• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 03 Mei 2010
no image

Kisah abi Nawas Basuh Tangnan 120 kali

bu Nawas bekerja sebagai orang kepercayaan Raja Ali Ibnu Bakri. Abu Nawas dikenali sebagai orang cerdik dan ahli dongeng yang termasyhur. Suatu hari Raja mengalami ketegangan fikiran selepas bekerja sepanjang hari mengurus rakyat. Sang Raja memerintahkan kepada Abu Nawas bercerita mengenai kisah-kisah aneh dan ajaib, yang menjadi kegemaran sang Raja, untuk menghilangkan sedikit ketegangan jiwa yang dialaminya.
Kebiasaannya, Raja mendengar kisah-kisah Abu Nawas pada malam hari, iaitu sebelum sang raja menidurkan matanya. Abu Nawas menjawab, “Dengan senang hati, wahai raja yang baik dan bahagia...”
Dikisahkan, wahai Raja yang bahagia, salah seorang pelayan istana berkata kepada raja Cina:
Wahai Raja zaman ini, tuan rumah memerintahkan para pelayannya agar mengambil air dan semua yang diperlukan untuk membasuh tangan salah seorang tamunya yang dianggap agak ganjil dan aneh. Tamu itu lalu membasuh tangannya dengan air bercampur sabun, garam dan daun sebanyak seratus dua puluh kali basuhan.
Selepas itu barulah ia makan ‘ragut’(sejenis makanan yang berasal dari sebuah desa di Baghdad), tetapi pemuda itu memakannya seolah-olah dengan perasaan jijik dan mual, sementara kami memandangnya dengan penuh kehairanan, sebab tangannya dan malah sekujur tubuhnya menggigil.
Bila kami melihat tangannya, barulah kami mengetahui bahawa ibu jarinya terpotong, dia makan hanya dengan empat jari, sehingga menyebabkan makanan itu berjatuhan dari tangannya. Kami menyoalnya dengan hairan, “Apa yang terjadi dengan ibu jarimu? Apakah Tuhan menciptakanmu dalam keadaan seperti ini, atau apakah engkau pernah mengalami kemalangan?”
Pemuda itu menyahut, “Demi Tuhan, bukan hanya ibu jari ini saja yang hilang, tetapi juga ibu jari tanganku yang satu lagi, dan tumit kedua-dua kakiku, seperti yang akan kalian lihat.”
Lalu dia menunjukkan tangan kirinya dan kedua-dua kakinya. Kami melihat bahawa tangan kirinya nampak seperti tangan kanannya dan kedua-dua kakinya, tidak mempunyai tumit. Ketika kami melihatnya, kehairanan kami semakin bertambah, hingga kami berkata padanya, “Kami tak sabar menunggu kisahmu dan penyebab terpotongnya kedua ibu jari serta tumit kakimu dan mengapa engkau membasuh tanganmu seratus dua puluh kali.”
Pemuda itu berkata, “Ayahku adalah salah seorang pedagang yang paling terkemuka di Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid. Tetapi ayahku gemar minum anggur dan bermain muzik kecapi, sehingga ketika dia meninggal ayahku tidak mewariskan sesuatu pun kepadaku.
Aku melaksanakan upacara pemakaman baginya, mengadakan pengajian Al-Quran, dan terus berkabung untuknya dalam masa yang cukup lama. Lalu aku membuka kedai peninggalan ayahku dan mendapati bahawa dia hanya meninggalkan sedikit harta dan banyak hutang. Maka aku terpaksa menjelaskan dan membayar kesemua hutang ayahku dengan membayarnya beransur-ansur.
Aku mula melakukan jual-beli dan membayar hutang ayahku minggu demi minggu, hingga akhirnya aku berjaya menjelaskan kesemua hutang ayahku dan modalku mula bertambah. Suatu hari, ketika aku sedang duduk di kedaiku, datanglah ke pasar seorang gadis muda yang cantik, yang kecantikannya belum pernah kulihat tandingannya, berpakaian mewah dan dihiasi permata.
Dia menaiki seekor keldai betina, dengan seorang hamba sahaya berkulit hitam berjalan di hadapannya dan seorang lagi di belakangnya. Gadis itu turun dari keldainya dan terus memasuki pasar. Baru saja dia melangkahkan kakinya ke pasar, seorang pengawal datang mengikutinya dan berkata, “Tuan puteri, masuklah, tapi jangan sampai ada orang yang mengenalimu, sebab kita akan menghadapi kesukaran.”
Lalu pengawal itu berdiri berjalan di hadapan sang gadis, sambil melihat-lihat kedai. Tetapi kerana mendapati tidak ada kedai yang buka kecuali kedaiku, gadis itu mendatangi kedaiku. Gadis itu menegurku, lalu duduk....
Tiba-tiba fajar pun menyingsing. Abu Nawas terdiam, lalu sang Raja berkata, “Ceritamu benar-benar aneh dan indah!” Abu Nawas menjawab, “Esok malam ceritanya lagi menarik dan lagi indah.”
no image

Kisah Abu Nawas dan Pengemis Kedinginan

Abu Nawas dan Pengemis yang Kedinginan dalam Kolam

Ada seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam didalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.
“Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata saudagar itu. Ajakan tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling lama hanya mampu sampai sepertiga malam.
Pada suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. “Maukah kamu berendam di dalam kolamku ini semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata si saudagar.
“Baiklah akan kucoba,” jawab si pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam, memang air kolam itu dingin sekali. “Boleh juga,” katanya kemudian.
“Kalau begitu nanti malam kamu bisa berendam disitu,” kata si saudagar.
Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya mengenai rencana berendam di kolam itu.
“Istriku,” kata si pengemis sesampainya di rumah. “Bagaimana pendapatmu bila aku berendam semalam di kolam saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh ringgit? Kalau kamu setuju aku akan mencobanya.”
“Setuju,” jawab si istri, “Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu.”
Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti malam jam delapan kamu boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si saudagar, “Jika tahan akan ku bayar upahmu.”
Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu dingin lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu sampai pagi.
Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, “Aku tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti tidak kedinginan.”
Namun si pengemis tidak mau kalah, “Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di air, masakan api bisa masuk ke dalam air?”
“Aku tetap tidak mau membayar upahmu,” kata saudagar itu ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, aku tunggu.”
Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan setengah mati, tidak dapat uang lagi,” pikirnya. Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar, Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga.
“Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan.” Doanya dalam hati.
Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan.
“Hai, hamba Allah,” Tanya Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah.”
“Memang benar hamba sedang dirundung malang,” kata si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.”
“Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis. Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.”
Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya senin depan.
Hari senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi kebelakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api.
Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam.”
Baginda pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan. “Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.
Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas dibagian belakang rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya.
“Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu? Tanga baginda Sultan.
Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya.
“Menanak nasi?” tanya baginda, “Mana periuknya?”
“Ada, tuanku,” jawab Abu nawas sambil mengangkat mukanya ke atas.
“Ada?” tanya beginda keheranan. “Mana?” ia mendongakkan mukanya ke atas mengikuti gerak Abu Nawas, tampak di atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah.
“Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?” tanya Sultan. “Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.”
“Begini, Baginda,” Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin dan akan diupah sepuluh ringgit jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena mengharap upah sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis membuat api di pinggir kolam.” Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar. “Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini.”
“Boro-boro nasi itu akan matang,” kata Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh.”
“Demikian pula halnya si pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan anaknya membuat api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis tidak berendam di air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat.”
Saudagar itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu, karena memang demikian halnya.
“Sekarang aku ambil keputusan begini,” kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham dan di hukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin. Hakim dan orang-orang pembesar di hukum empat hari karena berbuat tidak adil dan menyalahkan orang yang benar.”
Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga.
Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net