RELEVANSI TASAWUF DENGAN KESEHATAN MENTAL MENURUT SYEKH AHMAD RIFA'I BIN MUH. MARHUM
Kajian Hukum Islam, ajaran tasawuf dan Sufisme, Syariat, Tarekat, Hakikat, Ma'rifat, Fana, Baqa, Iman, Islam, Ihsan, Aqidah Akhlaq, Kisah para Wali dan Nabi
HomeTASAWUFRELEVANSI TASAWUF DENGAN KESEHATAN MENTAL MENURUT SYEKH AHMAD RIFA'I BIN MUH. MARHUM
RELEVANSI TASAWUF DENGAN KESEHATAN MENTAL MENURUT SYEKH AHMAD RIFA'I BIN MUH. MARHUM
Pemikiran tasawuf Kiai Rifa'i pada dasarnya juga merupakan bagian
dari gagasan untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syari'at dan
hakikat yang dirumuskan dengan istilah Ushul, Fiqh, dan Tasawuf.
Gagasan tasawuf Kiai Rifa'i tidak membentuk komunitas yang disebut
tarikat sebagaimana ditulis oleh Alwan Khairi1 tetapi hanya sebatas ajaran
tentang pembinaan akhlak melalui pengisian diri dengan akhlak mahmudah
dan peniadaan diri dari akhlak madzmumah dalam rangka mencapai kedekatan
pada Allah yaitu Ma'rifat dan Taqarrub yang dapat dilakukan siapa saja tanpa
harus melalui tata aturan sebagaimana lazim terjadi dalam dunia tarikat. Jika
hendak ditelusuri berdasarkan apa yang ditulis dan dialami sendiri oleh Kiai
Rifa'i, akan terlihat ia tidak pernah menyebut dirinva baik secara langsung
ataupun tidak sebagai penganut tarikat Qodiriyah. Lebih-lebih hampir dalam
setiap kitab yang ditulisnya ia selalu menyatakan dirinya sebagai penganut
tarikat Ahlussunni (ikilah kitab... saking Haji Ahmad Rifa'i bin Muhammad
Marhum Syafi'iyah madzhabe Ahlussunni ). Sekalipun tidak
membentuk tarikat (komunitas sufi), namun paling tidak pemikiran
tasawufnya memberikan elemen moral bagi para muridnya dalam
melaksanakan tasawuf.
Kenyataan di atas, semakin memberikan dukungan bahwa Kiai Rifa'i
memang berusaha memberikan kriteria pengikut Ahlussunnah yang dalam
bidang tasawuf mengikuti pandangan Junaid al-Baghdadi sebagaimana
dikemukakan dalam kitabnya Ri'āyah al-Himmah
Untuk mengetahui corak tasawuf Kiai Rifa'i digunakan kriteria
berdasarkan pembagian tasawuf menjadi akhlaqi (amali) dan falsafi. Dalam
hal ini, Rifa'i menyatakan dirinya sebagai pengikut jalan Sunni 3 dalam dunia
tasawuf sebagaimana dinyatakan dalam berbagai tempat pada kitab-kitabnya.
Memang harus diakui bahwa pembagian ini mengandung unsur kekaburan
mengingat tasawuf adalah pengalaman batin manusia dalam berhubungan
dengan Tuhannya yang memiliki watak subjektif. Oleh karena itu, kriteria
yang biasanya dipakai untuk mengidentifikasi tidak menghasilkan corak yang
akurat dan tetap.
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pembagian tersebut biasanya
didasarkan kecenderungan tokoh-tokoh sufi yang pada satu pihak menekankan
aspek amaliah dan di lain pihak menekankan aspek pemikiran. Yang pertama,
menghasilkan rumusan-rumusan tingkah laku yang dipandang dapat
mendekatkan seseorang pada Tuhan, sementara yang kedua menghasilkan
rumusan pemikiran tentang kemungkinan manusia mengalami kesatuan
dengan Tuhannya. Inilah yang sering disebut dengan istilah tasawuf nadzari
yang banyak mengambil ide-ide berasal dari kebudayaan luar Islam (Ats-
Tsaqafah al-Ajnabiyyah).
Pemaparan mengenai pemikiran tasawuf dari delapan tokoh
sebagaimana telah diutarakan dalam bab tiga (enam tokoh masuk dalam
kategori amali dan dua tokoh masuk dalam kategori nadzari atau falsafi) ini
cukup memberikan gambaran pengalaman ruhani mereka yang memiliki titik
berat pada dua kategori yang berbeda satu dengan lainnya, yaitu yang
berorientasi kepada amal (akhlak) di satu pihak dan yang berorientasi kepada
pemikiran (nadzari) di lain pihak.
Jika dilihat dalam kerangka pemikiran berdasarkan pengalaman para
sufi yang dikategorikan menjadi dua di atas, yakni 'amali (akhlaki) dan
Tasawuf Sunni memiliki corak 'amali karena tokoh-tokohnya memberikan tekanan pada
pelaksanaan syari'at terlebih dahulu baru kemudian menghiasinya dengan amaliah tasawuf. Corak
ini berbeda dengan falsafi yang menekankan aspek pemikiran dan menitik beratkan pada aspek
kesatuan dengan Allah. Abdul Djamil, Ibid, hlm. 122.
nadzari (falsafi), maka corak pemikiran tasawuf KH. Ahmad Rifa'i termasuk
dalam kategori 'amali (akhlaqi) atas dasar pertimbangan bahwa isi ajaran
tasawuf Rifa'i berupa latihan ruhani dengan jalan (1) pengisian diri dengan
sifat terpuji (tahalli/ 2) ,( تحّلى ) pengosongan sifat tercela (takhalli/ تخّلى ) yang
kemudian ditindaklanjuti dengan kedekatan kepada Allah (taqarrub), dan (3)
pengenalan Allah dengan mata hati (makrifat).
Dengan demikian mengenai persoalan tasawuf, pemikirannya dapat
dikategorikan dalam tasawuf 'amali dan lebih banyak rumusan ajaran akhlak
yang pada akhirnya berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui
jalan pengisian diri dengan sifat terpuji dan pengosongan diri dari sifat tercela.
Tasawufnya tidak mengesankan arti yang spesifik sebagaimana tasawuf
konvensional yang idiom-idiomnya mengesankan adanya unsur eksklusif
seperti pengertian taubat, wara, dan zuhud. Bagi Kiai Rifa'i, pengertian butirbutir
akhlak terpuji dan akhlak tercela, memiliki pengertian yang tidak jauh
berbeda dengan pengertian akhlak. Titik puncak tasawufnya adalah
diperolehnya kedekatan kepada Allah yang dihiasi dengan tiga kondisi, yaitu
khauf, mahabbah, dan ma'rifat. Karena hanya berupa tataran moral dan tujuan
akhirnya adalah tiga kondisi tersebut maka pemikiran tasawufnya bukanlah
tasawuf falsafi.
B. Analisis Konsep Tasawuf K.H. Ahmad Rifa’i relevansinya dengan
Kesehatan Mental
Kiai Haji Ahmad Rifa’i dalam kitabnya Abyan al-Hawaij tidak
menyebut istilah kesehatan mental secara eksplisit, apalagi menguraikan
istilah itu. Meskipun demikian, konsepnya tentang pembersihan diri melalui
zuhud, qona’ah, sabar dan sebagainya dapat diambil kesimpulan bahwa secara
implisit ada konsep kesehatan mental. Alasan peneliti menyimpulkan seperti
itu karena dalam literatur yang berkembang sebagaimana diungkapkan oleh
Ramayulis bahwa setidak-tidaknya terdapat tiga pola untuk mengungkap
metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam persfektif Islam
yaitu Pertama, metode pengembangan potensi jasmani dan rohani; kedua,
metode iman, Islam dan ihsan; dan ketiga, metode takhalli, tahalli dan tajalli6
Ahmad Rifa’i meletakkan iman, Islam dan ihsan sebagai tiga sendi
pokok yang mutlak harus dikaji dan diamalkan oleh umat Islam. Sedangkan
metode iman, Islam dan ihsan itu dalam literatur yang berkembang
sebagaimana telah dikemukakan di atas merupakan metode perolehan dan
pemeliharaan kesehatan mental/ jiwa.
Jika dihubungkan pemikiran dan metode KH.Ahmad Rifa'i dengan
konsep tasawuf masuk dalam kategori metode tahalli yaitu mengisi diri dari
sifat-sifat yang terpuji. (mahmudah). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
Mustafa Zahri bahwa metode dan fase-fase yang harus dilalui untuk mencapai
pengisian diri menuju jiwa yang sehat yaitu melalui takhalli ( membersihkan
diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (mengisi diri dengan sifat-sifat yang
terpuji), dan tajalli (memperoleh kenyataan Tuhan)
Penegasan Mustafa Zahri didukung pula oleh Amin Syukur yang
menyatakan dalam tasawuf lewat amalan dan latihan kerohanian yang
beratlah, maka hawa nafsu manusia akan dapat dikuasai sepenuhnya. Adapun
sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang takhalli, tahalli
dan tajalli.8 Sejalan dengan itu Hanna Djumhanna Bastaman mengemukakan
empat pola wawasan kesehatan mental dengan masing-masing orientasinya
sebagai berikut: pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis; kedua,
pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri; ketiga, pola wawasan yang
berorientasi pengembangan potensi; keempat, pola wawasan yang berorientasi
agama/kerohanian
Ahmad Rifa’i dalam kitab Abyan al-Hawaij menegaskan:
يائكووولوع فركارايكي له فرتيل
ا حب الدنياطمع اتباع الهوى كتولا
عجب رياتكبرحسودسمعه ايكوله بسوءارتني
Terjemahnya:
Delapan perkara yang merupakan sifat-sifat tercela
yaitu mencintai dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu,
riya, ujub, takabbur, hasud, dan sum’ah
Pemikiran Ahmad Rifa’i di atas masuk dalam kategori takhalli.
Dengan demikian tampaklah bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya,
mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental
yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya,
takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit 11
KH. Ahmad Rifa’i tidak menyatakan dengan tegas pengertian
kesehatan mental, namun beliau membuat kriteria–kriteria yang mengarah
pada pengertian tentang jiwa/mental yang sehat dan sakitnya jiwa. Kriteriakriteria
tersebut adalah :
a. Kriteria Jiwa Yang Sehat
1. Zuhud
Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkan
menurut istilah yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk
mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan
menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah
baik lahir maupun batin Dalam menjelaskan kata ini Ahmad
Rifa’i lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada
aspek perilaku yang harus ditampilkan Jika perkembangan
zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan
konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang
diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka
dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik beratnya adalah pada
pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh
karenanya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti
tidak ada harta tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta.
2. Qona’ah
Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan
menurut istilah adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari
harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban
dan menjauhkan maksiat.13 Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap
zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan
pokok Dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah
itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin. Hal
ini dapat dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang
mendudukkan arti kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan
ungkapannya.
Dari syair KH.Ahmad Rifa'i sebagaima telah dikemukakan
dalam bab tiga skripsi ini tersimpul pengertian bahwa kekayaan bukan
hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas
dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara
lahiriah ia miskin
3. Sabar
Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan
menurut istilah menanggung penderitaan yang mencakup tiga hal
yaitu:
a. Menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang
sesungguhnya
b. Menanggung penderitaan karena taubat dan berusaha menjauhkan
diri dari perbuatan maksiat baik lahir maupun batin
c. Menanggung penderitaan ketika tertimpa sesuatu bencana di dunia
dan tak mengeluh
Dengan pembatasan ruang lingkup pengertian sabar yang
demikian ini, ia terlihat berusaha memberikan makna yang mempunyai
cakupan menurut pengalaman subyektif dari para sufi. Di satu pihak
sabar dikaitkan dengan pelaksanaan hukum Allah sebagaimana
pendapat al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap
teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah.
Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang
menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah kesabaran
terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan
dengan musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang
menyatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda
antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan.
Kelanjutan dari pengertian sabar menurut Ahmad Rifa’i adalah
menempatkan kesabaran secara proposional khususnnya
pengertian ketiga. Di sini ia menekankan bahwa kesalahan
terhadap penyimpangan agama (yang mengandung unsur
keharaman) tidak diperlukan lagi.
4. Tawakal
Ia mengartikan tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap
seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada
seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram
5. Mujahadah
Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguhsungguh
sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah
dari orang-orang kafir yang dilaknati
Dalam penjelasan selanjutnya, Ahmad Rifa’i lebih menekankan
pada aspek kesungguhan dalam memerangi hawa nafsu dengan
tujuan memperoleh jalan benar serta keberuntungan.
6. Ridha
Akhmad Rifa’i mengartikan ridha dengan senang hati,
sedangkan menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian
Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at
secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam
kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridha
memiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap
seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa
cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa
saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak.
Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah
sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di
tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi
lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan
dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti masalah
perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain.
7. Syukur
Ahmad Rifa’i memjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan
segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan
jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. Rasa
terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya.
Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat dilakukan dengan
tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman dan
ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga,
melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur
semacam ini sejalan dengan penjelasan al-Qusyairi mengatakan bahwa
bersyukur dapat dilakukan melalui lisan anggota badan dan hati.
Makna lain dari pengertian syukur menurut Ahmad Rifa’i adalah
adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu keimanan dan
ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini
memiliki relevansinya dengan sifat terpuji lainnya seperti
Qona’ah yang berupa ketenangan hati memilih ridha Allah
dengan cara mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan.
Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang dapat
membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan
diri dari kemaksiatan. Sekalipun menganjurkan sikap sederhana,
tetapi tidak menganjurkan sikap fakir sebagaimana yang ada
dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan
untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak
ketergantungan kepada harta.
8. Ikhlas
Apa yang disebut ikhlas menurut Ahmad Rifa’i adalah
membersihkan, sedangkan secara istilah ikhlas adalah membersihkan
hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud
lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jika
didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam
beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya
bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal
ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih.
Dalam memberikan penjelasan mengenai kata ikhlas ini Ahmad
Rifa’i hendak membawa persoalan kepada situasi amaliah keagamaan
kalangan yang memiliki pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal
perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak ikhlas dalam beribadah
dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini
memiliki kemiripan dengan17 tradisi tasawuf abad III Hijriah ketika
para tokohnya semisal Hasan Basri yang menolak gaya hidup para
penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah.
Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’i
sebagai tokoh agama yang cukup keras terhadap penyimpangan
yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan kolonial dan
pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang
dalam ibadahnya memiliki pamrih terhadap urusan dunia maka
tidak akan selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir.
b. Kriteria jiwa yang sakit
1. Hubb al Dunya (Mencintai Dunia)
Menurutnya hubb al-dunya adalah cinta pada dunia, sedangkan
secara istilah adalah cinta pada dunia yang dianggap mulia dan tidak
melihat pada akhirat yang nantinya akan sia-sia 18 Perilaku ini
dianggap Ahmad Rifa’i sebagai suatu perbuatan yang tercela karena
memandang dunia lebih mulia dibanding akhirat. Ia menekankan
celaan terhadap dunia yang dapat membawa orang lupa akan akhirat.
Dengan batasan ini maka ia masih memberikan peluang untuk
menyisihkan pada dunia selama tidak menjadikan orang lupa akan
akhirat.
2. Tamak
Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus
terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang
mengakibatkan adanya dosa besar.19 Meskipun sifat ini dikemukakan
dalam rangka takhalli, namun sebenarnya mengandung ajakan untuk
menciptakan isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana ditampilkan
oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan
pemerintah saat itu. Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang
ditujukan kepada masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada
pemerintah kolonial pada saat itu.
Yang disebut itba al- hawa’ menurut Ahmad Rifa’i adalah
menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang
hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh
syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela
orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak.
4. ‘Ujub
Pengertian ujub menurutnya adalah:
Ujub tegese anggawoaken dalem kebatinan
Utawi makna istilah kapertelanan
Iku majibaken sentosane badan
Saking siksa akhirat keslametane
Iku kawilang dosa gede ning batine.20
Terjemah:
'Ujub artinya mengherankan dalam batin
Adapun makna istilah penjelasannya
Yaitu memastikan kesentosaan badan
Dari siksa akhirat keselamatannya.
Sekalipun masuk dalam kategori haram dan dosa besar, namun Rifa'i
masih memberi harapan untuk diampuni jika mau bertobat. Hanya saja ia
membedakan antara tobatnya orang yang menjadi panutan dengan orang
awam.
Tobatnya orang yang menjadi panutan, harus melalui siksa terlebih
dahulu karena telah banyak menyesatkan orang lain sebagaimana dinyatakan:
"Orang alim yang tobat disiksa di neraka
Sebab dosanya mengajak kepada durhaka besar
Diikuti oleh orang banyak itu
Itulah dosa zahir menjadi besar celaka."
Secara bahasa ‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin.
Sedangkan makna secara istilah adalah memastikan kesentosaan badan
dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya ‘ujub yang sebenarnya
adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam
hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi
ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan
amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang
kuasa yakni telah memberikan nikmat tersebut, maka ia telah benar
dikatakan’ujub.
5. Riya’
Yang dimaksud riya’ menurut Ahmad Rifa’i adalah
memperlihatkan atas kebaikannya kepada manusia biasa.
Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan
sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia)
dan tidak beribadah semata-mata tertuju karena Allah. Dengan
pengertian seperti ini beliau membatasi riya’ sebagai
penyimpangan niat ibadah selain Allah.
6. Takabur
Pengertian takabur menurut Ahmad Rifa’i adalah sombong
merasa tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan
kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang
disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti
perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa
sombong karena harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang.
7. Hasud
Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang
hasud mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat
maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak
seorangpun yang selamat dari keburukannya karena setiap orang
pembuat tipu daya dan diperdaya. Ahmad Rifa’i mengartikan
hasud adalah berharap akan nikmatnya tuhan yang ada pada
orang Islam baik itu ilmu, ibadah maupun harta benda.
8. Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada orang
lain. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar
dan ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian menuturkan
kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada
dirinya. Dalam pembahasan ini beliau menekankan pada jalan yang
harus ditempuh bagi seseorang muslim agar selalu mengerjakan sifatsifat
terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat membawanya
pada kerusakan pada amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak
kepada kita unuk berperilaku dengan benar, baik secara lahir maupun
batin.
Sedangkan untuk meninggalkan sifat tercela beliau menyatakan:
Tan ngistoaken ing syarat sahe sembahyang
Pada shalat teksir batalan syarat kurang
Ikulah wong sasar anut syaitomn kawilang
Dhahir becik ning donyane kesawang
Iku wong pada kena rencanane syaiton
Asih anut maring syaiton neroko pinaringan
Terjemahannya:
Tidak memperhatikan syarat sahnya sembahyang
Sama melaksanakan shalat terksir rusak kurang syarat
Itulah orang sesat mengikuti syaitan terbilang
Lahirnya baik di dunia terlihat
Itulah orang yang terrkena rencananya syaitan
Cinta menggikuti kepada syaitan neraka didapat
Dengan mengkaji atau menelaah pemikiran Kiai Haji Ahmad Rifa’i
sebagaimana telah dikemukakan, bahwa Ahmad Rifa’i secara ekplisit tidak
menyebutkan istilah kesehatan mental, namun secara implisit dengan
membagi cara-cara pembersihan jiwa, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pembagiannya itu berhubungan dengan kesehatan mental. Sebagai buktinya ia
mengemukakan konsep zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal, mujahadah, ridho,
syukur, ikhlas, cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur,
hasad, dan sum’ah
Konsep pemikiran K.H Ahmad Rifai, bila dihubungkan dengan metode
perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental, maka termasuk cara-cara
penyucian diri. Dalam metode penyucian diri dikenal dengan istilah takhalli,
tahalli dan tajalli.22 Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela
dan juga dari kotoran-kotoran serta penyakit hati yang merusak, contohnya:
hasud, al-hirsu, al-takabur, al-ghadhab, riya, sum’ah, ujub, syirik. Sedangkan
Tahalli maksudnya adalah menghias diri dengan jalan membiasakan diri
dengan sifat dan sikap perbuatan yang baik, contohnya: zuhud, warak, sabar,
syukur, tawakal, dan sebagainya.
Adapun tajalli berarti lenyap atau hilangnya hijab dari sifat
kemanusiaan atau terangnya Nur yang selama itu tersembunyi (gaib); atau
fana segala sesuatu (selain Allah) ketika nampak wajah Allah. Dari sini
tampak bahwa konsep K.H Ahmad Rifa’i sama dengan konsep tasawuf dalam
menyucikan diri.
Konsep takhalli, tahalli dan tajalli bila ditempuh oleh seseorang tentu
saja akan memperoleh jiwa yang sehat. Ini berarti konsep K.H Ahmad Rifa’i,
secara Implisit sangat berhubungan dengan kesehatan mental.
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan
penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah
mengetahui dan meyadari, betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotor
tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya.
Bila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, seseorang akan memperoleh
kebahagiaan. Tahap selanjutnya ialah tahalli yakni menghias diri dengan jalan
membiasakan dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar
dalam setiap gerak dan perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama.
Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli,
seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian
atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala
selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya
Apabila proses penyucian diri berupa takhalli, tahalli dan tajalli telah
selesai dan berhasil dicapai selama dalam riyadhah, berarti seseorang telah
memperoleh ketrampilan dan keahlian dalam memelihara kesehatan mental.
Keahlian dan ketrampilan ini tidak hanya penting bagi orang yang mengalami
masalah tapi juga bagi konselor terutama da’i yang tugasnya menyampaikan
amar ma’ruf nahi munkar. Seterusnya ia dapat melanjutkan ketrampilan dan
keahliannya itu dengan lebih sempurna dengan mengkaji dan meneliti
berbagai macam ilmu dan pengetahuan, khususnya yang relevan dengan
keberadaan manusia dan segenap misterinya. Hal ini dapat dilakukan baik
lewat kajian-kajian teori, aplikasi maupun empirik, baik alam lahir manusia
maupun alam batinnya. Pemberdayaan terhadap potensi dan keahlian yang
bertingkat-tingkat itu adalah dengan berupaya meningkatkan pemahaman
penghayatan dan pengalaman-pengalaman ibadah seperti pada fase tahalli
pada tingkat yang lebih tinggi.
Semakin dalam dan kokohnya pemberdayaan itu maka akan kian
meningkatkan keahlian dan ketrampilan dalam melaksanakan tugasnya
sebagai konselor (jika ia menjadi konselor), psikodiagnostikus dan
psikoterapis secara proporsional dan profesional. Karena proses pemahaman
dan penerimaan informasi serta data melalui kajian teori, aplikasi dan empirik
yang bersifat lahiriyah maupun batiniah adalah selalu dalam bimbingan
illahiyah.
Konselor, psikodiagnostikus dan psikoterapis dalam Islam, mereka
bukan sekadar manusia biasa dan orang kebanyakan akan tetapi mereka adalah
hamba Allah yang memikul amanat dan tanggung jawab yang besar yaitu
tidak hanya sebagai hamba Allah tetapi juga sebagai wakil Allah dalam
mendidik, mengembangkan, memberdayakan dan melindungi serta
menyembuhkan alam dari kerusakan dan kehancuran; khususnya adalah
manusia sebagai alam kecil dan umumnya alam lingkungan semesta sebagai
alam kabir.
Allah Zat Wajibul Wujud, yang Maha konselor, Maha
psikodiagnostikus dan Maha Psikoterapis. Oleh karena itu seseorang tidak
akan dapat memahami, mengetahui dan mempelajari seluk beluk manusia
secara sempurna jika tidak belajar dan menimba ilmu pengetahuan itu dari-
Nya
Dari uraian di atas jelaslah kiranya bahwa konsep Ahmad Rifa’i dapat
dijadikan sebagai sarana untuk menciptakan ketenangan jiwa, rasa dilindungi
oleh yang kuasa dan termanifestasikannya seluruh potensi hidup manusia ke
jalan yang benar menuju ridha illahi.
Keutuhan kepribadian atau kemantapan kepribadian merupakan kerja
fungsi-fungsi yang harmonis atau aspek-aspek kejiwaan yang meliputi
kehidupan jasmaniah, psikologis dan kehidupan sosial budaya. Keutuhan
kepribadian itulah yang menentukan kebahagiaan seseorang. Pengertian
bahagia bersifat relatif, bergantung dari pengertian konsep manusia dan tujuan
hidupnya. Bagi muslim yang mempunyai tujuan hidup beribadah, kebahagiaan
akan tercapai apabila ia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan
kenikmatan-kenikmatan yang terdapat dalam beribadah, baik berupa
melaksanakan perintah Tuhan maupun meninggalkan larangannya.
Penghayatan bahwa ia berasal dari Allah, melaksanakan aktivitas atas bantuan
Allah semua itu dilakukan untuk dan karena Allah dan kembali berserah diri
kepada Allah merupakan inti kehidupan muslim yang bersifat dinamis. Derajat
penghayatan tersebut merupakan ukuran bagi tingkatan kebahagiaan.
Dewasa ini kesehatan mental berusaha membina kesehatan mental
dengan memandang manusia sebagaimana adanya. Artinya, kesehatan mental
memandang manusia sebagai satu kesatuan psikosomatis, kesatuan jiwa raga
atau kesatuan jasmani rohani secara utuh. Jiwa yang sehat merupakan tujuan
kesehatan mental. Psikoterafi menangani orang sakit untuk disembuhkan dan
kesehatan mental menangani orang yang sehat untuk dibina agar tidak jatuh
menjadi sakit jiwa.
Kedua ilmu itu saling berkaitan. Psikologi dan agama merupakan dasar
atau landasan dan sekaligus sebagai alat, baik untuk menyembuhkan gangguan
jiwa maupun untuk pembinaan kesehatan mental. Baik agama maupun
psikologi berupaya membentuk, mengolah, membina dan mengembangkan
kepribadian yang utuh, kaya rohani dan mantap
Pribadi yang utuh atau kepribadian yang terintegrasi menunjukkan
adanya susunan hirarkis yang teratur dan kerjasama yang harmonis antara
fungsi-fungsi kejiwaan atau aspek-aspek mental. Kalau fungsi kejiwaan
bekerja terpisah satu sama lain, tidak ada keterarutan susunan secara hirakis,
tidak ada penjalinan, tetapi tiap fungsi atau aspek seolah-olah merupakan
kesatuan yang berdiri sendiri, maka kepribadian menunjukkan desintegrasi
atau disharmoni.
Demikian pula kalau fungsi kejiwaan itu bekerja secara berlawanan.
Kalau pada seseorang terjadi kekacauan peranan fungsi kejiwaan maka
keadaan mentalnya tegang. Derajat integrasi dan keharmonisan menunjukkan
derajat keutuhan kepribadian dan derajat kesehatan mental.
Dari uraian di atas tampak bahwa konsep tasawuf K.Ahmad Rifa'i
mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan mental. Dikatakan
demikian karena ajaran yang dikemukakannya berhubungan dengan jiwa
manusia. Dengan mengklasifikasikan sifat-sifat tercela dan sifat-sifat terpuji
manusia, menunjukkan bahwa ia menghendaki agar manusia mampu
mengenal dirinya dan Tuhan-Nya. Pemikiran seperti ini termasuk metode
pembersihan diri, dan metode pembersihan diri terkait dengan aspek
kebutuhan manusia pada Tuhan serta pada dirinya sendiri dalam upaya
mewujudkan rida ilahi di atas mental yang sehat.
Metode pembersihan diri versi KH.Ahmad Rifa'i ada relevansinya
dengan kesehatan mental. Dikatakan demikian karena apabila seseorang
mengamalkan konsep KH.Ahmad Rifa'I maka secara otomatis akan
membentuk jiwa atau mental yang sehat. Dengan demikian manakala teori
KH.Ahmad Rifa'I diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari maka merupakan
keniscayaan bahwa mental orang itu menjadi sehat. Dengan jiwa yang bersih
dan dengan selalu membuang sifat-sifat yang tercela dan mengisi dengan sifatsifat
yang terpuji maka manusia tersebut dapat menghindar dari kecemasan,
kegelisahan dan kekosongan jiwa dari sentuhan agama. Hal ini sudah barang
tentu berimbas pada mental yang terkait di dalamnya aspek rohani manusia
itu.
0 komentar:
Posting Komentar