebut banyak memunculkan penafsiran-penafsiran yang berbeda mengenai tujuannya, apakah murni sebagai pendidikan (li-ta’z\ib) atau lebih merupakan sebagai bentuk penghukuman suami terhadap isterinya. Kebanyakan panafsir klasik sepakat bahwa pemukulan tersebut dilakukan setelah dicoba berbagai cara untuk mempengaruhi isteri, jika dia tetap keras kepala baru diberikan pukulan ringan, bukan untuk melukai tapi untuk menghukum. Namun apa pun alasannya perosalan hak-hak suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz kiranya tetap saja menjadi ajang legitimasi yang membolehkan tindak kekerasan suami terhadap isteri.

Hal itu tentu saja berkaitan dengan batas-batas pengertian nusyuz yang belum jelas dan juga pemberian status hukum nusyuz yang merupakan hak seorang suami. Artinya, suami berhak menentukan apakah isterinya melakukan nusyuz atau tidak. Seperti halnya yang dijelaskan dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn tentang beberapa hal yang membolehkan seorang memukul isterinya antara lain; jika isteri menolak berhias dan bersolek di hadapan suami, menolak ajakan untuk tidur, keluar rumah tanpa izin, memukul anak kecilnya yang sedang menangis, mencaci maki orang lain, menyobek-nyobek pakaian suami, menarik jenggot suami (sebagai penghinaan), mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, seperti bodoh, dungu. Meskipun suaminya mencaci lebih dahulu, menampakkan wajahnya kepada orang lain yang bukan mahramnya, memberikan harta suami di luar batas kewajaran, menolak menjalin hubungan kekeluargaan dengan saudara-saudara suami.[16]

Begitu pula ketika kita mencoba memahami hak suami dalam memisahi ranjang isteri yang nusyuz. Tidak ada ketentuan yang menjelaskan secara terperinci sampai dimana batasan-batasannya. Walaupun ada sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa hijr yang dilakukan suami itu boleh dilakukan asal tidak melebihi tiga hari. Sedangkan yang lain berpendapat dengan menganalogikannya pada batas hak ila’ yaitu empat bulan. Meskipun begitu perlakuan hijr suami itu sendiri  dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual terhadap isteri. Sebab jika dikembalikan lagi pada tujuan asal perkawinan yang salah satunya adalah untuk pemenuhan kebutuhan biologis, maka sikap tidak perduli terhadap kebutuhan biologis pasangannya yang ditunjukkan dengan cara menjahui ranjangnya dan menghindari dalam berhubungan seks merupakan tindakan yang salah. Karena kebutuhan itu tidak hanya merupakan hak suami saja namun juga merupakan hak isteri.[17] Seperti yang dijelaskan oleh beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menyinggung tentang arti pentingnya penyaluran kebutuhan biologis secara sehat dan benar. Di antaranya yaitu;

أحل لكم ليلة الصيام الرفث الى نسائكم هن لباس لكم وأنتم لباس لهن علم الله انكم كنتم تختانون انفسكم فتاب عليكم وعفاعنكم[18]

Dalam ayat yang lain;



نسائكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم[19]


      

Tidak hanya sebatas hak untuk memisahi ranjang dan memukul, suami pun masih memiliki hak yang lain dalam memperlakukan isterinya yang sedang nusyuz seperti pencegahan nafkah dan penjatuhan talak. Untuk pencegahan nafkah hal ini seperti yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sesuai dengan penghasilan suami menanggung:

nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri

biaya pengobatan bagi isteri dan anak

biaya pendididkan bagi anak

Kewajiban-kewajiban di atas diperjelas lagi dengan ayat (5) kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. Begitu pula pada ayat (7) dijelaskan lagi dengan menyatakan; kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.[20]

Harus dicatat, pemberian nafkah itu berarti meliputi makanan, tempat tinggal dan pakaian. Dan hal itu wajib bagi suami ketika isteri mulai tinggal bersamanya dan mengizinkan hubungan badan setelah pernikahan, asalkan tentu saja isteri mampu untuk itu.[21] Oleh karena itu sudah semestinya jika kewajiban itu tidak hilang hanya karena perkara-perkara sepele seperti hal-hal yang diklaim suami terhadap isterinya saat nusyuz. Menurut Ibnu Hazm bahwa apa pun alasannya memberi nafkah merupakan kewajiban pihak suami sejak terjalinnya akad nikah baik suami mengajak hidup serumah atau tidak, baik isteri masih dibuaian, atau berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau fakir, masih punya orang tua atau telah yatim, gadis atau janda, merdeka atau budak, semua disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami.[22] Tidak mudah sebenarnya melacak sebab-sebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, karena tidak bisa dipungkiri kondisi sosial masyarakat kita masih beranggapan bahwa persoalan dalam rumah tangga merupakan sesuatu yang tabuh diungkapkan karena hal itu adalah urusan internal dan privasi sebuah keluarga.

Setidaknya ada beberapa faktor yang berpeluang dalam menimbulkan tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap isteri. Salah satunya adalah kekeliruan dalam memahami ajaran agama. Seperti kekeliruan dalam memahami surat An-Nisa’ (4):34 yang  sering dianggap sebagai pembolehan pemukulan suami terhadap isteri. Atau juga juga terhadap ayat dalam surat al-Baqarah (2):223 yang banyak dipahami sebagai pemberian hak terhadap suami dalam melakukan eksploitasi seksual terhadap isteri.[23] Semua itu tentu saja tidak terlepas dari asumsi dasar bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan dan mereka merupakan pihak yang berkuasa. Paradigma kekuasaan semacam itu tampaknya juga melakhirkan implikasi dalam teori perkawinan. Islam memandang bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menghalalkan laki-laki dan perempaun untuk menikmati naluri seksualnya. Melalui akad ini, isteri dianggap milik laki-laki atau suami dengan kepemilikan intifa’. Meskipun menurut sebagian ulama Syafi’iyyah, akad nikah bukanlah akad tamlik (kepemilikan), melainkan akad ibadah (pilihan).[24]

Sementara itu, seperti yang diketahui walaupun istilah kekerasan terhadap perempuan belum digunakan dalam rumusan hukum. KUHP menempatkan sebagian besar dalam bab kejahatan dengan kesusilaan. Khusus tentang penganiayaan terhadap anggota keluarga termasuk terhadap isteri dijelaskan dalam pasal 356 dalam bab penganiayaan. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pidana dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, isterinya atau anaknya.[25]

Metode Penelitian


Jenis penelitian

Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian pustaka (Library research), yaitu suatu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari pustaka, buku-buku atau karya-karya tulis yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Sumber tersebut diambil dari berbagai karya yang membicarakan mengenai persoalan-persoalan keluarga, hak-hak dan perlindungan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah tangga dan beberapa literatur tentang hukum pidana baik dari perspektif Islam maupun hukum positif.

Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, digunakan untuk melakukan inventarisasi dan identifikasi secara kritis analitis dengan melalui proses klasifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang telah berlaku selama ini dengan tujuan pertama menetapkan kreteria identifikasi untuk menyeleksi manakah norma-norma yang dapat disebut sebagai norma hukum positif, mana yang bersifat sebagai norma sosial, dan mana yang bersifat non hukum. Kedua, melakukan koreksi terhadap norma-norma yang teridentifikasi sebagai norma hukum (positif). Ketiga, mengorganisir norma-norma yang sudah diidentifikasi dan dikumpulkan ke dalam suatu sistem yang kompherensif.[26]

Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah normatif-  yuridis, pendekatan tersebut dipakai untuk menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku,[27] berupa Pendapat-pendapat ahli hukum baik hukum Islam maupun hukum positif umum untuk selanjutnya dianalisa secara kritis. Tidak lupa pula dengan mengadakan telaah terhadap fakta-fakta hukum yang relevan kemudian mengkorelasikannya dengan doktrin dan asaa-asas hukum tersebut.

Tekhnik pengumpulan data

Tehnik yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tehnik dokumentatif. Yaitu dengan mengumpulkan data primer yang diambil dari buku-buku yang secara lansung berbicara tentang permasalahan yang diteliti dan juga dari data-data sekunder yang secara tidak langsung membicarakannya namun relevan untuk dikutip sebagai pembanding.

Analisa data

Sedangkan metode yang dipakai dalam menganalisa data agar diperoleh data yang memadai dan valid adalah dengan mengunakan analisa data kualitatif. Dalam oprasionalnya, data yang telah diperoleh digeneralisir, diklasifikasikan kemudian dianalisa dengan mengunakan penalaran induktif dan deduktif. Penalaran induktif dalam prosesnya bertolak dari premisa-premisa yang berupa norma-norma hukum yang diketahui, dan berakhir (sementara) pada penemuan asas-asas atau doktrin hukum.[28] Aplikasi dari metode tersebut dalam penelitian ini adalah bertitik tolak dari upaya untuk menemukan asas-asas dan doktrin hukum tentang Batas-batas Hak Suami dalam Memperlakukan Isterinya yang Nusyuz yang telah ada untuk digeneralisir, diklasifikasi dan dianalisa guna menemukan pemahaman baru yang lebih komprehensif dan sistematis. Sedangkan penalaran deduktif dipakai untuk mengimplementasikan norma-norma hukum in abstracto yang telah ditemukan tersebut untuk dijadikan titik tolak dalam melihat dan menilai masalah in concreto, yaitu terjadinya perlakuan suami yang melampaui batas-batas haknya dan kemungkinan sanksi pidananya.



Sistematika pembahasan


Dalam upaya mengkaji pokok permasalahan yang ingin digali dalam skripsi ini, penyusun mencoba untuk menguraikannya dalam lima bab bahasan, dimana antara masing-masing bab diposisikan saling memiliki korelasi yang saling berkaitan secara logis. Seperti biasa dalam skripsi nanti akan diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan bab kelima, yaitu penutup.

Bab pertama tentang pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah untuk memberikan penjelasan mengapa penulisan ini perlu dilakukan. Apa yang melatarbelakangi penelitian ini. Rumusan masalah dimaksudkan untuk mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti agar lebih terfokus. Kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian untuk menjelaskan tujuan dan urgensi penelitian ini. Setelah itu telaah pustaka untuk memberikan penjelasan dimana posisi penulis dalam hal ini, dimana letak kebaharuan penelitian ini. Sedangkan kerangka teoritik merupakan tinjauan sekilas mengenai beberapa pandangan atau pendapat-pendapt tokoh tentang obyek bahasan yang diteliti. Adapun metodologi dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana cara yang akan dilakukan penulis dalam penelitian ini, pendekatan apa yang dipakai dan bagaimana langkah-langkah penelitian tersebut akan dilakukan. Terakhir sistematika pembahasan adalah untuk memberikan gambaran secara umum, sistematis, logis dan korelatif mengenai krangka bahasan penelitian.

 Bab kedua berisi tinjauan umum tentang nusyuz, yang mencakup pengertian nusyuz, bentuk-bentuk perbuatan nusyuz, dasar hukum perbuatan nusyuz dan akibat hukumnya. Hal ini penting dikemukakan meskipun secara umum, sebab tinjauan ini merupan pintu gerbang untuk memasuki pembahasan yang lebih spesifik dalam bab-bab berikutnya.

Bab ketiga berbicara tentang hak-hak suami dan batasan-batasannya dalam memperlakukan isteri yang nusyuz, bab ini merupakan pokok masalah pertama yang diteliti. Peneliti dalam hal ini akan mencoba mendiskripsikan berbagai pendapat atau ide-ide dari berbagai pemikir hukum Islam mengenai persoalan tersebut, sekaligus melakukan analisa secara kritis-analitis dalam menyaring setiap pendapat dari ulama yang telah ada dan memperbandingkannya dengan penafsiran kaum pemikir kontemporer guna menemukan sebuah pemahaman baru yang lebih  kontekstual dengan tuntutan kekinian. 

Bab keempat mengupas seputar tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri yang nusyuz dan kemungkinan sanksi pidana. Dalam bab ini peneliti akan mencoba mengkorelasikan hak-hak suami dalam memperlakukan isteri saat nusyuz dengan rentanya tindak kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga, yang salah satunya dipicu oleh pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama, seperti dalam memahami persoalan nusyuz. Begitu pula dalam bab ini peneliti akan mencoba mendiskripsikan mengenai ketentuan-ketentuan hukum pidana yang mengatur permasalah tindak kekerasan terhadap isteri. Hal ini merupakan upaya menemukan kemungkinan sanksi pidana terhadap suami melakukan tindak kekerasan terhadap isterinya yang nusyuz, walaupun dalam hal ini ia memiliki beberapa hak dalam memperlakukannya.
Bab kelima penutup yang mencakup kesimpulan sekaligus saran-saran berkaitan dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh penyusun sekaligus diajukan sebagai jawaban atas pokok masalah.



Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: BATAS-BATAS HAK SUAMI DALAM MEMPERLAKUKAN ISTERI SAAT NUSYUZ DAN KEMUNGKINAN SANKSI PIDANANYA
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net