• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
no image

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN SIKAP TERHADAP PERGAULAN BEBAS REMAJA DI KAMPUNG JOYONEGARAN KELURAHAN WIROGUNAN KECAMATAN

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN SIKAP TERHADAP PERGAULAN BEBAS REMAJA DI KAMPUNG JOYONEGARAN KELURAHAN WIROGUNAN KECAMATAN MERGANGSAN KOTA YOGYAKARTA
 Oleh Team www.seowaps.com


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Penegasan Judul

Untuk menghindari disinterprestasi (kesalahpahaman) dalam memahami judul skripsi ini, maka penulis memandang perlu untuk memberikan penegasan serta pembatasan lebih lanjut mengenai istilah-istilah dan maksud yang ada pada judul skripsi ini. Dalam judul ada beberapa istilah yang perlu penulis jelaskan dan dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Konsep Diri
Konsep diri menurut Hurlock dalam Catur merupakan pengertian dan harapan seseorang mengenai bagaimana dirinya yang dicita-citakan dan bagaimana dirinya dalam realita yang sesungguhnya, baik secara fisik maupun psikologiknya.[1] Konsep diri seseorang berkaitan dengan kepribadiannya. Kalau kepribadian seseorang dapat diamati dari perilakunya dalam berbagai situasi dari pola reaksinya maka konsep diri tidak langsung dapat diamati seperti halnya perilaku ekspresi seseorang, konsep diri terlihat dari pola reaksi seseorang dapat diamati dari reaksi yang tetap yang mendasari pola perilakunya.
Dalam penelitian ini penulis menegaskan ada 2 macam konsep diri yaitu konsep diri positif dan negatif. Seperti orang yang memiliki pola perilaku optimis, tidak mudah menyerah dan selalu ingin mencoba pengalaman yang baru yang dianggap berguna, pola perilaku tersebut merupakan pencerminan konsep diri positif. Sebaliknya orang yang menganggap kurang mampu, takut menghadapi hal-hal yang baru dan takut tidak berhasil maka perihal tersebut merupakan pencerminan dari konsep diri negatif.

2.   Sikap
Sikap atau attitude adalah kecenderungan untuk memberikan penilaian (menerima atau menolak) terhadap objek yang dihadapi. Pergaulan bebas adalah pergaulan yang tidak mengenal batas norma dan adat yang ada di lingkungannya. Sikap dikatakan sebagai respon evaluatif. Respons hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi yang dinyatakan sebagai sikap tersebut, timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik- buruk, positif- negatif,  menyenangkan- tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek sikap.[2]
Berdasarkan definisi di atas maka penelitian ini penulis menekankan pada respons atau sikap remaja terhadap pergaulan bebas. Sikap atau responsnya cenderung menerima atau menolak terhadap pergaulan bebas.

3. Pergaulan Bebas
Menurut Sarwono dalam Catur pergaulan bebas adalah pergaulan yang melibatkan pembauran antara laki-laki dan perempuan dengan tidak mengindahkan norma dan adat yang ada dilingkungannya.
Dalam definisi di atas penulis menekankan pada pergaulan bebas seperti pacaran di luar batas, kumpul kebo, seks di luar nikah dan lain-lain.

4. Remaja
 Remaja merupakan masa transisi kehidupan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan-perubahan fisik dan psikologisnya. Dalam penelitian ini penulis menekankan pada remaja yang berusia 12 sampai 22 tahun.

B.   Latar Belakang Masalah

Manusia dalam kehidupannya selalu membutuhkan orang sebagai teman hidup, karena manusia tidak dapat hidup sendirian. Dalam menjalani kehidupannya manusia menempati lingkungan tertentu, sehingga manusia tersebut dapat melakukan peranannya dan dapat memenuhi kebutuhannya, yang menyebabkan manusia berbuat dan bertindak sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan pergaulan dengan orang lain, agar mencapai taraf tingkah laku yang baik dalam hidupnya. Setiap individu bereaksi atau berinteraksi satu dengan yang lainnya, baik kelompok maupun dalam masyarakat. Dengan adanya interaksi ini akan menyebabkan adanya pergaulan antar individu dalam kelompok ataupun dalam masyarakat.
Dalam interaksi sosial ini terjadi proses pengaruh mempengaruhi, imitasi dan identifikasi, yang akhirnya akan terjadi perubahan sosial. Perubahan sosial yang tidak disertai dengan kesiapan diri dan peningkatan kehidupan spiritual menyebabkan mudah terjadinya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan.
Dengan kebutuhannya terhadap orang lain maka manusia harus saling kenal mengenal agar dapat bergaul satu dengan yang lain seperti Firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 :



Artinya: Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al-Hujurat  ayat 13)[3]

Pergaulan merupakan suatu hubungan antara manusia yang tidak dapat dihindarkan akan tetapi pergaulan ini seringkali menimbulkan persoalan, sehingga justru menimbulkan kesulitan bagi orang yang bersangkutan. Pergaulan yang mengakibatkan timbulnya kesulitan, kurang membantu kelancaran hidup bahkan menimbulkan kegoncangan jiwa dan akan menghambat dan merugikan individu yang bersangkutan.
Menurut Simanjuntak dalam Catur, pergaulan yang dilakukan oleh manusia akan mengakibatkan timbulnya persamaan dan perbedaan kepentingan, kewajiban dan hak. Kalau hal ini tidak diatur akan timbul kekacauan dan kerusakan. Pada hakikatnya pergaulan manusia harus tertuju pada keamanan. Ketentraman dan keselamatan maka akan menimbulkan suatu pergaulan yang hampir meremehkan moral, yang dengan kata lain disebut pergaulan bebas.[4]
Masyarakat Indonesia sedang mengalami perubahan sosial yang cepat akibat bertemunya berbagai kebudayaan dunia. Masyarakat Indonesia cenderung untuk mengikuti cara berpakaian, gaya hidup ataupun pergaulannya.
Masyarakat sebagai lingkungan yang terluas bagi remaja dan sekaligus paling banyak menawarkan pilihan dari mulai gaya hidup, nilai-nilai dan perilaku yang sebelumnya telah tertanam dalam diri remaja.
Secara fenomenal kebudayaan dalam era globalisasi mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan, khususnya dikalangan generasi muda. Meskipun dalam sisi-sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya, namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler barangkali akan ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan pada generasi muda.
Dalam kehidupan remaja selalu datang kebudayaan yang belum tentu positif pengaruhnya bagi kehidupan remaja. Remaja yang selektif akan mempelajari dan menerima kebudayaan yang baru untuk menambah wawasan bagi dirinya, dan sebaliknya remaja yang berkonsep diri negatif akan mudah terbawa arus sehingga akan terjerumus dalam kebudayaan yang merusak kepribadiannya dan remaja tersebut akan mengalami keguncangan jiwa yang menjerumus kearah kenakalan remaja atau pergaulan bebas yang tidak Islami.
Menurut Sarwono dalam Primaria pergaulan bebas merupakan pergaulan yang tidak mengenal batas norma dan adat yang ada dilingkungannya.[5]
Remaja dalam menghadapi tantangan hidupnya perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Namun demikian sebagai remaja mereka harus menyadari bahwa masa depan mereka ada ditangan mereka sendiri. Masa depan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, kebudayaan dan keluarga, akan tetapi faktor yang paling menentukan masa depan bagi remaja adalah remaja itu sendiri.
Masalah yang dihadapi remaja sangat kompleks karena pertumbuhan fisik dan mentalnya. Remaja harus menyesuaikan dari terhadap tuntutan dirinya dan harapan lingkungan yang mengakibatkan adanya perubahan pada kepribadiannya oleh karena itu remaja terkadang merasa gelisah dan cemas. Lingkungan yang baru dan norma yang ada pada lingkungan sering dirasa sebagai suatu keadaan yang menghambat remaja di dalam menyatakan dirinya secara wajar. Kondisi remaja yang seperti ini mengakibatkan kegagalan dalam menyesuaikan diri dan pencapaian konsep diri yang mantap karena ketidakmampuan dirinya berperilaku sebagai remaja yang bertanggungjawab.
Sikap dan pandangan individu terhadap seluruh keadaan dirinya merupakan pengertian konsep diri. Seseorang yang memiliki konsep diri yang baik akan mampu menghadapi tuntutan dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Sebaliknya seseorang yang memiliki konsep diri negatif kurang mempunyai keyakinan diri, merasa kurang yakin dengan kepuasannya sendiri dan cenderung mengandalkan opini dari orang lain dalam memutuskan. Dan tiap orang memiliki konsep diri yang berbeda-beda, meskipun tidak ada yang orang yang betul-betul sepenuhnya berkonsep diri positif atau negatif.
Konsep diri merupakan serangkaian pendapat individu mengenai dirinya. Seseorang yang memiliki konsep diri positif akan mampu menjalani kehidupannya berdasarkan al-Qur’an dan hadist, akan tetapi remaja yang berkonsep diri negatif perilaku mereka tidak didasari oleh al-Qur’an dan hadist sehingga mereka cenderung mempunyai perilaku dan harapan yang rendah terhadap keberhasilannya.
Al-Qur’an ataupun hadist sangat menentukan dalam membentuk konsep diri seseorang. Karena konsep diri berperan dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan remaja serta sangat mempengaruhi kepribadiannya dalam masyarakat.[6]
Keadaan serba tidak tahu banyak terjadi di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Dan ini sangat berbahaya pada masyarakatnya dan akan menimbulkan kebingungan, sebab masyarakat tidak tahu akan dirinya sendiri dan mereka harus berhadapan dengan pola kehidupan masyarakat Barat yang tidak berdasarkan atas al-Qur’an dan Hadist.
Dalam keadaan yang demikian remaja butuh suatu pegangan dalam dirinya yaitu suatu kejelasan konsep yang dapat dijadikan sarana untuk bertingkah laku dalam menghadapi segala masalah hidupnya.


C.   Rumusan Masalah

1.        Bagaimanakah konsep diri remaja?
2.        Bagaimana  sikap remaja terhadap pergaulan bebas?
3.        Apakah ada hubungan antara konsep diri dengan sikap terhadap pergaulan    bebas remaja di Kampung Joyonegaran Kelurahan Wirogunan Kecamatan  Mergangsan Kota Yogyakarta?

D. Tujuan Penelitian

1.   Untuk mengetahui konsep diri remaja.
2.   Untuk mengetahui  sikap remaja terhadap pergaulan bebas.
3.  Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara konsep diri dengan sikap terhadap pergaulan bebas remaja di Kampung Joyonegaran  Kelurahan  Wirogunan  Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta.

E.   Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
1.      Kegunaan Teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu dakwah, khususnya dalam hal   bimbingan konseling  terhadap remaja yang berkonsep diri negatif.



2.      Kegunaan Praktis
Dapat memberikan tambahan wawasan pengetahuan bagi konselor untuk menentukan suatu metode dalam melakukan konseling terhadap remaja yang berkonsep diri negatif.

F.   Kerangka Teori
1.   Sikap  
a. Pengertian Sikap
Sikap atau attitude adalah kecenderungan untuk memberikan penilaian (menerima atau menolak) terhadap obyek yang dihadapi.[7]
Ajzen dan Fishbein dalam Alimatul mengemukakan sikap merupakan perasaan yang mendalam seseorang terhadap suatu objek sikap, perasaan tersebut dapat positif maupun negatif. Sedangkan Trurstone dalam Alimatul mengatakan suatu tingkatan perasaan, baik yang mendukung atau favorabel, atau yang tidak mendukung atau unfavorabel terhadap objek sikap tersebut.[8]
W.A Gerungan berpendapat bahwa attitude dapat diterjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek. Jadi attitude lebih tepat diartikan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap sesuatu hal.[9]
Sikap menurut Louis Thurstone, Rensis Linkert, Charles Osgood adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.[10] Menurut Berkowitz sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorabel) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorabel) pada objek tersebut.[11]
Pengertian lain mengenai sikap dikemukakan oleh Secord dan Backman sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.[12]


Artinya: Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu sendiri. (Al-Maaidah:105)[13]

Menurut Cacioppo dan petty bahwa sikap merupakan evaluasi atau penilaian seseorang terhadap objek sikap yang tercermin dalam suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, mendukung atau tidak mendukung sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap tersebut.[14]
b. Struktur Sikap
Dari strukturnya sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang, yaitu :
1)      Komponen Kognitif (cognitive)
Komponen kognitif berisi persepsi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.[15]
Mann menjelaskan komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotype yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isyu, atau problem yang kontroversal.[16]
Krech dkk. dalam Alimatul, menyatakan komponen kognitif terbentuk dari pengetahuan atau kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap objek sikap, pengetahuan tersebut diperoleh dari informasi mengenai objek sikap, dan informasi ini dapat melalui pengalaman pribadi atau didapat dari orang lain, dari pengetahuan ini terbentuk keyakinan seseorang mengenai objek sikap.[17]
2)   Komponen Afektif
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
Mann berpendapat bahwa komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan perasaan menyangkut masalah emosional.[18]
Komponen afektif  merupakan emosional subjektif seseorang terhadap objek sikap yang berkaitan dengan perasaan seseorang mendukung  tidak mendukung, atau suka tidak suka terhadap suatu objek sikap.[19]
3)   Komponen Konatif
Komponen konatif atau konsep perilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Pengertian kecenderungan berperilaku menunjukkan bahwa komponen konatif meliputi bentuk perilaku yang tidak hanya dapat dilihat secara langsung saja, akan tetapi meliputi pula bentuk-bentuk perilaku yang berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan seseorang.[20]
Brigham dan Azwar dalam Alimatul menyebut sebagai behavior component yaitu kecenderungan untuk berperilaku yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapi. Dengan demikian komponen konatif ini adalah kecenderungan seseorang untuk bertindak, yaitu menjauhi, atau mendekati terhadap suatu objek sikap.[21]
c. Ciri-ciri Sikap, yaitu :
1)      Sikap tidak dibawa sejak lahir, karena sikap didapat melalui proses belajar dan pengalaman.
2)      Sikap selalu berhubungan dengan objek yang dipersepsi oleh individu.
3)      Sikap melibatkan perasaan dan motivasi.
4)      Sikap dapat berlangsung sebentar, tetapi dapat menetap, tergantung kuat tidaknya keyakinan seseorang terhadap objek sikap tersebut.[22]
d. Faktor-faktor Dalam Pembentukan Dan Perubahan Sikap
1)   Faktor-faktor Pembentukan Sikap :
a)   Pengalaman Pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat, karena sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi. Penghayatan akan pengalaman akan lebih mudah mendalam dan lebih lama berbekas.
Middlebrook menyatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut.[23]
b)   Pengaruh Orang Lain Yang Dianggap Penting
Middlebrook pada masa anak-anak dan remaja, orang tua biasanya menjadi figure yang paling berarti bagi anak. Interaksi antara anak dan orang tua merupakan determinan utama sikap anak. Sikap orang tua dan sikap anak cenderung untuk selalu sama sepanjang hidup.[24]
Gerungan menambahkan bahwa dalam keluarga seseorang merasakan adanya hubungan batin karena norma-norma kebudayaan serta sikap-sikapnya terhadap berbagai hal adalah sesuai dengan diri pribadinya. Dengan demikian dari keluarga pula seseorang memperoleh norma-norma dasar dan sikap-sikap pertama.[25]
c)   Pengaruh Kebudayaan
Burrhus Frederic Skinner menekankan pengaruh lingkungan termasuk kebudayaan dapat membentuk pribadi seseorang. Kepribadian tidak lain dari pada perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang kita alami.[26]
d)   Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti TV, radio, surat kabar, majalah dll mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang lain. Gerungan berpendapat bahwa media massa berpengaruh besar dalam membentuk dan merubah sikap. Radio, TV, surat kabar, majalah dll relatif mudah membentuk sikap orang banyak.[27]
e)   Lembaga Pendidikan Dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman antara baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal.[28]
f)    Pengaruh Faktor Emosional
Suatu bentuk sikap kadang-kadang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan tahan lama.[29]
Gerungan memberi istilah faktor ini dengan faktor intern atau faktor individu itu sendiri, karena itu faktor ini justru menjadi penentu, apakah objek sikap tertentu itu akan diterima, apakah tidak. Adanya aksi dari luar akan diseleksi oleh subjek pemilik sikap, apakah positif atau negatif, apakah cocok dengan hal yang telah diketahui sebelumnya ataukah tidak, apakah menyenangkan atau menjerumuskan.[30]
2)   Faktor-faktor Perubahan Sikap :
                Kelman menyebutkan secara khusus tentang proses yang mempengaruhi perubahan sikap adalah:
a)       Kesediaan, dimana individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau dari kelompok lain untuk memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari orang lain.
b)      Proses identifikasi, terjadi apabila individu meniru perilaku atau sikap seseorang dikarenakan sikap tersebut sesuai yang dipilihnya.
c)       Proses imitasi, dimana proses ini terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap menurut pengaruh dari luar karena sikap tersebut sesuai dengan nilai yang dianutnya.[31]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluatif atau reaksi perasaan seseorang terhadap objek adalah mendukung (favorable) atau tidak mendukung (unfavorable). Dapat dikatakan juga bahwa sikap merupakan suatu kesiapan mental dalam suatu tingkah laku yang dinyatakan langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sikap adalah faktor dari dalam dan faktor dari luar. Adapun proses perubahan dan pembentukan sikap adalah kesediaan, proses identifikasi serta proses internalisasi. Sikap juga merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku terhadap suatu objek, objek sikap berupa orang, benda atau situasi tertentu.

2.          Pengertian Pergaulan Bebas
Pergaulan merupakan suatu hubungan yang meliputi suatu tingkah laku individu. Pergaulan antar sesama manusia harus bertujuan pada keamanan, ketentraman, kesenangan dan keselamatan. Apabila dalam pergaulan khususnya remaja yang tidak bertujuan pada keamanan, ketentraman, kesenangan dan keselamatan, maka akan menimbulkan suatu pergaulan atau hubungan yang meremehkan moral.
Pergaulan bebas dan kenakalan remaja tidak dapat dilepaskan dari konteks kondisi sosial budaya jamannya. Pergaulan bebas dan kenakalan remaja berkaitan dengan kehidupan remaja yang pengaruh sosial dan kebudayaannya memainkan peranan  yang besar dalam pembentukan dan pengkondisian tingkah laku.
Menurut Gunarsa dalam Catur menyatakan pergaulan bebas adalah suatu pergaulan yang luas antara pemuda-pemudi pergaulan yang terbatas antara muda mudi yang berarti adanya suatu kekhususan, sehingga orang mengatakan bahwa kedua muda mudi tersebut berpacaran.[32]
Pengalaman berpacaran berpengaruh terhadap pergaulan bebas antara lawan jenis pada remaja. Hal ini disebabkan karena pacaran merupakan proses yang secara pasti dan perlahan-lahan menuju kearah keintiman yang lebih jauh sehingga berakibat semakin meningkatnya keinginan-keinginan seksual.
Menurut Sarwono pergaulan bebas merupakan pergaulan yang tidak mengenal batas norma dan adat yang ada dilingkungannya. Dalam pergaulan bebas yakni bergaul dengan siapa saja tidak pandang laki-laki ataupun perempuan.
a.   Fakta-fakta Yang Mempengaruhi Pergaulan Bebas Pada Remaja
         Menurut Gunarsa  fakta-fakta yang mempengaruhi pergaulan bebas , yaitu :
1)      Waktu, dengan adanya waktu luang yang tidak bermanfaat akan lebih mudah menimbulkan adanya pergaulan bebas. Dalam arti remaja putra-putri yang mementingkan hura-hura dan berkumpul dan bergadang akan lebih mudah terbawa arus pergaulan bebas.
2)      Kurangnya pelaksanaan ajaran agama secara konsekuen, terutama sekali bagi remaja yang kurang melaksanakan ajaran agama yang dianutnya.
3)      Kurangnya pengawasan terhadap remaja, orang tua terlalu ketat dan tidak memberikan kebebasan serta orang tua terlalu sibuk di luar rumah sehingga remaja kurang perhatian dan pengawasan.
4)      Adanya faham seks sekuler, yang sudah membudaya dalam pergaulan remaja dan masyarakat, misalnya :
a)       Cara-cara berpakaian yang tidak langsung menutupi bagian tubuh yang rahasia.
b)      Sistem pacaran atau tunangan yang tidak mengenal batas lagi. Dimana hubungan pria dan wanita sudah intim dan bebas layaknya suami istri yang sah.
c)       Pemilihan ratu-ratu kecantikan dan bermacam-macam kontes.
5)      Pengaruh norma baru dari luar, kebanyakan anggota masyarakat beranggapan bahwa setiap norma yang baru datang dari luar itulah yang benar, sebagai contoh ialah norma yang datang dari barat, baik melalui film, televisi, pergaulan sosial, model dan lain-lain. Remaja dengan cepat menelan apa saja yang dilihat dari film barat, contohnya pergaulan bebas.[33]
Akhir-akhir ini melalui berbagai alat komunikasi, baik melalui bacaan maupun film di televisi, remaja banyak dijadikan objek pembahasan. Pergaulan bebas pada layar televise maupun bioskop dapat merangsang remaja untuk turut membaca dan melakukan pergaulan bebas dan kenakalan remaja.
b.  Bentuk-bentuk Pergaulan Bebas
1)      Kumpul kebo yaitu pergaulan yang menjerumus ke arah seksual antara jenis kelamin yang berbeda tanpa adanya ikatan perkawinan atau hidup bersama sebelum menikah.
2)      Berpesta pora semalam suntuk tanpa pengawasan sehingga mudah menimbulkan tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab atau amoral dan asosial.
3)      Ikut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan kesulitan ekonomi maupun tujuan lain.
4)      Keluyuran pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan, akan menimbulkan perbuatan iseng yang negatif.
5)      Pelecahan seksual (sexual harassment) berarti perilaku yang menyangkut pernyataan seksual. Berbentuk komentar-komentar, gerakan isyarat hingga kontak fisik yang dilakukan dengan sengaja dan berulang-ulang yang tidak bisa diterima oleh penderita. Ragam tindakan pelecehan ini dapat berupa siulan nakal, gurauan dan olok-olokan seks, pernyataan mengenai tubuh atau penampilan fisik, nyolek atau mencubit, memandang tubuh dari atas hingga bawah, memegang tangan, meletakkan tangan di atas paha, mencuri cium, memperlihatkan gambar porno ataupun mencoba memperkosa.
6)      Pacaran yang bukan sekedar berkumpul untuk belajar, akan tetapi ada unsur rasa senang dan perasaan bergelora dengan disertai peracikan bunga api cinta.[34]
                Remaja yang terjerumus ke pergaulan bebas karena ketidak mampuan remaja dalam memanfaatkan waktu luang dan tidak dapat mengendalikan diri terhadap dorongan meniru dan kurangnya pengetahuan tentang agama. Remaja yang terjerumus ke pergaulan bebas mempunyai perilaku seperti melakukan hubungan seks di luar nikah, minum-minuman keras, ataupun berjudi.
c.  Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Sikap Remaja Terhadap Pergaulan Bebas
1)    Pribadi subjek
2)    Lingkungan keluarga
3)    Lingkungan sosial[35]
      Faktor-faktor yang berpengaruh pada sikap remaja terhadap pergaulan bebas antar jenis, dapat dilihat dari pribadi yang meliputi faktor biologis, pengetahuan tentang seks yang dimiliki, pergaulan pribadi, kebebasan, kesempatan, anggapan yang salah, umur, jenis kelamin, pendidikan dan agama.[36]
Dalam pergaulan bebas yakni bergaul dengan siapa saja tanpa pandang laki-laki ataupun perempuan atau sebaliknya. Pergaulan bebas dapat diartikan sebagai suatu proses hubungan timbal balik antara individu yang satu dengan individu yang lain, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi atau mengubah kelakuan individu yang lain.
Faturrochman menyatakan meluasnya perilaku pergaulan bebas remaja sekarang ini dikarenakan sekarang lebih bebas bertindak, mengeluarkan pendapat serta bebas dalam memilih teman, sehingga sedikit demi sedikit perilaku itu terbentuk.[37]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pergaulan bebas merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain tanpa memandang laki-laki ataupun perempuan yang saling mempengaruhi atau mengubah kelakuan individu yang lain tanpa mengindahkan batas norma agama dan adat yang ada dilingkungannya.

3.         Pengertian Sikap Terhadap Pergaulan Bebas Remaja
Kata remaja berasal dari istilah bahasa Inggris adolescence dan dari bahasa latin adolescere, artinya tumbuh menjadi dewasa dengan melalui masa peralihan yang disertai dengan perubahan-perubahan fisiknya yaitu antara usia 12-22 tahun. Menurut Gunarsa dan Turner Helms dalam Martha Yulia remaja merupakan masa transisi kehidupan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan-perubahan fisik dan psikologis. Sarwono menggunakan batasan usia 11 hingga 22 tahun merupakan mulainya perkembangan fisik, sosial dan psikologik.[38]
Gunarsa menyatakan ada beberapa ciri khas pada remaja yaitu:
a.       Ada perasaan canggung dan kaku dalam pergaulan, sehingga ada rasa rendah diri.
b.       Adanya ketidakseimbangan emosi, sehingga menyulitkan orang lain untuk mengadakan pendekatan dengan dirinya.
c.       Adanya perombakan pandangan dan pertunjuk hidup, menyebabkan perasaan kosong di dalam diri remaja.
d.      Sikap menentang orang tua atau orang dewasa lainnya.
e.       Konflik yang ada pada diri remaja sering menjadi pangkal penyebab timbulnya pertentangan dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya.
f.        Kegelisahan dan keadaan yang tidak senang menguasai diri remaja. Banyak hal yang diinginkan remaja tetapi tidak semua sanggup dipenuhinya.
g.       Remaja mempunyai keinginan besar yang mendorongnya suka melakukan segala kegiatan orang dewasa.
h.       Eksplorasi (keinginan untuk menjelajahi lingkungan alam sekitar).
i.         Banyaknya fantasi, khayalan dan bualan merupakan ciri khas remaja.
j.         Kecenderungan membentuk kelompok dan melakukan kegiatan berkelompok.[39]
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan apa yang ada pada suatu kaum, hingga lebih dahulu mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. (Ar-Ra’d:11)

Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep moral, khususnya dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individu dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani.[40]
Tugas perkembangan remaja adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah.[41]
Kadang-kadang remaja bersikap atau berperilaku di luar kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, dengan tujuan ingin memperlihatkan kemampuannya kepada orang lain ataupun orang tuanya. Kenyataan ini terlihat dalam perilaku seksual yang berhubungan dengan pergaulan sosial remaja, seperti mendekati lawan jenisnya. Remaja pria mulai terdorong untuk mendekati remaja putri dan remaja putri mulai terdorong untuk mendekati remaja pria. Hal ini disebabkan remaja bersikap positif terhadap pergaulan bebas antar jenis kelamin, dimana pergaulan bebas sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Akibatnya hamil di luar nikah merupakan fenomena yang dapat terjadi dimana-mana, baik di kota, di desa ataupun di lingkungan sekolah.

4.         Konsep Diri
a.    Pengertian Konsep Diri
Konsep dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai pengertian, pendapat (faham), rancangan (cita-cita) yang telah ada dalam pikiran.[42]
Secara umum konsep diri (self-concept) merupakan cara keseluruhan informasi yang kompleks, yang secara keseluruhan membentuk diri seseorang.[43]
William mendifinisikan konsep diri sebagai pandangan dan perasaan kita tentang diri kita.[44]
Rahmad menyatakan konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif  saja, tetapi juga penilaian individu terhadap dirinya. Jadi konsep diri meliputi apa saja yang dipikirkan dan apa yang dirasakan tentang individu sendiri.
Ada dua komponen konsep diri, yaitu :
1)      Komponen kognitif disebut citra diri (self image)
2)      Komponen afektif  disebut harga diri (self esteem)[45]
Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu, gambaran diri tersebut akan membentuk citra diri. Sedangkan komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri.
Mowen mendifinisikan konsep diri sebagai cerminan totalitas pemikiran dan perasaan individu yang merujuk pada diri sendiri sebagai sebuah objek.[46]
Mowen juga membagi tipe konsep diri menjadi delapan, yaitu : ideal self, social self, ideal social self, expected self, situasional self, extended self dan possible self.
Sementara Atwater membedakan konsep diri menjadi empat,   yaitu :
1)      Subjective self (diri subjektif) yaitu cara seseorang memandang dirinya sendiri.
2)      Body image (citra tubuh) yaitu cara seseorang memandang tubuhnya.
3)      Ideal self (diri ideal) yaitu diri yang diinginkan seseorang, termaksud aspirasi, moral ideal dan nilai.
4)      Social self  yaitu persepsi diri berkaitan dengan pengaruh sosial  yang ada.[47]
Menurut Carl Rogers dalam Yuni menyatakan konsep diri seseorang dalam kehidupan secara bertahap berkembang. Seseorang berusaha menjadi dirinya sendiri (diri aktual atau real self) dengan patokan yang disebut ideal self, yaitu diri ideal yang ingin dicapai seseorang. Keseimbangan atau ketidakseimbangan antara diri aktual dan diri ideal inilah yang menentukan kedewasaan (motority) penyesuaian (adjustment) dan kesehatan mental seseorang.[48]
Calhoun dalam Yuni menyatakan bahwa konsep diri terdiri dari tiga dimensi, yaitu:
1)      Pengetahuan terhadap diri sendiri.
2)      Harapan terhadap diri sendiri.
3)      Evaluasi terhadap diri sendiri.[49]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah persepsi individu terhadap dirinya sendiri. Persepsi terhadap diri sendiri itu bukan hanya penilaian terhadap diri sendiri melainkan juga penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Persepsi terhadap diri sendiri ini dibentuk oleh pengalaman-pengalaman dan pendapat dari lingkungan yang dipengaruhi oleh penguatan, penilaian orang lain dan pribadi individu bagi tingkah lakunya, baik segi fisik, psikis dan sosial yang akan membentuk sikap, kepercayaan dan nilai diri individu. Oleh karena itu konsep diri mempunyai pengaruh besar terhadap tingkah lakunya.
b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dan Pembentuk Konsep Diri
      1)   Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri remaja :
 a) Usia Kematangan
Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang terlambat yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.
b)  Penampilan Diri
Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang akan menambah daya tarik fisik.
c)           Kepatutan Seks
Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatutan seks membuat remaja sadar diri dan hal ini memberi akibat buruk pada perilakunya.
d)   Nama dan Julukan
Remaja peka dan merasa malu bila teman-temannya sekelompok menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan.



e)   Hubungan Keluarga
Seorang remaja mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga, akan mendefinisikan diri dengan orang ini dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama.
f)           Teman Sebaya
Seman sebaya mempengaruhi pola keperibadian remaja dalam dua cara, yaitu konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya dan ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.
g)   Kreativitas
Remaja di masa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebailiknya remaja yang sejak awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas.
h)   Cita
Remaja yang mempunyai cita-cita yang tidak realistik, ia akan mengalami kegagalan. Dan remaja yang realistik tentang kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan. Ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasaan diri yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik.[50]
                 Menurut Argyle dalam Catur faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri meliputi 4 faktor :
a)  Reaksi dari orang lain. Konsep diri terbentuk dalam waktu yang lama dan pembentukan ini tidak dapat diartikan bahwa adanya reaksi yang tidak biasa dari seseorang akan dapat mengubah konsep diri. Namun demikian reaksi yang sangat sering terjadi atau bila reaksi muncul dari orang lain yang mempunyai arti yaitu orang-orang yang dinilai, seperti orang tua, teman dekat dan lain-lain, maka reaksi ini mungkin berpengaruh terhadap konsep diri.
b) Perbandingan dengan orang lain. Konsep diri juga sangat tergantung dengan bagaimana cara individu membandingkan dengan orang lain. Individu biasanya lebih suka membandingkan dirinya dengan orang lain yang serupa dengan dirinya.
c)  Peranan seseorang, terutama orang itu mempunyai arti penting bagi individu dan dianggap individu seseorang itu mempunyai kuasa untuk mempengaruhi konsep diri seseorang.
d)  Identifikasi terhadap orang lain, individu memiliki harga diri yang tinggi biasanya memiliki orang tua yang juga memiliki harga diri yang tinggi. Biasanya salah satu cara bagaimana individu menerima peran kelompoknya di dalam mengembangkan konsep dirinya ialah dengan identifikasi terhadap orang tua yang berjenis kelamin sama.[51]
2)  Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Konsep Diri
a)      Orang Lain
Harry Stack Sullivan menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, disenangi karena keadaan kita, kita akan cenderung bersikap  menghormati dan menerima diri kita, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita. 
b)      Kelompok Rujukan (reference group)
Dalam pergaulan bermasyarakat, kita pasti menjadi anggota berbagai kelompok. Misalnya remaja masjid. Setiap kelompok mempunyai norma-norma tertentu yang berpengaruh pada emosional kita dan menjadi pembentuk konsep diri kita.[52] 
c.    Konsep Diri Positif Dan Negatif
Setiap individu pasti memiliki konsep diri, baik konsep diri positif maupun konsep diri negatif. Dalam kenyataannya tidak ada individu yang sepenuhnya memiliki konsep diri yang positif atau sepenuhnya negatif. Seperti Hamachek dalam Catur memberikan karakteristik individu yang memiliki konsep diri positif antara lain :

1)      Konsep Diri Positif 
 Hamachek dalam Catur Budi Siswantik memberikan karakteristik individu yang memiliki konsep diri positif antara lain :
a)       Ia meyakini betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat.
b)      Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak setuju dengan tindakannya.
c)       Tidak menghabiskan waktu untuk hal yang tidak perlu.
d)      Merasa sama dengan orang lain.
e)       Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalannya.
f)       Sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting  dan bernilai bagi orang lain.
g)      Dapat menerima pujian tanpa pura-pura rendah hati.
h)      Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
i)        Sanggup mengaku pada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan.
j)        Mampu menikmati dirinya secara utuh, dalam berbagai kegiatan meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan atau sekedar mengisi waktu.[53]
Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert individu yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal, yaitu :
a)       Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah.
b)      Ia merasa setara dengan orang lain.
c)       Ia menerima pujian tanpa rasa malu.
d)      Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak sepenuhnya disetujui masyarakat.
e)       Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.[54]
Ciri khas individu yang berkonsep diri positif adalah pengetahuan tentang dirinya sendiri  yang luas dan bervariasi, harapan-harapan yang realistik dan harga diri yang tinggi. Individu yang berkonsep diri positif juga mempunyai pengetahuan yang seksama tentang dirinya sendiri dan ini menjadikan individu mempunyai penerimaan diri.
Remaja yang berkonsep diri positif menetapkan tujuan-tujuannya secara masuk akal. Dia dapat mengukur kemampuannya secara objektif dalam meraih tujuan yang hendak dicapainya. Remaja berkonsep diri positif mempunyai kemampuan mentalnya, hal ini menyebabkan evaluasi remaja terhadap dirinya sendiri sebagaimana adanya.
Individu yang berkonsep diri positif akan mampu untuk bertindak mandiri, mampu bertanggung jawab, merasa bangga akan prestasi yang dicapainya dan mampu mempengaruhi orang lain.

Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang sholeh. (Al-Maaidah:93)[55]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri positif akan membawa kepribadian yang mantap, penerimaan diri sebagai seseorang yang sama berharga dengan orang lain, memberi kepuasan dalam kehidupannya dengan dunia sekitarnya tanpa harus menimbulkan gangguan mentalnya.
2)      Konsep Diri Negatif
Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert ada lima tanda individu yang memiliki konsep diri negatif, yaitu :
a)       Ia peka pada kritik. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah dan naik pitam.
b)      Orang yang memiliki konsep diri negatif, responsif sekali terhadap pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian.
c)       Memiliki sikap hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apapun dan siapapun. Mereka tidak mampu mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.
d)      Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan, dan ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan.
e)       Bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti ia enggan untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.[56]
Ciri khas individu yang berkonsep diri negatif adalah ketidakakuratan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Harapan-harapan yang tidak masuk akal dan harga diri yang rendah menyebabkan remaja kurang percaya diri akan kemampuannya.
Individu yang mempunyai pemahaman atau pengetahuan yang kurang atau sedikit tentang dirinya, ia tidak sungguh-sungguh mengetahui siapa dia, apa kelebihan dan kekurangannya. Bagi remaja yang berkonsep diri negatif, evaluasi diri yang dimilikinya juga meliputi penilaian yang negatif terhadap dirinya. Remaja merasa tidak pernah cukup, baik dengan apa yang dirasakannya dan selalu membandingkan apa yang akan dicapai dengan yang dicapai orang lain.
Seperti Firman Allah :

Artinya : Tidak sama orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu (Az-Zumar :9)[57]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri negatif akan cenderung membuat individu bersikap tidak efektif, ini akan terlihat dari kemampuan interpersonal dan penguasaan lingkungan dalam masyarakat.

G.  Hipotesis
Hipotesis menurut Winarno Surachmad adalah perumusan jawaban sementara terhadap suatu soal, yang dimaksudkan sebagai tuntunan sementara dalam penyelidikan untuk mencari jawaban yang sebenarnya.[58]
Untuk kepentingan uji statistik diperlukan sesuatu untuk membandingkan hipotesa kerja, maka hipotesa kerja (HK) di atas diubah menjadi hipotesa nihil (HO) sebagai berikut :
Ha :  Ada hubungan antara konsep diri dengan sikap terhadap pergaulan bebas remaja di Kampung Joyonegaran Kelurahan  Mergangsan Kota Yogyakarta.
Ho : Tidak ada hubungan antara konsep diri dengan sikap terhadap     pergaulan bebas remaja di Kampung Joyonegaran Kelurahan  Mergangsan Kota Yogyakarta.
Agar peneliti tidak memiliki prasarangka dan dapat bersikap jujur, tidak terpengaruh terhadap pernyataan hipotesa kerja (HK), kemudian hipotesa nihil (HO) dikembalikan lagi ke hipotesa kerja (HK) pada rumusan akhir pengetasan hipotesa.

H. Metode Penelitian          
Metode penelitian merupakan suatu cara yang dilakukan untuk menemukan atau menggali sesuatu yang telah ada, kemudian diuji kebenarannya yang masih diragukan.

1.       Subyek dan Obyek Penelitian.
a.   Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah semua pihak yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Yang menjadi subyek penelitian ini adalah remaja yang tinggal di Kampung Joyonegaran Kelurahan Wirogunan Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta.
Berdasarkan jumlahnya remaja di Kampung Joyonegaran Kelurahan Wirogunan Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta sebanyak 160 orang. Karena berjumlah 160 orang maka penulis menggunakan penelitian populasi. Populasi atau universe adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga.[59]
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang tinggal baik warga asli maupun yang hanya kost di Kampung Joyonegaran Kelurahan Wirogunan Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta.

Karakteristik populasi dalam penelitian ini berdasarkan tingkat pendidikan subjek.


Tabel. 1
Penentuan populasi


No
Klasifikasi
Populasi
1.
Remaja pelajar SMP
30
2.
Remaja pelajar SMU
40
3.
Mahasiswa
90
Jumlah
160

b.   Obyek Penelitian
Obyek kajian dalam penelitian ini adalah hubungan antara konsep diri dengan sikap terhadap pergaulan bebas remaja.

  1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai oleh peneliti untuk memperoleh data yang akan diselidiki. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
a.       Metode Angket atau Kuesioner.
Metode angket atau kuesioner adalah suatu cara atau metode penelitian berupa daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subyek. Angket dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkapkan data tentang variabel yang akan diteliti dan angket ini digunakan sebagai metode pokok dikarenakan metode ini digunakan untuk mengungkapkan data-data primer dalam penelitian[60]
Bentuk pertanyaan dalam angket ini bersifat tertutup artinya subyek memilih satu di antara beberapa alternatif jawaban yang telah disediakan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua macam angket, yaitu angket konsep diri dan angket sikap terhadap pergaulan bebas remaja.
1)   Angket Konsep Diri
Angket ini berbentuk pilihan, yaitu subyek diminta untuk memilih satu jawaban yang dianggap sesuai dari empat pilihan yang disediakan.
Angket konsep diri yang disusun berdasarkan 5 aspek konsep diri yang dikemukakan oleh Fitts, yaitu :
a)   Diri Fisik (physical self), menggambarkan bagaimana individu memandang tubuh, keadaan kesehatan, penampilan fisik, keahlian dan seksualitasnya.
b)   Diri Pribadi (personal self),  mencerminkan perasaan mampu dan evaluasi terhadap kepribadian terlepas dari fisik atau hubungannya dengan orang lain.
c)   Diri Moral-etik (moral-ethical self), mencerminkan diri dalam konteks moral-etik, arti dan nilai moral, hubungan dengan Tuhan, perasaan menjadi orang yang baik atau jelek serta kepuasan dan ketidakpuasan terhadap agama yang dianutnya.
d)   Diri Keluarga (family self), mencerminkan perasaan mampu, berharga, dan berarti sebagai anggota keluarga.
e)   Diri Sosial (social self), mencerminkan perasaan mampu dalam berinteraksi dengan orang lain secara umum.[61]  
Dalam penelitian ini jawaban pada setiap pertanyaan dalam angket yang bersifat favorabel dan unfavorabel.
Favorabel yang mengandung skor sebagai berikut : Sangat Setuju (SS)  diberi skor 4, Setuju (S) diberi skor 3, Tidak Setuju (TS) diberi skor 2,  Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 1.
Unfavorabel yang mengandung skor sebagai berikut : Sangat Setuju (SS)  diberi skor 1, Setuju (S) diberi skor 2, Tidak Setuju  (TS) diberi skor 3, Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 4
2)   Angket Sikap Terhadap Pergaulan Bebas
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui atau mengungkap sejauhmana sikap terhadap pergaulan bebas pada remaja digunakan angket sikap terhadap pergaulan bebas.



Angket sikap terhadap pergaulan bebas berdasarkan aspek-aspek sebagai berikut:
a)   Aspek Kognitif, akan menjawab pertanyaan apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Obyek yang dimaksud seperti pakaian seksi, pacaran, pulang larut malam dll.
b)   Aspek Afektif, menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan senang atau tidak senang terhadap obyek. Obyek yang dimaksud seperti ciuman, bergandengan tangan, bergaul dengan lawan jenis dll.
c)   Aspek Konatif, akan menjawab pertanyaan apa dan bagaimana kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap suatu obyek. Obyek yang dimaksud seperti berganti-ganti pasangan, kumpul kebo, seks di luar nikah dll.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengandung sikap yang favorabel dan unfavorabel.
Dalam penelitian ini, jawaban pada setiap pertanyaan dalam angket yang favorabel mengandung skor sebagai berikut : Sangat Setuju (SS)  diberi skor 4, Setuju (S) diberi skor 3, Tidak Setuju (TS) diberi skor 2, Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 1.
Unfavorabel yang mengandung skor sebagai berikut : Sangat Setuju (SS)  diberi skor 1, Setuju (S) diberi skor 2, Tidak Setuju (TS) diberi skor 3, Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 4.

b.   Metode Observasi
Metode observasi merupakan salah satu metode penelitian dengan cara mengamati dan melakukan pengamatan, pencatatan sistematis terhadap fenomena yang diselidiki.[62]
Metode observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data-data yang berupa kenyataan atau bahan-bahan keterangan tentang kondisi dari obyek penelitian. Dan metode penelitian yang penulis pakai adalah metode observasi nonpartisipan, karena penulis bukan merupakan bagian dari subyek penelitian.

3.   Uji Coba
Uji coba angket dilakukan pada 30 orang subyek uji coba angket terpakai. Adapun pelaksanaan uji coba angket dengan menyebar angket kepada seluruh subjek uji coba.  Adapun pelaksanaan uji coba angket dengan cara menyebar angket kepada mahasiswa Sarjanawiyata. Setelah angket diisi oleh subyek kemudian dikembalikan  kembali pada peneliti. Dari angket yang terkumpul tersebut di dapat skor angka kasar yang kemudian diuji dengan validitas dan relibialitas.




4.  Validitas dan Reliabilitas
Setelah angket diuji cobakan kepada mahasiswa universitas Sarjanawiyata Tamansiswa untuk selanjutnya dilakukan uji validitas dan relibialitas. Validitas dan reliabilitas merupakan dua hal yang saling berkaitan dan menentukan alat ukur. Dengan alat ukur yang kualitasnya tinggi maka hasil dari suatu penelitian akan menghaasilkan kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian suatu alat ukur penelitian sebelum digunakan haruslah memenuhi persyaratan valid dan reliabel sehingga alat-alat ukur tersebut tidak menyesuaikan hasil pengukuran dan kesimpulan.
a.       Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dapat dikatakan validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut.[63]
b.       Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauhmana alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.



5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang ditetapkan pada penelitian ini adalah metode analisis statistik, dengan uji korelasi product moment dari person,  alasannya adalah bahwa statistik merupakan cara ilmiah yang  dipersiapkan untuk mengumpulkan, menyusun, menyajikan dan menganalisis data penelitian yang berwujud angka-angka. Lebih dari itu statistik diharapkan dapat menyediakan dasar-dasar yang dapat dipertanggung jawabkan untuk menarik kesimpulan yang benar dan mengambil keputusan yang baik.
Analisis dilaksanakan dengan bantuan komputerisasi dari SPS 2000 Edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Versi IBM/IN, Hak Cipta tahun 2001 Dilindungi Undang-undang.

6.   Variabel Penelitian
Menurut Winarno Surachmat variabel dibedakan menjadi dua, yaitu :
a.       Variabel bebas atau variabel eksperimen yaitu variabel yang diselidiki sepenuhnya.
b.       Variabel terikat atau variabel ramalan yaitu variabel yang diramalkan akan timbul dalam hubungan yang fungsional atau sebagai pengaruh dalam variabel bebas.[64]
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu :
a.    Variabel bebas (x)    : Konsep diri
b.   Variabel terikat (y)  : Sikap terhadap pergaulan bebas remaja

7.   Definisi Operasional
a.    Konsep Diri
Konsep diri adalah gambaran seseorang tentang dirinya sendiri secara keseluruhan, yang merupakan hasil pengenalan diri yang diperoleh melalui serangkaian proses pemikiran, perasaan, persepsi, dan evaluasi tentang dirinya sendiri, yang di dapatkan dari interaksi dengan orang lain, sebagai satu kesatuan bertindak dan bereaksi. Angket konsep diri diungkap melalui:
1)  Diri Fisik
2)  Diri Pribadi
3)  Diri Moral-etik
4)  Diri Keluarga
5)  Diri Sosial
b.   Sikap Terhadap Pergaulan Bebas Remaja
Sikap terhadap pergaulan bebas adalah kecenderungan untuk bertingkah laku terhadap obyek. Obyek yang dimaksud adalah individu melakukan hubungan timbal balik antara yang satu dengan yang lain tanpa pandang laki-laki atau perempuan yang saling mempengaruhi atau mengubah perilaku individu tanpa mengindahkan batas norma yang ada. Untuk mengetahui sikap terhadap pergaulan bebas maka diungkap dengan alat ukur sikap terhadap pergaulan bebas yang berupa angket. Angket sikap terhadap pergaulan bebas diungkap melalui :
1) Aspek Kognitif
2) Aspek Afektif
3) Aspek Konatif

I.    Sistematika Pembahasan
Pembahasan penelitian dalam skripsi ini terdiri dari 4 bab. Masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab dengan sistematika sebagai berikut :
1.       Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi penegasan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesa. Metode penelitian dan sistematika pembahasan.
2.       Bab II membahas tentang gambaran umum kampung Joyonegaran Kelurahan Wirogunan Kecamatan Mergangsang Kota Yogyakarta yang meliputi  letak georafis dan kondisi remaja di kampung Joyonegaran.
3.       Bab III merupakan inti dari pembahasan skripsi ini. Dalam bab ini penulis mendeskripsikan secara menyeluruh tentang analisis data yaitu menganalisis konsep diri dan sikap terhadap pergaulan bebas dari masing-masing variabel,  dan menganalisis hubungan antara konsep diri dan sikap terhadap pergaulan bebas.
4.       Bab IV merupakan bab terakhir dalam skripsi ini. Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD


Tags: HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN SIKAP TERHADAP PERGAULAN BEBAS REMAJA DI KAMPUNG JOYONEGARAN KELURAHAN WIROGUNAN KECAMATAN
no image

HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA (KAJIAN PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN AL-MAUDUDI)

HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA 
( KAJIAN PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN AL-MAUDUDI )

LEMBAGA NEGARA
Oleh Team www.seowaps.com

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dilihat dari kacamata historis, ide konkrit mengenai pemisahan kekuasaan negara di negara-negara barat mulai muncul ke permukaan sejak paham absolutisme mencuat khususnya oleh Stuart di Inggris dan Louis XIV di Perancis. Sebagai kritik atas kekuasaan absolut raja-raja Stuart, seorang filosof Inggris yang bernama John Locke (1632-1711) melalui bukunya Two Treatises on Civil Government (1690) mengemukaan sebuah doktrin mengenai pemisahan kekuasaan. Dan ia dianggap sebagai pencetus pertama doktrin ini, yang mana mengandung suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan negara sebaiknya tidak diserahkan pada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.[1] Menurut Locke, kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain yaitu kekuasaan legislatif sebagai pembuat hukum; eksekutif sebagai pelaksana hukum sekaligus mengadili para pelanggar hukum dan federatif yang berkuasa mengatur perang dan damai, liga dan aliansi, dan semua transaksi yang melibatkan komunitas masyarakat di luar negeri.2
Kondisi yang serupa juga terjadi di Perancis di masa pemerintahan Louis XIV (1638-1715). Ia adalah sampel dari sosok penguasa monarki absolut dengan pernyataannya yang terkenal: ”L`etat c`est moi” (aku adalah negara).3 Sistem monarki yang dibangun oleh Louis XIV adalah dengan melemahkan peranan parlemen dan menyerap seluruh bentuk kekuasaan melalui keputusan eksekutif.4 Dan satu-satunya pemikir di masa ini yang paling vokal menyerukan kritik terhadap absolutisme Louis XIV adalah Charles Louis de Secondat de la Brede et de Montesquieu (1689-1755), seorang filosof sekaligus politikus Perancis yang mengemukakan konsep pemisahan kekuasaan melalui bukunya L`Esprit des Lois (Jiwa Hukum) (1748). Menurut Montesquieu, kekuasaan negara terpisah dalam tiga bagian diantaranya Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif (Judicial). Legislatif adalah penguasa pemberlaku Undang-Undang yang bersifat sementara atau tetap, mengubah atau menghapus Undang-Undang yang telah diberlakukan. Eksekutif sebagai penguasa yang menetapkan perang dan damai, mengirim dan menerima duta, menjamin keamanan publik dan menghalau adanya invasi. Serta kekuasaan Yudikatif yang memberi hukuman para penjahat atau memutuskan perselisihan yang timbul antar perorangan.5 Mengenai hubungan antar ketiga lembaga tersebut, Montesquieu menekankan pada pemisahan secara mutlak satu sama lain,
baik mengenai tugas atau fungsi maupun mengenai alat perlengkapan atau organ
yang melakukannya.6
Dalam lapangan praktis sejarah Islam, hubungan antar lembaga negara secara substansial telah berlangsung dengan begitu dinamis pada masa Khulafa al-Rasyidin (632-661). Para khalifah tidak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan pengaturan pemerintahan atau perundang-undangan kecuali dengan bermusyawarah dengan kaum cendikiawan diantara kaum Muslimin.7 Dan meskipun para hakim diangkat berdasar keputusan para Khulafa, namun para hakim itu memiliki kebebasan dari segala ikatan dan tekanan, kecuali ketakwaan pada Allah swt, ilmu dan nurani mereka. Sehingga mereka memperlakukan khalifah seperti salah seorang diantara rakyat awam dan mengadili mereka apabila ada perkara yang dihadapkan melawan mereka.8 Setelah berlalunya masa Khulafa al-Rasyidin, konsep musyawarah tidak lagi dijadikan dasar jalannya pemerintahan. Para penguasa menjauhkan diri dari para ahli ilmu yang berani menyatakan segala yang haq. Dan bila penguasa mengadakan musyawarah, maka peserta musyawarah bukanlah kaum pemikir yang dipercayai oleh umat keahlian dan keteguhan agamanya, namun hanya terdiri dari para keluarga kerajaan atau pejabat-pejabat istana.9 Pada masa Umayah(661-743) misalnya, fungsi eksekutif dan yudikatif menjadi satu dalam diri khalifah sehingga khalifah memiliki otoritas penuh untuk mengendalikan kekuasaan peradilan.10
Keadaan yang tidak jauh berbeda terus mewarnai sejarah pemerintahan Islam. Dalam catatan sejarah, bentuk monarki di dunia Islam – dimana peranan eksekutif mendominasi dengan kuat – berlangsung dari tahun 661 yaitu sejak masa Dinasti Umayah di Damaskus sampai dengan tahun 1924 setelah lembaga khilafah di Turki dihapuskan. Bentuk monarki dalam hal ini adalah monarki absolut hingga pada tanggal 23 Desember 1876 Turki Usmani merubah sistem monarki absolut ke monarki konstitusional yang berfungsi untuk membatasi kekuasaan eksekutif yang absolut.  Sebelum itu pada Januari 1861, Tunis juga berubah menjadi sistem monarki konstitusional. Dua negara inilah yang merupakan pelopor hampir seluruh pemerintahan di dunia Islam untuk mempunyai konstitusi pada abad ke-20.11
Pada pertengahan abad ke-20, seorang ulama besar sekaligus politikus dari negeri metamorfosis India-Pakistan, Abul A`la al-Maududi (1903-1979), menyegarkan kembali wacana politik Islam melalui The Islamic Law and Constitution yang berisi kumpulan berbagai ceramah beliau; dan al-Khilafah wa al-Mulk yang berisi   tinjauan kritis atas praktek pemerintahan Islam khususnya pada masa Umayah dan Abbasiyah.
Pada penghujung tahun 1930, Muhammad Iqbal (1873-1938) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948) dari Liga Muslim India menyerukan pembagian India dan pembentukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah. Disisi lain, Abdul Kalam Azad (1888-1958) dari Partai Kongres dengan gigih mendukung gabungan Muslim-Hindu dalam gerakan Nasionalisme India dengan membentuk negara India yang merdeka, bersatu dan sekuler.
Abul A`la al-Maududi menolak dua posisi dominan ini. Sikap ini berdasar pada keberatan atas bentuk nasionalisme, bahkan terhadap nasionalisme muslim. Karena menurutnya, nasionalisme adalah gejala dari barat yang berlawanan dengan Islam.12 Walaupun al-Maududi keberatan terhadap pembentukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah atas dasar nasionalisme muslim, namun Setelah terbentuknya Pakistan pada tanggal 15 Agustus 1947 dengan Muhammad Ali Jinnah (Quadi Azam) sebagai Gubernur Jenderal dan Liaquat Ali Khan sebagai Perdana Menteri,13 al-Maududi akhirnya menerima realitas politik itu dan tetap berada dalam wilayah Pakistan.14
Meskipun ideologi dan lambang-lambang keagamaan sudah digunakan oleh Liga Muslim dalam pembentukan Pakistan, namun tidak ada pemahaman dan aplikasi yang jelas mengenai ideologi Pakistan. Permasalahan ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang teramat sederhana: Apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa Pakistan itu negara Islam modern ataupun negara muslim modern? Bagaimana ciri Islam itu dicerminkan dalam ideologi dan lembaga-lembaga negara?15 Ketika para pemuka negara baru itu berusaha merumuskan ideologi dan system pemerintahan Pakistan, Jamaat Islami (JI) – organisasi yang didirikan dan dipimpin oleh al-Maududi – melakukan tekanan untuk terbentuknya negara Islam dan segera maju ke depan dalam perdebatan (1948-1956) mengenai perumusan konstitusi Pakistan yang pertama.16
Dalam berbagai tekanan dan perdebatan itulah al-Maududi menguraikan berbagai permasalahan penting seputar prinsip-prinsip pembentukan negara Islam yang didalamnya juga disebutkan tentang berbagai lembaga negara dan hubungan yang terjalin antar lembaga tersebut.
Dalam pemikiran beliau, lembaga-lembaga negara dalam suatu negara Islam terdiri dari ahl al-hall wa al-`aqd yang berfungsi sebagai pembuat Undang-Undang, Umara sebagai penegak Undang-Undang, dan Qadha sebagai pemutus perkara atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat.17 Menurut al-Maududi, masing-masing lembaga negara haruslah terpisah, tetapi tidak secara mutlak. Setiap lembaga memiliki fungsi yang – dalam berbagai kondisi – saling terbuka satu sama lain. Sebagai contoh, menurut al-Maududi, lembaga yudikatif memiliki hak untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang dibuat legislatif jika bertentangan dengan konstitusi yang tertinggi yaitu al-Qur`an as-Sunnah.18 Berbeda dengan Montesquieu yang dengan konsep pemisahan kekuasaan mutlaknya melarang seorang hakim untuk ikut campur dalam kekuasaan legislatif.19
Disini penyusun mengalami kegelisahan akademis yang cukup kuat untuk mengangkat pemikiran kedua tokoh ini. Pelaksanaan ajaran Trias Politika Montes-quieu setidaknya telah melahirkan tiga macam sistem pemerintahan, antara lain sistem pemerintahan kabinet Presidensiil seperti di Amerika Serikat; sistem pemerintahan kabinet Parlementer seperti di Inggris; dan sistem Referendum se-perti di Swiss. Ketiga sistem pemerintahan tersebut semuanya berpedoman pada ajaran Trias Politika Montesquieu, hanya saja hasil penafsirannya yang berma-cam-macam sesuai dengan keadaan sistem ketatanegaraan negara yang bersang-kutan.20 Disini bisa kita lihat bahwa pemikiran Montesquieu tentang hubungan an-tar lembaga negara telah menjadi referensi utama dan sangat berpengaruh bagi sistem pemerintahan nega-ra-negara barat. Yang kemudian menjadi kegelisahan penyusun adalah bagaima-nakah pemikiran Islam mengenai hubungan antar lembaga negara? Apakah prin-sip Montesquieu tentang masalah ini disamping paling populer juga merupakan yang paling ideal? Lalu bagaimana seharusnya sikap negara-negara muslim terha-dap sistem pemerintahannya sendiri? Apakah juga harus berupa hasil penafsiran dari pemikiran Montesquieu? Atau dari kerangka dasar Al-Qur`an dan As-Sun-nah? Menurut penyusun, jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh politik Islam lain seperti Al-Mawardi, Ibnu Abi Rabi`, Al-Farabi, Ibnu Khaldun, ataupun Ibnu Tai-miyah; maka Abul A`la Al-Maududi adalah tokoh yang paling representatif dalam menampilkan masalah hubungan antar lembaga negara dalam kerangka Islam. Al-Maududi merupakan tokoh Islam yang paling detail dan rinci dalam membahas masalah hubungan antar lembaga negara; disamping beliau memandangnya sesuai dengan kondisi umat Islam yang paling dekat dengan masa sekarang.
Berangkat dari latar belakang ini sangat menarik untuk dikaji lebih jauh dan mendalam lagi bagaimana sebenarnya pemikiran Montesquieu dan al- Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara yang selalu menjadi dinamika tiada henti dan wacana hangat bagi sistem politik negara-negara di berbagai belahan dunia.

 

B. Rumusan Masalah

Pokok permasalahan yang akan dipaparkan pada bagian pembahasan antara lain:
1. Bagaimana pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubung-an antar lembaga negara?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi  mengenai hubungan antar lembaga negara?
3. Bagaimana konsep yang ideal mengenai hubungan antar lembaga nega-ra?

C. Tujuan Dan Kegunaan

Tujuan penulisan skripsi ini antara lain:
1. Untuk menjelaskan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara.
2. Untuk memaparkan persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara.
3. Untuk memaparkan konsep yang ideal mengenai hubungan antar lemba-ga negara.
Kegunaan dari penulisan skripsi ini antara lain:
1. Dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menyumbangkan pemikiran dalam rangka memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang fiqh siyasah, sebagai bagian dari mata kuliah yang diajarkan di Fakultas Syari`ah.
2. Dapat merupakan salah satu sumbangan pemikiran untuk memperkaya kepustakaan hukum Islam pada umumnya dan ilmu hukum tata pemerintahan pada khususnya.

D. Telaah Pustaka

Untuk menghindari duplikasi karya tulis ilmiah serta untuk menunjukkan keaslian penelitian ini, maka dirasa perlu mengkaji berbagai pustaka yang berkaitan dengan penelitian dalam skripsi ini.
Sepengetahuan penulis, kepustakaan yang membahas pemikiran Montes-quieu dan Al-Maududi dari sudut pandang hubungan antar lembaga negara belum ada. Buku-buku yang pernah ditulis kebanyakan berbicara politik dan tata peme-rintahan secara umum. Yang cukup terfokus pada tema ini misalnya karya Ismail Suny yang berjudul Pembagian Kekuasaan Negara21 yang berupa penyelidikan perbandingan dalam hukum tata negara Inggris, Amerika Serikat, Uni Sovyet dan Indonesia. Pada deretan skripsi, sebagian pemikiran politik Al-Maududi telah dibahas oleh beberapa penyusun. Diantaranya seperti Tri Yudianto Ahmadi yang membawa judul Konsep Majelis Syura Menurut Pemikiran Abul A`la al-Maududi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Menurut Hukum Tata Negara Republik Indonesia.22 Ach. Noor Busthomi membahas Studi Kritis terha-dap Konsep Syura Sayyid Abul A`la al-Maududi dan Implementasinya Dalam Sistem Poltik Islam.23 Mochammad Imran membahas Konsepsi Kekuasaan Menurut al-Maududi dan Relevansinya di Indonesia yang lebih mengedepankan konsepsi kekuasaan secara umum. Moch. Imran sedikit menyinggung masalah hubungan antar lembaga nega-ra menurut al-Maududi. Disana ia hanya mengemukakan bahwa lembaga negara berfungsi secara terpisah serta mandiri satu sama lain.24 Disinilah letak kerancuan dan kesulitan untuk membedakan antara istilah Separation of Powers (Pemisahan Kekuasaan) dan Division of Powers (Pembagian Kekuasaan).25 Karena kajian tentang hubungan antar lembaga negara tidaklah hanya terbatas pada pemisahan organ tetapi juga interaksi yang kompleks diantara lembaga-lembaga tersebut. Pemikiran al-Maududi tentang hubungan antar lembaga negara jauh lebih dalam lagi. Jika kita teliti lebih jauh, ternyata alur pemikiran al-Maududi menyatakan bahwa fungsi dan kontrol antar lembaga negara sama sekali tidak terpisah secara mutlak sehingga disini diperlukan pembahasan yang lebih segar dan baru lagi, ter-utama ketika pemikiran al-Maududi dibandingkan dengan pemikiran Montesquieu yang setelah penulis mensurvey literatur-literatur terdahulu, belum ada sama sekali yang membahas hal tersebut.
E. Kerangka Teoritik
Dalam wacana politik barat, salah satu usaha untuk membatasi kekuasaan para penguasa adalah dengan melemahkan kedudukan mereka. Pelemahan itu bisa dengan jalan pemilihan oleh rakyat, pembagian kekuasaan dan pengawasan jurisdiksionil. Pembagian kekuasaan merupakan salah satu cara terbaik untuk mencegah keotoriteran penguasa atas rakyat.26
Cara ini oleh Ivor Jennings dalam bukunya The Law and The Constitution disebut dengan Pemisahan Kekuasaan. Ia membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti material dengan pemisahan dalam arti formal.27
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan yang dipertahankan dengan tegas dalam tugas dan fungsi antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.28 Penafsiran terhadap ajaran Montesquieu terletak pada pemisahan jenis ini. Menurut ajaran ini tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh-mempengaruhi antar kekuasaan yang satu dengan lainnya, masing-masing terpisah dalam menjalankan fungsi dan tugas mereka.29
Doktrin Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan ini memiliki pengaruh besar pada tata pemerintahan Amerika Serikat. Namun para penyusun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat menganggap perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya. Untuk itu setiap cabang kekuasaan diberi hak untuk mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Sistem ini dikenal dengan sebutan checks and balances dimana pemisahan kekuasaan tidak dipertahankan dengan tegas. Inilah yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal.30
Salah satu prinsip pokok bagi pemerintahan Islam adalah permusyawarat-an.31 Prinsip Syura ini telah ditetapkan dalam al-Qur`an yang turun sebelum em-pat belas abad yang lampau. Sedangkan daratan Eropa tidak mengenal istilah par-lemen kecuali pada abad ke sembilan belas. Ayat pertama tentang perintah bermu-syawarah ditujukan pada Rasulullah saw (dan orang-orang Islam sesudah beliau): “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Ali Imran:159). Dalam ayat kedua, perintah musyawarah disebutkan setelah perintah mendirikan shalat ketika mensifati orang-orang yang taat pada Allah swt: “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka.” (asy Syura: 38).32
Prinsip musyawarah dalam pemerintahan Islam haruslah berada dalam kerangka ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.33 Dalam surat an-Nisa ayat 59, Allah swt berfirman:
يايّهاالّذين امنوااطيعواالله واطيعواالرّسول واولىالامر منكم فان تنازعتم في شئ فردّوه الىالله والرّسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخرذلك خيروّاحسن تأْويلا.                                                                        
Dengan adanya kerangka ini, seluruh ruang lingkup kegiatan dalam suatu negara haruslah dibatasi oleh konstitusi tertinggi yang berupa al-Qur`an dan as-Sunnah. Kedaulatan yang dimiliki rakyat haruslah terkendali oleh kedaulatan hukum Tuhan dan Rasul-Nya. Dalam pengertian inilah istilah sistem Theo-demokrasi digunakan oleh al-Maududi. Sebuah sistem kenegaraan yang menyata-kan bahwa rakyat memiliki kedaulatan yang diposisikan dibawah pengawasan Tu-han.34 Dalam usaha untuk berpegang pada pedoman tersebut, dan untuk menegak-kan prinsip amr ma`ruf nahyi munkar, maka prinsip musyawarahlah yang menjadi dasar hubungan antar lembaga negara dalam Islam. Namun dikarenakan al-Qur`an dan as-Sunnah tidak menjelaskan mekanisme Syura secara eksplisit dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja, maka konsep hubungan antar lemba-ga negara dalam Islam merupakan ruang ijtihad bagi umat Islam untuk merumus-kannya sesuai kondisi dan kebutuhan zaman. Abdul Malik Madaniy menyatakan:
Memang benar bahwa Nabi telah mempraktekkan langsung beberapa model teknis dari Syura, namun hal itu bukan merupakan bentuk baku yang wajib diikuti pada setiap zaman. Ini membuka peluang bagi umat Islam di setiap zaman untuk merancang model sendiri sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang senantiasa berkembang. Yang penting ialah bahwa setiap model yang diterapkan dapat mengakomodir substansi dan spirit dari Syura dalam Islam…35

Untuk lebih mengkonkritkan gambaran tentang hubungan antar lembaga negara, setidaknya ada delapan pertanyaan yang harus dimajukan untuk memper-jelas pembahasan tentang hubungan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif; baik dalam pemikiran Montesquieu maupun al-Maududi, antara lain:36
1. Bagaimana penjelasan tentang badan legislatif, eksekutif dan yudikatif?
2. Apakah orang-orang atau badan-badan yang sama dapat merangkap dua jabatan sekaligus diantara eksekutif, yudikatif dan legislatif?
3. Apakah badan legislatif yang mengontrol badan eksekutif, ataukah badan eksekutif yang mengontrol badan legislatif?
4. Adakah badan legislatif melaksanakan sebagian fungsi eksekutif dan atau badan eksekutif melaksanakan sebagian fungsi legislatif?
5. Apakah badan eksekutif yang mengontrol badan yudikatif, ataukah badan yudikatif yang mengontrol badan eksekutif?
6. Adakah badan eksekutif melaksanakan sebagian fungsi yudikatif dan atau badan yudikatif melaksanakan sebagian fungsi eksekutif?
7. Apakah badan legislatif yang mengontrol badan yudikatif, ataukah badan yudikatif yang mengontrol badan legislatif?
8. Adakah badan legislatif melaksanakan sebagian fungsi yudikatif dan atau badan yudikatif melaksanakan sebagian fungsi legislatif?
Kedelapan pertanyaan tersebut digunakan untuk memperjelas kedudukan suatu lembaga negara mengenai fungsi yang harus dijalankannya, seberapa besar fungsi lembaga lain yang dijalankan olehnya, fungsi apa saja yang harus dijalan-kan oleh lembaga lain, kontrolnya terhadap lembaga lain dan kontrol lembaga lain terhadap kekuasaannya. Dengan terjalinnya hubungan yang saling terkontrol da-lam rangka pengawasan terhadap penyelewengan atas hukum dan konstitusi, maka diharapkan akan terjalin interaksi, kerjasama dan pengawasan yang lebih terbuka dan proporsional antar lembaga-lembaga negara.
Satu hal yang tidak bisa dielakkan, bahwa interpretasi seorang pemikir se-dikit banyak akan dipengaruhi oleh berbagai variabel yang tidak tunggal. Setting sosial, latar belakang ilmu, pengalaman, karakteristik personal, serta perubahan kondisi-kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya akan mewarnai proses inter-pretasi seseorang. Oleh sebab itu, variabel-variabel tersebut tidak bisa diabaikan saat kita melakukan telaah terhadap pemikiran seseorang.37
Dalam hal ini, Abul A`la al-Maududi dengan latar religius yang cukup kental, memaparkan pemikirannya tentang hubungan antar lembaga negara dengan didasarkan pada prinsip theo-demokrasi yang telah dikemukakan di atas, yaitu prinsip yang mengakui kedaulatan rakyat yang berada di bawah pengawasan Tuhan.38 Artinya, kekuasaan rakyat tidak bersifat tidak terbatas karena dibatasi oleh hukum dan konstitusi yang berupa al-Qur`an dan as-Sunnah.
Lalu bagaimanakah menarik masalah ini ke hubungan antar lembaga negara jika pemikiran al-Maududi yang berdasarkan theo-demokrasi dibanding-kan dengan pemikiran Montesquieu yang berlandas pada prinsip demokrasi? Jawabannya bisa kita temukan dari pernyataan Montesquieu berikut:
It is true that in democracies the people seem to act as they please; but political liberty does not consist in an unlimited freedom…Liberty is a right of doing whatever the laws permit, and if a citizen could do what they forbid he would be no longer possessed of liberty, because all his fellow-citizens would have the same power.39
Disini bisa kita simpulkan bahwa bukan hanya al-Maududi yang memba-tasi kekuasaan rakyat (demokrasi) dengan hukum dan konstitusi, tetapi Montes-quieu juga melakukan pembatasan itu. Terlepas dari asal usul hukum tersebut, kita akan melihat sampai sejauh mana konsep hubungan antar lembaga negara yang dikemukakan masing-masing tokoh ini dapat meminimalisir penyelewengan terhadap hukum dan konstitusi.

F. Metode Penelitian

1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dipakai penulis adalah penelitian pustaka (library research), yakni dengan meneliti sumber-sumber kepustakaan yang ada relevansinya dengan pembahasan tentang hubungan antar lembaga negara, khususnya dalam pemikiran Montesquieu dan al-Maududi.
2.Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif, analitik dan komparatif yaitu dengan menguraikan hal-hal mengenai hubungan antar lembaga negara khususnya dari kedua pemikiran tersebut kemudian mengkaji secara cermat melalui uraian analisis lalu menjelaskan persamaan dan perbedaan dari pemikiran kedua tokoh tersebut.
3.Metode Penggalian Data
Mengingat jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka, maka metode yang digunakan adalah pengumpulan data literatur atau bahan-ba-han pustaka yang koheren dengan obyek yang dimaksud. Satu-satunya karya yang paling memadai yang membahas pemikiran Montesquieu adalah karya asli Montesquieu sendiri, yaitu L`Esprit des Lois. Karya ini mencakup pembahasan yang cukup luas. Didalamnya Montesquieu bukan saja membahas masalah lembaga negara akan tetapi juga membahas tentang bentuk-bentuk pemerintahan, pengaturan militer, pajak, adat kebiasaan, ekonomi dan aga-ma yang kesemuanya dihubungkan dengan hukum. Sedangkan sumber primer dari pemikiran al-Maududi adalah karya al-Maududi sendiri yang berjudul Islamic Law and Constitutions dan al-Kilafah wa al-Mulk yang isinya didominasi oleh pemikiran dan teori politik Islam.
4. Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan Filosofis. Berdasar definisi yang dikemukakan Poerwadarminta, sebagaimana dikutip oleh Abudin nata, maka pendekatan filosofos dapat diartikan sebagai cara pandang yang bertolak dari penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hokum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti "adanya" sesuatu.40 Menurut Leo Strauss, filsafat merupakan pencarian kebijaksanaan dan pengetahuan universal, pada keseluruhan pengetahuan. Dan filsafat politik adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mengetahui sifat politik dan kebenaran, atau tatanan politik yang bagaimana yang dianggap baik.41
Dalam hal ini, pendekatan akan bertolak dari pendalaman terhadap pemikiran kedua tokoh, kemudian menghasilkan sebuah pengetahuan yang utuh mengenai konsep ideal hubungan antar lembaga negara.
5.Analisa Data
a. Induksi, yaitu suatu cara yang dipakai dengan bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Dengan kata lain, Induksi adalah proses mengorganisasikan fakta-fakta atau hasil-hasil pengamatan yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian hubungan atau suatu generalisasi.42 Dalam hal ini, pemikiran Montesquieu dan al-Maududi dianalisa berdasar pernyataan-pernyataan yang secara langsung (khusus) berkaitan dengan masalah hubungan antar lembaga negara, dan kemudian diambil kesimpulan secara umum.
b. Deduksi, yaitu suatu cara yang dipakai dengan berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan. Dengan kata lain, deduksi berarti menyimpulkan hubungan yang tadinya tidak tampak, berdasarkan generalisasi yang sudah ada.43 Dalam hal ini, pemikiran Montesquieu dan al-Maududi dianalisa dari pernyataan-nya yang bersifat umum dan tidak secara langsung berkaitan dengan hubungan antar lembaga negara, tetapi berpengaruh kuat terhadap pemikiran mereka selanjutnya tentang hubungan antar lembaga negara, kemudian disimpulkan secara khusus.
c. Interpretasi, yaitu pola pemikiran dengan melakukan penafsiran terha-dap teks-teks yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam hal ini, penyusun mendalami karya-karya Montesquieu dan Al-Maududi untuk memahami makna dan kandungannya serta dipaparkan oleh penyusun dalam bahasa ilmiah.

G. Sistematika Pembahasan

Sebelum mengadakan suatu penelitian, maka hal-hal yang penting dirumuskan untuk memperjelas dan memperkokoh penelitian, adalah dengan memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Seluruh poin ini dibahas tuntas oleh penulis pada bab pertama skripsi ini.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan sebagian dari pokok masalah pertama, maka di bab kedua, penulis memaparkan biografi Montesquieu dengan rincian: Sejarah kelahiran dan pendidikan, pengalaman dan aktivitas intelektual, pemikiran dan karya-karyanya; serta pemikiran Montesquieu mengenai hubungan antar lembaga negara yang meliputi: Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif; hubungan anatar legislatif dan eksekutif; hubungan antara eksekutif dan yudikatif serta hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan sebagian dari pokok masalah pertama, maka di bab ketiga, penulis memaparkan biografi al-Maududi dengan rincian: Sejarah kelahiran dan pendidikan, pengalaman dan aktivitas intelektual, pemikiran dan karya-karyanya, serta pemikiran al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara yang meliputi: Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif; hubungan antar legislatif dan eksekutif; hubungan antara eksekutif dan yudikatif serta hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan pokok masalah kedua dan ketiga, maka di Bab keempat, penulis memaparkan persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara serta konsep yang ideal mengenai hubungan antar lembaga negara. Karena persaman, perbedaan dan konsep yang ideal merupakan unsur-unsur yang saling berkait dan tidak dapat dipisahkan, maka penulis membahsnya dengan membagi bab ini berdasarkan tema, yaitu: hubungan antara legislatif dan eksekutif; hubungan antara eksekutif dan yudikatif serta hubungan antara legislatif dan yudikatif. Di bawah masing-masing tema tersebut kemudian dipaparkan secara tuntas mengenai persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi serta konsep yang ideal mengenai hubungan antara masing-masing lembaga sesuai dengan tema diatasnya.
Untuk menarik kesimpulan yang jelas mengenai hasil penelitian skripsi ini, maka pada bab kelima, penulis memaparkan kesimpulan secara singkat dan padat, ditambah dengan beberapa saran.



Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA (KAJIAN PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN AL-MAUDUDI)
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net