“Qiro’atul
Qur’an”
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Qira’at
al-Qur’an disampaikan serta diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. kepada para
sahabatnya sesuai dengan wahyu yang diterimanya dari malaikat Jibril.
Selanjutnya para sahabat menyampaikan dan mengajarkan kepada para tabi’in dan
para tabi’in pun menyampaikan serta mengajarkannya kepada para tabi’ tabi’in
dan demikian seterusnya dari generasi ke genarisi berikutnya. Qira’at al-Qur’an
yang dikenal dan dipelajari oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga sekarang
ternyata tidak hanya satu macam versi qira’at sebagaimana yang terbaca dalam
mushaf yang dimiliki umat Islam sekarang.
Qira’at memiliki berabagi versi qira’at
lain yang juga bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Sehinggga permasalahan
perbedaan qira’at ini menjadi pembicaraan sebagian masyarakat Islam.Berbagai
macam cara baca al-Quran diajarkan kepada masyarakat Islam sahabat-sahabat
besar seperti Abdullah bin Masud, Ubai bin Ka’ab, Abu Darda’, dan Zaid bin
Tsabit adalah generasi pertama. Abdullah bin Abbas, Abdul Aswad Dualli,
Al-Qomah bin Qois, Abdullah bin Said, Aswad bin Yazid, Abu Abdirrahman Sulami
dan Masruq bin Ajda’ adalah generasi kedua. Hingga kemudian mereka melahirkan
generasi ketiga sampai kedelapan. Sejak saat itulah penyusunan qira’at dimulai
dan setelah itu tujuh orang qari’ ditentukan
Qira’at
merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulum al-Qur’an. Tidak banyak orang yang
tertarik dengan ilmu qira’at hal itu dikarenakan ilmu ini memang tidak
berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari tidak
seperti ilmu fiqih, hadits, dan tafsir.
Ilmu Qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan
halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Namun, ilmu qira’at mempelajari manhaj
(cara, metode) masing-masing imam qurra’ sab’ah atau ‘asyaroh dalam membaca
al-Qur’an.
Dalam kita membaca al-Qur’an dalam satu qira’at diperlukan
penguasaan cara membaca al-Qur’an dan penguasaan dalam pengucapan lafadz-lafadz
tertentu dalam al-Qur’an secara bersamaan. Karen jika hanya menguasai salah
satunya saja kemudian membaca al-Qur’an dengan Qira’at tertentu akan kacau
jadinya. Biasanya orang yang membaca dengan qira’at syaratnya harus berguru
langsung dengan syeikh qira’at untuk menghindari terjadinya kesalahan.
1.2.
Rumusan Masalah
a.
Pengertian qira’at
al-qur’an ?
b.
Latar belakang
timbulnya perbedaan qira’at ?
c.
Macam qira’at Al-Qur’an ?
d.
Urgensi mempelajari
qira’at
e.
Pengaruhnya dalam
penetapan (istinbath) hukum islam ?
1.3.
Tujuan Penulisan
Sebagai bentuk pengetahuan tentang qira’ay dalam
al-qur’an dan mengetahui macam-macam serta pengaruh qira’at dalam huku islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Qira’at Al-Qur’an
Qira’at adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Jadi, lafal qiro’at secara lughawi
berarti beberapa pembacaan. Secara
istilah ada beberapa pendapat tentang definisi tersebut, yaitu:
a.
Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah
suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam yang berbeda
dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al karim serta disepakati riwayat dan
jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan
lafalnya.
Definisi
ini mengandung tiga unsure pokok. Pertama qira’at dimaksud menyangkut bacaan
ayat-ayat. Kedua cara bacaan yang dianut dalam dalam satu mazhab qira’at
didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas dan ijtihad. Ketiga perbedaan
qira’at bias terjadi dalam pelafalan huruf dan dalam berbagai keadaan.
Ini
sesuai dengan hadis nabi SAW. yang artinya:
“sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas
tujuh huruf (cara bacanya) maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap
mudah”
b.
Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah
pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan membangsakan kepada penukilnya.
2.2. Latar
Belakang Timbulnya perbedaan Qira’at
Al-qur’an memiliki makna sebagai bacaan, namun dalam perihal membaca
al-qur’an ini memiliki kesukaran pada setiap pembaca dalam keadaan. Dengan
demikian timbulah ilmu qira’at yang mana qira’at sebenarnya
telah muncul semenjak Nabi SAW masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at
bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung
asumsi diatas :
Pertama : Suatu ketika ’Umar bin
Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat
al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhaap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat
Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa
yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya
juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya
melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu
shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :”Memang begitulah
Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf,
maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”
Kedua : Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya
masuk ke Masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan
membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah
selesai, saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia
menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan
shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda
dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya
bertanya,” Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab,
”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya
sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang
itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda,
Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan
Nabi pun menjawabnya baik”.
Selanjutnya
periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa
tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah yang menerimanya dari
orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya berasal dari
Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan
bentuk kalimat didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau
tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu wajah yang lain
dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang
riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah dan Al-Qur’an.
Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul menggunakan sara
berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf. Bahkan, ada yang lebih dari
itu. Kemudian mereka tersebar keseluruh penjuru daerah.
Kebijakan Abu
Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah
disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa
Al-Asy’ari, Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai
andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat
bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan
kawan-kawannya, kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian
bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena
mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.
Adanya
mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru,
pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qiraat
yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa
dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga
pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang
disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada ’Utsman.
Ketika mengirim
mushaf-mushaf keseluruh penjuru kota, khalifah Utsman r.a. mengirimkan
pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan masing-masing
mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar keseluruh daerah dengan
bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yang
dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka-ragamlah
pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam Qari’ yang
masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat
dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.
Tatkala para qori
pada masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H tersebar ke berbagai pelosok.
Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qiraat
imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun-temurun dari
guru ke guru, sehingga sampai kepada imam-imam qira’at, baik yang tujuh,
sepuluh, atau yang empat belas.
Imam-Imam qira’at
bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa
membedakan antara bacaan yang benar dan yang
salah.
Mereka
mengumpulkan qira’at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah. Sesudah itu
para Imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang pertama kali
menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah al-Qasim bin
Salam. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25 Macam. Kemudian
menyusul imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan 20 macam. Ada
pula yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persoalan qiro’at terus berkembang
sampai masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama ibn
Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at yang disesuai
dengan tujuh imam qori’. Berkat jasanya dapat diketahui mana qira’at yang dapat
diterima dan mana yang ditolak.
2.3. Macam-Macam
Qira’at Al-Qur’an
Di dalam ilmu qira’at ada
macam-macamnya ,dilihat dari segi kuantitas qira’at terbagi menjadi tiga
macam yaitu:
a.
Qira’at sab’ah (qir’at tujuh) adalah
imam-imam qira’at yang tujuh yakni Abdullah bin Katsir Ad-Dari, Nafi’ bin ‘Abdurrahman
bin Abu Na’im, Abdullah Al-Yahshibi, Abu ‘Amar, Ya’qub (nama lengkapnya Ibn
Ishak Al-Hadhrami), Hamzah, dan Ashim.
b.
Qira’at ‘Asyarah (qira’at sepuluh)
adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah lagi dengan tiga
imam qira’at berikut yakni Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin ‘Abdullah
bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Basri, dan Khallaf
bin Hisam.
c.
Qira’at Arba’at Asyarah (qira’at empat
belas) adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan diatas di tambah dengan
empat imam qira’at berikut yakni Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin ‘Abdirrahman
(dikenal dengan Ibn Mahishan), Yahya’ bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi
Al-Baghdadi, dan Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz.
Dilihat dari
segi kualitasnya, qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu:
a.
Qira’ah Mutawatir yakni qiraa’at yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin sepakat untuk
berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisan yakni sampai kepada
Rasululllah saw. inilah yang umum dalam hal qira’at.
b.
Qira’ah Masyhur yakni qira’at yang
memiliki sanad shahih tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai
dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Utsmani, masyhur dikalangan
qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak
termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Para ulama menyebutkan bahwa
qira’at macam ini termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya.
c.
Qira’ah Ahad yakni qira’at yang
memiliki sanad shahih tetapi menyalahi tulisan mushaf Utsmani dan kaidah
bahasa Arab, tidak masyhur dikalangan qurra’ sebagaimana qira’at mutawatir dan
qira’at masyhur. Qira’at macam ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib
meyakininya.
d.
Qira’ah Syadz (menyimpang) yakni
qira’at yang sanadnya tidak shohih.
e.
Qira’at Maudhu’ (palsu atau
dibuat-buat) yakni qira’at yang tidak ada asalnya.
f.
Qira’at Mudraj (sisipan) yakni qira’at
yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qira’at yang sah.
Menurut jumhur
ulama, qira’at yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir,
seperti masyhur tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat.
Imam An-Nawawi menjelaskan qira’at syadz al-muhazzab bahwa tidak boleh dibaca baik di dalam maupun
di luar sholat karena ia bukan al-Qur’an. Al-Qur’an hanya ditetapkan dengan
sanad mutawatir, sedangkan qira’at syadz tidak mutawatir. Orang yang
berpendapat selain ini adalah salah. Apabila seseorang menyalahi pendapat ini
dan membaca dengan qira’at yang syadz, maka tidak boleh dibenarkan baik di
dalam maupun diluar sholat. Para fuqaha Baghdad sepakat bahwa orang yang
membaca al-qur’an dengan qira’at yang syadz harus disuruh bertaubat. Ibnu Abdil
Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin tentang al-Qur’an yang tidak boleh dibaca
dengan qira’at yang syadz, tidak sah shalat dibelakang orang yang membaca
al-Qur’an dengan qira’at-qira’at yang syadz itu.
Tolak ukur yang
dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at shohih adalah sebagai
berikut:
a.
Sesuai dengan kaidah bahasa arab, baik
yang fasih atau paling fasih.
b.
Sesuai dengan salah satu kaidah
penulisan mushaf utsmani walaupun hanya kemungkinan.
c.
Memiliki sanad yang shahih.
2.4. Urgensi
Mempelajari Qira’at
1.
Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang
telah disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para
ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan
dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.
Dalam qira’at syadz, sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “min umm”
sehingga ayat itu menjadi, artinya:
“Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta” (QS.
An-Nisa’ :12)
Dengan demikian, qira’at Saad bin Abi Waqqash dapat
memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hokum yang telah disepakati.
2.
Dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para
ulama. Misalnya, dalam surat Al-Ma’idah : 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah
adalah berupa memerdekakan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu
muslim atau non muslim. Hal itu mengandung perbedaan pendapat dikalangan para
fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan
demikian, menjadi, artinya: “…maka
kiffarat (melanggar sumpah itu ialah member makan sepuluh orang miskin, yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau member pakaian
kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak mukmin”. (QS. Al-Ma’idah: 89).
Tambahan kata “mukminatin”
berfungsi mentarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’I, yang
mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai
salah satu alternative bentuk kifaratnya.
3.
Dapat menggabungkan dua ketentuan yang berbeda.
Misalnya, dalam surat Al-Baqarah: 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang
melakukan hubungan seksual tatkala istrinya edang haid, sebelum haidnya
berakhir. Sementara qira’at yang membacanya dengan “yuththahhirna” (didalam
mushaf Ustmani tertulis “yuthhurna),
dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual
sebelum istrinya bersuci dan mandi.
4.
Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda
dalam kondisi yang berbeda pula. Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Maidah:
6. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”.
Perbedaan qira’at ini tentu saja mengkonsekuensikan kesimpulan hukum yang
berbeda.
5.
Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di
dalam Al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknanya.
2.5.
Pengaruhnya Dalam Istinbath (Penetapan) Hukum
Perbedaan-perbedaan qira’at itu
terkadang mempengaruhi dalam penetapan ketentuan hukum.
Contohnya:
Surah Al-Baqarah: 222
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Berkaitan
dengan ayat diatas, diantara tujuh imam qira’at yaitu Abu Bakar Syu’bah,
Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah
pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”.
Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai
dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhuma” berpendapat
bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang
haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara
yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh
melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.
Sehubungan
dengan hal tersebut, batas keharaman seorang suami untuk mencampuri istrinya
yang haid adalah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti darah
haidnya, dan telah mandi dari hadas besarnya
Surat
An-Nisa’: 43
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah
menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa’: 43)
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’I
memendekkan huruf lam pada kata “lamastun”, ementara imam-imam lainnya
memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qira’at ini, terdapat tiga versi
pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh dan
sambil bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qiraat itu pula, para ulam fiqih ada
yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan
wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa persentuhan itu tidak membatalkan
wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
Surah Al-Ma’idah: 6
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma’idah: 6)
Berkaitan
dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan “arjulakum”,
sementara imam-imam yang lainnya membacanya dengan “arjulikum”. Dengan
membaca “arjulikum”, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua
kaki dan tidak membedakan dengan menyapunya. Qira’at dipahami oleh jumhur ulama
dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci
kedua kaki. Sementara qira’at versi lainnya dipahami oleh sebagian ulama dengan
mengahasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci
kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan mengusapnya (dengan air).
http://pub.kliksaya.com?refid=210879
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan
bahwasannya:
1.
Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu yang
mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur’an.
2.
Qira’at
ini muncul pada masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.
3.
Orang yang pertama kali menyusun
qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-Qasim bin Salam kemudian
imam-imam lainnya mulai menyusun qira’at.
4.
Dari segi kuantitasnya qira’at terbagi
menjadi tiga yaitu Qira’ah Sab’ah (Qira’at Tujuh), Qira’at ‘Asyarah (Qira’at
Sepuluh), dan Qira’at ‘Arba’at Asyarah (Qira’at Empat Belas). Dan dari segi
kualitasnya Qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah
Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz (menyimpang), Qira’ah Maudhu (palsu) dan
Qira’at Mudraj.
5.
Yang dimaksud dengan al-Qur’an
diturunkan dengan tujuh huruf adalah memberi kelonggaran kepada umat manusia
dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka. Namun,
bacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh dibaca sesuka hati si pembacanya karena
sudah ada aturan yang sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah.
6.
Di
dalam penetapan hukum, qira’at dapat
menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama;
3.2. Saran
Dengan
sangat menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami
menyarankan kepada pembaca untuk memberikan
sumbang saran serta kritikan dalam memperbaiki makalah kami untuk yang akan
dating.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan. 2008. Ulum
Al-Qur’an. Bandung:
Pustaka Setia
Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i. 2008. Ulumul Qur’an.
Bandung:
Pustaka Setia