• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
no image

HADIS-HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI

HADIS-HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI
( Studi Ma’āni al-Haditsׂ)

HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI
Oleh Team www.seowaps.com

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Islam sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan sempurna  memberi tempat sekaligus menyatukan unsur kehidupan lahir dan bathin dengan memayunginya di bawah prinsip keseimbangan atau dengan bahasa Afzalur Rahmān mengkombinasikan keduanya secara harmonis.[1]
Jelaslah bahwa Islam bukan ajaran tentang akhirat saja, yang menyuruh manusia hanya agar menyelamatkan jiwa mereka untuk akhirat melalui ritual ibadah belaka, akan tetapi juga kebutuhan fisik harus terpenuhi. Ajaran tentang perlunya keseimbangan ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari tujuan Islam itu sendiri, yaitu memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan adanya keseimbangan ini pula diharapkan manusia dapat mengambil kerahmatan dari Islam. Sistem ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah sistem yang membawa bahagia bagi seluruh umat manusia dan memimpinnya kepada kesempurnaan.[2]
Meskipun demikian, suatu kerahmatan pada dasarnya adalah sebuah potensi yang perlu diaktualisasikan. Islam tidak bisa menyebarkan kemaslahatan atau kerahmatan tanpa diaktualisasikan oleh manusia itu sendiri dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam kaitan ini, akan dikaji salah satu aspek kehidupan manusia, yaitu aspek hubungan dengan manusia yang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada dasarnya setiap manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tanpa adanya bantuan dari yang lain, hal ini disebabkan karena manusia itu kodratnya sebagai makhluk sosial.
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Mu'amalat menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosial disadari atau tidak selalu berhubungan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup tempat setiap orang melaksanakan pergaulan perbuatan dalam hubungannya dengan orang lain, dalam agama Islam disebut dengan istilah mu'amalat.[3] Masalah mu'amalat senantiasa berkembang di dalam kehidupan masyarakat, tetapi dalam perkembangannya perlu sekali adanya perhatian dan pengawasan, sehingga tidak menimbulkan kesulitan (mudarāt), ketidakadilan, dan penindasan atau pemaksaan dari pihak-pihak tertentu sehingga prinsip-prinsip dalam bermu'amalat dapat dijalankan.[4]
Sejarah telah membuktikan, bahwa lantaran perdagangan kekayaan dan kemakmuran, bangsa Quraisy terus berkembang. Perdagangan merupakan induk keberuntungan. Ia berkedudukan lebih tinggi dibanding pertanian, industri, dan jasa. Perdagangan merupakan pertanda baik dan kesejahteraan yang akan menjadi tulang punggung untuk memperoleh kekayaan.
Dunia perdagangan yang lengkap dengan seluk beluk di dalamnya, memungkinkan untuk memperluas wawasan pergaulan dan gerakan geografis menjelajahi dunia serta persaingan ketat sehingga memberikan dorongan untuk tidak menyerah.[5] Perdagangan merupakan jalan yang wajar dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia adalah jalan penuh liku yang menghendaki keuletan dan kepandaian untuk memperoleh keuntungan bersih dari pokok pembelian. Oleh karena itu ia memberlakukan kepintaran atau ilmu, karenanya ia sama sekali tidak merampas hak-hak milik orang lain, melainkan dilakukan secara timbal balik antara masing-masing pihak.[6] Seorang penjual berhak mendapatkan keuntungan dari usahanya, sedang seorang pembeli berkewajiban untuk memberikan konpensasi bagi jasa yang telah ia terima dari penjual. Dalam keuntungan yang wajar, tidak saja dimaksudkan untuk kebutuhan konsumtifnya saja tetapi juga ia mampu mengembangkan usahanya (produktif).[7]
Yūsuf  al-Qaradawi dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam  mengemukakan bahwa ekonomi Islam merupakan ekonomi Ilahiyyah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya untuk mencari ridha Allah, dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syari’at-Nya. Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi diikatkan pada prinsip Ilahiyyah dan pada tujuan Ilahi.[8]
Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad saw. merupakan sumber ajaran Islam.[9] Sebagai sumber ajaran yang kedua setelah al-Qur'an, kebenaran hadis disamping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan juga menjadi bahasan kajian yang menarik dan tiada henti-hentinya. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur'an. Al-Qur'an, semua periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawātir, sedang hadis Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara āhād.[10]
Oleh karena itu, al-Qur'an mempunyai kedudukan sebagai qat'i al wurūdsedangkan hadis Nabi sebagian ada yang qat'i dan sebagian lagi bahkan sebagian besar berkedudukan sebagai zanni al-wurūd.[11] Dengan demikian, diihat dari periwayatannya al-Qur'an tidak perlu dilakukan penelitian tentang orisinilitasnya. Sedangkan hadis Nabi dalam hal ini yang berkategori āhād diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu akan diketahui apakah hadis yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi ataukah tidak.[12] Karena begitu pentingnya dilakukan penelititan baik dari segi sanad maupun matan hadis, maka kemungkinan besar penulis akan mendapatkan hasil penelitian yang semaksimal mungkin baik dari segi kualitas hadis itu sendiri maupun diterima atau tidaknya hadis tersebut di kalangan masyarakat. Sebab bagaimanapun juga suatu matan hadis itu adakalanya memerlukan pemahaman secara tekstual ataupun kontekstual. Tetapi ada juga hadis yang memerlukan pemahaman secara tekstual sekaligus kontekstual. Dengan memahami hadis secara tekstual dan kontekstual, maka menjadi jelaslah bahwa dalam Islam, ada ajaran yang bersifat universal, temporal dan lokal.[13]
Al-Qur'an maupun hadis telah terbentuk di masa Nabi, dengan demikian tidak dapat dimodifikasi dengan penambahan atau pengurangan. Sementara kehidupan yang dijalani dan dihadapi umat pasca Nabi mengalami perkembangan dalam berbagai bidang. Hal ini menurut penyesuaian dengan dan dari al-Qur'an maupun hadis. Penyesuaian ini dilakukan dengan mengkaji ulang keduanya demi mendapatkan ajaran yang sejati, orisinal dan sālih likulli zamān wa makān.
Pengkajian terhadap al-Qur'an lebih banyak dilakukan oleh para ulama melalui gagasan-gagasan dan pemikiran mereka yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir, sejarah dan lain-lain. Berbeda dengan hadis, para ulama lebih mengendalikan diri dan lebih mengutamakan sikap reserve (segan) untuk melakukan telaah ulang dan pengembangan pemikiran hadis secara apresiatif, karena khawatir adanya anggapan ingkar al-Sunnah.[14]
Mengingat hadis sebagai sumber tasyri' kedua, maka pengkajian ulang serta pengembangan pemikiran terhadap hadis perlu dilakukan dengan pemaknaan kembali terhadap hadis. Hal ini menjadi kebutuhan mendesak ketika wacana-wacana keislaman banyak mengutip literatur-literatur hadis yang pada gilirannya mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku umat Islam itu sendiri. Di samping itu juga dapat memberikan informasi, apakah kandungan hadis termasuk kategori temporal, lokal, atau universal sekaligus tekstual atau kontekstual.
Salah satu hadis Nabi yang perlu dikaji adalah hadis yang secara tekstual kaitannya dengan pernyataan tentang keuntungan dalam jual beli, hadis tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri, sebagai berikut:
عن عروة البارقى أنّ النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم أعطاه دينارا يشترى له به شاة فاشترى له به شاتين فباع إحداهما بديناروجاءه بدينار وشاة فدعاله بالبركة فى بيعه وكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه 15 [15]  
Artinya : Dari ‘Urwah al-Bāriqi . "Bahwasannya Nabi saw. memberinya  uang satu dinar untuk dibelikan kambing. Maka dibelikannya dua ekor  kambing dengan uang satu dinar tersebut, kemudian dijualnya yang seekor dengan harga satu dinar. Setelah itu ia datang kepada Nabi saw. dengan membawa satu dinar dan seekor kambing. Kemudian beliau mendo'akan semoga jual belinya mendapat berkah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah, niscaya mendapat keuntungan pula"

Hadis di atas seringkali dijadikan patokan oleh para pedagang untuk mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya, dengan meminimalkan modal yang dikeluarkan, sehingga tujuan dari perdagangan yaitu untuk memperoleh laba semaksimal mungkin dapat cepat terwujud.
Berdasarkan latar belakang inilah, penulis menganggap bahwa hadis tentang keuntungan jual beli perlu dikaji untuk mendapatkan jawaban tentang bagaimana pemaknaan hadis tersebut dan bagaimana relevansinya pada masa sekarang. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan Ma’āni al-Hadisׂyang dipandang penting sebagai upaya elaborasi akademik dalam memahami hadis secara kontekstual dan  kekinian.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemaknaan hadis-hadis tentang keuntungan jual beli?
2.      Bagaimana relevansi hadis tentang keuntungan jual beli dalam konteks kekinian?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan:
1.      Menerapkan metode Ma'āni al-Hadisׂ dalam memaknai hadis tentang keuntungan jual beli.
2.      Mengetahui bagaimana relevansi hadis keuntungan jual beli dalam konteks sekarang.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah:
1.      Diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian hadis lebih lanjut.
2.      Diharapkan dapat menambah khazanah literatur studi hadis.

D. Telaah Pustaka
Telaah pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah yang berguna untuk memberikan kejelasan dan batasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, terutama yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
Berkenaan dengan masalah yang sedang dikaji, sepengetahuan penulis belum ada kitab yang secara khusus membahas tentang keuntungan jual beli. Namun ada beberapa pendapat ulama yang membahas tentang jual beli dalam berbagai kitab fiqih ataupun syarah hadis, misalnya dalam Kitab al-Fiqh 'Alā Mażāhib al-'Arba'ahkarya 'Abd al-Rahmān al-Juzairi. Buku ini cukup representativ membahas masalah yang berkenaan dengan jual beli dengan menunjuk kepada pendapat ulama-ulama fiqih empat mazhab.[16]
Di samping buku di atas, terdapat pula beberapa buku lain yang penulis jadikan acuan, di antaranya Sofyan Safri Harahap dalam bukunya Akuntansi Pengawasan dan Manajemen dalam Perusahaan Islam menyebutkan bahwa, pertama kalau yang menjadi dasar konsep manajemen Islam adalah konsep maksimasi yang meliputi kesejahteraan manajemen, pemilik modal dan sosial. Hal ini dapat dipahami bahwa, antara ketiga komponen itu harus tercipta keadilan (dapat haknya masing-masing secara layak).[17] Dalam bukunya Syeikh Gazali Syeikh Abad dan Zanbury yang berjudul Pengurusan Perniagaan Islam dijelaskan bahwa kedudukan untung atau laba itu sebagaimana upah dan gaji bagi pekerja, yang mana tanpa keuntungan stabil maka akan melumpuhkan perniagaan dan tidak memberikannya berarti kezaliman.[18] Yūsuf al-Qaradawi dalam bukunya yang berjudul Fatwa-fatwa kontemporer jilid II menyebutkan bahwa hakekat perdagangan adalah untuk mendapatkan keuntungan di mana tidak ada nas yang memberikan batasan tertentu dalam hal mendapatkan keuntungan ini. Dengan demikian jika tidak ada laba maka bukanlah perdagangan dan matilah dunia dagang.[19]
Ibnu Khaldūn dalam al-Mukaddimah mengemukakan bahwa keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan karena perdagangan kehilangan motivasi. Sebaliknya, bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi juga akan membuat lesu perdagangan karena lemahnya permintaan konsumen. Beliau menjelaskan akan pentingnya keuntungan yang wajar untuk memicu dunia perdagangan. Beliau juga menyebutkan bahwa tujuan satu-satunya yang sah bagi bisnis adalah maksimasi laba.[20]
 Syauqi 'Abduhu al-Sāhi dalam kitabnya yang berjudul al-Māl wa al-Turūq Istismāruhū fi al-Islam menyatakan bahwa yang dimaksud laba adalah semata-mata hal dari pengembangan harta dalam kegiatan perdagangan atau produksi, untuk itu tidak diketahui secara jelas atau pasti serta tak terbatas banyaknya, karena ini tergantung kepada kondisi barang dan pasar serta kepandaian pedagang.[21] Adapun 'Abd Mannān al-Namr dalam kitabnya al-Ijtihād menyatakan larangan pembatasan laba perdagangan bagi pedagang karena hal ini menyebabkan lesunya kegiatan perdagangan, berbeda halnya jika hal ini diterapkan pada perusahaan maka penerapan harga itu harus dengan perhitungan Akuntansi mendetail.[22]
 Mochtar Effendi dalam bukunya Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam menyebutkan bahwa prinsip keseimbangan itu tersirat makna Allah menyuruh kita untuk mencari rizki sebanyak mungkin. Karena itu untuk mendapatkannya harus mampu berbuat sosial dengan harta benda seperti mengeluarkan zakat dan menolong sesama. Selanjutnya dalam kajian titik impas sebagai ukuran efisiensi dalam Islam disebutkan bahwa pada badan usaha (industri maupun niaga) efisiensi diukur dari beberapa persen keuntungan yang didapat dari setiap rupiah yang dikeluarkan untuk biaya total dari seluruh output dalam nilai uang. Sedangkan keuntungan adalah penerimaan di atas titik impas, kalau tidak demikian maka perusahaan akan terancam kerugian.[23] Basu Swastha DH. dalam bukunya Pengantar Bisnis Modern disebutkan bahwa salah satu tujuan usaha adalah pencapaian laba maksimal.[24]
Penulis juga menjumpai dalam beberapa skripsi yang membahas tentang jual beli yaitu skripsi yang disusun oleh Siti Qamariyyah yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Maksimasi Laba Usaha Perdagangan Barang Konsumsi. Pada skripsi ini penulis meneliti laba atau keuntungan atas dasar motif ekonomi yaitu langkah yang ditempuh untuk mencapai hasil yang maksimal dengan modal yang minim.[25]
Dari berbagai teori yang terkumpul di atas, maka dapat diketahui  bahwa pembahasan jual beli dilihat dari pemaknaan hadis, khususnya yang berkenaan dengan masalah keuntungan jual beli belum ada. Oleh karena itu, penelitian dalam skripsi ini akan lebih menekankan pada aspek pemahaman sebuah hadis yang tepat, khususnya tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan keuntungan jual beli. Dalam hal ini penulis mencoba untuk membuat analisa tentang keuntungan jual beli barang pokok (maksimasi laba) dengan menggunakan metode Ma'āni al-Hadisׂ.
           
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research). Secara garis besar penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu pengumpulan data dan pengelolaan data. Pada tahap pertama, metode yang digunakan adalah metode dokumentasi,[26]  yaitu menginventarisasi  data sebanyak mungkin yang terkait dengan tema dan pada tahap kedua mengolah data berupa hadis-hadis yang terkumpul tersebut. Maka pertama penulis mengajukan data hadis serta menguraikannya secara objektif kemudian dianalisis secara konseptual dengan metode Ma'āni al-Hadisׂ yaitu metode pemaknaan hadis dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang terkait dengan tema.[27]
Penelitian ini menggunakan metode Ma'āni al-Hadisׂ yang digunakan  oleh Yūsuf al-Qaradawi dengan tiga prinsip dasarnya, yakni: pertama, meneliti dengan seksama tentang kesahihan hadis yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang diterapkan oleh para pakar hadis yang dipercaya,  yakni yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya. Kedua, dapat memahami dengan benar nas-nas yang berasal dari Nabi saw. sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau.[28] Untuk memahami nas (matan) hadis, terdapat delapan petunjuk yang diisyaratkan oleh Yūsuf al-Qaradawi, yaitu:
1.      Memastikan makna kata-kata dalam hadis.
2.      Memahami al-Sunnah sesuai petunjuk al-Qur'an.
3.      Menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
4.      Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang bertentangan.
5.      Memahami hadis-hadis sesuai latar belakangnya, situasi dan kondisinya, serta tujuannya.
6.      Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap dari setiap hadis.
7.      Membedakan antara fakta dan metafora dalam memahami hadis.
8.      Membedakan antara yang gaib dan yang nyata.[29]

Prinsip yang ketiga, memastikan bahwa nas tersebut tidak bertentangan dengan nas lainnya yang lebih kuat kedudukannya. Hal ini dimaksudkan untuk mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang śubūt-nya (atau keberadaannya sebagai nas).[30]
Dalam skripsi ini langkah-langkah yang ditawarkan Yūsuf al-Qaradawi di atas tidak diikuti secara ketat dikarenakan ada beberapa ketentuan yang tidak dapat diaplikasikan dalam menganalisis hadis-hadis tentang keuntungan jual beli tersebut. Dalam pengaplikasian metode Yūsuf al-Qaradawi yang dipakai atau digunakan dalam menganalisis hadis tentang keuntungan jual beli yang dikaji dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
  1. Kritik untuk membuktikan keotentikan sanad hadis.
  2. Memahami nas (matan) hadis untuk menentukan makna dan maksud hadis yang sesungguhnya. Susunan hirarkis lima pedoman tersebut adalah:
a.       Memastikan makna kata-kata dalam hadis.
b.      Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur'an.
c.       Menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
d.      Penggabungan atau pentarjihan hadis-hadis yang bertentangan.
e.       Memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya.

F.     Sistematika Pembahasan
Penelitian ini diuraikan dalam lima bab, yaitu:
Bab pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, mencakup pemaparan seputar jual beli, makna jual beli, syarat dan sahnya jual beli, macam-macam jual beli, prinsip dan dasar ekonomi Islam.
Bab ketiga, kajian Ma'āni al-Hadisׂ mencakup hadis-hadis tentang keuntungan jual beli, kritik otentisitas hadis, dan pemaknaan hadis dengan menerapkan metode yang ditawarkan Yūsuf al-Qaradawi.
Bab keempat, keuntungan jual beli dalam pandangan praktisi ekonom Islam dan relevansi hadis tentang keuntungan jual beli dalam konteks kekinian.
Bab kelima, merupakan akhir yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan beberapa saran penulis yang perlu disampaikan berkaitan dengan hasil penelitian.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: HADIS-HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI
no image

Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur'an dengan Ra'yu (Studi pemahaman Hadis Nabi SAW)

Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur'an dengan Ra'yu 
(Studi pemahaman Hadis Nabi SAW) 
 hadits

Oleh www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hadis yang diyakini sebagai ucapan, perbuatan, ketetapan (taqrir)[1] dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran kedua setelah al‑Qur'an. Ditinjau dari segi periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur'an. Semua periwayatan ayat‑ayat al‑Qur'an berlangsung secara mutawatir,[2] sedangkan hadis Nabi diriwayatkan sebagiannya secara mutawatir dan sebagian lainnya diriwayatkan secara ahad [3]. Oleh karenanya, al‑Qur'an memiliki kedudukan qat'iy al‑wurud [4] sedangkan hadis Nabi sebagiannya berkedudukan qat'iy al‑wurud dan sebagian lainnya bahkan yang terbanyak berkedudukan zanniy al-wurud.
Berdasarkan asumsi di atas, maka dilihat dari segi periwayatannya    seluruh al‑Qur'an tidak perlu dilakukan penelitian kembali tentang orisinalitasnya, sedangkan terhadap hadis Nabi SAW khususnya yang termasuk kategori ahad,   maka diperlukan penelitian akan orisinalitasnya.[5] Bertolak dari permasalahan tersebut, maka hadis Nabi SAW sebelum dipahami dan diamalkan, perlu diidentifikasi terlebih dahulu serta diteliti orisinalitasnya dalam rangka kehati‑hatian dalam mengambil hujjah atasnya. Setelah dilakukan pengujian, baru kemudian suatu hadis yang diduga kuat berkualitas sahih ditelaah dan  dipahami untuk selanjutnya dapat diamalkan, sebab ada di antara hadis‑hadis yang sahih tersebut yang dapat segera diamalkan (ma'mul bih) dengan memahami redaksinya, namun adapula yang tidak segera dapat diamalkan (gair ma'mul bih), karenanya menuntut pemahaman yang mendalam dengan memperhatikan latar belakang munculnya hadis (asbab wurud al‑hadis\) serta piranti lainnya. Proses inilah yang dikenal kemudian dengan proses pemahaman hadis atau disebut dengan fiqh al‑hadis\.
Sebagaimana umat Islam mengakui bahwa apa yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang kemudian dihimpun dalam hadis‑hadis Nabawi merupakan bagian tak terpisahkan dari al‑Qur'an itu sendiri, hal ini disadari karena salah satu fungsi Nabi Saw adalah menjelaskan al‑Qur'an baik lisani maupun fi'li agar maksud al‑Qur'an dapat dengan segera dipahami dan diamalkan ummatnya. Namun manusia menyadari bahwa persoalan tidak pernah selesai, bahkan    terus   berkembang   sementara   sang   penjelas   (Nabi   SAW)   telah
wafat, oleh karena itu persoalan ini menjadi tantangan bagi ummatnya untuk diselesaikan melalui teknik atau cara‑cara yang dilakukan oleh Nabi SAW agar nilai Islam yang tertuang dalam al-Qur'an tetap relevan hingga akhir zaman, sebagaimana prinsip agama ini yang dikenal dengan sa1ih 1ikulli zaman wa makan.
Bila ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat ini dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat, berarti di dalam ajaran Islam ada ajaran‑ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada ajaran-­ajaran yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu, sehingga di dalam ajaran Islam ada muatan universal, ada pula yang temporal maupun yang lokal.[6]
Menurut petunjuk al-Qur'an Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk semua umat manusia,[7] dan sebagai rahmat bagi seluruh alam[8] (rahmatan li al‑'alamin), artinya kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa misi kebajikan dan kerahmatan bagi semua umat manusia dalam segala ruang dan waktu. Di sisi lain, hidup Nabi Muhammad SAW dibatasi oleh ruang dan waktu, dengan demikian apa yang direkam dari kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam hadis‑hadis Nabawi memiliki muatan ajaran yang bersifat universal, sekaligus ada muatan temporal dan lokal.[9]
Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa salah satu fungsi Nabi SAW adalah menjelaskan al-Qur'an serta mengejawantahkan Islam melalui ucapan, perbuatan serta perjalanan hidupnya baik dalam kesendiriannya maupun di tengah masyarakat, saat mukim ataupun saat bepergian, saat terjaga maupun pada saat tidur, dalam kehidupan khusus maupun umum, dalam hubungannya kepada Allah ataupun dengan sesama makhluk, dengan orang‑orang terdekat maupun orang‑orang jauh, dengan mereka yang mencintai maupun yang memusuhi, pada masa damai maupun masa perang. saat sehat wal afiat maupun saat menerima musibah.[10]
Hal‑hal di atas itulah yang menuntut umat Islam mempelajari serta memahami sunnah Nabi SAW dengan sebaik­-baiknya, sebagaimana yang telah dicontohkan para sahabat dan generasi tabiin yang secara sungguh‑sungguh berusaha menggali dan mempelajari aktualitas Nabi SAW untuk kemudian mereka amalkan dalam kehidupan sehari‑hari, sehingga dikenallah generasi ini sebagai generasi sebaik-­baik ummat karena mereka mengikuti jejak Nabi SAW demikian pula bagi mereka yang senantiasa mengikuti jalan yang benar tersebut.[11]
Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para ulama, dan di dalamnya memuat berbagai persoalan yang tak habis‑habisnya untuk diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi SAW terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur'an dengan ra'y, sementara pada masa sekarang banyak dijumpai dari sebagian umat Islam yang sengaja berlaku nifaq (munafik) guna mencari kedudukan, pangkat, atau apa saja yang dengan tafsirannya itu mampu melegitimasi pendapatnya demi tujuan pribadi ataupun kelompok, dan hal inilah yang paling dikhawatirkan Nabi SAW.[12] Di sisi lain tafsir­-tafsir al‑Qur'an yang berkembang sampai saat ini, ada di antaranya tafsir yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al–ra'y, disamping tafsir bi al- riwayat, lalu bagaimanakah kita mensikapi tafsir bi al-ra'y tersebut.
Guna memecahkan persoalan‑persoalan tersebut, perlu kiranya mempelajari akar polemik di sekitar boleh dan tidaknya menafsirkan al-Qur'an dengan ra'y yaitu dengan mempelajari lebih jauh dan mendalam tentang hadis "larangan menafsirkan al-Qur'an dengan ra'y", dengan harapan tersingkapnya maksud Nabi SAW tersebut sekaligus bentuk‑bentuk real pelarangannya. Salah satu hadis tersebut adalah hadis riwayat al‑Turmudzi:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya: (Al‑Turmuzi berkata): Mahmud bin Gailan telah menceritakan kepada kami, (Mahmud berkata): Bisyr bin al‑Syariyy menceritakan kepada kami, (Bisyr berkata) : Sufyan menceritakan kepada kami dari 'Abd al‑A‑'la dari Sa'id bin Jubair dari Ibn 'Abbas Ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur'an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka" Abu 'Isa (al-­Turmuzi) berkata: hadis ini hasan sahih.[13]

Hadis di atas dipegangi oleh sebagian ulama sebagai dasar penolakan atas tafsir bi al-ra'y, namun sebagian yang lain memahami hadis tersebut sebagai larangan menafsirkan dengan hawa nafsu dan bukan penafsiran melalui kemampuan ijtihad yang melahirkan tafsir bi al-ra'y yang dikenal saat ini
Tentang tafsir bi al-ra'y, ulama juga berselisih pendapat hingga mengkristal pada dua model tafsir bi al-­ra’y, yaitu tafsir bi al-ra'y yang mahmud (terpuji) dan tafsir bi al-ra'y yang mazmum (tercela).[14] Terlepas dari klasifikasi tersebut, kata   al-ra'y itulah yang menjadi kata kunci dari perdebatan di atas.
Kata al‑ra'y sendiri dimaknai berbeda‑beda oleh para ulama, sebagian memaknai al-ra'y dalam konteks hadis di atas sebagai. "ijtihad", ada pula yang memaknainya sebagai "penafsiran tanpa menggunakan il‑mu", artinya tidak didasarkan pada dalil‑dalil syara', sebagian yang lain memaknainya sebagai "hawa nafsu". Mereka yang memaknai al‑ra'y dengan hawa nafsu inilah yang memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al‑Qur'an menurut hawa nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan makna ayat al‑Qur'an tanpa memperhatikan kaedah‑kaedah yang ditentukan oleh ahli hadis.[15]
Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y, mengingat banyaknya tafsir al‑qur'an yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada kategori tafsir bi al-ra'y, apakah kemudian penafsiran‑penafsiran tersebut jatuh pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah dalam penelitlan skripi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.       Bagaimanakah makna dari hadis‑hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y?
2.       Bagaimanakah kedudukan tafsir bi al-ra'y dalam al-Qur’an?
3.       Kapankah hadis-hadis itu melarang menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Berdasarkan    rumusan masalah di atas, penulisan skripsi ini bertujuan untuk:
  1. Untuk mengetahui makna hadis‑hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y
  2. Untuk mengetahui kedudukan tafsir bi al-ra'y dalam sumber al-Qur’an
  3. Untuk mengetahui batasan larangan hadis tersebut.
Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:

  1. Menambah wawasan serta memperkaya hazanah intelektual, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya
  2. Menambah kepustakaan bagi Institut, Fakultas dan Jurusan pada khususnya.
  3. Untuk melengkapi sebagian dari syarat‑syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu dalam bidang ilmu Tafsir dan Hadis pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ka1ijaga.

D.    Telaah Pustaka
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis menemukan beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, antara lain:
DaIam kitab Tuhfah al‑Ahwazi Syarh Jami' al-Turmuzi, pengarang kitab ini menjelaskan cukup panjang tentang menafsirkan al-Qur'an dengan al‑ra'y,[16] hanya saja pembahasan di dalamnya terfokus pada perdebatan hadis tersebut ansich, sedangkan aspek yang terkait dengan tafsir bi al-ra'y sebagai sisi lain dari tafsir bi al­‑riwayah masih ada peluang untuk diperbincangkan lagi.
Dalam kitab 'Aun al‑Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud, Juga secara ringkas telah menjelaskan tentang larangan menafsirkan al‑Qur'an dengan al‑ra'y yaitu dalam bab ilmu.[17]
Kemudian buku karya Fahd bin 'Abd al‑Rahman al‑Rumi yang berjudul Dirasah fi 'Ulum al‑Qur'an, di dalamnya menjelaskan persoalan yang ada dalam lingkup ilmu‑ilmu al‑Qur'an termasuk di dalamnya sekilas tentang manafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y yang disimpulkan oleh penulis kitab ini sebagai kelompok tafsir al-Qur'an bi al-ra'y yang mazum.[18]
Dalam kitab Ittihaf al‑Sadah al‑Muttaqin Syarh Ihya 'Ulum al‑Din yang sebenarnya kitab ini lebih fokus pada hal‑hal yang terkait dengan 'Ubudiyah, namun di dalamnya juga diuraikan cukup panjang tentang tafsir al-Qur'an bi al-ra'y juga tentang aktifitas menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y.[19]
Kemudian dalam kitab al‑Tafsir wa al-Mufassirun, al‑Zahabi menguraikan tentang apa itu tafsir, ahli tafsir karya‑karya tafsir dan lainnya, termasuk di dalamnya tentang tafsir bi al-ra'y yang diperbolehkan maupun tafsir bi al-ra'y yang tidak diperbolehkan.[20]
Ahmad al‑Syirbasi dalam bukunya yang telah diIndonesiakan dengan judul Sejarah Tafsir al-Qur'an, juga menguraikan tentang kekhawatirannya atas penafsiran al‑Qur' an dikarenakan adanya nash hadis tentang larangan menafsirkan al‑Qur'an dengan al‑ra’y, namun pada sisi lain ia juga menjelaskan tentang tafsir bi al‑'aql dan tafsir bi al‑naql.[21]
Dalam kitab yang lain yaitu usul al‑Tafsir wa Qawa'iduhu, Syaikh Khalid bin   'Abd al‑Rahman al-Fakki menjelaskan dengan panjang lebar mengenai pertumbuhan tafsir, kaedah‑kaedah penafsiran sampai pada tafsir bi al-ra'y juga tentang menafsirkan al‑Qur'an dengan al‑ra'y.[22]
Dari beberapa penelusuran pustaka tersebut di atas, penulis masih memiliki peluang untuk mengkaji secara khusus dan mendalam terhadap hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y serta korelasinya dengan fenomena tafsir bi al-ra'y yang berkembang hingga saat ini. Oleh karena itu perlu kiranya menguji kembali pemahaman dari larangan asasi pada hadis tersebut.

E.    Metode Penelitian
Dalam rangka menemukan jawaban atas persoalan-­persoalan di atas, penulis hendak mengungkap dengan langkah‑langkah metodologis sebagai berikut;
1.       Penelitian skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, karena data‑data penelitian ini hampir keseluruhannya adalah data‑data kepustakaan
2.       Karena fokus penelitian ini ada pada hadis Nabi sebagai kunci persoalan, maka sumber primer penelitian ini adalah kitab‑kitab hadis Nabi, dan karena banyaknya kitab hadis maka penulis mengambil sample hadis secara purposed yaitu kitab‑kitab hadis yang dianggap lebih kuat kehujjahannya, sehingga proses uji orisinalitasnya tidak perlu detail.
3.       Adapun sumber‑sumber sekunder yang dapat digunakan dalam memahami hadis secara tekstual maupun kontekstual, maka digunakanlah kitab‑kitab syarh hadis juga kitab‑kitab yang terkait dengan perdebatan tafsir al‑Qur'an bi al-ra'y.
4.       Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data yang bersifat dokumenter.[23] Dalam hal ini penghimpunan data dilakukan dari perpustakaan atau tempat yang menyimpan dokumen, setelah terkumpul, diklasifikasikan lalu dianalisis.
5.       Analisis data dilakukan melalui metode deduktif yaitu melalui penghimpunan data yang masih umum dinterpretasikan guna mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.[24] Dalam menganalisa data tersebut penulis dibantu oleh metode pemahaman hadis Syuhudi Ismail yang di dalamnya menekankan pada pemilihan makna yang tepat, artinya, mungkin saja sebuah hadis dalam kondisi tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara tersirat (kontekstual).
6.       Penerapan pemahaman hadis secara tekstual dilakukan bila hadis tersebut dihubungkan dengan latar belakang terjadinya tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut, sebaliknya, pemahaman secara kontekstual dilakukan bila teks hadis tersebut ada petunjuk yang kuat yang mengharuskannya dipahami tidak sebagaimana yang tersurat (tekstual).[25]

F.     Sistematika Pembahasan
Secara garis besar penyusunan skripsi ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Ketiga bagian tersebut saling terkait atau satu bagian yang integralistis.
Adapun sistematika secara rinci sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, telaah pustaka,       metodologi penelitian serta sistematika pembahasan. Bab II berisi pengantar tentang problematika pemahaman, dan metodologi pemahaman hadis Nabi. Bab III berisi materi hadis tentang larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y berikut sekilas kualitasnyaBab IV berisi pemahaman‑pemahaman makna dari hadis sekaligus perdebatan di seputar otoritas tafsir bi al­-ra'y dan kecenderungan ulama di dalamnya. Bab V berisi kesimpulan saran dan penutup.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur'an dengan Ra'yu (Studi pemahaman Hadis Nabi SAW)
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net