KHAWARIJ DAN MURJI’AH DALAM ISLAM
MENGENAL ALIRAN
KHAWARIJ DAN MURJI’AH
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Ketika peperangan Shiffin antara Sayidina Ali dengan Saidina Muawiyah
ra. Pihak Sayidina Muawiyah hampir kalah lalu mereka mengangkat Mushaf pada
ujung tombak dan menyerukan perhentian peperangan dengan bertahkim. Akibat itu
golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan
tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka yang tidak setuju
dengan tahkim beralasan bahwa orang yang mau berdamai pada ketika pertempuran
adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran peperangan yang
ditegakkannya. Hukum Allah sudah nyata kata mereka, siapa yang melawan khalifah
yang sah harus diperangi. Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij yaitu kaum
yang keluar yakni keluar dari Sayyidina Muawiyah dan keluar dari Sayyidina Ali.
Kemudian selain Khawarij, umat islam juga mengenal aliran Murji’ah.
Aliran Murji’ah ini merupakan golongan yang tak sepaham dengan kaum Khawarij
dan Syi’ah. Pengertian Murji’ah sendiri adalah penangguhan vonis hukuman
atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT, sehingga seorang
muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim
dan mempunyai harapan untuk bertobat.
Setiap orang Islam harus mengetahui macam dan bentuk paham Khawarij dan
Murji’ah, agar kita bisa mengambil pelajaran penting yang bisa diambil dari
kedua paham tersebut. Memang kedua golongan ini sudah hilang dibawa arus
sejarah, tetapi pahamnya masih berkeliaran dimana-mana.
2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana sejarah
kemunculan Khawarij?
b.
Bagaimana
pemikiran dan doktrin-doktrin Khawarij?
c.
Bagaimana
perkembangan Khawarij?
d.
Bagaimana sejarah
kemunculan Murji’ah?
e.
Bagaimana
pemikiran dan doktrin-doktrin Murji’ah?
f.
Apa saja
sekte-sekte Murji’ah?
g.
Perbandingan
antara Khawarij dan Murji’ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Aliran Khawarij
a.
Sejarah Munculnya Khawarij
Khawarij adalah aliran dalam teologi
Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani,
bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak
dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin,
atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Nama Khawarij berasal dari kata
“kharaja” berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar
dari barisan Ali.
Khawarij sebagai sebuah aliran telogi
adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan
barisannya, karena tidak setuju terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima
arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Keputusan tahkim (arbitrase), yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah
oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali, ini sangat
mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan. Pada saat
itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju
Hurura. Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka sampai di Harura. Di Harura,
kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka
mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam
terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi
Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap
keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun
37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan
khalifah.
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang
Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah
yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak
yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
b.
Doktrin-doktrin
pokok Khawarij:
a.
Khalifah atau
imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
b.
Khalifah tidak
harus berasal dari keturunan Arab. Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah
apabila sudah memenuhi syarat.
c.
Khalifah dipilih
secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at
Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh jika zalim.
d.
Khalifah sebelum
Ali (Abu Bakar, Umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari
masa kekhalifahannya Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
e.
Khalifah Ali
adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah
menyeleweng.
f.
Muawiyah dan Amr
bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan menjadi kafir.
g.
Pasukan perang
Jamal yang melawan Ali juga kafir.
h.
Seseorang yang
berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat
anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi
kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir
dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
i.
Setiap muslim
harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung,
ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh), dan mereka
sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
j.
Seseorang harus
menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
k.
Wa’ad dan wa’id (orang baik harus masuk surga, dan yang
jahat masuk neraka).
l.
Amar ma’ruf nahyi
munkar.
m.
Memalingkan
ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar)
n.
Quran adalah
makhluk.
o.
Manusia bebas
memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
c.
Perkembangan
Khawarij
Perkembangan khawarij semakin meluas dan
terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih
yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang berada di Persia yang
dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua
bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman,
Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan
abu Fudaika.
Terlepas dari berapa banyak subsekte
pecahan Khawarij, tokoh-tokoh seperti Al-Bagdadi dan Al-Asfarayani, sepakat
bahwa subsekte khawarij yang besar terdiri dari delapan macam, yaitu:
1.
Al-Muhakkimah
5. Al-Ajaridah
2.
Al-Azriqah
6. As-Saalabiyah
3.
An-Nadjat
7. Al-Abadiyah
4.
Al-Baihasiyah
8. As-Sufriyah
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat
dosa besar, apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya
doktrin teologi ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan
doktrin-doktrin lain hanya sebagai pelengkap saja.
2.
Aliran
Murji’ah
a.
Sejarah kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau
arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a
mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa
besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti
pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan
amal dari iman. Karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan
kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing ke hari kiamat kelak.
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi
atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap
orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran
khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat
dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan. Ada beberapa teori yang berkembang
mengenai asal-usul Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau
arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin
persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga
bertujuan untuk menghindari sekretarianisme (terikat pada satu aliran
saja), baik sebagai kelompok politik maupun teologis.
Awal mula timbulnya Murji’ah adalah
sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah
(kekhalifahan) yang kemudian mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik
ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa
Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan
perang Shiffin. Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam
terbagi menjadi dua golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali
lalu terpecah menjadi dua yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Setelah wafatnya Ali, Muawiyyah
mendirikan Dinasti Bani Umayyah (661M). Kaum Khawarij dan Syi’ah yang saling
bermusuhan, mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah itu. Syi’ah
menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali dan
keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak mendukung Muawiyyah karena ia
dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di antara ke tiga golongan itu
terjadi saling mengkafirkan.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul
satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin bersikap netral, tidak mau turut
dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan
itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang
yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu,
mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan
memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di
hadapan Tuhan.
Dari persoalan politik mereka tidak dapat
melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu
terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Persoalan dosa
besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan
pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij
menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.
Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini bahwa orang islam yang
berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan kedua
kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman.
Aliran Murji’ah ini berkembang sangat
subur pada masa pemerintahan Dinasti bani Umayyah, karena bersifat netral dan
tidak memusuhi pemerintahan yang sah. Dalam perkembangan berikutnya, lambat
laun aliran ini tak mempunyai bentuk lagi, bahkan beberapa ajarannya diakui
oleh aliran kalam berikutnya. Sebagai aliran yang berdiri sendiri, golongan
Murji’ah ekstrim pun sudah hilang dan tidak bisa ditemui lagi sekarang.
Namun ajaran-ajarannya yang masih ekstrim itu masih didapati pada sebagian umat
Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya.
b.
Pemikiran
dan doktrin-doktrin Murji’ah
1.
Penangguhan
keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat
kelak.
2.
Penangguhan Ali
untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3.
Pemberian harapan
(giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4.
Doktrin-doktrin
Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari
kalangan Helenis (Helenis, Helenistik:
Istilah yang dipakai secara tradisional oleh orang Yunani sendiri untuk
menyebutkan nama etnik mereka)
Masih berkaitan dengan doktrin teologi
Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :
1.
Menunda hukuman
atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan
menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.
Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.
Meletakkan
(pentingnya) iman daripada amal.
4.
Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat
dari Allah.
Sementara itu, Abdul A’la al-Maududi
menyebut ajaran Murji’ah dalam dua doktrin pokok, yaitu:
1.
Iman adalah
percaya kepada Allah dan Rasul-nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak
merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang
tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan
melakukan dosa besar.
2.
Dasar keselamatan
adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat
mendatangkan madharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk dapat pengampunan,
manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan
aqidah tauhid.
Sebagaimana aliran-aliran lain, aliran
Murji’ah ini juga memiliki banyak sekte turunannya atau bias juga disebut
subsekte. Perpecahan dalam kelompok Murji’ah ini tampaknya dipicu oleh
perbedaan pendapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri.
Pimpinan dari kaum Murji’ah adalah Hasan
Ibn Bilal al-Muzni, Abu Salat as-Saman, Tsauban, Dirar Ibn Umar. Penyair mereka
yang terkenal pada masa Bani Umayyah adalah Tsabit Ibn Quthanah yang
mengarang sebuah syair tentang I’tiqad dan kepercayaan kaum Murji’ah.
Secara garis besar, kelompok Murji’ah
terbagi kepada dua golongan yakni golongan moderat dan golongan ekstrim.
Golongan Murji’ah moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murjiah di atas.
Sementara itu, golongan Murji’ah ekstrim memiliki doktrin masing-masing.
Yang termasuk golongan Murji’ah ekstrim
antara lain:
1.
Golongan
al-Jahmiyah yang dipelopori oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah
mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari
Allah SWT. Sebaliknya, kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas.
Apabila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala
sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan
dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat
dosa besar, syirik, dan minum minuman keras. Golongan ini juga meyakini
surga dan neraka itu tidak abadi, yang abadi hanya Allah SWT semata.
2.
Golongan
al-Salihiyah dengan tokohnya Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat
al-Jahmiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat
(mengetahui) kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya
yakni tidak mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak
berkurang. Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan,
karena yang disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan dalam arti
mengetahui Tuhan.
3.
Golongan Yunusiah
pengikut Yunus Ibn an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari
pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah
kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya
kepada Tuhan, melainkan karena ketaburannya. Mereka juga percaya bahwa
perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
4.
Golongan
al-Ubaidiyah dipelopori oleh Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama
dengan golongan al-Yunusiah. Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang
meninggal dunia dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak
akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman.
Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi
orang kafir.
5.
Golongan
al-Gailaniyah dipelopori oleh Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah
makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan
sikap mahabbah (cinta) dan tunduk kepada-Nya.
6.
Golongan
al-Saubaniyah dipimpin oleh Abu Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte
al-Gailaniyah, namun mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah
mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian,
sekte ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum
datangnya syari’at.
7.
Golongan
al-Marisiyah dipelopori oleh Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di
samping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW
itu rasul-nya, juga harus diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam
hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur
merupakan kebalikan dari iman.
8.
Golongan
al-Karamiyah dipelopori oleh Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah
pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan
kafirnya seseorang dapat diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
9.
Golongan
al-Khassaniyah. Berpendapat jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan
melarang makan babi, tetapi saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu
adalah kambing ini”, orang yang demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika
seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah tetapi
saya tak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang demikian juga
tetap mukmin.
Menyikapi ajaran Murji’ah yang ekstrim
itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya karena dapat membawa pada moral
latitude, sikap memperlemah ikatan moral masyarakat yang bersifat permissive,
masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan dari norma-norma akhlak yang
berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma akhlak bisa dipandang
kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham demikian.
Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan
tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.
BAB
III
PENUTUP
Dari penjelasan
diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Khawarij sebagai
sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib
yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi
Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan
khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
2.
Perkembangan
khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas
di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang
berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan
golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang
berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah
bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
3.
Aliran Murji’ah
ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya
kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal
itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu. dihadapan Tuhan,
karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula
orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat,
dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar. Ilmu
Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Hamdani, Maslani, Ratu Suntiah. Ilmu
Kalam, Sega Asry, 2011.
Nasution, Harun, Theology Islam, UI
Press, Jakarta, cet.II, 1972, hlm. 11.
Abul A’la Al-Maudidi, Al-Khalifah wa
Al-Mulk, terj. Muhammad Al-baqir, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 279-80