• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
no image

Euthanasia dalam Prespektif Fiqh Jinayah

Euthanasia dalam Prespektif Fiqh Jinayah
Euthanasia dalam Prespektif Islam
Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam abad XX ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi semakin pesat, karena muncul berbagai penemuan yang sangat bermanfaat bagi manusia. Khususnya di bidang kedokteran telah banyak penemuan obat-obatan, alat-alat mekanik, serta cara-cara perlindungan terhadap penyakit.[1]
Hampir semua aspek kehidupan manusia tersentuh oleh teknologi, harus disadari bahwa teknologi telah membawa banyak manfaat untuk umat manusia.[2] Di antara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan perkembangan teknologi di bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut, diagnose mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan. Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif. Dengan peralatan kedokteran yang modern itu,rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup seorang pasien pun dapat diperpanjang untuk sesuatu jangka waktu tertentu, dengan memasang sebuah “ respirator “. Bahkan perhitungan saat kematian penderita penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih tepat.
Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:
1.      Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2.      Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3.      Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.[3]
    Yang menjadi persoalan ialah jenis kematian yang ketiga, yaitu kematian dalam kategori euthanasia atau biasa disebut juga mercy killing. Euthanasia biasa didefinisikan sebagai a good death atau mati dengan tenang. Hal ini dapat terjadi karena dengan pertolongan dokter atas permintaan dari pasien ataupun keluarganya, karena penderitaan yang sangat hebat dan tiada akhir, atau tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pertolongan pengobatan seperlunya.
Memberikan hak kepada individu untuk mendapatkan pertolongan dalam pengakhiran hidupnya, bagi banyak negara masih menjadi perdebatan yang sengit. Sampai sekarang ini, kaidah non hukum yang manapun (agama, moral, kesopanan), menentukan: membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh adalah perbuatan yuang tidak baik.[4]
Pada dasarnya masalah euthanasia ini timbul dari adanya suatu dilema, apakah seorang dokter mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau dari keluarganya, dengan dalih untuk menghilangkan atau mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik bathin, dimana sebagai manusia biasa sang dokter tidak sampai hati menolak permintaan dari pasien dan keluarganya itu. Apalagi keadaan si pasien yang sekarat berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang diberikan itu maka dokter telah melanggar hukum, disamping itu juga telah pula melanggar sumpah dokter yang telah diucapkannya sebelum menjalankan profesi sebagai seorang dokter.
Dalam memecahkan masalah ini, ada cara yang cukup unik yaitu bila keadaan antara hidup dan mati (maribundity), maka proses dan usaha medis jika tiada berpotensi lagi, penyembuhan harus dihentikan. Dengan perkataan lain, bahwa dalam keadaan demikian maka pembunuhan karena kasihan/karena terpaksa yang diijinkan oleh dokter diperbolehkan. Dalam hubungan itu, bahkan ada dokter yang berpendapat bahwa dokter itu boleh mengeluarkan atau mencabut alat yang diperjuangkan untuk memperpanjang hidup dari seorang pasien yang dalam keadaan expiration of the soul, yaitu apabila proses kematian sudah mulai nampak.[5]
Menurut dr. Kartono Muhammad (Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia), seperti dikutip Akh Fauzi Aseri. Ia mengatakan seseorang dianggap mati apabila batang otak yang menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi. Tegasnya, batang otak merupakan pedoman untuk mengetahui masih hidup atau matinya seseorang yang sudah tidak sadar. Dari sini mesin-mesin pembantu seperti pemacu jantung dapat dicabut tanpa dituduh melakukan euthanasia terhadap penderita.[6]
Lahir dan mati adalah takdir, demikianlah pendapat dari sebagian besar masyarakat Indonesia, dan tidak ada seorangpun yang dapat menghindari/menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Kematian dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, karena uzur, penyakit, kecelakaan, bunuh diri, bahkan dibunuh oleh orang lain, semua menurut sebagian besar masyarakat Indonesia adalah takdir.
Pada umumnya, kelahiran selalu membawa kebahagiaan, dan kematian selalu membawa kesedihan. Kematian secara alamiah, dapat selalu diterima sebagai sesuatu hal yang wajar, sebab manusia pada saatnya akan mati, tetapi mati tidak secara alamiah adalah mati yang tidak diharapkan.
Pada mati tidak secara alamiah, apakah itu pengakhiran hidup dengan bunuh diri (zelfmoord) atau minta “dibunuh” (diakhiri hidupnya – selanjutnya euthanasia), akan ada hubungannya dengan hak seseorang untuk mati secara tidak alamiah (selanjutnya “hak untuk mati”) dari seseorang.[7]
Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati, adalah hak asasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of selfdetermination –TROS), sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[8]
Euthanasia dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang menyangkut kepada suatu tindakan untuk penghentian kehidupan seseorang, walaupun dengan kerelaan dan atas permintaan orang itu sendiri, maka perbuatan ini bisa dimasukan sebagai jarimah pembunuhan. Karena pembunuhan adalah peniadaan atau perampasan nyawa seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh anggota badan disebabkan ketiadaan roh sebagai unsur utama menggerakan tubuh.
Dalam Islam masalah kematian manusia merupakan hak prerogatif Allah SWT. Jadi perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan untuk menghentikan hidup seseorang itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendakNYA. Allah SWT melarang perbuatan yang mengarah kepada kematian dalam bentuk apapun, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, termasuk di dalamnya euthanasia, karena tindakan pembunuhan secara euthanasia ini merupakan pembunuhan tanpa hak, Allah berfirman dalam al-Qur'an:
لا تقتلوا أنفسكم ان الله كان بكم رحيما0  [9]
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق ذالكم وصاكم به لعلكم     تعقلون0     [10]
من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الارض فكانما قتل الناس جميعا0  [11]
وهو الذي أحياكم ثم يميتكم ثم يحييكم ان الانسان لكفور    [12]

Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab:
1.      Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.
2.      Janda (yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi (dengan mata kepala sendiri).
3.      Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah Islam.[13]
Jika dibandingkan dengan ketiga faktor di atas maka terjadinya tindakan euthanasia tidak ada satupun karena alasan bil haq.
Jadi tindakan euthanasia merupakan tindakan pembunuhan dengan unsur kesengajaan dan direncanakan, walaupun ada unsur kerelaan dari pasien. Dalam unsur euthanasia terdapat tiga hal yaitu dokter sebagai pelaku euthanasia, keluarga sebagai pihak pemberi izin dan sisakit sebagai korban euthanasia. Tindakan euthanasia dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dengan adanya unsur perencanaan. Jadi dalam masalah euthanasia ini merupakan tindakan pembunuhan yang disengaja dan direncanakan 
Di dalam hukum Islam, kerelaan korban untuk dibunuh bukan suatu penyebab kebolehan pembunuhan, karena kerelaan korban itu bukan merupakan unsur jarimah pembunuhan, sekalipun ada prinsip lain bahwa korban atau keluarganya berhak memaafkan sanksi qisas atau diyat atau keduanya.
Allah melarang adanya pembunuhan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pada dasarnya Allah memberikan hukuman qisas bagi pembunuhan, yang merupakan hak Tuhan, tetapi pihak keluarga diberikan hak atas tuntutan tindak pidana baik itu pembunuhan maupun pelukaan berupa hukuman diyat atau dimaafkan secara mutlak. Karena hal ini sangat berguna untuk kelangsungan hidup pihak keluarga korban maupun pihak pelaku kejahatannya.
Permasalahan Euthanasia ini sampai sekarang masih menimbulkan pro dan kontra baik pada pandangan hukum, etika, agama, budaya dan lain-lain pada umumnya dan juga pada pandangan Islam dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam) khususnya, dalam menentukan hukumnya. Untuk itu penyusun berusaha meneliti masalah Euthanasia ini dalam Prespektif  Fiqh Jinayah.
    
 B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan pokok masalah  sebagai berikut:
Apakah euthanasia merupakan tindak pidana dalam tinjauan Fiqh Jinayah?

C. Tujuan dan Kegunaan
            Sesuai dengan pokok masalah di atas, penyusunan skripsi ini bertujuan untuk:
Menjelaskan bagaimana pandangan Fiqh Jinayah terhadap masalah euthanasia.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah :
Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran di dalam menambah khasanah pengetahuan tentang hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah.

D. Telaah Pustaka
Kajian tentang Euthanasia dalam prespektif medis, hukum, psikologi, etika dan ham banyak dibicarakan oleh banyak praktisi, seperti ulama, ahli hukum, ahli medis, psikolog.
Ada beberapa buku yang telah membahas tentang masalah euthanasia, diantaranya: dalam buku Euthanasia dalam Prespektif  Hak Asasi Manusia, karya Petrus Yoyo Karyadi. Buku ini meninjau dan menyoroti permasalahan euthanasia dari segi HAM, diantaranya mengemukakan tentang apakah tindakan euthanasia merupakan hak asasi manusia?. Dan juga menjelaskan bahwa dalam hak asasi manusia terdapat hak untuk hidup dan hak untuk mati. *
Dalam buku Mengapa Euthanasia ?: Kemajuan Medis dan Konsekuensi Yuridis, karya F.Tengker, buku ini menjelaskan bahwa Euthanasia atau kematian baik adalah demi kepentingan pasien semata-mata bukan untuk kenyamanan orang-orang yang sehari-hari berada di sekelilingnya. Euthanasia harus berlangsung atas dasar suka rela, yaitu atas permintaan pasien itu sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak lain. Dan dari segi yuridis dalam masalah euthanasia ini. Jika dokter melakukan tindakan euthanasia secara non alami maka dokter bisa dituntut pasal 344 karena bersalah menghilangkan nyawa orang atas permintaan, dan pasal 354 karena menolong orang bunuh diri. *
Dalam buku Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, karya Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, buku ini menjelaskan kedudukan Euthanasia dengan Hak Asasi Manusia, yang memuat tentang Hak untuk Mati seseorang dan kaitannya dengan hukuman mati. Dan hal ini juga dilihat dari prespektif hukum pidana; bagaimana kedudukan Euthanasia dalam KUHP dan juga bagaimana prospeknya di masa depan dalam KUHP. *
Dalam Skripsi  yang berjudul  "Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Euthanasia yang dipaksa menurut KUHP dan Hukum Islam", hasil karya Imawan Mukhlas Abadi, yang merupakan study analisis komparatif terhadap KUHP dan hukum Islam tentang pelaku euthanasia yang dipaksa . Dalam karya tulis tersebut menekankan cara dilakukannya euthanasia yang ada unsur paksaannya dan sanksi hukum terhadap pelaku euthanasia yang dipakai, hubungannya dengan HAM, sebagian yang kontra menganggap hak untuk hidup sebagai dasarnya, bagi yang pro menganggap selain punya hak untuk hidup manusia juga mempunyai hak untuk mati. *
Dalam skripsi yang berjudul "Euthanasia dalam Prespektif Etika Situasi", karya Anna Iffah Akmala, yang merupakan pandangan Etika situasi terhadap Euthanasia yang meliputi manusia dalam sudut pandang Etika Situasi, kehidupan dan kematian yang manusiawi serta pandaangan Etika Situasi terhadap Euthanasia. Juga terdapat perkembangan euthanasia di berbagai negara dan ethanasia dalam tinjauan berbagai agama. *
Di sekian penelitian yang ada yang membahas euthanasia ini semuanya mengacu pada permasalahan medis sebagai objek penelitian dasarnya, dan penelitian-penelitian di atas merupakan bentuk-bentuk macam penelitian dalam segi medis ditinjau dari berbagai aspek. Yang membedakan antara penelitian yang peneliti lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini peneliti meneliti permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah, yang mana tindakan euthanasia yang terdapat suatu unsur tindakan pembunuhan, yang dilakukan secara suka rela atas permintaan sendiri dikarenakan sakit. Dalam Skripsi ini akan dibahas apakah tindakan euthanasia ini termasuk pembunuhan dan dapat dikenai sanksi, sebagaimana tindakan pembunuhan pada umumnya, dalam prespektif Fiqh Jinayah. Sedangkan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian yang meninjau dari segi Hukum Pidana Positif, Komparasi Hukum Islam dengan Hukum Pidana Positif dalam masalah euthanasia yang dipaksa, HAM, Konsekwensi Yuridis dan kajian Etika.  


E. Kerangka Teoretik
Euthanasia merupakan istilah untuk pertolongan medis agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal dunia diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.[14]  
Menurut Petrus Yoyo Karyadi, euthanasia adalah dengan sengaja dokter atau bawahannya yang bertanggungjawab kepadanya atau tenaga ahli lainnya melakukan suatu tindakan medis tertentu untuk mengakhiri hidup pasien atau mempercepat proses kematian pasien atau tidak melakukan tindakan medis untuk memperpanjang hidup pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran sulit untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa permintaan dan atau keluarga sendiri, demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.[15]
Euthanasia pada garis besarnya ada dua, yakni euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Definisi euthanasia aktif ialah sengaja diambil tindakan yang berakibat kematian, sedang euthanasia pasif ialah membiarkan perawatan yang dapat memperpanjang kehidupannya.[16]
Dalam euthanasia aktif, sukarela atau tidak sukarela, kematian merupakan tujuan tindakan seseorang. Tindakan yang diambil, seperti dosis besar obat tidur atau suntikan racun, dimaksudkan untuk mengakhiri kehidupan pasien. Sedangkan euthanasia pasif  berusaha untuk memecahkan masalah-masalah moral mengenai perawatan pasien yang tidak ada harapan lagi atau yang sudah mendekati ajalnya dengan menghentikan segala terapi, sehingga bisa berlangsung penyelesaian secara alamiah.[17]
Euthanasia aktif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek hidup pasien atau untuk mengakhiri hidup pasien tersebut.
Berdasarkan akibatnya, euthanasia aktif kemudian dibagi menjadi dua golongan, yaitu euthanasia aktif langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan suatu tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien sedemikian rupa sehingga secara logis dapat diperhitungkan bahwa hidup pasien diperpendek atau diakhiri. Euthanasia aktif tidak langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya tanpa maksud untuk memperpendek hidup pasiennya, melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien dengan mengetahui adanya risiko bahwa tindakan medik ini dapat mengakibatkan diperpendek/ diakhiri hidup pasiennya.[18]
Euthanasia aktif adalah proses kematian diringankan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui.
Menurut Yusuf Qardawi yang dimaksud euthanasia aktif (taisir maut al-faal) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit, karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), sedangkan euthanasia pasif (taisir maut al-munfa'il) tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetepi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.[19] 
Dalam masalah euthanasia ini tidak terlepas dari beberapa pihak, yaitu pasien sebagai yang di euthanasia, dokter sebagai pelaku (pengeksekusi) euthanasia, dan keluarga sebagi pihak penyetuju tindakan euthanasia. Dan yang diteliti dalam masalah euthansia ini adalah euthanasia aktif secara langsung yang dilakukan atas permintaan pasien, yang dibebankan kepada pelaku euthansia yaitu dokter sebagai pihak pengeksekusi euthanasia.
Dalam hal ini permintaan pasien harus mendapat perhatian yang tegas agar tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh, harus dibuktikan dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti lainnya, alat-alat bukti lainnya yaitu: kesaksian-kesaksian, surat-surat, pengakuan dan isyarat-isyarat.[20]
Hukum Islam atau Fiqh Islam, telah mengatur perikehidupan  manusia secara menyeluruh mencakup segala macam aspeknya, diantaranya adalah masalah-masalah hukum yang berhubungan dengan kepidanaan, seperti macam-macam perbuatan pidana dengan ancaman pidana disebut al-jinayah.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa euthanasia khususnya euthanasia aktif, itu merupakan suatu perbuatan jarimah pembunuhan karena sudah memenuhi unsur-unsur jinayah yakni:
1.      Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuaatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal” (ar-Rukn asy- Syar’i)
2.      Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukaan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material” (ar-Rukn al-Maddi)
3.      Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral” (ar-Rukn al-Adabi)[21]

Dalam konteks di atas jelas bahwa pelaku euthanasia aktif  bisa dikenai sanksi pembunuhan sengaja. Berbicara tentang pembunuhan, maka perlu diberikan klasifikasinya agar mudah menempatkan/ memposisikan suatu tindak pidana pembunuhan menurut kadar ukurannya. Pembunuhan adakalanya terjadi karena disengaja oleh pelaku dan adakalanya tidak disengaja. Berkenaan dengan ini, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan. Perbedaan pengklasifikasian tersebut adalah:
1.      Ulama Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi dua yaitu: pembunuhan sengaja (qatl al-'amd) dan kekeliruan (qatl al khata').
2.      Jumhur mengklasifikasikannya menjadi tiga (sulasi), yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja (syibh al-'amd) dan kekeliruan.
3.      Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikanya menjadi empat (ruba'i), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, dan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata').
4.      Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi lima (khumasi), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, serupa kekeliruan, dan pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub).[22]

Untuk mengetahui arti dari jenis-jenis pembunuhan ini maka perlu diperjelas artinya yaitu sebagai berikut:
1.      pembunuhan sengaja (qatl al-'amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya. Jadi, matinya korban merupakan bagian yang dikehendaki si pembunuh.
2.      pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-'amd), yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi mengakibatkan kematian. Perbuatan itu sendiri sengaja dilakukan dalam objek yang dimaksud, namun sama sekali tidak menhendaki kematian si korban.
3.      pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata'), yaitu kesalahan dalam berbuat sesuatu yang mengakibatkan matinya seseorang. Walaupun disengaja, perbuatan tersebut tidak ditujukan terhadap korban. Jadi matinya korban sama sekali tidak diniati.[23]
4.      pembunuhan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata'), pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan suatu aktivitas tertentu, akan tetapi di luar kesadarannya menyebabkan kematian orang lain.
5.      pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub), pelaku membuat sarana yang pada awalnya tidak dimaksudkan untuk mencelakakan orang lain, tetapi karena kelalaiannya, pada akhirnya menyebabkan kematian orang lain.[24]
Dari jenis-jenis pembunuhan di atas, bila melihat kepada maknanya euthanasia yaitu suatu perbuatan penghilangan nyawa seseorang atas permintaan orang itu sendiri, berarti hal ini termasuk dalam pembunuhan disengaja, karena telah ada unsur perbuatannya dan unsur tujuannya yaitu agar orang tersebut mati. Tetapi dalam hal ini yang perlu dipertanyakan apakah unsur kerelaan atas si terbunuh termasuk ke dalam unsur pembunuhan disengaja.
 Apabila euthanasia aktif itu didukung oleh kerelaan si pasien maka yang demikian disebut tindakan bunuh diri dengan meminjam tangan atau melalui orang lain..  
Masalah euthanasia merupakan masalah yang sangat sulit, dan masalah ini biasanya timbul oleh alasan bahwa pasien sudah tidak tahan lagi menanggung derita yang berkepanjangan atau tidak ingin meninggalkan beban ekonomi atau tidak punya harapan untuk sembuh.    
Islam  sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia[25], lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi mengatakan, bahwa kehidupan seseorang bukanlah miliknya sendiri, karena dia tidak menciptakan dirinya (jiwanya), anggota tubuhnya, ataupun selnya. Dirinya hanyalah titipan  yang dititipkan Allah. Karena itu ia tidak boleh mengabaikannya, apalagi memusuhinya atau memisahkannya dari kehidupan.[26]
Manusia dituntut untuk memelihara jiwanya (hifz an-nafs). Karena memelihara nyawa manusia merupakan salah-satu tujuan utama dari lima tujuan syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Jiwa meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah Swt. Oleh karenanya, seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkannya tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri.[27]

F.  Hipotesis
Euthanasia adalah istilah dalam dunia medis yang merupakan keputusan dokter terhadap keadaan penyakit yang dialami pasien, bahwa penyakit yang diderita pasien tidak dapat disembuhkan lagi dan diberikan jalan pintas yaitu dengan jalan medis juga, biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi syaraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Memutuskan hukum dalam masalah euthanasia ini bukan merupakan hal yang mudah, dalam al-Qur'an tidak ada ayat yang menyinggung terhadap masalah euthanasia ini secara khusus. Namun karena masalah euthanasia ini berhubungan masalah pembunuhan, walaupun terdapat unsur kerelaan dari pihak siterbunuh maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan jarimah, dan hal ini dilarang oleh Allah dengan ancaman neraka jahannam. Dan sanksi pembunuhan ini adalah hukum Qisas sesuai dengan kadar dan jenis pembunuhannya
Perbuatan euthanasia sama dengan bunuh diri yang dilakukan dengan meminjam tangan orang lain, dan hal ini dianggap sebagai perbuatan yang menentang takdir Tuhan. Maka euthanasia ini merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari pencipta-Nya, yaitu Allah SWT.

G. Metode Penelitian
1.Jenis penelitian
 Jenis penelitian yang digunakan ialah kepustakaan (literatur)
2.Sifat penelitian
 Penelitian ini bersifat eksploratif, yaitu meneliti permasalahan euthanasia sebagai suatu permasalahan baru, sesuai dengan perkembangan zaman yang disesuaikan dengan keadaan sekarang, yang mana euthanasia yang terdapat dalam dunia medis diteliti dengan prespektif fiqh jinayah (Hukum Pidana Islam), dan dalam penyelesaiannya dibantu dengan pendapat-pendapat para ahli dan para mujtahid
3.Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, ialah  pendekatan normatif. Artinya dalam pembahasannya melakukan pendekatan terhadap permasalahan yang dititikberatkan pada aspek-aspek hukum, dalam hukum Islam lebih khusus dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam).
4.Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data dalam penyusunan skripsi ini, ialah menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Penyusun menelusuri bahan penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti. Dalam rangka pengumpulan data, penyusun menggunakan teknik dokumentasi, yaitu penyusun melakukan observasi terhadap sumber-sumber data yang berupa dokumen baik primer ataupun sekunder, kemudian dikumpulkan dan diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan data yang diperlukan.
 5. Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara berfikir deduktif. Deduktif artinya meneliti dan menganalisa macam-macam bentuk  euthanasia, kemudian ditentukan, jenis euthanasia yang termasuk kedalam perbuatan jarimah, serta pelaku tindakan euthanasia dan juga sanksi hukum apa yang harus diterapkan bagi perbuatan euthanasia ini.

H. Sistematika Pembahasan
Agar tidak terjadi tumpang tindih dan untuk konsistensi pemikiran, penulis membuat sistematika pembahasan yang terdiri dari bab-bab yang saling berhubungan dan saling menunjang yang satu dengan yang lainnya secara logis.
Pada bab pertama, dimulai dengan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang permasalahan yang akan dicari jawabannya, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, hipotesis, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Setelah bab pertama merupakaan pendahuluan ialah bab kedua, tinjauan umum dan masalah sekitar euthanasia, bab ini membicarakan mengenani pengertian  euthanasia serta permasalahannya yang sangat erat hubungannya dengan euthanasia, yakni tentang macam-macam euthanasia, sebab-sebab yang memungkinkan dilakukannya euthanasia, dan juga beberapa tinjauan baik dari segi Medis, HAM dan Hukum Pidana Positif (KUHP).
Pada bab ketiga berisi tentang Prinsip-prinsip Fiqh Jinayah terhadap Euthanasia yang meliputi pengertian Hukum Pidana Islam, jarimah Qisas-diyat, tujuan Fiqh Jinayah serta aspek kemanusiaan dalam Fiqh Jinayah, sebagai acuan dalam meninjau permasalahan pidana khususnya dalam masalah euthanasia.
Pada bab keempat berisi tentang Praktek Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh Jinayah yang meliputi Euthanasia aktif sebagai jarimah, Serta sanksi hukum bagi pelaku euthanasia.
Bab kelima, pada bab yang terakhir ini, memuat tentang kesimpulan dan saran-saran. Setelah diuraikan secara panjang lebar dan terperinci pada bab-bab sebelumnya, langkah selanjutnya adalah mengambil suatu kesimpulan dari apa yang telah menjadi pokok pembahasan dalam karya ilmiah ini. Sedangkan saran-saran diajukan pula, demi perbaikan dan kesempurnaan dari pengaturan masalaah euthanasia yang telah ada serta pandangan untuk masa-masa yang akan datang. 

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags : Euthanasia dalam Prespektif Fiqh Jinayah
no image

ETIKA PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

ETIKA PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Analisis Terhadap Kode Etik Profesi Hakim Indonesia)


etika hakim
Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan profesi mengimplikasikan kepada tuntutan-tuntutan norma etik yang melandasi persoalan profesional.[1] Namun hal tersebut tidak bisa sempurna karena sifat profesi yang terbatas, khusus dan unggul, maka bukan tidak mungkin akan terjadi gejala–gejala penyalahgunaan terhadap profesi yang dimiliki, yang seharusnya dengan penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum dapat diemban untuk menyelenggarakan dan menegakkan keadilan di masyarakat.
            Pada era reformasi sekarang ini yang disertai krisis multidimensi di segala bidang di antaranya dalam bidang hukum, timbul keprihatinan publik akan kritik tajam sehubungan dengan curat marutnya penegakan hukum di Indonesia, dengan adanya penurunan kualitas hakim dan pengabaian terhadap kode etik, serta tidak adanya konsistensi, arah dan orientasi dari penegak hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan tidak adanya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Dan pihak yang sering disalahkan adalah aparat penegak hukum itu sendiri, yang terdiri dari Hakim, Jaksa, Pengacara dan Polisi.[2]
            Hakim[3] sebagai salah satu aparat penegak hukum (Legal Aparatus) yang sudah memiliki kode etik sebagai standar moral atau kaedah seperangkat hukum formal. Namun realitanya para kalangan profesi hukum belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melaksanakan profesinya sehari-hari, terlihat dengan banyaknya yang mengabaikan kode etik profesi, sehingga profesi ini tidak lepas mendapat penilaian negatif dari masyarakat. Khusus berkenaan dengan pemutusan perkara di pengadilan yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan dan kebenaran maka hakimlah yang kena, dan apabila memenuhi harapan masyarakat maka hakimlah yang mendapat sanjungan. Dengan kata lain masyarakat memandang wajah peradilan sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh sikap atau perilaku hakim. Sebagai contoh atas adanya hakim yang melakukan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang dibuktikan dengan data Transparansi Internasional (TI) dan Catatan Political Economi Risk Concultanty Ltd.(PERC)[4] yang membuktikan bahwa korupsi di lembaga peradilan sebagai urutan ketiga setelah lembaga kepolisian dan Bea Cukai dan urutan lima besar di dunia.[5] Berdasarkan hasil penelitian Indonesia Corruption Watch  (ICW).[6]
            Dan berbagai kasus gugatan publik terhadap profesi hakim merupakan bukti bahwa adanya penurunan kualitas hakim sangat wajar sehingga pergeseran pun terjadi dan sampai muncul istilah mafia peradilan.[7]
            Indikasi tersebut menunjukan hal yang serius dalam penegakkan standar profesi hukum di Indonesia. Kode etik tampaknya belum bisa dilaksanakan dan nilai-nilai yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh pengembannya sendiri.
            Dari dasar pemikiran diatas maka sewajarnya bila muncul harapan dan tuntutan terhadap pelaksanaan profesi baik ciri, semangat, maupun cara kerja yang  didasarkan pada nilai moralitas umum (common morailty), seperti nilai kemanusiaan (humanity), nilai keadilan (Justice) dan kepastian hukum (gerechtigheid). Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat mengarah kepada perilaku anggota profesi hakim, sehingga perlu adanya dan ditegaskan dalam bentuk yang kongkrit (Kode Etik).[8] Sehingga dengan adanya nilai-nilai dalam kode etik tersebut, pelaksanaan professional akan dapat di minimalisir dari gejala-gejala penyalahgunaan keahlian dan keterampilan professional dalam masyarakat sebagai klien atau subyek pelayan. Hal ini penting karena nilai-nilai tersebut tidak akan berguna bagi professional saja melainkan bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.[9]
            Dari peranannya yang sangat penting dan sebagai profesi terhormat (Offilium nobile), atas kepribadiannya yang dimiliki. Hakim mempunyai tugas sebagaimana dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman adalah Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[10] Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
            Di sini terlihat jelas seorang hakim dalam menjalankan tugasnya selain di batasi norma hukum atau norma kesusilaan yang berlaku umum juga harus patuh pada ketentuan etika profesi yang terdapat dalam kode etik profesi.
            Kode etik sendiri merupakan penjabaran tingkah laku atau aturan hakim baik di dalam menjalankan tugas profesinya untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun pergaulan dalam masyarakaat, yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.
            Islampun menjelaskan bahwa hakim adalah seorang yang diberi amanah untuk menegakkan keadilan dengan nama Tuhan atas sumpah yang telah diucapkan, dalam pandangan Islam adalah kalimat tauhid adalah amalan yang harus diwujudkan dalam bentuk satu kata dan satu perbuatan dengan niat lilla>hi ta'alla.[11] Sehingga pada setiap putusannya benar - benar mengandung keadilan dan kebenaran.
Dalam al-Qur'an diperintahkan :
ان الله يأ مركم ان تؤدواالآ منت الى اهلها واذا حكمتم بين الناس ان تحكموابالعدل ان لله نعما يعظكم به ان لله كان سميعا بصيرا  [12] 
            Melalui profesi inilah hakim mempunyai posisi istimewa. Hakim merupakan kongkritisasi hukum dan keadilan yang bersifat abstrak, dan digambarkan bahwa hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.[13]  Karena hakim satu-satunya penegak hukum yang berani mengatasnamakan Tuhan pada setiap putusannya.[14] Sehingga setiap keputusan hakim benar-benar berorientasi kepada penegakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dari pada sekedar mengejar kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dalam kode etik profesi hakim.
   Kode Etik profesi hakim bukanlah merupakan sesuatu yang datang dari luar tetapi terwujud justru berasal dan diciptakan oleh anggota profesi sendiri, sehingga merupakan pengaturan sendiri �self regulation). Karena kalau di ciptakan dari luar �instansi atau pemerintah), maka tidak akan dijiwai oleh nilai-nilai yang hidup di kalangan profesi.[15] Kode etik merupakan kesesuaian sikap yang harus di junjung tinggi oleh hakim dengan jiwa-jiwa pancasila.[16] Padahal untuk menegakkan supremasi hukum adalah menegakkan etika, profesionalisme serta disiplin.[17] Meskipun demikian kode etik profesi hakim sebagai standar moral belum memberikan dampak yang positif, sehingga kode etik yang sudah sekian lama perlu dikaji kembali untuk disesuaikan dengan perubahan kondisi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) yang menilai bahwa banyak para kalangan profesi hukum belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melaksanakan profesinya sehari-hari. Oleh karena itu perlu dibentuk standar kode etik profesi hukum yang akan menjadi pedoman untuk prilaku profesi. Dan sebagai cara untuk memulihkan kepercayaan terhadap lembaga peradilan khususnya hakim yang sedang kacau.[18]        
            Munculnya wacana pemikiran tentang kode etik profesi hakim ini yang akan menjadi penelitian yang dititik beratkan pada analisis nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik profesi hakim. Penelitian ini penyusun anggap penting karena didorong oleh realitas profesi hakim yang mengabaikan nilai-nilai moralitas. Dan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir keadilan yang merupakan cita-cita dan tujuan[19] (Khususnya Profesi hakim). Melihat permasalahan di atas penyusun merasa tertarik untuk membahas kode etik profesi hakim[20] dan dikaitkan dengan nilai-nilai  etika Islam.[21] Masalah ini sangat menarik untuk dikaji karena etika Islam yang bersumber dari al-Qur'an yang pada hakekatnya merupakan dokumen Agama dan bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang bermoral.
B. Pokok Masalah
            Berdasarkan  latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok masalah adalah :
               Apa dan bagaimana nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kode etik profesi hakim Indonesia?
               Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kode etik profesi hakim Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan
            Penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Menjelaskan serta menganalisa nilai-nilai dasar yang terdapat dalam kode etik profesi  hakim Indonesia.
2.      Menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap kode etik profesi hakim Indonesia.

Adapun hasil dari penelitian ini berguna untuk :
          Menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya dalam etika profesi hakim (Kode Etik Hakim Indonesia) dan sebagai bahan studi awal untuk penelitian lebih lanjut.
          Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan khususnya hakim dalam praktek di lapangan baik berupa kerangka teori maupun praktek.
D. Telaah Pustaka.
            Dari hasil telaah pustaka yang penyusun lakukan terdapat beberapa karya ilmiah baik berupa buku maupun skripsi yang membahas tentang kode etik atau etika profesi hukum. Dari telaah tersebut kami mengkatagorikan kedalam dua aspek yaitu: Pertama, aspek teoritis, yaitu etika profesi hukum yang mencakup seluruh aktivitas profesi dalam kehidupannya. Kadua, aspek penegakan kode etik profesi baik secara individu maupun kelompok. Dengan kata lain pada aspek kedua inilah etika profesi hakim berada sebagaimana yang di tetapkan Dewan Kehormatan dalam aplikasinya di lapangan.
            Diantara karya yang termasuk ke dalam aspek teoritis adalah: Karya Oemar Seno Aji dalam bukunya Etika Professional dan Hukum : Profesi Advokat,karya ini hanya menyoroti permasalahan etik dari profesi advokat, dokter dan wartawan.[22] Namun dalam karya ini disebutkan bahwa kode etik secara umum mengandung normative ethich dan adanya rahasia profesi yang menjadi asas yang memberikan hak untuk menolak keterangan sebagai saksi (vershonings recht).[23] Karya Suhrawardi K. Lubis, berjudul Etika Profesi Hukum,dalam karya ini mencoba membahas etika profesi hukum secara global yang meliputi penasehat hukum dan notaris, dan tidak membedakan antara penasehat hukum dengan advokat.[24] Kemudian karya E. Sumaryono yang berjudul Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum, buku ini membahas etika profesi bagi para penegak hukum untuk meningkatkan professionalitas kerja. Namun obyek pembahasannya hanya di fokuskan pada empat jenis profesi yaitu jaksa, advokat, notaris dan polisi dan tidak mengkaji masalah nilai-nilai etika hakim.[25] Dan skripsi saudara Rofiqoh mahasiswa Ushuluddin, yang berjudul Etika Menurut fazlur Rahman, dalam pandangan fazlur Rahman konsep etika adalah etika religius yang merupakan rangkaian dari teologi, etika dan hukum. Sehingga menjadi manusia bermoral merupakan pencapaian pada integritas individu dan kelompok. Integritas tersebut dapat di peroleh dengan iman, Islam dan taqwa.[26]     
            Sedangkan yang termasuk kedalam aspek kedua yaitu aspek penegakan kode etik diantaranya : Skripsi saudara Muhammad Rodlin fakultas Ushuluddin, dengan judul Etika Profesi : telaah pendekatan moral, penelitian ini hanya membahas hubungan etika dan profesi secara konsep umum yang menyatakan hubungan tersebut sangat erat karena merupakan jaminan pelayanan oleh profesi apapun.[27] Dan skripsi M wahyudi fakultas Syari'ah, yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebebasan Hakim: Study analisis pasal 1 ayat 1 dan pasal 14 ayat 1 UU. Nomor 35 tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa dalam menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus terbebas dari pengaruh baik dari luar maupun dari dalam yaitu : faktor moralis dan mentalis dalam menjalankan profesinya.[28] Kemudian juga dalam buku Daryl Koehn yang berjudul Landasan Etika Profesi yang menyatakan hubungan secara moral antara klien dan professional berdasarkan atas janji dari professional untuk menjaga kepentingan kliennya.[29] Dan dalam buku ini hanya di fokuskan kepada tiga profesi yaitu : profesi hukum, kedokteran dan rohani.
            Dari karya-karya tersebut, baru membahas tentang etika profesi secara umum dan belum terdapat pembahasan yang secara khusus tentang kode etik hakim atau kode kehormatan yang terkandung dalam etika profesi hakim dalam tinjauan etika Islam. Maka dari itu penyusun akan membahas etika profesi hakim yang diantaranya kode etik profesi hakim atau kode kehormatan hakim sebagai bahan yang mendukung terhadap penyusunan ini.



E. Kerangka Teori
            Teori etika adalah gambaran umum rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap definisi konsep-konsep etika, justifikasi, dan penelitian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk.[30]
            1. Etika Sebagai Landasan Profesional
            Sebagai cabang ilmu filsafat, etika dimengerti sebagai filsafat moral atau filsafat mengenai tingkah laku. Etika berbeda dengan moral, moral berisi ajaran-ajaran sedangkan etika berisi alasan-alasan mengenai moralitas itu sendiri.[31]          Menurut Hans Wenr dalam bahasa arab etika disebut ahklak. Norma (norm) adalah standar, pola (pattern), model (type). Hal tersebut merupakan aturan atau kaedah yang di pakai sebagai tolak ukur untuk menilai sesuatu.[32]
            Etika atau akhlak dalam khazanah Islam dipahami sebagai ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya di lakukan kepada orang lain, menyatukan tujuan apa yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[33] Dengan demikian Persoalan-persoalan etika adalah persoalan kehidupan manusia. Tidak bertingkah laku semata-mata menurut naluri atau dorongan hati.
            Sedangkan K. Bertens mengungkapkan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok tingkah lakunya. Sedangkan profesi menurut K. Bertens menyatakan bahwa profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai.[34] Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa dalam kata moral terdapat dua makna. Pertama, sebagian cara seseorang atau kelompok untuk bertingkah laku dengan orang lain. Kedua, adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara bertingkah laku.
Dalam filsafat ilmu, epistemologi moral dipelajari dengan dua cara yaitu telaah metodologik dan telaah metafisik.
Telaah metodologik bersifat induktif, menggunakan logika model koherensi. Salah satu yang menonjol adalah telaah equilibrium reflektif. Proses penyusunan teori moral ini dimulai dari penetapan moral yang dipilih; dilanjutkan dengan pemilihan prinsip-prinsip yang hendak digunakan. Lalu diuji pada moral sentralnya; diketemukan konflik dengan moral sentralnya atau tidak; bila ada konflik, diadakan revisi. Itu prosedur menurut Goodman (1965).
Sedangkan Rewals (1971) menyarankan untuk melihat koherensi dengan moral yang lebih jauh, misalnya keyakinannya atau teori yang dianut.[35]
Cara telaah yang kedua adalah telaah metafisik. Cara ini digunakan oleh realisme metafisik. Dengan pandangan meta-ideologik, moral adalah fakta konstruktif. Kemauan Hakim untuk membantu pihak adalah fakta konstruktif. Fakta konstruktif tersebut bukan temuan pada obyek seperti fakta-fakta penelitian pada umumnya, melainkan fakta konstruk pandangan human.[36] Pandangan human tersebut dapat dilihat dari pandangan sosialogis, psikologis dan keyakinan agama.
            Dari sisi cakupannya etika dapat dibagi dua yaitu, etika umum dan etika terapan. Etika umum merupakan ilmu atau filsafat moral yakni teoritis yang mencakup seluruh aktivitas kehidupan.[37] Sedangkan etika khusus adalah etika individual atau sosial atau lingkungan hidup. Pada wilayah inilah etika pofesi berada.[38]
            Menurut Majid Fakhri, sistem etika Islam dalam dikelompokkan dengan empat tipe: pertama, moral skriptualis. Kedua, etika teologis. Ketiga, teori-teori filsafat. Keempat, etika religius.[39] Dari keempat tipologi di atas etika religius akan menjadi pilihan sebagai landasan teori dalam penelitian ini
            Dengan kerangka demikian dapat dikatakan bahwa etika profesi merupakan tuntutan dasar hakim dalam Islam. Dan juga atas teori tersebut dapat diasumsikan bahwa etika profesi hakim merupakan pengejawantahan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan pertanggung jawaban dalam realitas penegakan hukum oleh hakim. Ada tiga komponen yang menopang tegaknya hukum dan keadilan di tengah masyarakat, yaitu adanya aparat penegak hukum yang professional dan memiliki integritas moral yang terpuji, adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan adanya kesadaran masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum.[40]
            Dalam penegakan hukum, menurut O. Notohamidjojo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan artinya sebagai manusia jadikanlah manusia. Kedua, keadilan yaitu memberikan sesuatu sesuai haknya. Ketiga kepatutan yaitu pemberlakuan hukum harus melihat unsur kepatutan (equity) dalam masyarakat. Keempat, kejujuran yaitu seorang hakim dalam menegakkan hukum harus benar-benar bersikap jujur untuk mencari hukum dan kebenaran. [41]
            2. Eksistensi Hakim Sebagai Penegak Hukum Dalam Islam
            Hakim mempunyai tugas sangat penting. Disamping itu hakim harus mempunyai moral yang tinggi, berbudi luhur, dan menegakan hukum secara benar dan adil.
            Sehingga peranan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dapat dilihat dari tugasnya :
1. Penggali Hukum
إذاحكم الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران واذاحكم فاجتهد ثم أخطاء فله أجر[42]
2. Pemutus Perkara
اناانزلنا اليك الكتب بالحق لتحكم بين الناس بما ارك الله ولا تكن للخاءنين خصيما[43] 
3. Pemberi Nasehat
....وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان[44]
            Sementara dalam kaidah ushul Fiqh sendiri hakim sebagai pemegang amanah harus dapat membawa kemaslahatan
تصرف الإمام على الر عية منوط بالمصلحة[45]
Sebagai salah satu bentuknya adalah dengan adanya kode etik profesi hakim yang tujuannya untuk kemaslahatan bagi manusia, kemaslahatan tersebut tercantum dalam azas-azas yang dituangkan dalam syariat hukum Darury yaitu hal yang pokok dalam kehidupan manusia, hukum Hajjiy yaitu hukum yang menselaraskan dengan hajat dan kebutuhan manusia, dan hukum Tahsiny yaitu merupakan keindahan hidup yang merupakam pelengkap dalam kehidupan manusia.[46] Dengan demikian tujuan penegakkan keadilan dan kebenaran dapat tercapai, dan kode etik profesi hakim benar-benar membawa maslahat bagi manusia.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan ini.
2. Sifat Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik[47] metode yang menggunakan pencarian fakta dan data-data yang ada dalam kode kehormatan hakim dan kemudian dianalisa dengan kerangka pemikiran yang telah disusun dengan cermat dan terarah.
3. Pengumpulan Data.
Penelitian ini adalah penelitian pustaka, maka metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku yang ada dan kemudian dikaji dan ditelaah dari berbagi literatur yang ada yang berkaitan dengan skripsi ini. Adapun data primernya adalah : kode etik profesi hakim dan UU No 4 TAhun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, sedangkan sumber sekundernya adalah : buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang membahas masalah ini. Adapun yang menjadi baham tersier adalah semua bahan yang menunjang bahan primer dan sekunder seperti kamus hukum, eksiklopedia dan lain sebagainya.
4. Pendekatan Penelitian.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan Filosofis-Normatif.Secara philisofis yaitu dengan melakukan penganalisaan makna-makna secara fhilisofis terhadap kode etik profesi hakim secara umum, sedangkan secara normatif yaitu melakukan analisa terhadap suatu fenomena yang berdasarkan aturan hukum Islam (normatif). Analisa dilakukan dengan metode content analisis (analisa isi)[48]
5. Analisis Data.
Analisis data yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan metode induktif dan deduktif. Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta khusus, peristiwa kongkrit yang kemudian ditarik kesimpulan secara umum (generalisasi). Sedangkan metode deduktif adalah metode yang menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum kemudian di sesuaikan faktor-faktor dari yang bersifat umum. Metode induktif digunakan untuk mengkaji asas-asas atau nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik profesi hakim Indonesia. Sedangkan deduktif dipakai untuk melihat pandangan Islam terhadap etika profesi hakim.
G. Sistematika Pembahasan.
            Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari :
            Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
            Bab kedua, Pembahasan tentang kode etik profesi hakim Indonesia dan perkembangan hakim saat ini, yang meliputi peranan hakim baik dari pengertian, tugas dan wewenang. Hal ini akan menjadi landasan untuk mengkaji permasalahan penyalahgunaan profesi hakim dengan melihat konstruksi perkembangan hakim dari analisa kode etik profesi hakim Indonesia yang ada.
            Bab ketiga, Merupakan eksplorasi hukum Islam terhadap kode etik profesi hakim Indonesia, serta prinsip-prinsip peradilan dalam nilai etika Islam sebagai landasan dalam profesi hakim.
            Bab keempat, merupakan analisa tentang aplikasi nilai-nilai dari kode etik profesi hakim dan etika hukum Islam setelah melihat dengan kode etik yang ada dalam konsep etika Islam.
            Bab kelima, berisikan penutup yang terdiri dari kesimpulan sebagai jawaban dari pokok masalah dalam penyusunan ini, selain itu juga beberapa saran yang berkaitan dengan kode etik profesi hakim.


Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: ETIKA PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF  HUKUM ISLAM
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net