Praktek Perkawinan Waria Ditinjau Dari Hukum Islam
Praktek Perkawinan Waria Ditinjau Dari Hukum Islam
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan[1]) dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang dianggap sakral. Dimana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikatkan hubungan antara dua insan yang berlainan jenis kelamin. Sebab, dengan cara inilah diharapkan proses regenerasi manusia di muka bumi ini akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu memperoleh keturunan yang sah[2]). Dan tujuan lain dari perkawinan yang merupakan hak dan kewajiban bersama suami-istri ialah terpenuhinya kebutuhan biologis atau seks.
Untuk mencapai kehidupan seksual yang bersih, suci, halal, dan masuk dalam kategori ibadah, Islām mengkonsepsikan agar seorang muslim yang telah mampu lahir dan bathin untuk segera mengadakan perkawinan. Di sini perkawinan dipandang sebagai suatu ikatan yang dapat menetralisir dorongan seksual manusia, sehingga menjadi suatu rahmat yang tidak terhingga nilainya. Islām juga memandang perkawinan sebagai lembaga yang dapat mengantisipasi terjadinya perilaku seksual menyimpang[3]).
Karena begitu sakralnya perkawinan, maka pemerintah merasa perlu untuk mengatur permasalahan ini dalam sebuah undang-undang. Untuk itu kemudian muncul Undang-undang Perkawinan yang kehadirannya sebagai implementasi dari harapan tersebut. Selain itu, permasalahan seputar perkawinan juga di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Burgerlijk Wetboek (BW).
Dari ketiga sumber hukum positif di atas, yaitu Undang-undang Perkawinan pasal 6-12[4]), BW. pasal 27-49[5]) dan KHI. pasal 14[6]), pada hakikatnya tidak ada satupun yang menyebutkan dan mensyaratkan bahwa suatu perkawinan itu harus dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan. Adapun salah satu syaratnya adalah adanya calon suami dan calon istri atau kedua calon mempelai. Tetapi, ketika dikatakan calon suami, maka secara otomatis akan muncul anggapan bahwa dia adalah laki-laki. Begitu juga sebaliknya, bila dikatakan calon istri, maka anggapan bahwa dia perempuanpun akan muncul.
Dalam hal ini, lalu bagaimana kedudukan waria yang notabene seorang laki-laki tetapi secara psikologis dia seorang perempuan, atau sebaliknya seorang waria yang notabene seorang wanita tetapi secara psikologis dia laki-laki. Padahal, kenyataan di lapangan mengungkapkan adanya “perkawinan” yang terjadi di antara mereka. Sementara di sisi lain, Isla>m memang melarang perkawinan antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Tetapi waria, walaupun secara fisik wanita atau laki-laki namun kondisi psikologisnya bertentangan dengan kondisi fisiknya. Dan hal itu tidak bisa mereka nafikan begitu saja, karena ada gen yang mereka bawa sejak lahir. Disamping itu, kenyataan ini juga menyangkut pada aktifitas seksual waria yang sudah menetap dan membutuhkan penyaluran seperti halnya pada manusia umumnya. Oleh karena itu, para pembuat hukum harus mencari solusi hukum yang akan diterapkan pada mereka, agar mereka juga dapat beraktifitas dan mempunyai hak sekaligus kewajiban sebagaimana manusia pada umumnya. Dengan adanya hukum yang mengatur mereka, maka diharapkan masyarakat juga dapat menerima keberadaan mereka, sehingga mereka dapat bangkit dari “mimpi-mimpi buruknya” selama ini dan tidak terjebak lagi dalam kehidupan malam.
Berkaitan dengan permasalahan waria, sebagai agama universal, Isla>m mengelompokkan golongan ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah khuns\a yang dalam istilah kontemporer dikenal sebagai hermaprodite, yaitu seseorang yang alat kelaminnya bisa dibedakan antara laki-laki atau perempuan. Sedangkan kelompok kedua adalah khuns\a musykil yang mempunyai dua alat kelamin yang tidak dapat dibedakan laki-laki atau perempuan[7]).
Terlepas dari hermaprodite (khuns\a), bagaimanakah kedudukan waria di dalam Islām. Apakah mereka juga dapat diakui sebagaimana khuns\a. Sebab, seperti yang telah dipaparkan di muka, bahwa menjadi waria bukanlah suatu keinginan. Sebagaimana perkataan Merlyn Sopjan, si Ratu Waria Indonesia, bahwa hidup menjadi waria bukanlah sebuah pilihan melainkan lakonan. Menurutnya, manusia ibarat wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. Jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan wayang itu telah dikonsep dan disutradarai oleh Tuhan sedemikian rupa dan manusia sebagai makhluknya hanya tinggal menjalaninya. Demikian juga keberadaan waria merupakan takdir sekaligus anugerah Tuhan yang mestinya harus disyukuri[8]).
Dalam menentukan hukum yang dipakai terhadap waria, menurut Aly Manshur dan Iskandar, mengutip pendapat Juharto, adalah dengan cara melihat kecondongannya. Kalau condong ke laki-laki, maka baginya berlaku hukum sebagaimana laki-laki, tetapi kalau condong ke perempuan maka hukum yang berlaku baginya adalah hukum sebagaimana perempuan. Akan tetapi, kalau tidak diketahui kecondongannya, maka diberlakukan hukum yang menguntungkan[9]).
Berbicara mengenai waria, tidak bisa dilepaskan dengan orientasi seks yang dilakukan. Bila dilihat secara fisik, maka seolah-olah waria adalah homo, karena ia tertarik pada sesama jenisnya. Namun, bila dilihat secara psikologis, maka ia adalah hetero karena tertarik pada lawan jenisnya yaitu laki-laki, meskipun dengan kondisi fisik laki-laki. Kemudian, dengan kondisi yang “serba salah” tersebut, bagaimana seorang waria melaksanakan pernikahannya. Apakah harus melakukan operasi pengubahan kelamin guna menyesuaikan dengan kondisi psikologisnya, lalu baru bisa melangsungkan perkawinan, sebagaimana yang dilakukan oleh artis kenamaan Dorce Gamalama.
Operasi kelamin tidak sesederhana orang berkata atau bayangkan. Sebab, bila seseorang memutuskan untuk melakukan operasi kelamin, maka ia harus benar-benar siap dengan kondisi barunya, sehingga ia nantinya tidak kecewa bila hasilnya tidak sesuai dengan yang mereka bayangkan dan harapkan. Selain itu, ia harus mengikuti beberapa terapi terlebih dahulu setelah dinyatakan oleh dokter bahwa ia memang mengalami kelainan dan operasi adalah satu-satunya jalan yang terbaik bagi dirinya. Semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bila dilihat dari kondisi ekonomi para waria di Yogyakarta yang rata-rata berlatar belakang pendidikan rendah bahkan diantara mereka tidak tamat SD.
Berangkat dari kenyataan di atas maka penyusun merasa tertarik dan terpanggil untuk mencoba memaparkan adanya “perkawinan” waria di tengah-tengah masyarakat kota Yogyakarta yang kemudian dibedah menggunakan kaca mata Isla>m untuk ditarik suatu kesimpulan mengenai status hukum dari perkawinan tersebut. Kaum waria atau transeksual[10]) seharusnya dilihat sebagai sesama manusia, sesama anggota masyarakat yang keberadaanya tidak melulu ditentukan oleh kondisi tubuhnya saja. Mereka punya hak yang sama dalam kehidupan ini seperti manusia umumnya untuk menentukan nasibnya.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari paparan yang penyusun kemukakan diatas, maka pokok masalah yang akan penyusun jawab dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah praktek perkawinan yang selama ini dilakukan oleh para waria di Yogyakarta?
2. Bagaimanakah Isla>m memandang perkawinan yang dilakukan oleh kaum waria di Yogyakarta tersebut?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin penyusun capai dengan adanya penelitian ini adalah
Untuk menjelaskan realitas perkawinan yang terjadi pada kaum waria di Yogyakarta.
Kemudian dieksplorasi dan dianalisis berdasarkan hukum Islam.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Sebagai pengetahuan sekaligus informasi pelaksanaan perkawinan kaum waria di Yogyakarta.
b. Untuk menjadi landasan rintisan bagi pengembangan ilmu pengetahuan ke-Islaman dalam memperluas cakrawala pemikiran Isla>m dalam menghadapi kondisi sosial yang dinamis.
D. Telaah Pustaka
Permasalahan seputar waria akhir-akhir mulai sering dijadikan bahan perbincangan dan perdebatan yang menarik untuk disimak. Setelah sekian lama tidak ada yang merespon keberadaan mereka, seolah-olah mereka tidak ada di permukaan bumi. Namun, setelah masyarakat terbangun dari mimpi panjang, bermunculanlah tulisan-tulisan baik yang mendukung maupun yang menolak eksistensinya serta membicarakan dan mengupas seputar kehidupan waria dengan segala dimensi yang melingkupinya. Tulisan-tulisan tersebut diantaranya merupakan hasil investigasi dan penelitian para penulisnya terhadap kehidupan komunitas yang sering termarjinalkan ini. Namun penelitian tentang perkawinan kaum waria ini – sepengetahuan penyusun – belum pernah dilakukan, baik dalam bentuk buku, artikel, ulasan lepas, atau dalam format penelitian khusus. Terlebih tema pokok dari penelitian ini, yaitu studi perkawinan kaum waria di Yogyakarta menurut hukum Islam.
Adapun tulisan-tulisan yang mengeksplorasi tentang tema pokok tersebut diantaranya adalah :
Waria dan Pengubahan Kelamin Ditinjau dari Hukum Islam karangan M.I. Aly Manshur, B.A dan Noer Iskandar Al-Barsany. Sebagaimana judulnya, buku ini membicarakan dan mengupas permasalahan seputar waria dengan hanya memfokuskan pada tinjauan hukum Isla>m terhadap pengubahan kelamin yang mereka lakukan. Buku ini banyak memaparkan fakta di lapangan dan hasil wawancara kedua penulis dengan kalangan waria, kalangan medis dan para pakar hukum terutama para ulama berkaitan dengan pengubahan kelamin tersebut. Sedangkan pada bagian akhir penyusun buku berkesimpulan, setelah dianalisa, bahwa pengubahan kelamin adalah haram di mata hukum Isla>m, kecuali bila dilakukan karena terpaksa dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, baik dari tim dokter psikiatri dan tim dokter ahli bedah[11]).
Buku lainnya yang juga masih membicarakan tentang waria adalah Waria dan Penyakit Menular Seksual ; Kasus di Dua Kota di Jawa karangan Koeswinarno. Seperti judulnya, buku ini membicarakan seputar waria yang dikaitkan dengan kenyataan adanya penyakit menular seksual[12]) yang terjadi di kalangan kaum marjinal ini. Dalam buku laporan penelitian ini penulis memaparkan dengan cukup gamblang dan mendetail seputar kehidupan waria hasil dari investigasi yang dilakukannya di dua kota di Jawa[13]) terutama seputar kehidupan seksual mereka. Pada bagian akhir buku ini, Koewinarno memaparkan beberapa usulan dan saran kepada beberapa pihak agar kehidupan seksual komunitas ini tetap terkontrol dan terhindar dari terjangkitnya penyakit menular seksual.
Disamping itu, terdapt buku yang berjudul Transseksualisme yang dikarang oleh Yash. Buku yang merupakan skripsi S-1 penulisnya di fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ini memaparkan sebuah hasil penelitiannya seputar kasus perkembangan Transseksual perempuan ke laki-laki. Sebagaimana halnya sebuah penelitian, buku ini banyak berisikan metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini. Dan pada bagian akhir buku ini, penulis menyimpulkan bahwa Transseksual perempuan adalah perempuan normal secara genetis mapun fisik, namun mereka merasa bahwa dirinya adalah laki-laki. Oleh karena itu, mereka merasa terperangkap didalam tubuh yang salah, merasa tidak nyaman dengan anatomi seks yang dimiliki dan menginginkan untuk mengganti genital yang dimiliki menjadi genital laki-laki. Selanjutnya, mereka juga menginginkan untuk diakui serta hidup secara sah (menurut hukum) sebagai anggota jenis kelamin laki-laki. Dan individu yang mengalami dapat memiliki orientasi seksual heteroseksual, homoseksual, ataupun biseksual. Disamping itu, penulis juga memaparkan perkembangan Transseksual perempuan dalam penelitian kasus yang diteliti menjadi beberapa tahapan[14]).
Dari beberapa tulisan di atas, tampaknya tidak ada kajian yang mengkhususkan diri untuk meneliti tentang pelaksanaan “perkawinan” kaum waria di Yogyakarta dalam perspektif hukum Islām. Hal ini wajar, karena beberapa alasan sebagai berikut :
Sedikitnya referensi yang mengulas tentang kedudukan “perkawinan” kaum waria dalam hukum Islam.
Masih minimnya peneliti yang concern terhadap permasalahan kaum waria, terutama mengenai perkawinan kaum waria dalam perspektif hukum Isla>m.
Berdasarkan fakta dan alasan tersebut di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang “perkawinan” kaum waria di Yogyakarta dalam perspektif hukum Isla>m.
E. Kerangka Teoretik
Ketika berbicara mengenai waria, maka dalam pikiran kebanyakan orang telah terkonsep bahwa waria merupakan penyakit[15]) yang menjijikkan dan harus dijauhi. Karena itulah waria, yang merupakan kaum minoritas, akhirnya berusaha membentuk suatu komunitas dan menjalani kehidupan dengan cara yang mereka ciptakan sendiri, termasuk sistem perkawinannya. Meskipun mereka sebenarnya ingin melakukan perkawinan secara sah dan diakui oleh hukum, namun sebagaimana diketahui, bahwa sampai saat ini hukum hanya mengenal dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan masalah perkawinan, kenyataanya Undang-undang Perkawinan hanya mengatur dan mengakui perkawinan antar jenis kelamin.
Maya – salah seorang waria di Yogyakarta yang berprofesi sebagai perias salon – menyebut pernikahan yang dilakukan oleh teman-teman warianya dengan sebutan “nikah foto”, maksudnya, meresmikan pernikahannya dengan mengadakan pesta dan mengundang teman-reman warianya serta masyarakat sekitar tempat mereka tinggal. Kemudian, kedua mempelai berdandan selayaknya pengantin dan berfoto-foto[16]). Tetapi, Vinolia mengatakn bahwa tidak semua waria “meresmikan” perkawinannya dengan cara tersebut, ada yang hanya cukup membuat perjanjian lalu hidup bersama sebagai “suami istri”. Selain itu, Vinolia juga mengaku bahwa ia tidak setuju bila ada waria yang “meresmikan” pernikahannya dengan cara tersebut, bahkan ia juga tidak setuju kalau ada seorang waria yang ingin menikah secara sah (bila masih dengan kondisi kelamin laki-laki). Sebab, ia yakin bahwa tidak mungkin ada laki-laki yang betah hidup dengan seorang waria, karena pada umumnya mereka (para laki-laki) hanya menumpang hidup pada waria. Selanjutnya, rumah tangga yang dibina oleh waria dan lekongnya tersebut pasti akan mengalami keretakan dan pada akhirnya berpisah[17]).
Meskipun demikian, “perkawinan” yang mereka (para waria) lakukan diakui oleh teman-teman warianya dan masyarakat sekitar di tempat mereka tinggal, walaupun “perkawinan” tersebut tidak dilakukan dengan acara prosesi atau pesta. Bila mengetahui seorang laki-laki hidup bersama dengan waria, maka masyarakat setempat dan teman-teman warianya dengan sendirinya akan tahu dan memakluminya. Namun tidak demikian dengan masyarakat di luar yang kurang mengenal mereka dan cenderung menyamakan mereka dengan gay.
Bila dicermati secara lebih mendalam, umur seorang ibu dalam proses reproduksi sangat mempengaruhi kondisi anak yang dilahirkan[18]). Selain itu, sebagian besar proses pertumbuhan janin sangat bergantung pada kondisi internal sang ibu, yaitu kondisi fisik dan psikisnya[19]). Sedang pembentukan manusia sebagai makhluk seksual merupakan sebuah proses yang terus berlangsung seumur hidup[20]).
Waria atau transeksual merupakan salah satu bentuk abnormalitas seksual yang oleh para sarjana disimpulkan sebagai abnormalitas seks yang diakibatkan oleh cara-cara abnormal dalam pemuasan dorongan seksual[21]). Beberapa teori tentang abnormalitas seksual menyatakan bahwa keabnormalan itu timbul karena sugesti masa kecil. Seseorang akan mengalami abnormalitas seksual karena pengaruh keluarga dan lingkungan (acquired). Namun disisi lain, Maney, sebagaimana yang dikutip oleh Koeswinarno, berpendapat bahwa abnormalitas seksual sesungguhnya diperoleh sejak seseorang dilahirkan (congental)[22]), artinya bukan karena pengaruh dari luar, baik keluarga maupun lingkungan.
Sebagaimana yang telah penyusun jelaskan di atas, bahwa khunsa ada dua bentuk : pertama yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan mempunyai alat kelamin perempuan, dan bentuk lain adalah khunsa yang tidak memiliki kedua alat kelamin tersebut atau biasa disebut dengan khuns\a musykil. Bentuk pertama sudah jelas persoalannya yaitu dengan keluarnya air kencing dari salah satu kelaminnya. Bila kencing dengan alat kelamin laki-laki, maka ia laki-laki atau dengan alat kelamin perempuan maka ia perempuan.
Kaitannya dengan perkawinan, bagi khuns\a bentuk pertama telah jelas hukum yang diberlakukan padanya, yaitu mengikuti jenis kalamin yang berfungsi. Sedangkan pada khunsa bentuk kedua (khuns\a musykil) para ulama berbeda pendapat, namun kebanyakan mereka berpendapat bahwa khuns\a musykil baru bisa menikah bila posisinya telah jelas atau bisa dibedakan apakah ia laki-laki atau perempuan, dan salah satu solusi – yang ditawarkan di era modern ini – untuk memperjelas statusnya ialah dengan melakukan operasi pergantian kelamin.
Eksistensi kaum waria hingga sekarang masih diperdebatkan oleh para ulama dan cendekiawan muslim, terutama masalah perkawinannya. Golongan yang menolak perkawinan waria berpendapat bahwa waria tidak berbeda dengan gay, sedang hubungan sesama jenis dalam Islam dengan tegas dilarang dan diharamkan bahkan di ancam dengan azab sebagaimana kaum Nabi Lut}. Dan golongan yang cenderung mempertimbangkan keberadaan waria adalah yang berpandangan bahwa waria bukanlah sebuah “penyakit” yang pasti ada obatnya bila mau mencari, dengan melakukan terapi misalnya. Namun waria merupakan salah satu abnormalitas yang telah terbentuk sejak berada dalam kandungan ibunya, yang salah satunya disebabkan oleh ketidak seimbangan hormon.
Oleh karena itu, penyusun merasa persoalan yang dialami kaum waria sebenarnya merupakan sebuah pelajaran bagi masyarakat untuk bisa menghargai dan menerima perbedaan, seunik apapun perbedaan itu. Kaum waria seharusnya dilihat sebagai sesama manusia, sesama anggota masyarakat yang keberadaanya tidak melulu ditentukan oleh kondisi tubuhnya saja. Mereka punya hak yang sama dalam kehidupan ini seperti manusia umumnya untuk menentukan nasibnya.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang diterapkan dalam penulisan skripsi ini adalah :
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis field research yaitu penelitian yang dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu, dalam hal ini adalah para waria yang telah melakukan “perkawinan” melalui PKBI Yogyakarta sebagai media penghubung antara Penyusun dengan para waria di Yogyakarta yang telah melakukan “perkawinan” (respoden).
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah preskriptif, yaitu mendeskripsikan data yang ada di lapangan sekaligus memberikan penilaian dari sudut syari’ah tentang perkawinan sehingga dapat diketahui dengan jelas hukum perkawinan pada kaum waria di Yogyakarta.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penyusun mengambil dua sumber data, yaitu data dari lapangan, dalam hal ini adalah kasus-kasus “perkawinan” yang terjadi di kalangan waria yang beragama Isla>m di Yogayakarta, dan dari semua bacaan dan literatur yang relevan dengan persoalan yang dibahas dalam skripsi ini. Kedua sumber data tersebut diperoleh melalui wawancara (interview guided) dengan para waria di Yogyakarta yang telah melakukan “perkawinan” melalui PKBI sebagai media penghubung, pengamatan (observasi), dokumentasi dan membaca.
Pendekatan Masalah
Dalam menganalisa data yang diperoleh dari hasil penelitian ini, peneliti memadukan pendekatan normatif di satu sisi, dan pendekatan sosiologis dan psikologis di sisi lain. Pendekatan normatif digunakan untuk memahami norma-norma “yang seharusnya” (das sollen) seperti yang telah dirumuskan oleh syara’. Sedangkan pendekatan sosiologis digunakan untuk memahami norma-norma “yang senyatanya” (das sein) yang dipahami dan berlaku di masyarakat.
5. Analisis Data
Setelah data-data mengenai perkawinan waria terkumpul, maka kemudian dilakukan analisa dan diagnosa sedemiakian rupa. Supaya data yang diperoleh dapat menghasilkan kesimpulan yang valid, oleh karena itu penyusun menggunakan metode sebagai berikut :
a. Induksi, yaitu dipakai untuk menganalisa data khusus yang mempunyai unsur kesamaan sehingga dapat digeneralisasikan menjadi kesimpulan umum.
b. Deduksi, dipakai untuk memberikan bukti khusus pada suatu pengertian umum yang ada sebelumnya.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keadaan dan kondisi masyarakat dalam mempengaruhi eksistensi kasus-kasus yang ada dalam data yang didapatkan. Selanjutnya, data yang terhimpun dianalisa berdasarkan pada aspek hukum yang berlaku, dalam hal ini adalah hukum Isla>m. Dengan analisa data seperti ini, kemudian didapatkan suatu kesimpulan akhir mengenai status perkawinan waria dalam perspektif Isla>m dari kasus-kasus yang ada dalam data tersebut.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan skripsi ini melelui tiga tahap, yaitu pendahuluan, isi, dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan di dalam bab terdapat sub-sub bab.
Bab pendahuluan ditempatkan pada tahap pertama yang terdiri dari : pertama, latar belakang masalah, hal ini jelas diperlukan untuk memperjelas dan mengetahui faktor-faktor yang menjadi dasar atau pendukung timbulnya masalah yang akan diteliti serta memperjelas alasan-alasan yang dianggap menarik dan penting untuk diteliti. Kedua, pokok masalah, dimana hal ini di perlukan untuk mengetahui permasalahan dalam penelitian secara komperhensip dan terfokus untuk menghindari derifasi atau inkonsistensi pembahasan. Ketiga, tujuan dan kegunaan penelitian. Hal ini dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan benar-benar memiliki visi yang produktif dan konstruktif bagi pengembangan pengetahuan. Keempat, telaah pustaka. Hal ini diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan pemikiran tentang penelitian ini serta menempatkan diri di mana letak penelitian ini. Kelima, kerangka teoretik, yaitu sebagai cara pandang dan kerangka acuan terhadap penelitian yang dilakukan. Keenam, metode penelitian dimana hal ini dimaksudkan sebagai langkah- langkah yang akan ditempuh dalam menganalisa data.
Kemudian tahap kedua yaitu Isi, terdiri dari tiga bab, yakni bab II, III, dan bab IV. Bab kedua mengulas tentang tinjauan umum tentang pelaksanaan perkawinan dalam Islâm. Hal ini diperlukan karena pada dasarnya penelitian ini terfokus pada pelaksanaan perkawinannya. Bab ini terbagi atas empat sub, pertama, membahas tentang definisi perkawinan dan dasar hukumnya dari perspektif Islam. Kedua, bagaimana Isla>m menilik tujuan dan hikmah dilaksanakannya perkawinan. Ketiga, membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan syarat dan rukun dalam perkawinan. Keempat, mengupas akibat hukum yang timbul dari dilaksanakannya perkawinan tersebut.
Bab ketiga mengulas tentang pelaksanaan dan keberadaan perkawinan waria ditinjau dari hukum Isla>m. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan dan keberadaan perkawinan waria pada saat ini. Bab ini terbagi menjadi empat sub, pertama, mengulas tentang latar belakang kehidupan waria di tinjau dari segi sosial dan psikologisnya. Kedua, mengupas tentang waria dalam berbagai perspektif, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan waria. Sub ini dibagi menjadi dua, a. Abnormalitas seksual dan pandangan tentang waria, dan b. Waria dalam lintasan sejarah. Ketiga, membahas tentang pengertian perkawinan waria. Keempat, mengupas hal-hal yang menjadi problem dalam perkawinan waria.
Selanjutnya bab keempat, yaitu membahas tentang kontekstualisasi hukum terhadap perkawinan waria di Yogyakarta. Bab ini dibagi menjadi dua sub, yaitu meliputi penentuan status waria dan analisis hukum Islam terhadap praktek perkawinan waria. Bab ini merupakan pembahasan inti dan analisa penyusun terhadap permasalahan praktek perkawinan waria dalam perspektif hukum Isla>m.
Dan Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran sebagai akhir dari pengkajian penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DALAM ISLAM
Sudah sangat lama perkawinan menjadi lembaga masyarakat, hukum negara, agama, panggilan hidup dan persekutuan hidup, yakni kenyataan yang diakui, diatur, dan dilindungi oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat juga menentukan ciri-ciri perkawinan yang baik. Dalam masyarakat tertentu, pria yang memiliki istri lebih dari satu orang dan bersikap adil terhadap mereka serta anak-anaknya dianggap suami yang baik. Dan dalam masyarakat lain, seorang perempuan dianggap sebagai istri yang baik bila memiliki suami banyak. Padahal dalam masyarakat lain lagi, hal seperti itu dianggap kurang baik dan dikecam dengan keras. Namun pada umumnya kita mempunyai pandangan yang tegas bahwa secara prinsipil perkawinan harus bersifat monogam, tak terceraikan, setia dan terbuka bagi keturunan.
Perkawinan bila dilihat dengan “kaca mata” hukum, maka ia merupakan suatu perjanjian, sebab segala sesuatu yang terkait dengannya telah diatur sedemikian rupa dan harus dipenuhi. Namun bila dilihat dari segi sosial (penilaian umum masyarakat), akan kita temukan bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari pada orang yang belum menikah. Demikian juga bila dilihat dari segi agama, maka kita akan melihat bahwa perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci.
Pada umumnya, perkawinan dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan serta didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, sebagaimana yang disyaratkan dalam Undang-undang Perkawinan. Selain itu, suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya[23]).
Pada pasal 6 ayat 2 Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tuanya[24]). Namun sebaliknya, bila telah mencapai umur 21 tahun atau telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk memilih pasangan hidupnya. Pada dasarnya, perkawinan dalam Isla>m dilaksanakan dengan prinsip kerelaan, persetujuan dan pilihan. Dengan demikian seseorang tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan perkawinan[25]). Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan yang berlaku. Kenyataan ini seirama dengan apa yang disabdakan Rasu>lulla>h dalam sebuah hadi>s\nya[26]) yang berbunyi sebagaimana di bawah ini :
عن أبى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تنكح الثيب حتى تستأمر ولاتنكح البكر حتى تستأذن وإذنها قال الصموت.
Hadis di atas menjelaskan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak atas perkawinannya, begitu pula walinya. Akan tetapi, orang-orang yang akan menikah lebih besar haknya dibandingkan dengan hak walinya dalam perkawinan itu. Jadi, ketika seorang wali ingin menikahkan anaknya, hal pertama yang harus dilakukannya adalah meminta persetujuan terlebih dahulu pada anaknya yang akan melaksanakan pernikahan tersebut. Demikian juga bila seorang anak mau menikah, maka ia harus meminta izin pada ayah, kakek atau saudara laki-laki selaku walinya
1st.Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dan sila yang pertama ialah ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian. Hal ini karena perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi juga unsur batin atau rohani. Selain itu, perkawinan mempunyai peranan yang penting dalam membentuk keluarga yang bahagia[27]). Hal ini selaras dengan definisi perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 1 yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa[28]). Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa suatu ikatan perkawinan tidak hanya memuat hukum formal, tapi juga memuat maksud atau tujuan yang bersifat sosial keagamaan.
Definisi nikah secara bahasa ada dua macam, yaitu hakiki dan majazi. Arti nikah sacara hakiki adalah ad}-D}am (yang berarti menghimpit atau menindih), al-Jima>’ (bersetubuh) adapun secara majazi adalah bermakna al-‘Aqd (akad) atau al-Mi>s\a>q al-Gali>z} (perjanjian yang kuat)[29]). Sedangkan arti nikah menurut istilah adalah perikatan antara dua insan yang berbeda jenis kelamin, untuk memperoleh hak atau status kehalalan disertai syarat dan rukun yang telah diatur oleh Islam[30]).
Asas perkawinan dalam hukum Isla>m bersifat monogami, ketentuan tersebut terdapat dalam al-Qur’a>n surat an-Nisa>’ ayat 3 pada akhir ayat yang berbunyi : … فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة[31]) …. Sebab perkawinan adalah perjanjian suci untuk membentuk suatu keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan[32]). Kata zawaj dalam al-Qur’a>n dipergunakan sebagai pasangan atau jodoh yang digunakan dalam perkawinan[33]). Disamping itu, perkawinan (az-zawj) merupakan salah satu bentuk khas percampuran antar golongan. Az-Zawj berarti sesuatu yang berpasangan antara satu dengan lainnya yang sejenis, manusia dengan manusia misalnya, dan keduanya disebut sepasang (az-zawjan)[34] ). Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Sunnatulla>h, yaitu bahwa semua ciptaan Alla>h di atas bumi ini selalu diciptakan dengan berpasang-pasangan, sebagaimana firman-Nya :
ومن كل شيء خلقنا زوجين لعلكم تذكرون[35]
Secara etimologis, nikah adalah bersenggama atau bercampur. Sedangkan menurut syara’, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini, pendapat pertama menyatakan bahwa nikah secara hakiki mempunyai arti wat}a’ (bersenggama), sedangkan secara majazi berarti akad. Pendapat kedua mengatakan bahwa makna nikah secara hakiki adalah akad sedang secara majazinya adalah wat}a’. Dan pendapat ketiga mengatakan bahwa makna hakikat dari nikah adalah musytara>k atau gabungan dari pengertian akad dan wat}a’[36]). Sedangkan makna nikah menurut ahli fiqih berarti, akad nikah yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang suami dapat memanfatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan dan seluruh tubuh istrinya[37]).
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Isla>m adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mi>s\a>qan gali>z}an untuk mentaati perintah Alla>h dan melaksanakannya merupakan ibadah[38]). Sedangkan dalam Bab Ketentuan Umum pada pasal 1 huruf c disebutkan bahwa akad nikah ialah rangkaian ija>b yang diucapkan oleh wali dan qabu>l yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya serta disaksikan oleh dua orang saksi[39]).
Definisi tersebut serupa dengan definisi yang dikemukakan oleh H. Moch. Anwar, bahwa nikah menurut istilah ilmu fiqh, ialah akad antara seorang calon suami dengan seorang wali nikah yang menjamin halalnya bersetubuh antara istri dan suaminya dengan kalimat nikah atau kawin[40]). Definisi ini mengandung pengertian, bahwa dalam suatu perkawinan izin calon istri tidak diperlukan, asal ada kesepakatan antara wali istri dan calon suami maka perkawinan telah dianggap sah. Tidak jauh berbeda dengan Anwar, perkawinan menurut syara’ didefinisikan oleh Zahri Hamid sebagai akad (ija>b qabu>l) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun serta syaratnya.
Sedangkan menurut Abdul Fatah, an-nika>h secara bahasa berarti mengumpulkan, dan secara syara’ berarti akad yang terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat yang telah ditetapkan untuk berkumpul[41]). Adapun dasar hukumnya adalah firman Alla>h.... فانكحوا ما طاب لكم من النساء ... [42]
Adapun menurut Slamet Abidin, suatu pernikahan merupakan sunnatulla>h yang umum dan berlaku pada semua makhluknya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan[43]). Disamping itu, Slamet Abidin juga mengemukakan beberapa pandangan ulama seputar pengertian pernikahan, yaitu ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan sebagai sesuatu yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya, seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan. Dan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan mengunakan lafal nika>h atau zauj. Adapun ulama Malikiyah berpendapat bahwa pernikahan adalah suatu akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga[44]). Sedangkan ulama Hanabilah berpendirian bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafal inka>h atau tazwi>j untuk mendapatkan kepuasan, artinya, seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan, begitu juga sebaliknya[45]).
Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid, pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antar seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram[46]). Adapun menurut M. Talib, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa[47]). Namun, disisi lain Zahri mengemukakan bahwa perkawinan menurut hukum Isla>m ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu bahtera rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syari’at Isla>m[48]). Definisi Zahri yang terakhir ini hampir sama dengan definisi perkawinan yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan dan ynag dikemukakan oleh Mawardi, yaitu akad nikah antara calon suami-istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut Syari’at. Dan yang dimaksudkan dengan akad adalah ija>b dari wali pihak perempuan (calon istri) dan qabu>l dari pihak calon suami[49]).
Sedangkan menurut Ali Maqri al-Fayumi, sebagaimana yang dikutip oleh Kamal Mukhtar, pernikahan menurut bahasa mempunyai dua arti yaitu arti yang sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaz). Arti yang sebenarnya dari pernikahan adalah D{am, yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul, sedang arti kiasannya adalah wat}a’ yang berarti bersetubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan[50]), sebagaimana definisi yang dipaparkan oleh Muallif.
Disamping itu, Peunoh Daly mengemukakan bahwa sebenarnya kata nika>h dan kawin sudah umum dipakai masyarakat dengan pengertian yang sama, seperti dalam naskah mir’at at}-t}ullab yang merupakan karya besar Syeikh Abdul Rauf Singkel, yang dijadikan salah satu obyek penelitiannya dalam penulisan buku ini, begitu juga dalam al-Qur’a>n dan al-Hadi>s\ yang menggunakan kata nika>h dan tazwi>j. Secara etimologis, masih menurutnya, nika>h berarti bergabung dan berkumpul, tetapi dipergunakan juga pengertian wat}a’ atau akad nikah, namun yang sering dipergunakan adalah untuk akad nikah. Sedangkan secara syara’ berarti akad yang memperbolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu dan pada waktu akad dipergunakan lafal “nika>h” atau “tazwi>j” atau terjemahannya[51]).
Berbeda dengan definisi di atas, Ramulyo dan Mawardi mengemukakan bahwa suatu perkawinan dikatakan sah karena adanya akad. Tetapi yang melaksanakan akad adalah para pihak yang akan melakukan perkawinan itu sendiri yaitu calon suami dan calon istri. Jadi, bukan wali calon istri dengan calon suami seperti yang selama ini terjadi, bahkan ia tidak menyebutkan sama sekali peran wali ketika mendefinisikan perkawinan[52]). Sedangkan definisi perkawinan secara bahasa, masih menurut Ramulyo, adalah hubungan seksual, sedangkan menurut arti majazi (methaporik) atau arti hukum ialah aqad yang menjadikan halalnya hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita[53]). Hal ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Sudarsono bahwa perkawinan ialah aqad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dimana antara keduanya bukan mahram[54]).
Berkaitan dengan akad, al-Qur’a>n telah menggambarkan sifat yang luhur bagi sebuah ikatan yang dijalin oleh dua orang insan yang berbeda jenis kelamin dalam ikatan perkawinan, dengan gambaran yang dikemukakan melalui beberapa ayat, antara lain dalam surat an-Nisa>’ ayat 21[55]). Dalam ayat tersebut ikatan perkawinan diungkapkan dengan kata ميثاق غليظ yaitu suatu ikatan janji yang kokoh, sebagaimana definisi perkawinan yang dipaparkan dalam KHI pasal 2. Gambaran serupa juga terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi : [56]هن لباس لكم وانتم لباس لهن. Dalam ayat ini, ikatan perkawinan diibaratkan bagaikan hubungan antara pakaian yang saling menutupi antara yang satu dengan yang lainnya. Namun menurut Annemarie Schimmel, fenomenologi agama menafsirkan ayat ini dalam pengertian bahwa yang satu secara teknis selalu menjadi alter ego dari yang lain sebab pakaian (sebagai bagian atau aspek dari seseorang) sering digunakan pars pro toto untuk mewakili seseorang[57]).
Perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan dianjurkan oleh syara’ yang sekaligus merupakan sunnah Rasu>lulla>h saw., sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh al-Ima>m al-Bukha>ri dan Muslim, dari Anas[58]), yang berbunyi :
وعن أنس بن مالك رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم حمد الله وأثنى عليه, وقال : لكني أناأصلى, وأنام, أصوم وأفطروأتزوج النساء, فمن رغب عن سنتي فليس مني.
Hadi>s\ ini seirama dengan firman Alla>h :
ومن آيته أن خلق لكم من أنفسكم أزواخا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيت لقوم يتفكرون[59].
Dalam hadi>s\ dan ayat di atas, perintah dan anjuran untuk menikah tertulis dengan sangat jelas, bahkan dalam hadi>s\ tersebut tertulis bahwa barang siapa yang membenci sunnahku maka ia bukanlah umatku. Dengan demikian, kendatipun hukum asal dari perkawinan adalah mubah tetapi melaksanakannya adalah sunnah[60]) dan agama Isla>m sangat menganjurkannya, karena perkawinan itu sendiri memberi banyak manfaat dan menolak madharat bagi yang melaksanakannya. Bahkan Isla>m juga menganjurkan agar umatnya saling membantu dalam mencari jodoh sebagaimana firman Alla>h dalam surat an-Nu>r ayat 32 :
وانكحوا الأيام منكم والصالحين من عبادكم وإمآءكم إن يكونوا فقرآء يغنهم الله من فضله والله واسع عليم[61].
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, secara umum perkawinan mempunyai arti sebagai berikut :
1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar sesuai syara’.
2. Perkawinan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan.
3. Merupakan cara untuk memperoleh keturunan yang sah.
4. Memiliki fungsi sosial.
5. Mendekatkan hubungan antar keluarga, yaitu keluarga suami dan istri, dan solidaritas kelompok.
6. Merupakan perbuatan yang menuju kepada taqwa, dan
7. Merupaka suatu bentuk ibadah, yaitu pengabdian kepada Alla>h dan sekaligus mengikuti sunnah Rasu>lulla>h SAW.
B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Sebagaimana hukum-hukum lain yang ditetapkan berdasarkan dengan tujuan tertentu sesuai dengan tujuan pembentukannya, demikian pula perkawinan ditetapkan juga dengan tujuan-tujuan tertentu. Selain itu, perkawinan juga termasuk dalam pelaksanaan syari’at agama, oleh karena itu di dalamnya terkandung maksud dan tujuan, yaitu mengharapkan kerid}aan Alla>h SWT.
Pada dasarnya tujuan perkawinan dalam Isla>m, yaitu dalam Undang-undang perkawinan dan KHI, tidak jauh berbeda, di antaranya ialah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam[62]). Dan dalam Penjelasan Undang-undang Perkawinan juga diuraikan, bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal[63]). Seiring dengan tujuan perkawinan yang terkait dengan kehidupan rumah tangga tersebut, Alla>h berfirman :
ومن آيته أن خلق لكم من أنفسكم أزواخا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيت لقوم يتفكرون[64].
Selain tujuan perkawinan di atas masih terdapat beberapa tujuan lain, yaitu melaksanakan perintah Alla>h untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur[65]). Tujuan ini serupa dengan yang dikemukakan oleh Ramulyo, yaitu untuk memenuhi kebutuhan biologis dan sekaligus untuk memperoleh keturunan yang sah menurut hukum[66]). Hal ini sesuai dengan firman Alla>h :
والذين هم لفروجهم حافظون ~ إلاعلى أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين ~ فمن ابتغى ورآء ذلك فأولئك هم العادون[67].
Kemudian firman Alla>h tersebut sejalan dengan hadi>s\ Rasu>lulla>h yang berbunyi :
يحي بن يحي التميمى وابوبكربن ابى شيبة ومحمد بن العلاء الهدانى جميعا عن ابىمعاوية (واللفظ ليحي) اخبرنا ابومعاوية عن الأعمش عن ابراهيم عن علقمة قال كنت امش مع عبدالله بمنى فلقيه عثمان فقام معه يحدثه فقال له عثمان يااباعبدالرحمان ألانزوجك جارية شابة لعلها تذكرك بعض مامض من زمانك قال فقال عبدالله لئن قلت ذاك لقد قال لنارسول الله صلى الله عليه وسلم, يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر, وأحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم, فإنه له وجاء [68].
Secara garis besar tujuan perkawinan, menurut Zuhdi, dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu untuk mendapatkan ketenangan hidup, menjaga kehormatan diri dan pandangan mata, dan sebagaimana pendapat ramulyo yang kedua yaitu untuk memperoleh keturunan[69]). Sedangkan perkawinan menurut Isla>m juga bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan individu, keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Selain itu, masih terdapat tujuan lain dari pada perkawinan yang dikemukakan oleh Rahman, yaitu bersatunya kedua belah pihak dan untuk memenuhi kebutuhan biologis dalam rangka untuk memperoleh keturunan[70]).
Hal senada juga dikemukakan oleh Kamal Mukhtar, hanya saja ia membagi tujuan dilaksanakannya perkawinan menjadi 5 macam[71]), yaitu pertama, untuk melanjutkan keturunan. Kedua, menjaga diri dari hal-hal yang dilarang mengerjakan oleh Alla>h. Ketiga, menimbulkan rasa cinta antara suami istri dan rasa kasih sayang orang tua kepada anaknya juga keluarganya. Keempat, melaksanakan sunnah Rasu>lulla>h dan yang Kelima ialah untuk membersihkan dan memperjelas keturunan. Oleh karena itu siapa-siapa yang akan melangsungkan perkawinan maka hendaknya ia memperhatikan betul inti dan tujuan dari perkawinan tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan beberapa tujuan perkawinan yang diuraikan di atas, Abdur Rahman juga berpendapat bahwa tujuan perkawinan adalah untuk menunaikan perintah sekaligus beribadah kepada Alla>h dengan cara membina rumah tangga berdasarkan cinta kasih dan memenuhi kebutuhan biologis yang mendasar untuk berkembang biak[72]). Dari tujuan perkawinan tersebut, kemudian Abdur Rahman mengklasifikasikannya sebagai berikut[73]) :
1. Perkawinan merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yan sah dan benar.
2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan.
3. Merupakan cara untuk memperoleh keturunan yang sah.
4. Memperoleh dan menduduki fungsi sosial.
5. Mempererat hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok.
6. Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan.
7. Dan merupakan suatu bentuk ibadah, yaitu pengabdian kepada Alla>h dengan mengikuti sunnah Rasu>lulla>h.
Dengan demikian, tujuan perkawinan dalan Isla>m bukan semata-mata untuk kesenangan lahiriah melainkan juga membentuk suatu lembaga yang dengannya kaum pria dan wanita dapat memelihara diri dari kesesatan dan perbuatan tidak senonoh, melahirkan dan merawat anak untuk melanjutkan keturunan manusia serta memenuhi kebutuhan seksual yang wajar dan untuk menciptakan kenyamanan serta kebahagiaan. Hal ini tercermin dalam sabda Rasu>lulla>h yang memerintahkan agar berpuasa bila belum mampu menikah, karena puasa dianggap dapat menjadi rem dari pada nafsu. Selain itu dengan perkawinan maka akan terjalin silatur rahim dan memperkokoh tali kekeluargaan antara keluarga suami dan keluarga istri. .
Dari beberapa tujuan perkawinan di atas, Filosof Isla>m, al-Ima>m al-Gaza>li> membagi faedah perkawinan menjadi lima[74]), yaitu :
1. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan dan mempertahankan keturunan agar habitat manusia tidak punah dan dunia tidak kosong. Selain itu, pada hakikatnya diciptakannya nafsu seksual pada diri manusia adalah sebagai pendorong tercapainya tujuan tersebut.
2. Penyaluran gejolak nafsu seksual dengan cara yang ma’ruf. Di sini, perkawinan merupakan sarana yang telah ditentukan oleh syari’at untuk memperoleh kelezatan dunia sebagai bukti kelezatan ukhrawi. Ketika manusia memenuhi rangsangannya maka ia akan merasakan puncak kelezatan yang tidak ada bandingnya. Tujuan kedua ini berkaitan erat dengan tujuan pertama yaitu memperoleh anak merupakan tujuan manusia sesuai dengan fitrahnya, sedangkan syahwat merupakan faktor pendorong bagi tercapainya tujuan tersebut.
3. Memperoleh ketenangan hati serta memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. Sebab dorongan syahwat yang semula (sebelum nikah) biasa dilepaskan dengan cara-cara yang dilarang oleh syara’, seperti onani, masturbasi dan atau dengan cara melakukan seks bebas dengan berganti-ganti pasangan, maka dengan perkawinan dorongan seks tersebut akan hanya dipenuhi dengan satu pasangan tetap yaitu istri atau suami. Jadi, perkawinan merupakan pencegah timbulnya bencana akibat dorongan syahwat.
4. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar berdasarkan cinta dan kasih sayang.
5. Melaksanakan kewajiban masyarakat degan cara menumbuhkan kesungguhan dalam mencari rizki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Syari’at Isla>m memberi dorongan kuat untuk melaksanakan akad nikah melalui al-Qur’a>n, hadi>ts\, serta fatwa-fatwa fuqaha maupun cendekiawan muslim. Menurut al-Ima>m al-Gaza>li>, sebagaimana yang dikutip oleh Muallif, pernikahan disinyalir dapat menanggulangi kerusakan mentalitas seseorang yang pada umumnya disebabkan oleh perut dan alat kelaminnya[75]). Hal ini sejalan dengan hikmah perkawinan yang ditawarkannya[76]), di antaranya adalah pertama dapat memiliki anak yang sah. Kedua, sebagai pertahanan mental dari godaan syaitan dan menghindari bahaya gejolak nafsu seksualitas. Ketiga, sebagai Tarwi>j an-Nafs (memberi spirit jiwa) dan menghibur diri. Keempat, Tafri>g al-Qalb (penghibur hati) dalam menikmati indahnya suasana rumah yang rapi dan bersih hingga bisa mempercepat untuk memperoleh kebutuhan hidup, sebab bila tidak ada yang mengatur rumah tangga dapat mengabaikan waktu tersita. Dan kelima, memberi kesibukan hidup dengan mengasuh, mengasah dan mengasih keluarga.
Sementara itu, berkaitan dengan hikmah adanya perkawinan menurut Thalib adalah sesuai dengan ajaran Isla>m, yaitu untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, sejahtera lahir dan bathin, penuh kasih sayang dan rasa cinta mencintai antara suami, istri dan anak-anak, sejalan dengan tuntunan Alla>h yang termaktub dalam al-Qur’a>n, surat ar-Ru>m, ayat 21[77]). Menurutnya, perkawinan yang benar adalah dalam rangka menciptakan sebuah rumah tangga seperti yang dikategorikan diatas. Dengan demikian, jika seseorang menikah dengan tujuan untuk mencari kepuasan nafsu birahi atau dengan maksud untuk mendapatkan harta, maka ia telah menyalahi ajaran Isla>m yang luhur[78]). Hal ini karena, jika seseorang menikah – dan sekarang banyak pasangan yang melakukannya – demi orientasi kepuasan seksual semata, dan jika hal itu tidak tercapai maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Padahal, kepuasan seksual dalam sebuah perkawinan bukanlah merupakan segalanya dan bukan pula merupakan sesuatu yang paling berharga diatas yang lainnya[79]).
Di Indonesia persoalan perkawinan diatur sedemikian rupa di dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan pengembangan dari Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Selain itu perkawinan yang diatur dalam kompilasi menentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan. Karena kompilasi merupakan penjelas dari Undang-undang Perkawinan, maka prinsip-prinsip tersebut dikemukakan dengan mengacu pada undang-undang tersebut. Dan dalam Undang-undang Perkawinan terdapat 6 asas yang prinsipil di antaranya adalah[80]) :
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu antara suami dan istri handaknya saling membantu dan melengkapi.
2. Suatu Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan selain itu setiap perkaiwnan “harus dicatat” menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dari agama yang bersangkutan mengizinkan seorang suami beristri lebih dari satu orang (poligami).
4. Calon suami-istri harus sudah masak jiwa raganya apabila ingin mengadakan perkawinan.
5. Sejalan dengan tujuan perkawinan yaitu ingin membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang mempersulit terjadinya perceraian.
6. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan suami, baik dalam pergaulan masyarakat maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping memiliki tujuan-tujuan yang sangat prinsipil, perkawinan juga memiliki hikmah yang positif. Hikmah nikah menurut al-Qur’a>n dan as-Sunnah antara lain; menyalurkan naluri seks, mendapat keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapakan dan keibuan, dorongan untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menghubungkan silaturrahmi antara dua keluarga[81]). Menurut Ramulyo diantara hikmah perkawinan adalah supaya manusia hidup berpasang-pasangan sebagai suami istri untuk membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan pertalian yang kokoh yang tak mudah putus dan diputuskan, yaitu melalui ija>b qabu>l perkawinan atau akad nikah[82]).
Disamping itu, masih terdapat hikmah lain dan merupakan pokok dari perkawinan, yaitu untuk keberlangsungan dan pengembangbiakan makhluk yang bersangkutan[83]). Kemudian, dari perkawinan tersebut akan lahir keturunan yang sah dalam masyarakat dan diakui oleh hukum. Selanjutnya, keturunan itu akan membentuk rumah tangga yang baru dan begitu pula seterusnya. Dari beberapa keturunan itu kemudian berdirilah sebuah kampung lalu desa dan dari beberapa desa lahirlah negeri hingga kemudian menjadi negara.
Sejalan dengan hikmah perkawinan yang dikemukakan diatas, Sudarsono mengemukakan beberapa hikmah dan tujuan disyari’atkannya perkawinan, yaitu : pertama, suami istri ikut memakmurkan bumi Alla>h dengan usaha saling tolong menolong antar keduanya yang dapat melipat-gandakan hasil dan keuntungan sesudah manusia tak bisa hidup dengan sempurna (isolasi), kedua, suami istri hidup dengan bebas dalam pergaulan dan senggama (coitus) yang teratur setelah merintis jalan yang sah, ketiga, mengurangi terjadinya tindak perkosaan dan maksiat mata maupun kelamin, keempat, menenangkan dan menyehatkan pikiran serta dapat menimbulkan perbaikan akhlak dari perbuatan lacut (misalnya), kelima, diharapkan suami istri mendapatkan pahala yang banyak dengan lahirnya anak-anak yang saleh yang senantiasa mendo’akannya[84] ).
Disamping itu, Rasu>llulla>h juga memerintahkan umatnya untuk melaksanakan perkawinan agar bisa berkembang biak, karena di akherat nanti Rasu>l akan merasa bangga dengan umat yang banyak. Hal ini diperkuat dengan hadi>s\ Nabi sebagai berikut :
وعن أنس بن مالك قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرون بالباءة وينهى عن التبتل نهيا شديدا, تزوجوا الولودالودود. فإنى مكاثربكم الأنبياء يوم القيامة[85]
Selain itu, para dokter sepakat bahwa hubungan bebas dengan berganti-ganti pasangan dapat menyebabkan penyakit kotor yaitu penyakit kelamin dan Aids. Namun satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa kualitas anak lebih penting dari sekedar kuantitas (jumlah anak). Jadi orang tua dituntut untuk mempersiapkan generasi pengganti mereka dengan memperhatikan mutu atau kualitasnya. Hal ini sesuai dengan firman Alla>h yang berbunyi :
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافاخافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا[86].
Dalam suatu perkawinan yang berhasil, dapat ditemui beberapa sifat pokok, yaitu bersifat monogami, tidak terceraikan (meskipun tidak ada kecocokan lagi), heteroseksual, dan terbuka akan adanya anak[87]). Di samping itu, perkawinan sebagai suatu status atau cara hidup tertentu membawa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi suami istri. Dengan adanya perkawinan, maka seorang laki-laki sebagai suami akan memperoleh hak sekaligus kewajiban sebagai suami, demikian juga seorang perempuan yang menjadi istri.
C. Syarat dan Rukun Perkawinan
Indonesia adalah negara majemuk yang di dalamnya terdapat bermacam-macam suku, bangsa dan agama. Oleh karena itu, adanya peraturan yang mengatur kepentingan masing-masing warga sangatlah penting terutama dalam masalah perkawinan. Sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan Bab I pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya sebagaimana yang telah penyusun jelaskan di muka. Sedangkan perkawinan yang sah menurut Isla>m adalah yang dilakukan dan telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh hukum Isla>m. Sebab, dalam Isla>m perkawinan bukanlah semata-mata sebagai kontrak perdata saja atau sekedar penghalalan z\akar, akan tetapi mempunyai nilai ibadah.
Dalam perkawinan terdapat syarat umum dan syarat khusus, di antara syarat umumnya adalah perkawinan dilakukan sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221[88]) yang berisi tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama kecuali ditentukan lain sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 5[89]) tentang pengecualian bagi orang laki-laki yang diperbolehkan mengawini perempuan-perempuan ahli kitab, seperti Yahudi dan Nasrani, serta tidak bertentangan juga dengan surat-surat yang lainnya seperti surat an-Nisa>’ ayat 22, 23 dan 24.
Sedangkan syarat khususnya, Ramulyo menyebutkan tujuh poin, yaitu kedua calon mempelai, akil baligh dan sehat baik jasmani maupun rohani, adanya persetujuan kedua calon mempelai, wali nikah, dua orang saksi, mahar dan yang terakhir adalah ija>b dan qabu>l[90]). Namun, lain halnya dengan Djamaan, menurutnya, syarat sahnya sebuah pernikahan ada 2, yaitu pertama, perempuan yang akan dinikahi halal atau tidak haram untuk dinikahi, baik untuk sementara maupun untuk selamanya. Kedua, akad nikahnya dihadiri oleh dua orang saksi[91]).
Kamal Mukhtar tidak membagi Syarat perkawinan kepada syarat umum dan syarat khusus melainkan membedakan antara syarat dan rukun perkawinan. Tetapi, Kamal menyebutkan tiga poin yang menjadi syarat dari akad[92]), yaitu : Pertama : Kesanggupan dari kedua calon mempelai untuk melaksanakan akad nikah. Kedua: Calon mempelai bukanlah orang-orang yang terlarang untuk melaksanakan perkawinan[93]). Ketiga : Calon mempelai adalah orang-oarang yang sejodoh, sehingga ada keharmonisan dan perkawinan dapat mencapai tujuannya. Sedangkan yang menjadi rukun akad ialah segala hal yang wajib ada dalam pelaksanaan akad, yaitu shigat akad, maskawin, dua orang saksi, wali pihak calon mempelai perempuan dan perwakilan[94]). Adapun rukun dari sebuah perkawinan menurut Sulaiman Rasyid adalah pertama adanya shigat yaitu perkataan dari pihak wali perempuan dan dijawab oleh mempelai laki-laki, kedua adanya wali mempelai perempuan, ketiga adanya dua orang saksi[95]). Sedangkan perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinana tersebut dinyatakan batal.
Demikian juga dengan Mawardi yang menuangkan syarat dan rukun perkawinan dalam pasal 9-19, di antaranya adalah[96]) :
1. Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab qabul
2. Aqad nikah harus dilakukan dalam satu majlis dan didengar oleh kedua belah pihak
3. Aqad nikah harus dihadiri oleh dua orang saksi
4. Dilangsungkan dengan wali pihak perempuan atau wakilnya dengan calon mempelai laki-laki
5. Diucapkan dengan lisan tidak dengan tulisan, dan lain-lain.
Al-Gaza>li> dalam bukunya Menyingkap Hakikat Perkawinan tidak membedakan antara syarat dan rukun perkawinan. Menurutnya terdapat empat rukun dan syarat yang harus dipenuhi demi sahnya perkawinan[97]), yaitu :
1. Adanya izin dari wali calon istri atau dari penguasa negeri apabila tidak ada wali yang sah.
2. Adanya kerelaan dari calon mempelai perempuan. Hal ini berlaku bagi perempuan yang berstatus janda dan telah cukup umur (balig). Atau seorang gadis yang telah cukup umur apabila yang bertindak sebagai walinya bukan ayah kandungnya sendiri atau kakeknya.
3. Adanya dua orang saksi yang dikenal luas sebagai orang-orang baik (yakni orang yang adil). Apabila keadaan keduanya tidak dikenal, boleh juga diterima kesaksian mereka selama hal itu memang sangat diperlukan.
4. Adanya lafal ija>b dan qabu>l yang bersambungan (tidak terputus antara keduanya dengan ucapan-ucapan lain yang tidak ada hubungannya). Ija>b dan qabu>l haruslah dengan lafal “ menikahkan”, “ mengawinkan” atau dalam bahasa lain yang mengandung makna seperti itu. Lafal ijab dan qabul harus diucapkan oleh dua orang laki-laki dewasa, yaitu calon suami dan wali dari calon istri atau wakil-wakil dari keduanya.
Begitu juga Sajuti Thalib, bahkan ia tidak menjelaskan tentang syarat dan rukun perkawinan, ia hanya menyebutkan beberapa hal-hal yang berkaitan dengan akad nikah, yaitu, ija>b qabu>l, wali pihak perempuan, persetujuan kedua mempelai, calon mempelai laki-laki dan dua orang saksi[98]). Namun ia menambahkan satu hal yang seharusnya menjadi catatan, yaitu yang mengucapkan ijab seharusnya adalah calon mempelai laki-laki bukan pihak calon mempelai perempuan atau walinya seperti yang selama ini telah terjadi, dengan mengatakan; “Keadaan yang sedemikian itu menurut pemikiran saya adalah terbalik. Seyogyanya hendaklah pihak calon mempelai perempuan yang menyatakan penerimaan atas ikatan perkawinan itu”[99]).
Menurut Khalil Rahman, sebagaimana yang dikutip oleh Rafiq, syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, seperti; dewasa, beragama Isla>m, berakal, jelas orangnya, dan lain-lain. Selanjutnya ia mengemukakan lima rukun yang harus ada dalam suatu perkawinan, yaitu calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul[100]). Demikian juga dengan Zuhdi, menurutnya, syarat-syarat perkawinan juga mengikuti rukun-rukunnya, dan kemudian ia membagi rukun perkawinan menjadi 5 macam, yaitu; calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali nikah, dua orang saksi dan sigat (akad) ija>b dan qabu>l[101]).
Lain halnya dengan Mahmud, menurutnya, rukun dalam akad nikah ada dua macam yaitu ija>b dan qabu>l. Ija>b adalah ungkapan pertama yang diucapkan oleh pelaku akad nikah sebagai penawaran untuk membuat ikatan hidup berkeluarga. Adapun qabu>l ialah ungkapan dari pihak kedua[102]), sebagai jawaban dari ungkapan pihak pertama, yang menyatakan kerelaannya (pihak kedua) untuk hidup bersama dengan pihak pertama. Kemudian, bila kedua rukun tersebut telah dilaksanakan maka ikatan perkawinan pun telah sah dan kedua belah pihak telah resmi menjadi suami istri. Dalam hal ini Mahmud tidak membagi syarat dan rukun perkawinan secara sendiri-sendiri, menurutnya bila kedua rukun tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan syarat sahnya maka akad nikah tersebut telah terlaksana dan memenuhi syarat[103]).
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sebagai peraturan yang diakui dan dijadikan landasan oleh pemerintah Indonesia dalam melaksanakan ketentuan perkawinan antara umat Isla>m, mengatur syarat-syarat perkawinan dalam bab II pasal 6 yang terdiri dari 6 ayat sebagai berikut[104]) :
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam kedaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, oarng yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalan ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menetukan lain.
Selain terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi, dalam suatu ikatan perkawinan juga terdapat beberapa asas yang harus dilaksanakan[105]), di antaranya adalah (1) kesukarelaan antara kedua calon mempelai dan keluarganya, (2) persetujuan antara kedua belah pihak, (3) kebebasan memilih pasangan, (4) kemitraan suami istri, (5) untuk selama-lamanya, (6) monogami terbuka, maksudnya diperbolehkan poligami asal memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan.
D. Akibat Hukum Perkawinan
Perkawinan yang dipandang sah di mata hukum adalah perkawinan yang pelaksanaannya didasarkan pada ketentuan Undang-undang atau peraturan-peraturan yang berlaku yakni hukum Isla>m. Kemudian setelah perkawinan tersebut dilaksanakan dan dinyatakan sah oleh hukum, maka dengan sendirinya akan menimbulkan dan menciptakan hukum baru yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh pasutri tersebut. Selanjutnya hukum baru yang timbul dari adanya perkawinan tersebut disebut dengan akibat hukum. Pada dasarnya akibat hukum dari suatu perkawinan ada dua macam yaitu akibat hukum yang ditimbulkan dari akad perkawinan yang sah dan akibat hukum yang timbul karena berakhirnya suatu perkawinan. Namun, dalam hal ini penyusun hanya akan menguraikan akibat hukum yang timbul akibat perkawinan yang sah.
Diantara akibat hukum yang timbul dari adanya perkawinan sah adalah adanya hak dan kewajiban yang melekat secara individu maupun bersama pada pasangan suami istri. Yang dimaksud dengan hak disini adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu dan bagi yang memiliki hak berhak untuk mempertahankan haknya tersebut. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang wajib diamalkan atau dilakukan[106]), bila tidak maka akan dikenakan sanksi bisa berupa moral maupun material.
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan rumah tangga. Dalam suatu rumah tangga, baik suami maupu istri mempunyai hak yang bisa dimiliki dan harus dilakukan olah pasangannya dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini ada hak dan kewajiban bersama, hak istri yang menjadi kewajiban suami dan hak suami yang menjadi kewajiban istri. Di antara hak dan kewajiban bersana antara suami istri adalah :
1. Halal saling bergaul dan mengadakan hubungan seksual.
2. Haram melakukan perkawinan, maksudnya, suami tidak diperbolehkan menikah kembali (bila ingin berpoligami) dengan saudara istrinya demikian juga istri dilarang menikah lagi (poliandri).
3. Hak mendapatkan waris bila salah seorang (suami atau istri) meninggal.
4. Sahnya menasabkan anak kepada suami[107]).
5. Wajib saling menghormati, mempercayai dan berlaku jujur.
6. Menyimpan rahasia rumah tangga.
7. Saling setia terhadap perjanjian ikatan perkawinan, dan lain-lain[108]).
Hak istri yang sekaligus menjadi kewajiban suami dibagi menjadi 2 macam yaitu, hak kebendaan, terdiri dari maskawin atau mahar dan nafkah, hak rohaniah, yaitu dapat giliran secara adil, bagi suami yang berpoligami[109]), dan menahan nafsu amarah[110]). Selain itu, masih terdapat beberapa kewajiban suami terhadap istrinya yang berkaitan dengan sikap, di antaranya adalah memperhatikan dan menjaga istri dengan baik, mencukupi belanja keperluan rumah tangga, bersabar dalam mengahadapi kekurang-kekurangan istri, berdandan yang bersih dan rapi dihadapan istri dan sebagainya[111]).
Sedang kewajiban istri yang sekaligus menjadi hak suami, diantaranya adalah taat dan patuh dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan ma’siat, memperlihatkan sikap yang baik dengan tidak memperlihatkan cemburu dihadapan suami, tidak menambah kesulitan suami, dapat mengatur rumah tangganya dengan baik[112]), baik ketika suami berada di rumah maupum tidak dan suami berhak menceraikan istrinya bila dirasa tidak ada kecocokan lagi[113]).
Disamping beberapa hak dan kewajiban di atas masih ada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain, baik yang melekat pada masing-masing individu maupum yang melekat pada kedua pasangan suami istri. Diantara hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami istri ialah; kedua belah pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan baik lahir maupun batin. Sedangkan hal-hal yang menjadi kewajiban suami adalah melindungi istri dan mencukupi segala keperluan hidupnya. Dan yang menjadi kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga dengan baik[114]).
Zahri berpendapat bahwa Isla>m membagi akibat hukum yang timbul dari akad perkawinan yang sah menjadi beberapa bagian[115]), yaitu :
1. Hubungan kelamin yang semula (sebelum nikah) diharamkan menjadi halal setelah adanya akad dan mejadi suami dan istri.
2. Menjadi tetapnya hak mahar (maskawin) bagi istri yang wajib bagi suami.
3. Timbulnya kewajiban nafkah pada suami terhadap istrinya baik yang bersifat materiil maupun immateriil disaming timbulnya hak suami yang harus ditunaikan oleh istri.
4. Timbulnya kewajiban pada istri terhadap suami disamping timbulnya hak istri yang harus ditunaikan oleh suami.
5. Tetapnya nasab bagi anak yang dilahirkan yaitu menjadi anak yang sah menurut hukum.
6. Timbul keharaman bagi istri untuk kawin lagi dengan laki-laki lain (poliandri).
7. Menjadi tetapnya hak saling mawarisi antara suami dan istri, jika salah satu dari keduanya meninggal dunia.
Menurut Akhmad Kuzari, akibat hukum dari sahnya perkawinan tersebut adalah berupa hak dan kewajiban yang mengikat kedua belah pihak baik yang ada pada suami saja, istri saja maupun mengikat keduanya[116]). Mengenai hak dan kewajiban yang ada pada keduanya secara bersama adalah bebas bergaul (behubungan badan) kecuali di siang hari dalam bulan bulan Ramadhan dan ketika ihram, kerja sama dan musyawarah. Sedangkan dalam Asas-asas Hukum Islam tentang perkawinan, Kamal Mukhtar menyebutkan empat dari pada hak dan kewajiban suami istri yaitu nafkah, had}anah, menyusukan anak dan bergaul[117]).
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai kodifikasi hukum Isla>m mengatur hak dan kewajiban suami istri dalam pasal 77 ayat 1-5[118]), yaitu :
(1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dari susunan masyarakat.
(2) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
(3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
(4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
(5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Dalam suatu perkawinan yang sah menurut hukum, selain menimbulkan hak juga terdapat beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami istri, baik secara individu maupun bersama, sebagaimana yang telah penyusun jelaskan di atas. Di antara tugas atau kewajiban yang harus ditunaikan bersama tersebut yaitu; menyempurnakan cinta, saling membahagiakan, membentuk persekutuan hidup yang penuh cinta, menurunkan dan mendidik anak, turut membangun masyarakat dan mengembangkan umat yang seiman[119]), saling menghormati, memelihara kehormatan masing-masing, menegakkan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera[120]).
Dalam ajaran Isla>m, seorang suami berkewajiban memenuhi tiga kebutuhan pokok rumah tangga, yaitu sandang, pangan dan papan, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’a>n[121]) : …وعلى المولودله رزقهن وكسوتهن بالمعروف …. Sedangkan hal-hal yang menjadi kewajiban istri dan merupakan hak suami adalah mengurus dan menyelenggarakan rumah tangga, mendidik anak dan melayani suami dengan baik. Hal ini juga terdapat dalam firman Alla>h yang berbunyi [122])...فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله …. Ayat ini juga menerangkan, bahwa istri wajib memelihara diri terutama ketika suami sedang pergi. Selain itu, masih terdapat satu hal lagi yang menjadi kewajiban istri, yaitu istri wajib memimpin dan mengatur sikap dan akhlak anggota keluarga sehingga dapat berakhlak sebagaimana akhlak Rasu>lulla>h saw.[123]).
Demikian juga dengan Mahmud, ia mengklasifikasikan hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban suami-istri, yang timbul dari perkawinan sah, baik secara individu maupun bersama sebagai berikut :
1. Hak-hak istri atas suaminya[124]), hak ini dapat dibagi menjadi 6 macam;
One. Keseimbangan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban, maksudnya istri mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang dengan apa yang didapatkan suaminya.
Two. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang patut meskipun suami dalam keadaan tidak senang.
Three. Berhiasnya suami demi istrinya dan perlakuan baik terhadapnya.
Four. Hak untuk mendapatkan bantuan dalam pekerjaan sehari-hari.
Five. Hak untuk diperhatikan kritiknya dengan lapang dada.
Six. Memejamkan mata atas sebagian kekurangan istri.
2. Hak-hak suami atas istrinya[125]), di antaranya adalah :
One. Istri harus taat pada suami.
Two. Istri harus menjaga dan mengelola harta suaminya dengan baik.
Three. Dalam keadaan yang sulit, suami boleh memakai harta istrinya atau istrinya harus bersabar diasaat suami sedang mengalami kesusahan.
Four. Istri tidak diperkanankan memberikan sesuatu dari harta suaminya tanpa izin terlebih dahulu.
Five. Tanpa seizin suami, istri tidak boleh melakukan puasa sunnah dan memasukkan orang ke rumah.
Six. Mengatur urusan rumah tangga dengan baik.
3. Kewajiban-kewajiban bersama antara suami-istri, hal ini juga dibagi menjadi beberapa bagian[126]), yatu;
One. Menanamkan pendidikan agama pada anak
Two. Menjaga kehormatan keluarga, dan
Three. Saling berhias dan menjaga kehormatan
Untuk mencapai sebuah keluarga yang diidam-idamkan, maka masing-masing pihak, dalam hal ini suami istri, haruslah mengerti, sadar dan melaksanakan hal-hal yang menjadi kewajibannya. Demikian juga dengan suami, ia juga harus memenuhi dan melaksanakan kewajibannya dengan baik. Tidak hanya suami istri, anak-anaknya yang diperoleh dari perkawinan tersebut juga harus mulai diajari untuk melakukan hal-hal yang menjadi kewajibannya. Bila semua terlaksana dengan baik sebagaimana seharusnya, maka akan terciptalah keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Masyarakat sekarang semakin sadar akan adanya cinta dalam suatu perkawinan. Perkawinan tidak hanya dipandang sebagai lembaga yang menghalalkan coitus melainkan juga dan terutama sebagai persekutuan hidup antara laki-laki dan perempuan yang didasari oleh cinta. Sebab, perkawinan yang dilakukan dengan terpaksa tanpa adanya cinta kasih dari kedua belah pihak (suami-istri), pada umumnya tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu, sebagian orang beranggapan bahwa adanya masa perkenalan dan pengembangan cinta sebelum perkawinan kini dianggap semakin penting. Selain itu, saling mencintai juga termasuk dalam kewajiban bersama suami istri sebagaimana di atas.
Namun, terlaksana atau tidaknya prinsip-prinsip dasar berumah tangga, seperti tersebut di atas, serta terpenuhinya kebutuhan esensial mereka tergantungan pada tantangan yang menghantam bahtera perkawinan dan kematangan dari pasangan itu sendiri. Sebab, tangguh tidaknya suatu perkawinan baru dapat dibuktikan setelah mereka mampu bertahan terhadap hantaman persoalan secara terus menerus. Dan apakah persoalan tersebut dapat mengganggu stabilitas perkawinan atau tidak, tergantung sikap yang diambil oleh masing-masing individu yang terkait.
BAB III
PERKAWINAN WARIA DAN PROBLEMATIKANYA
Undang-undang hanya mengenal istilah laki-laki dan perempuan, selain itu, undang-undang juga hanya mengatur perkawinan yang dilakukan dengan lawan jenis kelamin, yakni antara laki-laki dan perempuan. Undang-undang tidak mengatur perkawinan yang dikakukan oleh sesama jenis kelanin, misalnya, antara perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki dan waria dengan laki-laki. Meskipun telah terdapat lembaga tertentu yang mau menikahkan laki-laki dengan laki-laki (gay), setelah beberapa negara Eropa melegalkan pernikahan ini. Namun di Indonesia, pernikahan semacam ini tetap belum dapat diakui keabsahannya sehingga belum mempunyai kekuatan hukum.
Waria merupakan istilah yang ada dan dipakai oleh masyarakat untuk memanggil laki-laki yang berdandan dan bertingkah sebagaimana perempuan yang diartikan dengan wanita pria atau wanita tetapi pria. Dan istilah lain yang digunakan untuk menyebut waria adalah wadam, wandu dan banci. Oleh karena itu, apabila ada laki-laki yang lembut seperti manita sering disebut banci.
Kehadiran waria yang sering disebut sebagai kaum ketiga memang masih menjadi perdebatan hingga saat ini, terutama dalam masalah perkawinan. Sebagaimana diketahui, bahwa pada umumnya perkawinan dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin yaitu antara laki-laki dan perempuan, sesuai dengan salah satu tujuan perkawinan yaitu memperoleh keturunan yang sah[127]). Tetapi tidak setiap perkawinan membuahkan keturunan. Bagi sebuah keluarga yang tidak dapat menghasilkan atau tidak mempunyai keturunan biasanya mengadopsi anak dari saudaranya, panti asuhan atau dari keluarga yang tidak mampu.
Demikian juga dalam “perkawinan” waria, sebab tidak mungkin seorang waria dapat melahirkan walaupun telah melakukan operasi kelamin, karena waria tidak mempunyai dan tidak mungkin dibuatkan rahim juga indung telur sebagaimana yang dimiliki seorang perempuan. Jadi, salah satu solusi waria ketika memutuskan untuk berkeluarga dan merasa telah siap baik secara materiil maupun immateriil adalah dengan melakukan adopsi[128]) atau merawat anak suami atau lekongnya, bila ada, dengan harapan sama dengan orang tua pada umumnya, yaitu agar ada yang mengurusinya jika kelak sudah tua disamping adanya naluri keibuan yang dimilikinya.
Namun pada umumnya, seorang waria bila belum benar-benar merasa siap terutama secara ekonomi, tidak akan melakukan adopsi. Hal ini disebabkan karena bagi mereka anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dirawat dengan baik. Oleh karena itu, maka mereka harus bisa memberikan pendidikan yang layak dan juga bisa menjadi teladan yang baik bagi anak adopsinya –sebagaimana yang dikatakan YS, dengan tidak keluar malam lagi misalnya, sebab bila masih keluar malam akan memberikan contoh yang tidak baik bagi seorang anak. Bila seorang waria telah merasa siap untuk melakukan adopsi, biasanya mereka lebih memilih mengadopsi keponakan mereka sendiri atau mengadopsi dari orang yang tidak mampu dengan cara membiayai ibu yang hamil tersebut mulai dari proses kehamilan hingga melahirkan.
A. Latar Belakang Kehidupan Waria
Dunia waria, wadam atau banci bagi banyak orang merupakan bentuk kehidupan anak manusia yang cukup aneh. Sebab, sosok waria yang dikenal lekat dipikiran orang adalah sosok yang biasa genjrang genjreng di jalan dan akrab dengan kehidupan malam sebagai pekerja seks komersial (PSK). Pekerjaan sebagai penjaja seks di kalangan waria disebut nyebong, sedang pekerja seks di kalangan gay disebut kucing. Sehingga diindikasikan bahwa penyakit-penyakit mematikan – sering juga disebut penyakit kutukan – seperti penyakit kelamin dan aids banyak menyerang kaum ini.
Sebagai sebuah kepribadian, kehadiran seorang waria merupakan satu proses yang panjang, baik secara individu maupun sosial. Secara individual, lahirnya perilaku waria tidak lepas dari satu dorongan yang kuat dari dalam dirinya, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikisnya. Hal ini, menimbulkan konflik psikologis dalam diri mereka. Sehingga membuat mereka mempresentasikan perilaku yang oleh kebanyakan orang dianggap menyimpang. Di lain pihak, mereka juga dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai pelecehan[129]). Hal ini disebabkan karena belum semua anggota keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadiran mereka. Kehadiran waria seringkali dianggap sebagai aib, sehingga mereka sering dicemooh, dilecehkan dan bahkan dikucilkan.
Kendala hidup sebagai waria, bila dilihat dalam konsepsi Berger, sebagaimana yang dikutip oleh Koeswinarno, mengandung dua implikasi yang berjalan sejajar[130]), yaitu :
Pertama, karena sebelumnya masyarakat telah memberikan makna tertentu terhadap dunia waria, maka dengan sendirinya ketika seorang waria mempresentasikan perilakunya secara langsung atau tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan makna yang diberikan masyarakat.
Kedua, batasan-batasan makna dunia waria sendiri dapat berakar dari presentasi perilaku waria yang hadir dan ditangkap oleh masyarakat. Akibatnya terjadi proses dialektika antara dunia waria dengan masyarakat pada umumnya.
Beberapa ahli pada umumnya tidak membagi waria secara tersendiri, namun dari wawancara yang penyusun lakukan para waria di Yogyakarta cenderung membedakan antara waria dengan transeksual. Menurut mereka, transeksual mengalami peperangan atau ketidak cocokan antara kondisi fisik dengan psikologinya, yang mengakibatkan adanya keinginan untuk mengganti kalaminnya sesuai kondisi jiwanya melalui operasi. Sedangkan waria, meskipun ada kesenjangan antara kondisi fisik dan psikologinya namun mereka bisa menerima kondisinya tersebut dan tidak ingin melakukan operasi pergantian kelamin guna menyelaraskan fisik dan jiwanya. Demikian juga menurut Yash – dari wawancara yang dia lakukan dengan waria di Yogyakarta – bahwa waria tidak memenuhi kriteria sebagai transeksual[131]).
Mengintip kehidupan kaum waria tidak sesederhana orang mendefinisikan. Waria yang sebenarnya adalah mereka yang menderita transeksual atau mengalami transgender, yakni individu yang secara psikis menolak kelamin fisiknya[132]). Oleh karena itu, masyarakat umum biasanya tidak membedakan antara transeksual, homoseksual, dan transvestit. Hal ini disebabkan karena tingkat kesulitan untuk membedakannya. Sebab bila dilihat sekilas mereka adalah sama-sama pelaku seks sejenis, kecuali transvestit yang bersifat hetero meskipun terkadang juga homo. Namun bila diteliti lebih mendalam mereka berbeda dan tidak terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Satu hal yang membedakan antara kaum waria dan homoseks adalah dalam hal berpakaian. Seorang homoseks tidak perlu berpenampilan dengan memakai pakaian perempuan karena kaum homoseks memang tidak menganggap dirinya sebagai perempuan. Berbeda dengan waria yang menganggap bahwa dirinya perempuan karena sebuah dorongan psikhis, sehingga mereka perlu memakai pakaian dan berpenampilan sebagaiaman seorang perempuan (cross dressing), hal ini juga berlaku pada kaum transeksual. Sedangkan kaum transvestit memakai pakaian lawan jenisnya dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasan biologis.
Waria dan gay merupakan kaum yang sama-sama melakukan hubungan seks sejenis, namun satu hal yang membedakan mereka adalah seorang waria ketika melakukan peranan seksnya lebih memposisikan diri sebagai perempuan sedang gay tidak demikian. Seorang homoseks secara fisik maupun psikis sangat mapan dengan jenis kelamin yang mereka miliki. Mereka laki-laki dan berperilaku sebagaimana laki-laki. Akibatnya, ekses perilaku kaum waria jauh lebih kompleks dibanding dengan kaum homoseksual[133]).
Pada umumnya gejala kewariaan telah dirasakan oleh seorang waria sejak ia masih kecil. Namun sebagian di antara mereka biasanya belum sadar dan tahu keanehan apa yang terjadi pada dirinya. Dengan berjalannya waktu biasanya mereka mulai berusaha mencari hingga kemudian menyadari siapa dan bagaimana dirinya yang sebenarnya. Dari sini, kehidupan mereka sebagai waria akan mereka mulai, meskipun awalnya kebanyakan keluarga mereka menentang dan bahkan menikahkan mereka dengan seorang perempuan dengan harapan mereka bisa disembuhkan. Namun, kebanyakan usaha tersebut mengalami kegagalan dan meskipun dengan berat hati akhirnya keluarga bisa menerima mereka dengan segala kekurangan mereka.
Bila pihak keluarga tetap tidak bisa menerima keberadaan mereka, maka biasanya mereka akan cenderung menyembunyikan keberadaan mereka yang sebenarnya pada keluarganya. Sebagaimana yang dialami Weni, karena kefanatikan hingga sekarang keluarga Weni tidak mengetahi bahwa Weni selama ini telah menjalani hidup sebagai waria. Keluarga Weni menganggap dan berharap bahwa Weni adalah laki-laki yang bersifat feminin, dengan selalu berpesan kepada Weni agar bersikap biasa saja, sehingga Weni juga cenderung menutup diri kepada keluarganya.
Dalam konteks suku laut, yang menjadi asal muasalnya kepribadian waria adalah kelainan atau dorongan psikis bahwa dirinya adalah perempuan yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Oleh karena itu, mereka juga berpenampilan selayaknya perempuan. Kelainan psikis yang mereka rasakan pada usia kanak-kanak tersebut merupakan salah satu indikasi munculnya kepribadian waria[134]).
Meskipun pada umumnya, sebelum seorang waria menemukan dan memutuskan untuk menjalani hidup sebagai waria, mereka mengalami proses pencarian jati diri yang mungkin sangat melelahkan, namun ada juga yang tanpa mengalami proses pencarian jati diri karena ia telah sadar dan menemukan dirinya sebagai waria sejak kecil, sebagaimana yang dialami oleh Maya dan Emy misalnya. Pengaruh keluarga dan lingkungan pada Maya dan Emy, sangat dimungkinkan dalam perkembangan mereka sebagai waria. Sebab mereka mengaku bahwa sejak kecil mereka sering diperlakukan seperti perempuan. Ketika masih kecil Emy sering didandani oleh kakak perempuannya dan dipakaikan baju perempuan. Sedangkan Maya selalu dibelikan rok oleh bapaknya ketika pulang dari bepergian. Selain itu, di sekolah Maya juga diperlakukan seperti perempuan oleh teman-temannya, setelah selesai belajar kelompok malam hari Maya selalu diantarkan pulang oleh teman laki-lakinya misalnya, padahal hal yang sama tidak berlaku bagi teman laki-laki Maya yang lain.
Berbicara mengenai waria, tidak bisa dilepaskan dengan orientasi seks yang dilakukan. Ketika dilihat secara fisik, maka seolah-olah waria adalah homo, karena ia tertarik pada sesama jenisnya. Namun, bila dilihat secara spikologis, maka ia adalah hetero karena tertarik pada lawan jenisnya yaitu laki-laki, walaupun dengan kondisi fisik laki-laki. Kemudian, dengan kondisi yang “serba salah” tersebut, bagaimana seorang waria melaksanakan pernikahannya. Apakah harus melakukan operasi pengubahan kelamin guna menyesuaikan dengan kondisi psikologisnya, lalu baru bisa melangsungkan perkawinan, sebagaimana yang dilakukan artis kenamaan Dorce. Namun, Fais – seorang transeksual perenpuan ke laki-laki – mengatakan bahwa ia adalah hetero karena tertarik pada perempuan, justeru bila terarik pada laki-laki ia bisa dikatakan homo[135]).
Bila diperhatikan lebih lanjut, keberadaan status waria sebagai kaum marjinal tersebut bukan atas kehendak mereka ataupun karena lingkungan yang mempengaruhi. Asumsi ini berdasarkan pada apa yang terjadi dan dapat dilihat pada Syaiful (salah satu tokoh gay di Malang), misalnya, yang mengatakan bahwa waria, gay maupun lesbi tidak terbentuk dari lingkungan. Dengan perkataan lain, lingkungan tidak pernah mempengaruhi terciptanya waria, gay maupun lesbi tetapi hanya memberikan peluang. Dari peluang itu, selanjutnya mereka berusaha mencari jati dirinya dan kemudian menemukannya dalam bentuk lain, yaitu waria, gay dan lesbi[136]). Padahal, untuk diketahui, Syaiful terlahir dan tumbuh dalam lingkungan sebuah keluarga muslim yang taat. Sejak kecil ia mengenyam pendidikan agama yang ketat di pondok pesantren milik kakeknya di Pasuruan. Namun, lingkungan yang telah mendidiknya begitu ketat tersebut ternyata tetap tidak bisa menghalanginya untuk menjadi seorang gay atau homo. Dalam proses pencarian jati diri selanjutnya, dia juga mencoba untuk menjadi waria, namun tidak bisa karena dirinya memang bukan terlahir sebagai waria melainkan gay.
Kebanyakan waria di Indonesia terjebak pada pekerjaan pelayanan seks atau yang biasa disebut PSK (pekerja seks komersial). Hal ini disebabkan sulitnya mencari partner pemuas seks dan alasan ekonomi, sebab kebanyakan orang tua bersikap negatif menanggapi perubahan tingkah laku anaknya, sehingga mereka memilih pergi dari rumah walaupun tanpa bekal ketrampilan. Apologi inilah yang sering digunakan waria kenapa ia bekerja sebagai PSK, namun tidak sedikit juga waria yang bekerja di salon atau bergabung dengan LSM. Hingga sekarang, meskipun sudah banyak masyarakat yang telah dapat menerima keberadaan waria, tetapi ada juga orang yang masih beranggapan bahwa seolah-olah waria adalah alien yang tersesat di bumi.
Padahal bila dicermati lebih mendalam, hal paling mendasar yang mengakibatkan perbedaan dalam diri manusia adalah karena penciptaan manusia secara umum tidak bisa lepas dari keterlibatan orang tua dalam proses reproduksi, yang sangat mempengaruhi kondisi atau bentuk fisik dan psikis anak yang dilahirkannya[137]). Bila umur seorang ibu dalam proses reproduksi terlalu muda maka dapat mengakibatkan otak anak yang dilahirkannya kurang cerdas. Begitu juga sebaliknya bila umur ibu terlalu tua maka anak yang dilahirkannya secara fisiologis maupun psikologis kurang sempurna, misalnya secara fisik ia seorang laki-laki tapi secara psikologis ia seorang wanita, atau biasa disebut waria (wanita-pria). Selain itu, fantasi seorang ibu ketika hamil atau proses reproduksi juga sangat mempengaruhi perkembangan kejiwaan anak, sebagaimana yang terjadi pada Chenny Han[138]).
Merlyn dan Vinolia (tetua waria Yogyakarta) serta waria pada umumnya mengatakan, bahwa sejak kecil mereka sudah merasa bahwa dirinya bukanlah laki-laki, tetapi mereka tidak berani mengatakan bahwa mereka perempuan, karena mereka tahu bahwa perempuan memiliki vagina sedangkan mereka memiliki penis. Setelah menginjak dewasa dan setelah melalui proses pencarian yang panjang mereka baru bisa menemukan jati dirinya dalam bentuk waria. Namun, mereka tidak menyesali atau megutuk Tuhan tidak adil, walaupun sikap masyarakat sangat tidak arif pada mereka. Mereka juga mengatakan bahwa waria bukanlah penyakit turunan, karena tidak ada satupun dari leluhurnya yang berstatus waria.
Kondisi kaum waria memang sangat berbeda dengan jenis-jenis kondisi seksual lainnya yang masih serumpun seperti : homo, lesbi[139]), pedofilia[140]), dan lain sebagainya. Menurut FX. Rudi Gunawan, sebagaimana yang dikutipnya dari pasangan pakar seks, William H. Master dan Virginia E. Johnsons, menurutnya terdapat tiga faktor utama yang dapat menyebabkan lahirnya seorang waria sebelum kelahiran[141]). Ketiga faktor itu adalah pertama, disebabkan oleh terjadinya kelainan kromosom[142]) seks. Kedua, terjadi karena kondisi genetik yang berbeda atau faktor hereditas (bawaan) yang disebabkan ketidak-seimbangan hormon-hormon seks. Dan yang ketiga, karena pengaruh obat-obatan yang diminum sang ibu selama masa kehamilan. Jadi seseorang yang terlahir sebagai waria karena ketiga sebab di atas tidak dapat disalahkan. Justru disana dapat dilihat kebesaran Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan berbagai macam bentuknya.
Kromosom yang ada dalam tubuh sangat berpengaruh pada proses pembentukan jenis kelamin manusia, kromosom X membawa gen-gen yang menentukan sifat perempuan dan kromosom Y merupakan kromosom yang memiliki gen-gen untuk sifat laki-laki. Dalam sel tubuh manusia mengandung 46 buah kromosom, yakni terdiri dari 44 (= 22 pasang) kromosom autosom[143]) pembawa watak dan 2 (=1 pasang) kromosom kelamin[144]) atau penentu jenis kelamin[145]). Seorang perempuan normal memiliki satu pasang kromosom atau dua kromosom-X (XX), maka ia memiliki satu kromatin kelamin dan dinamakan kromatin positif. Sebaliknya laki-laki normal hanya memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y, jadi ia tidak memiliki kromatin kelamin[146]) sehingga dinamakan kromatin negatif.
Namun tidak semua perempuan memiliki kromosom XX, begitu juga laki-laki tidak selalu memiliki kromosom XY. Perempuan yang mempunyai kelainan kromosom kelamin disebut sindrom turner atau ovaricular dysgenesis yaitu individunya perempuan, tetapi ia kehilangan sebuah kromosom-X sehingga hanya memiliki 45 kromosom, dengan formula kromosom 22AAXO, karena ia kehilangan satu kromosom-X maka ia cenderung akan kehilangan ciri keperempuanannya. Hal ini terjadi karena ovum yang tidak mengandung X dibuahi oleh kromosom-X[147]). Sedangkan kelainan pada laki-laki disebut sindrom klinefelter atau testicular dysgenesis, yaitu individunya laki-laki , ia kelebihan sebuah kromosom-X, sehingga memiliki 47 kromosom, dengan formula kromosom 22AAXXY[148]). Biasanya gen dominan memperlihatkan pengaruhnya pada individu laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana kasus di atas, maka laki-laki yang memiliki kromosom XXY akan cenderung seperti perenpuan karena kromosom-X lebih dominan dari pada kromosom-Y. Kemudian untuk mengetahui jenis kelamin embrio atau orang dewasa yang diragukan susunan genetisnya dapat dilakukan tiga macam tes yang populer dipakai untuk mengetes jenis kelamin yang sebenarnya sesuai dengan susunan genetis, yaitu sex chromatine, drumstick, kariotipe[149]).
Pada kasus waria yang disebabkan ketidak-seimbangan hormon, bukan sekedar kejiwaannya saja yang kewanita-wanitaan atau kelelaki-lakian, tetapi hormon yang mengalir dalam darahnya pun menunjukkan hal tersebut. Dalam Isla>m melalui hadi>s\ Rasu>lulla>h telah disinggung masalah disintegrasi identitas seksual kaum waria dengan pengharaman laki-laki menyerupai wanita dan wanita menyerupai laki-laki. Dalam hal transeksual dengan sebab seperti di atas, tidak ada salahnya untuk menghilangkan unsur fisik lainnya yang kurang dominan, dan memunculkan unsur fisik lain yang lebih dominan.
2nd. Waria dalam Berbagai Perspektif
Manusia terdiri atas raga dan jiwa yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, bila salah satunya menderita sakit maka penyakit tersebut akan mengenai keduanya (jiwa dan raga). Tetapi permasalahannya ialah bagian mana yang lebih besar dilibatkan, soma (raga) ataukah psikenya (jiwanya).
Fenomena waria, dalam psikologi disebut sebagai gejala abnormalitas seksual. Dan gejala abnormalitas ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan dan pengalaman seseorang. Hal ini selaras dengan pendapat beberapa ahli, sebagaimana dikutip oleh Koeswinarno, bahwa keadaan abnormalitas seseorang, apapun bentuknya, tidak dapat dipisahkan dari proses perkembangan manusia, sejak ia berada dalam kandungan, lahir dan dibesarkan di alam dunia[150]).
Pada mulanya orang mengira bahwa seksualitas dimulai dari masa pubertas atau masa remaja. Sebelum itu hasrat untuk memperoleh kepuasan seksual belumlah ada. Padahal tidaklah demikian, sebab di setiap tubuh manusia terdapat suatu kekuatan atau energi yang dapat digunakan untuk menggerakkan tubuh dan diarahkan oleh perasaan yang disebut ego. Ego mengarahkan energi untuk mencari makan dan minum, sedang impuls libido mengarahkan energi untuk mencari kepuasan seks. Perasaan ego disebut lapar dan haus, sedang perasaan seks disebut syahwat. Dan kedua perasaan – ego dan seks – tersebut merupakan kebutuhan manusia yang disebut nafsu[151]).
Seksualitas selalu terkait erat dengan obyek dan tujuan dilakukannya perbuatan seksual tersebut, baik seksualitas normal maupun abnormal. Pada umumnya perempuan dan laki-laki tertarik pada lawan jenisnya, perempuan tertarik pada laki-laki begitu pula laki-laki tertarik pada perempuan. Namun kenyataan membuktikan bahwa terdapat beberapa laki-laki yang tertarik pada sesama laki-laki (homoseks) dan perempuan tertarik pada perempuan (lesbian), selain itu ada juga, laki-laki yang berpenampilan dan berperilaku sebagaimana perempuan – biasa disebut waria – yang hanya tertarik pada laki-laki. Selain kelainan-kelainan di atas masih dikenal beberapa kelainan seksual yang lain, diantaranya ialah hyperseksualitas, hyposeksualitas atau frigiditas, impotensi, bestialitas, necrophylia, voyeurisme, troilisme, ekshibitionisme, incest[152]).
Untuk menganalisis kelainan-kelainan seksual tersebut diperlukan kajian yang mendalam hingga bisa diketahui penyebabnya sekaligus dicari solusi pencegahan dan menyembuhannya – bila dimungkinkan. Selain itu, dengan kajian mendalam tersebut juga diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kelainan-kelainan seksual di atas yang dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sebab kelainan-kelainan tersebut bukan merupakan penyakit keturunan yang hanya dapat dialami oleh orang – orang yang mempunyai keluarga atau orang tua yang memiliki kelainan seksual. Kebingungan masyarakat umum untuk membedakan orang yang benar-benar mengalami kalainan identitas seksual dan yang tidak, mengakibatkan mereka salah kaprah dalam memahami dan menilai keberadaan orang yang mengalami kelainan tersebut.
1. Abnormalitas Seksual dan Pandangan tentang Waria
Jenis kelamin suatu individu pada umumnya ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetis dan lingkungan[153]), kedua faktor tersebut terkait erat antara yang satu dengan yang lainnya, bila salah satunya abnormal maka karakter kelamin juga jadi abnormal. Jika susunan genetis normal, tapi ada kelainan dalam kehormonan atau suasana psikologis anak maka karakter kelamin setelah dewasa akan mengalami kelainan. Begitu pula jika susunan genetis abnormal, meski faktor lingkungan dijaga baik, karakter individu tersebut akan abnormal pula.
Selain itu, terdapat dua kelenjar buntu yang juga ikut mengatur karakter kelamin, yaitu hipofisa dan adrenal. Hipofisa ialah raja kelenjar buntu dalam tubuh, ia mengontrol gonad untuk menghasilkan gamet dan hormon kelamin. Sedangkan adrenal manghasilkan hormon kelamin, yang dengan gonad bersama-sama memelihara perimbangan dalam tubuh[154]), bila adrenal rusak maka perimbangan hormon kelamin jadi terganggu.
Kebutuhan seksual pada manusia dan binatang, dalam ilmu biologi terungkap lewat asumsi mengenai “insting seksual”. Diperkirakan, insting ini belum tampak selama masa kanak-kanak dan baru muncul dalam periode serta berkaitan dengan proses pematangan diri, yakni masa pubertas[155]). Kepercayaan ini, meski merupakan kekeliruan yang sudah lazim, memiliki konsekuensi yang sangat serius, terutama karena ketidak tahuan kita mengenai prinsip-prinsip fundamental kehidupan seksual.
Seks merupakan hadiah Tuhan dan salah satu kebutuhan manusia yang tidak bisa dikatakan kecil. Sehingga dalam al-Qur’a>n naluri seks ini disebutkan pertama kali dari nafsu-nafsu yang lain[156]). Tanpa seks manusia tidak dapat hidup sewajarnya, bahkan tidak dapat hidup secara sehat. Sebab seks adalah satu mekanisme bagi manusia agar mampu mengadakan keturunan. Oleh karena itu, Isla>m mengatur kebutuhan tersebut melalui perkawinan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Karena seksualitas mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian dan sikap atau watak sosial, yang berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksual[157]). Disamping itu, seksualitas bersifat relasional dan merupakan kategori sosial yang menentukan kedudukan seseorang dalam struktur masyarakat[158]) serta mencerminkan nilai-nilai dari masyarakat yanag bersangkutan.
Dalam masyarakat umum, individu yang telah matang secara seksual, pilihan obyek hanya dibatasi pada lawan jenis, dan sebagian besar pemuasan ekstra-genital dilarang dan dipandang sebagai perbuatan yang tidak wajar. Siapa pun harus menganut kehidupan seksual tunggal, tanpa menghiraukan berbagai perbedaan yang ada, apakah itu pembawaan dari lahir atau diterima dari luar (pengalaman masa kecil). Sehingga, kegiatan seksual yang tidak dalam kerangka sosial yang “lazim” pelakunya akan diancam rasa bersalah, bahkan oleh agama dikecam sebagai “dosa”.
Dalam memenuhi kebutuhan seks tersebut ada yang melakukannya dengan pasangan dan cara yang normal tetapi tidak sedikit pula yang melakukannya dengan pasangan dan cara yang tidak normal. Hubungan seks yang tidak menimbulkan efek yang merugikan baik bagi diri sendiri maupun bagi partnernya, tidak menimbulkan konflik-konflik psikis dan tidak bersifat paksaan[159]) serta tidak melanggar norma sosial dan hukum yang berlaku[160]) disebut dengan hubungan seksual yang normal. Sedangkan menurut Dr. Herbert Fens Terheim sebagaimana yang dikutip oleh Marzuki, hubungan seks yang normal ialah: “Anda melakukannya karena anda ingin melakukannya, baik untuk kepuasan diri atau untuk menyenangkan partner anda”[161] ).
Sebaliknya “ketidak wajaran seksual” (seksual perversion) , mencakup perilaku-perilaku atau fantasi-fantasi seksual di luar hubungan kelamin heteroseksual dan bertentengan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima[162]). Sehingga kondisi tersebut dirasakan sebagai kondisi yang tidak memuaskan dan sangat mengganggu. Selain itu, perilaku seksual menyimpang merupakan substitusi dari sebuah relasi kelamin heteroseksual yang pada umumnya bersifat kompulsif dan tegar menetap[163]).
Sedangkan abnormalitas seksual menurut Sigmund Freud adalah bila perversi tidak muncul bersamaan dengan tujuan dan objek seksual normal, di mana keadaan yang mendukung akan mengangkatnya dan kedaan yang tidak mendukung akan menghambat pencapaian tujuan seksual normal[164]). Sifat dari tujuan baru dalam perversi tetap menuntut adanya perhatian khusus. Beberapa kasus perversi sangat jauh berbeda dengan kondisi normal, hingga mau tidak mau, kita harus menyebutnya “abnormal”.
Namun masyarakat umum biasanya tidak membeda-bedakankan antara seks yang normal dan seks yang tidak normal sebagaimana di atas, karena kurang memahami seluk beluk permasalahannya. Akibatnya, mereka yang memang menderita kelainan mental seksual akan sangat menderita karena ejekan dan sikap sinis masyarakat yang ditimpakan kepada mereka. Padahal, walaupun mereka ingin berubah dan sudah berusaha menjadi normal seperti orang pada umumnya, tetapi mereka tidak mampu untuk bersikap seksual seperti orang-orang yang normal.
Penyimpangan-penyimpangan seksual tersebut disebabkan oleh beberapa hal – menganut teori komprehensif – yang dapat diringkas sebagai berikut [165]) :
One. Sebab genetis atau faktor-faktor konstitusional yang herediter atau predisposisional.
Two. Pengalaman pada masa kanak-kanak.
Three. Proses belajar pada masa kanak-kanak.
Four. Kejadian-kejadian yang berasosiasi dengan awal tingkah laku seksual pada usia pubertas dan adolesensi.
Dalam membagi abnormalitas dalam pemuasan dorongan seksual Kartono sependapat dengan Marzuki. Hanya saja Kartono, dalam pembagiannya tidak memuat faktor bawaan yang kembali dibagi menjadi dua bagian, yaitu abnormalitas seks yang diakibatkan oleh kelainan kromosom dan abnormalitas seks yang disebabkan selain kelainan kromosom, sebagaimana pembagian Marzuki[166]), dan pembagian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama, abnormalitas seks dilihat dari hasrat dan derajat kepuasannya, dapat dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut; prostitusi, promiscuity (hubungan seks bebas dengan banyak pasangan dan siapa saja), perzinahan, pemerkosaan, satiriasis/hyperseksualitas, frigiditas, dyspareunia (kesulitan bersenggama karena kesakitan), impotensi dan seterusnya.
Kedua, abnormalitas seks dilihat dari pasangannya dibagi menjadi; homoseksual, lesbianisme, bestiality (pemuasan seks dengan menggunakan binatang), nekrofilia (menggunakan mayat sebagai media pemuas seks), pedofilia, pornografi, incest, fetishisme (pemuasan seks dengan benda-benda tertentu), wifeswapping (tukar istri), dan sebagainya.
Ketiga, abnormalitas seks dilihat dari cara pemuasannya. Beberapa penyimpangan seks yang tergolong dalam kategori ini adalah; onani atau masturbasi, sadisme, masokhisme, vayeurisme (kepuasan seks didapat dengan cara melihat orang telanjang), ekshibisionisme (seks abnormal dengan cara memperlihatkan genitalnya pada orang lain), sodomi, transvestitisme, transeksualisme, seksualoralisme, triolisme, dan lain-lain.
Keempat, abnormalitas seks dilihat dari faktor bawaan, dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu; a. yang diakibatkan oleh kelainan kromosom, hal ini dibagi menjadi 3 macam; sindroma klinefelter, sindroma turner dan hermaphrodite, b. yang disebabkan selain kelainan kromosom, dibagi menjadi; pseudofemale, pseudomale, female-pseudohermaphrodite, male-pseudohermaphrodite dan hipogonadisme[167]).
Demikian banyak dan kompleksnya abnormalitas seksual yang terdapat dalam masyarakat, namun yang sering membingungkan orang dan berkaitan erat dengan waria adalah homoseksual, transvestitisme dan transeksualisme. Dalam kehidupan keseharian, sering dijumpai kerancuan pengertian yang mendasar terhadap ketiga kelainan seksual tersebut. Untuk lebih jelasnya penyusun akan mencoba menjelaskan tentang ketiga kelainan seks di atas.
One. Homoseksual
Sebenarnya homoseks adalah “penyakit” lama dalam kemasan modern. Penyair Homous mencatat, bahwa gejala ini pernah ada 800 tahun sebelum Masehi. Pada abad ke-19, pada masa Ratu Victoria di Inggris, penyakit ini mulai tenggelam. Karena Ratu Victoria sangat memperhatikan masalah akhlak, disamping itu agama Kristen – yang ketika itu telah memasuki Eropa – memandang homoseksual sebagai perbuatan yang tercela. Setelah terbenam beberapa abad, pada tahun 1934, masalah homoseksual ini muncul kembali kepermukaan. Pada tahun ini seorang ahli Ilmu Faal dari Hongaria bernama Dr. Benker untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah homoseksual yang diambilnya dari bahasa Yunani “homois” yang berarti “sama”[168]).
Sebelum berbicara lebih jauh tentang homoseks dan agar penialaian sungguh bijaksana, kiranya perlu dibedakan antara homofilia – atau yang oleh Kartono disebut dengan homoseksualitas-perkembangan – dan homoseksualitas, karena hanya bentuk lahiriahnya saja yang hampir menyerupai sedang bentuk sikisnya sangat berbeda.. Homofilia hanya merupakan pengalama jatuh cinta pada orang sejenis kelamin, namun cinta tersebut belum sampai pada permainan seksual[169]). Homofilia atau homoseksualitas-perkembangan bersifat murni psikis, netral dan “polos”, biasanya berwujud atau berbentuk persahabatan[170]). Pada umumnya, homoseksualitas-perkembangan ini tidak berlangsung lama. Namun, apabila homoseksualitas-perkembangan tersebut berproses terlalu lama, sedangkan perasaan cinta yang mendalam pada kaum homofilia telah sampai pada permainan seks maka homofilia ini sedah menjurus pada keabnormalan, bahkan berubah menjadi homoseksual.
Sedangkan Homoseksualitas ialah relasi seks dengan orang yang memiliki jenis kelamin sama[171]) dan dibarengi dengan nafsu-nafsu erotik yang kuat dan kurang wajar[172]). Hubungan sejenis ini untuk laki-laki disebut gay sedangkan untuk perempuan disebut lesbian. Lesbian berasal dari kata lesbos – sebuah pulau di tengah lautan Eiges yang pada zaman dahulu dihuni oleh para wanita yang saling melakukan hubungan seks[173]).
Istilah homoseksualitas hanya dikenakan pada hubungan cinta yang sudah sangat mendalam hingga telah ada hubungan seksual di antara mereka. Hubungan semacam ini biasanya dikarenakan adanya kelainan mental di bidang seksual pada salah satu atau bahkan kedua belah pihak. Selain itu, Dede Utomo, sebagai salah satu pendiri dan aktivis Lambda Indonesia (organisasi gay pertama di Indonesia), juga mendefinikan homoseksualitas sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan seseorang secara emosional dan seksual pada orang dari jenis kelamin yang sama[174]).
Kata homoseks berasal dari kata homo dan seks. Kata homo berasal dari bahasa Yunani yang berarti sama, sedangkan seks mempunyai makna hubungan badan[175]). Karena itu homoseks dapat didefinisikan sebagai ketertarikan terhadap orang yang berjenis kelamin sama baik pria maupun wanita[176]) hingga melakukan hubungan badan, setingkat dengan hubungan suami istri.
Selain definisi homoseks di atas, masih terdapat beberapa definisi yang dikutip Hasan yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut[177]) :
1) Dr. Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan bahwa homoseksualitas adalah hubungan seks antara dua orang yang memiliki jenis kelamin sama.
2) Dr. Ali Akbar mengatakan bahwa homoseks adalah seseorang yang mencari kepuasan seksual dengan orang dari jenis kelaminnya, baik dengan cara rangsang-merangsang maupun dengan tindakan yang menyerupai senggama.
3) Dr. Eustce Cesser, mengemukakan bahwa homoseks adalah cinta antara orang dari jenis kelamin yang sama.
Pada umumnya, cinta homoseksual itu sifatnya sangat mendalam dan sering lebih hebat daripada cinta seksual pada relasi heterogin. Bentuk homoseksualitas yang hebat ini lebih banyak terdapat pada kaum perempuan dalam bentuk lesbian dari pada homoseksualitas pada kaum pria[178]). Lesbianisme, masih pendapat Kartono, biasanya terjadi karena kedekatan yang sangat dengan ibu dan tidak disadari pada masa pubertas dan masih melekat pada masa dewasa[179]).
Menurut ilmu psikiatri ada dua macam homoseksual yaitu egosintonik dan egodistonik. Pada kedua golongan ini terdapat beberapa perbedaan, di antaranya adalah pertama, pada golongan sintonik, homoseksual yang dideritanya sinkron dengan egonya, sedang golongan distonik tidak sinkron dengan egonya. Kedua, golongan homoseksual sintonik dapat mencapai prestasi yang diinginkan, sedang pada distonik biasanya banyak mengeluh, terjadi depresi, cemas dan rasa malu[180]).
Kaum homoseks, dalam mengekspresikan dirinya dengan tiga macam bentuk, yaitu; a) aktif, bertindak sebagai pria yang agresif, b) pasif, bertingkah laku dan berperan sebagai perempuan, dan c) berganti peran, terkadang berperan sebagai perempuan dan juga sebagai laki-laki[181]. Ketiga hal ini, yang termasuk dalam kategori pengekspresian diri waria hanyalah poin kedua yaitu bertingkah laku dan berperan sebagai perempuan. Sebab, kaum waria selalu mengidentikkan dirinya sebagai perempuan. Oleh karena itu, dalam melakukan hubungan biologis mereka lebih tidak bersifat agresif maupun berganti peran.
Dalam masyarakat, homoseksual merupakan hubungan seks yang tidak lazim dan dikecam karena dilakukan oleh orang yang memiliki jenis kelamin sama dan sudah pasti dilakukan di luar perkawinan. Oleh karena itu, seolah-olah homoseks tidak mempunyai hak seksual. Dalam buku Islam dan Kedokteran karangan Muhammad Rashfi, sebagaimana yang dikutip dalam Majalah Wanita Ummi, dijelaskan bahwa perilaku gay mengakibatkan hilangnya birahi seksual pada perempuan bahkan bisa mengakibatkan impoten bila melakukan hubungan seksual dengan perempuan. Namun tidak demikian bila hubungan seksual tersebut dilakukan dengan orang yang sejenis kelamin dengannya, dalam hal ini laki-laki[182]). Selain itu, menurut Hukum Fiqh Jinayah (hukum pidana Islam), homoseksual (liwath) termasuk dosa besar karena bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan juga bertentangan dengan sunnatulla>h serta fitrah manusia[183]). Namun sebaliknya, para ilmuan tidak menganggap homoseksual sebagai penyakit, melainkan hanya sebuah penyimpangan. Penyebab homoseksualitas hingga kini masih diperdebatkan, namun paling tidak ada empat macam, yaitu kelainan genetik atau pada otak, gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak, adat istiadat, dan lingkungan[184]).
Disamping itu, Marzuki juga menyebutkan empat macam penyebab homoseksualitas[185]) yang hampir serupa, antara lain;
1) Faktor bawaan (herediter), berupa ketidak seimbangan hormon-hormon seks.
2) Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal.
3) Selalu mencari kepuasan hubungan homoseks, sebab ia pernah menghayati hubungan tersebut pada masa remaja.
4) Pengalaman traumatis dengan ibunya hingga menyebabkan kebencian yang mendalam pada ibu dan wanita pada umumnya.
Hasan menyebutkan dua penyebab terjadinya homoseksual menurut para seksuologi, yaitu faktor herediter dan psikis. Namun, secara pribadi ia berpendapat bahwa penyebab terjadinya homoseksual bukanlah karena faktor herediter. Sebab, menurut pandangan Isla>m, semua manusia dilahirkan di dunia dalam keadaan fitrah (suci). Selanjutnya Hasan menyebutkan beberapa sebab terjadinya homoseksual yang dikemukakan oleh para ahli seksuologi[186]), di antaranya sebagai berikut :
1) Moertiko berpendapat, bahwa homoseksual disebabkan karena pengalaman-pengalaman di masa lampau tentang seks yang membekas pada pikiran bawah sadar.
2) Ann Landers mengatakan bahwa homoseksual terjadi karena salah asuh ketika masa kecilnya atau perlakuan orang tua yang salah.
3) Homoseksual juga bisa disebabkan oleh fakor atau pengaruh lingkungan, hal ini diungkapkan oleh Zakiyah Drajat.
4) Cario mengemukakan pula, bahwa homoseksual merupakan gejala kekacauan syaraf yang berasal karena adanya hubungan dengan orang-orang yang berpenyakit syaraf.
Homoseksualitas terdapat dalam begitu banyak masyarakat di dunia. Meskipun demikian, mereka masih dianggap aib dan mengancam, walaupun mereka tidak merugikan orang lain. Keadaan seperti inilah yang kemudian sering memunculkan kasus seperti homofobia (ketakutan kepada homo seksualitas)[187] ). Lingkungan yang hanya dihuni oleh satu jenis kelamin, seperti pesantren, penjara dan asrama, diindikasikan menjadi salah satu penyebab dan banyak menelorkan homoseksual atau lesbianisme. Namun jika dilihat dari perspektif normatif-teologis perbuatan homoseksualitas disebabkan karena orang tidak takut dosa dan hanya mengikuti hawa nafsu. Di samping itu, as-Sayyid Sa>biq juga mengatakan bahwa penyebab terjadinya homoseks adalah karena tidak pernahnya seseorang memperhatikan lawan jenisnya yang lama-kelamaan dapat menyebabkan ketidak mampuan melakukan coitus dengan lawan jenis kelaminnya[188]).
Berkaitan dengan hal ini, George Harvard dalam bukunya “Revolusi Seks”, sebagaimana dikutip Hasan, mengatakan bahwa “kita tidak begitu khawatir dengan bahaya nuklir yang mengancam kehidupan kita di abad modern ini, namun yang kita khawatirkan adalah serangan bom seks yang setiap saat siap meledak menghancurkan moral manusia”[189]).
Menurut Mustaqim, abnormalitas seksual pada homoseks ini dapat disembuhkan dengan menggunakan terapi medis, psikologis dan religius[190]). Namun tidak demikian dalam cerita Dede Utomo, ketika itu Dede berangkat ke Jakarta bersama ayahnya untuk melakukan pemeriksaan hormon pada dokter SIS. Kemudian dokter SIS mengatakan pada mereka, bahwa homoseksualitas “tidak bisa disembuhkan”[191] ). Sedangkan menurut Kartono, homoseksualitas merupakan akibat atau gejala yang timbul pada usia pubertas dan adolesens[192]) yang sering dianggap sebagai tindak immoril atau immoralitas [193]). Homoseksualitas pada umumnya adalah manifestasi dari kesulitan-kesulitan seksual, yang tradisisonal sifatnya.
Permasalahan seputar homoseksual ini sebenarnya balumlah final, masih banyak kontroversi dan kebingungan-kebingungan tentang perilaku kaum homoseksul merupakan sebuah penyimpangan atau bukan. Namun al-Qur’a>n dengan jelas dan tegas mengecam dengan keras perbuatan kaum homoseksual, bahkan mengazabnya sebagaimana yang pernah terjadi pada kaum Nabi Lu>t}, yaitu kaum Sodom dan kaum Amoro di negeri Sya>m[194]). Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’a>n surat al-A’ra>f sebagai berikut :
إنكم لتأتون الرجال شهوة من دون النساء بل أنتم قوم مسرفون[195].
Selain itu juga terdapat dalam surat asy-Syu>ra>, yang berbunyi :
أتأتون الذكران من العالمين ` وتدرون ماخلق لكم ربكم من أزواجكم بل أنتم قوم عادون[196].
Selain kedua ayat di atas masih terdapat beberapa ayat lagi yang menceritakan tentang larangan homoseksual, diantaranya dalam surat Hu>d (11) : 77-83 dan al-A’ra>f (7) : 80, 82, 83 dan 84.
Demikian juga diantara para ulama fiqh, mereka sepakat bahwa homoseksualitas adalah haram dan bagi pelakunya harus dikenai hukuman yang berat. Namun, meraka berbeda pendapat dalam menentukan hukumannya, dan dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu pelakunya harus dibunuh secara mutlak, pelakunya harus di had sebagaimana had zina dan pelakunya harus diberi sangsi[197]).
Praktek homoseksual pada kaum Nabi Lu>t} dilakukan dengan cara sodomi yaitu menyetubuhi lelaki yang sejenis pada duburnya[198]). Bisa jadi istilah ini diambil dari nama salah satu kaum Nabi Lu>t} yang melakukan praktek homoseksual, yaitu kaum Sodom.
Two. Transvestitisme
Bila dilihat dari cara berpakaian, kembali dirancukan antara transeksualisme dan transvestisme. Transvestitisme berasal dari kata transvestism yaitu trans berarti melampaui, over, lintang dan diseberang lain. Sedangkan vestitisme dari vestiaire, vestiarius yaitu berkenaan dengan pakaian, dan vestis berarti pakaian[199]). Dengan demikian transvestitisme dapat didefinisikan sebagai nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis-kelaminnya[200]). Sebab, pada transvestisme yang lebih ditonjolkan adalah kepuasan seks seseorang yang didapat dari cara berpakaian yang berlawanan atau dengan cara memakai pakaian dari lawan jenis kelamin yang melekat pada dirinya (crosss-dressing). Jika ia laki-laki maka ia akan memakai pakaian perempuan, begitu juga sebalikya, bila ia perempuan maka ia akan lebih nyaman memakai pakaian laki-laki. Sebagai sebuah neurotis, penderita transvestisme akan tumbuh birahinya ketika ia memakai pakaian perempuan untuk laki-laki dan atau pakaian laki-laki untuk perempuan. Sehingga pakaian bagi kaum transvestit merupakan alat untuk meningkatkan dan menimbulkan gairah seksnya. Dengan demikian, transvestisme termasuk dalam gangguan psikoseksual parafilia yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya[201]). Namun, transvestisme ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Magnus Hirschfield pada tahun 1910[202]).
Pada penderita transvestisme, yang terserang biasanya adalah daya khayalnya. Sebab, dengan imajinasi dan intuisi melalui cara berpakaian lawan jenis kelaminnya ia dapat merasakan sebuah kenikmatan seksual hingga orgasme. Pencapaian orgasme pada penderita transvestisme dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya adalah dengan cara onani atau masturbasi[203]). Penderita transvestisme bisa melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis kelaminnya (heteroseksual) ataupun dengan orang dari jenis kelaminnya (homoseksual). Ketika penderita transvestisme melakukan hubungan seksual secara homogen maka ia akan memakai pakaian lawan jenis kelaminnya. Namun, seringkali penderita transvestisme ini juga dapat mencapai orgasme hanya dengan memakai pakaian dalam atau pakaian lawan jenis kelaminnya, tanpa melakukan hubungan seksual. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana kaum gay, kaum transvestet tetap mempertahankan identitas kelaminnya meski terkadang ia memakai pakaian lawan jenis kelaminnya[204]), yaitu memakai rok bila laki-laki dan memakai celana bila perempuan.
Kebanyakan penderita transvestis adalah laki-laki, orientasi seksualnya heteroseksual, menikah dan menjaga identitas maskulin di dalam keluarganya kecuali di waktu-waktu tertentu mereka memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya untuk memperoleh kepuasan seks. Berpakaian silang kelamin dilakukan di tempat pribadi di kediaman mereka, dikutip oleh Marzuki dari Marshall dan stephen[205]). Namun, terkadang transvestit bisa menderita tekanan dan kegagalan untuk menerima kepuasan seksual dari cross-dressing hingga mendorong mereka untuk menyukai hal-hal yang berhubungan dengan perempuan. Dan kegagalan tersebut dapat menimbulkan kebingungan gender, sehingga bila tidak didiagnosa secara cermat mereka akan dianggap sebagai transeksual[206]).
Pada umumnya kebiasaan memakai pakaian lawan jenis tersebut telah dimulai sejak masa kanak-kanak, hingga lama-kelamaan si anak menginternalisasikan kebiasaan psikis, berupa proses selfimage dan self-definitioni (penggambaran diri dan pendefinisian diri), menjadi pribadi jenis kelamin lawan jenisnya[207]).
Kecenderungan memakai pakaian lawan jenis kelamin pada kaum transvertisme inilah yang kemudian memporak porandakan pemikiran seseorang tentang waria. Bahkan mereka sering kali tidak membedakan antara transvestime dan waria. Bagi masyarakat umum, antara waria dan transvestit adalah sama-sama kaum yang lebih enjoy memakai pakaian lawan jenisnya dari pada pakaian dari jenis kelaminnya, tanpa peduli dan ingin mengetahui motif atau alasan apa yang mendasari mereka berlaku demikian.
c. Transeksualisme
Transeksualisme menjadi bagian signifikan dalam konstruksi isu krusial tentang seksualitas pada masyarakat Isla>m di Indonesia. Meskipun jumlah dan eksistensi mereka tidak terlalu besar, namun masih diperlukan usaha keras untuk menerima eksistensi mereka karena beberapa perbedaan pendapat antara kelompok Isla>m di Indonesia.
Dalam menuju proses perkembangan, transeksual laki-laki mengalami kesulitan untuk menentukan sikap, apa yang harus dilakukan untuk mengindikasikan berawalnya transeksualisme pada perempuan. Namun tidak demikian dengan transeksualisme perempuan, kebanyakan mereka menyatakan bahwa mereka ingin menjadi anggota jenis kelamin lawan jenisnya[208]).
Dalam beberapa hal keberadaan kaum waria telah mendatangkan permasalahan yang cukup rumit. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka bekerja sebagai PSK, meskipun banyak di antara mereka yang bekerja di bidang salon, pekerja rumah tangga (PRT), pengamen, berdagang dan lain sebagainya[209]).
Transeksual dikenal sebagai bentuk paling ekstrim dari pengubahan atau pertukaran gender. Hal ini disebabkan karena keinginan mereka tidak hanya sebatas berpakaian, berdandan dan bertingkahlaku sebagaimana perempuan, tetapi juga mengganti alat kelamin mereka melalui operasi agar sesuai dengan kepribadian atau jiwa yang mereka miliki. Seorang transeksual yang telah memulai proses hormonal dan operasi pengubahan kelamin namun gagal disebut transeksual parsial[210]).
Berbeda dengan transvestit, cross dressing (berpakaian silang kelamin) yang dilakukan oleh kaum transeksual tidak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan seksual tetapi untuk mendandani tubuh mereka agar sesuai dengan kepribadian yang mereka miliki. Dan hal ini merupakan satu hal yang paling penting untuk membedakan transeksual dengan yang lainnya terutama dengan penderita transvestisme. Sehingga pada kaum transeksual yang terganggu adalah identitas kelaminnya (identitas gender) yang bertolak belakang dengan psikenya.
Pada umumnya kaum waria menganggap bahwa transeksual berbeda dengan waria[211]). Namun semua ahli sepakat bahwa waria termasuk dalam kelainan seksual yang disebut dengan transeksualisme[212]) yaitu suatu gejala seseorang merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya[213]). Selain itu, Rudy juga tidak membedakan antara waria dengan transeksual dengan menyebutkan kata “seorang transeksual atau waria”[214] ).
Transeksual menurut Heuken, sebagaimana dikutip oleh Koeswinarno, adalah seseorang yang jenis kelaminnya secara jasmani sempurna dan jelas, tetapi secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis[215]). Sedangkan Marzuki mendefinisikan transeksual sebagai gejala ketidak puasan seseorang pada jenis kelamin yang dimilikinya karena merasa memiliki seksualitas yang berlawanan[216]). Ketidak puasan tersebut kemudian diwujudkan dengan berbagai macam cara, dari mulai merubah kebiasaan jalan, bicara, pakaian, memakai perhiasan dan make-up hingga usaha melakukan operasi pergantian kelamin.
Davidson dan Neale dalam penelitiannya tentang transeksualisme, sebagaimana yang dikutip oleh Koeswinarno, menyimpulkan bahwa salah satu penyebab perilaku transeksualisme adalah heterophobia, yaitu ada ketakutan pada hubungan seks lawan jenis atau antar jenis kelamin karena pengalaman yang salah[217]), dorongan seks untuk memiliki ibunya bagi transeksual laki-laki atau memiliki ayahnya bagi transeksual perempuan ketika usia kurang lebi empat tahun misalnya.
Penyebab lain transeksual ini adalah dari faktor kejiwaan dan herediter. Namun lebih banyak faktor kejiwaan dari pada faktor herediter, misalnya pendidikan yang salah pada masa kecil, dengan membiarkan anak berkembang pada pola hidup bertentangan dengan jenis kelamin[218]), sebagaimana yang dialami oleh Emy dan maya. Pada waktu kecil Emy sering didandani perempuan oleh kakak perempuannya, sedang Maya sering dibelikan rok oleh ayahnya. Dari kebiasaan-kebiasaan atau perlakuan keluarga terhadap mereka inilah yang kemudian menggiring mereka pada kedaan ini. Namun mereka mengaku tidak ada keinginan untuk melakukan operasi, oleh karena itu mereka lebih menyebut dirinya sebagai waria, bukan transeksual. Sedangkan yang disebabkan faktor herediter atau ketidak seimbangan hormon bukan hanya jiwanya yang kewanita-wanitaan atau kelaki-lakian, tetapi hormon yang mengalir dalam darahnya pun menunjukkan hal tersebut[219]). Dari pendekatan holistik yang dilakukan oleh Dadang Hawari, seseorang mempunyai gangguan identitas jenis transeksual atau tidak dapat dilihat dari 4 (empat) aspek[220]) : 1) Dari aspek fisik atau biologik. Mengenai alat kelamin terdapat 3 hal, yaitu : a) alat kelamin sempurna laki-laki atau perempuan; b) alat kelamin tidak sempurna; c) alat kelamin ganda atau hermaprodite (khuntsa). 2) Aspek psikologi. Dalam hal ini, individu tersebut tidak senang dengan jenis kelaminnya sendiri karena kondisi kejiwaannya tidak selaras dengan alat kelaminnya. 3) Aspek sosial. Mereka yang mempunyai gangguan identitas jenis transeksualisme, secara sosial akan mengalami konflik psikososial/stres. 4) Aspek spiritual atau agama. Kondisi ini lebih menyulitkan lagi, karena secara biologis alat kelaminnya laki-laki, tetapi secara psikologis ia merasa sebagai wanita. Penderitaan yang dialami kaum marjinal ini terus berlanjut hingga kedudukan mereka secara “hukum” ternyata juga cukup menyulitkan misalnya dalam pengurusan KTP, peribadatan, perkawinan, warisan dan lain sebagainya; yang pada gilirannya dapat menimbulkan gejolak dan konflik psiko-religius.
2. Waria dalam Lintasan Sejarah
Dalam masyarakat, waria dipresentasikan sebagai seorang penderita neurotik karena adanya keinginan mereka untuk menolak karakter seksual secara biologis. Tentu saja, perbedaan biologis berasal dari perbedaan karakter, tetapi hal itu dipadukan dengan beberapa hal lain yang berasal dari atau dihasilkan oleh faktor sosial yang paling dominan[221]).
Memang bukan pekerjaan yang mudah mencari titik pangkal kapan dan dimana sejarah waria mulai muncul. Dalam al-Qur’a>n dijelaskan tentang kisah kaum Nabi Lu>t} yang suka berhubungan dengan sesama jenis yaitu lelaki dengan lelaki yang sekarang biasa disebut dengan gay atau homoseksual. Meskipun waria juga termasuk pelaku seks sejenis, mereka bukanlah kaum yang sama sebagaimana dimaksud dengan kaum Nabi Lu>t}[222]). Kebanyakan orang Indonesia tidak membedakan antara waria dan gay, bahkan laki-laki yang bersifat femininpun sering disebut “banci”. Padahal, bila kita cermati keduanya (waria dan gay) sangat berbeda. Perbedaan mencolok yang dapat dilihat adalah waria berpenampilan dan berperilaku layaknya seorang perempuan sedangkan gay tidak, meskipun ada juga gay yang bersifat feminin. Perbedaan yang lainnya ialah pada orientasi seks, waria orientasi seksnya pada laki-laki hetero sedangkan gay pada sesama gay[223]). Namun di sisi lain, membedakan waria dengan gay yang berdandan selayaknya waria juga sulit, dan gay yang berdandan seperti waria tidaklah sedikit bahkan untuk waktu yang lama[224]). Dari kondisi tersebut, Dede Utomo menyimpulkan bahwa seksualitas seseorang pada dasarnya terdiri dari; identitas seksualnya (seks biologisnya) berupa gradasi kejantanan atau kebetinaan, perilaku (peran) gendernya dan orientasi (preferensi) seksualnya[225]).
Dalam sejarah bangsa Yunani – yaitu pada zaman pertengahan – memang tercatat adanya kaum waria seperti yang pernah direkam oleh Hipokrates. Pada zaman pertengahan ini telah muncul beberapa waria kelas elit seperti Raja Henry III dari Perancis, Abbe de Choisy Duta Besar Perancis di Siam serta Lord cornbury Gubernur New York pada tahun 1702 H[226]). Lain halnya pada bangsa Turco-Mongol di Gurun Siberia, dukun pria yang pada umumnya berpakaian wanita mempunyai daya linuwih (kemampuan lebih) dan ditakuti orang. Selain itu, di Oman dikenal adanya xanith yang mirip dengan gemblak di Ponorogo[227]). Tradisi gemblak – seorang laki-laki remaja yang bersifat feminin seperti wanita – yang ada di Ponorogo dipelihara oleh seorang warok ketika mencari kesaktian. Sebab, bila seorang warok melakukam hubungan seks dengan seorang wanita dipercayai bahwa hal itu dapat menggagalkan pencarian kesaktian yang sedang dia lakoni[228]).
Dalam Isla>m, sebagaimana penyusun telah jelaskan di muka, menyinggung waria dengan istilah khuns\a yang kemudian dibagi menjadi dua yaitu khuns\a gairu musykil dan khuns\a musykil. Selain kedua bentuk khuns\a tersebut masih terdapat satu bentuk waria yang juga disinggung dalam beberapa hadist Nabi SAW. dengan sebutan mukhannas\ yaitu orang laki-laki yang menyerupai perempuan dan mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai keinginan atau nafsu untuk berhubungan dengan perempuan, bahkan mereka terampil dalam mengerjakan pekerjaan perempuan dan tidak pada pekerjaan laki-laki. Sebagaimana khuns\a, mukhannas\ juga ada dua bentuk, yaitu pertama, mukhannas\ yang memang diciptakan seperti itu, artinya perilaku sebagaimana perempuan tersebut memang merupakan sebuah kelainan yang diderita sejak kecil atau alami. Kedua, mukhannas\ yang berperilaku sebagaimana perempuan namun hal itu dilakukan karena terpaksa atau sengaja[229]). Dan mukhannas\ bentuk kedua inilah yang dilaknat sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadist Nabi saw.
Lafadz khuns\a berwazan fu’la, berasal dari kata al-khans\u, bentuk jamaknya adalah khanas\a> artinya “lemah”, “lembut” atau “pecah”[230]). Para fuqaha merumuskan khuns\a sebagai orang yang mempunyai organ kelamin ganda yang berbeda, yaitu organ kelamin pria dan wanita, atau tidak jelas identitas kelaminnya[231]). Sedang khuns\a musykil adalah bila seorang khuns\a membuang air kecil melewati kedua alat kelamin bersama-sama atau bahkan tidak memiliki alat kelamin sama sekali. Dengan demikian, khuns\a musykil merupakan khuns\a yang sulit ditetapkan jenisnya, baik dengan jalan meneliti alat kelamin yang dipergunakan membuang air kecil, keterangan dokter, pengakuan sendiri maupun dengan jalan meneliti ciri-ciri khusus kedewasaannya atau kelamin sekunder[232]). Kesulitan-kesulitan dalam menentukan jenis kelamin ini mambawa kesulitan baru dalam menentukan status hukum yang dipakai atau diberlakukan pada khuns\a jenis kedua ini, dalam masalah perkawinan dan kewarisan misalnya.
Definisi khuns\a yang lebih umum diberikan oleh as-Sayyid Sa>biq, yaitu orang yang diragukan dan tidak diketahui jenis kelaminnya, apakah dia laki-laki atau perempuan, ada kalanya dia mempunyai z\akar dan farji secara bersama-sama dan ada kalanya tidak mempunyai z\akar ataupun farji sama sekali[233]. Sedangkan khuns\a musykil adalah bila tidak diketahui apakah ia laki-laki atau perempuan, karena tidak munculnya tanda-tanda atau muncul akan tetapi bertentangan[234]). Dari definisi khuns\a musykil tersebut, dapat disimpulkan bahwa waria termasuk dalam kategori ini. Dengan demikian, ketentuan hukum yang diberlakukan pada mereka sama dengan ketentuan hukum yang diberlakukan pada khuns\a musykil. Namun, bila dicermati lebih teliti, waria juga bisa dimasukkan dalam kategori mukhannas\ bentuk pertama, yaitu kelainannya dalam berperilaku seperti perempuan tersebut merupakan takdir Tuhan, jadi bukan dibuat-buat atau direkayasa oleh mereka sendiri.
Masjfuk juga membagi khuns\a menjadi dua, hanya saja ia menyebut khuns\a bentuk pertama dengan khuns\a gair musykil, yaitu seseorang mempunyai indikasi-indikasi yang lebih cenderung menunjukkan kesatu jenis kelamin, ke laki-laki atau ke perempuan saja misalnya. Sedang khuns\a bentuk kedua, sebagaimana Sa>biq, ia juga menyebut sebagai khuns\a musykil (waria confused), yaitu bila seseorang tidak mempunai indikasi-indikasi atau ciri-ciri yang bisa menunjukkan kearah jenis kelamin tertentu atau mempunyai ciri khas yang kontradiktif[235]).
Khuns\a atau hermaprodite merupakan keadaan ekstrim interseksual dengan gangguan perkembangan pada proses pembedaan kelamin, apakah akan dibuat menjadi laki-laki atau perempuan. Persoalan yang dihadapi kaum hermaprodite adalah menyangkut identitas kelamin yang mendua secara fisik, sehingga mereka harus memilih melalui berbagai macam pertimbangan dan data psiko-sosial untuk melakukan perubahan atau penyesuaian dan penyempurnaan kelamin. Hermaprodite adalah nama Dewa – yang lahir dari perkawinan Hermes dan Aphrodite – dalam legenda Yunani yang memiliki kalamin ganda. Hermaprodite berasal dari kata hermaproditos[236]), yaitu nama Dewa Hermes dan Dewi Aphroditus dalam mitologi Yunani[237]).
Menurut Marzuki Umar Sa’abah, hermaprodite merupakan faktor bawaan yang diakibatkan oleh kelainan kromosom, dan kromosom yang berperan utama menetukan jenis kelamin disebut kromosom kelamin atau gonosom[238]). Kelainan tersebut terjadi karena penderita memiliki dua jenis kromosom sekaligus, XX dan XY[239]). Hermaprodite karena faktor bawaan yang disebabkan selain kelainan kromosom dibagi menjadi lima[240]), yaitu :
One. Pseudofemale yaitu perempuan tersamar. Tubuhnya mengandung sel laki-laki. Tetapi pada pemeriksaan gonad, organ seksnya perempuan.
Two. Pseudeomale yaitu laki-laki tersamar. Ia memiliki kromosom perempuan tapi fisiknya laki-laki.
Three. Female-pseudohermaprodite, penderita memiliki kromosom wanita (XX), tetapi perkembangan fisiknya cenderung ke laki-laki.
Four. Male-pseudohermaprodite, kebalikan dari poin tiga, yaitu penderita memiliki kromosom laki-laki (XY), tapi perkembangan fisiknya cenderung ke wanita.
Five. Hipogonadisme, hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan antara lain : 1) lahir tanpa testis yang berfungsi, 2) mempunyai testis yang tidak berkembang, 3) testis tidak mengalami densus, 4) kastrasi (kehilangan testes).
Seorang ahli biologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Wahyuning Ramelan, berpendapat bahwa terdapat dua jenis kebancian[241]), yaitu :
Pertama, hermaprodite sejati, menurutnya hermaprodite jenis inilah yang pantas disebut banci. Sebab, hermaprodite sejati menderita kelainan genetik sejak lahir dan si penderita sesungguhnya memiliki dua jenis pembawaan. Pada kebancian sejati ini terdapat dua jenis kelanjar seks yaitu ovarium yang memproduksi hormon perempuan dan ova (telur) dan testikel yang memproduksi hormon dan spermatozoa. Selain itu, hermaprodite sejati juga memiliki kromosom ganda, yaitu kromosom yang seharusnya dimiliki lakilaki (XY) dan kromosom yang umumnya ada pada perempuan (XX). Jadi hermaprodite sejati ini memiliki dua kromosom sekaligus yaitu XX dan XY.
Kedua, hermaprodite semu, yaitu terjadinya ketidak sesuaian antara organ kelamin yang terlihat dan organ seks yang ada dalam tubuh. Seseorang yang memiliki penis misalnya tetapi tidak mempunyai testikel. Keadaan inilah yang kemudian mengakibatkan pertumbuhan alat kelamin menjadi tidak stabil. Sebagai mana yang terjadi pada Rogayah seorang remaja dari Bandung yang diketahui berkelamin ganda. Sejak kecil Rogayah diperlakukan sebagai perempuan, namun ketika dewasa ia menjadi laki-laki dan ingin melakukan operasi penyempurnaan kelamin setelah melewati beberapa tahapan pemerikasaan[242].
3rd. Pengertian Perkawinan Waria
Pada umumnya perkawinan dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamain yaitu perempuan dan laki-laki. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan baik menurut hukum Isla>m maupun hukum positif. Sedangkan kehadiran waria – yang sering dikatakan – sebagai jenis kelamin ketiga atau berada di tengah[243]) belum diakui oleh hukum positif, walaupun dalam Isla>m telah disinggung dengan sebutan khuns\a dan mukhannas\. Karena belum diakui oleh hukum positif maka masalah perkawinannya sudah tentu juga belum diatur. Oleh karena itu, kemudian mereka (para waria) melakukan pernikahan yang mereka sebut dengan perikatan dengan cara mereka sendiri yaitu dengan cukup melakukan perjanjian dengan pasangannya, lalu mengenalkan pasangannya pada masyarakat dan teman-teman warianya baik dengan cara mengadakan pesta maupun dengan perkenalan biasa. Setelah perjanjian tersebut disepakati oleh kedua belah pihak (waria dan lelakinya), kemudian mereka akan hidup bersama – biasanya di tempat si waria tetapi ada juga yang dibawa pulang oleh lekongnya sebagaimana yang dialami oleh Tika. Dalam kehidupan rumah tangga mereka (para waria) memposisikan diri dan menjalani kewajiban sebagai sebagai seorang istri sedang lekongnya sebagai suami. Namun, pada umumnya yang memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari adalah waria bukan lekongnya sebagai suami yang seharusnya memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya. Kemudian, bila mereka menginginkan anak maka mereka akan mengadopsi keponakannya, dari panti asuhan atau dari keluarga miskin dengan cara membiayai sang ibu hamil sejak proses kehamilan hingga melahirkan. Tetapi, kebanyakan mereka lebih memilih mengadopsi keponakan mereka sendiri.
Isi perjanjian yang mereka lakukan tergantung pada individu yang menjalaninya, ada yang harus menjadi istri yang baik di rumah dan tidak boleh bekerja malam, bila lekongnya mampu memberi nafkah waria tersebut, ada yang melarang lekongnya untuk selingkuh dengan sesama waria tetapi tidak dengan perempuan dan ada juga yang tidak memperbolehkan lekongnya untuk selingkuh dengan siapa saja baik dengan perempuan maupun dengan teman warianya. Namun satu hal yang selalu ada dalam perjanjian adalah laki-laki tersebut harus bisa menerima keadaan si waria apa adanya dan memahami profesi yang dijalaninya.
Kenyataan, bahwa keberadaan kaum waria belum bisa diterima oleh sebagian masyarakat, ternyata menyulitkan ruang geraknya, seperti resepsi yang mereka adakan untuk memperjelas status perikatan yang mereka lakukan, telah ditentang oleh sekelompok Jama’ah Islamiyah yang mengira ada orang yang telah menikahkan waria tersebut secara hukum[244]). Dengan demikian maka Jama’ah Islamiyah tersebut artinya tidak setuju dan menentang perkawinan yang dilakukan oleh para waria. Hal itu membuktikan bahwa sampai sekarang sebagian masyarakat Indonesia belum bisa menerima keberadaan waria dan masih beranggapan bahwa waria merupakan aib yang harus dijauhi. Padahal sebagaimana yang telah penyusun jelaskan di muka bahwa hidup sebagai waria bukanlah keinginan mereka, hal ini juga dikatakan oleh Sinta[245]) : “Saya ingin masyarakat bisa menerima kami karena kami ini memang ada, jangan selalu menutup mata dengan menganggap kami tidak ada”. Hal senada dikatakan pula oleh Sunia : “Saya selalu ingat kata ibu saya, waria itu tidak bisa beranak pinang tetapi jumlahnya semakin banyak karena dilahirkan oleh orang-orang yang selama ini menganggap dirinya normal”. Sebab, keluarga Sunia tidak ada yang dilahirkan dan hidup sebagai waria, terutama orang tuanya, tetapi kenyataan mengatakan lain sehingga di antara keluarganya Sunia lahir sebagai seorang waria satu-satunya.
Selama ini Sunia selalu berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan sebaik mungkin. Selama ini Sunia merasa dirinya perempuan meskipun pada kenyatannya alat kelaminnya laki-laki. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa seluruh tubuhnya adalah aurat yang harus dijauhkan dari pandangan jahat laki-laki dengan cara menutupinya dengan rapi. Bahkan Sunia juga memakai jilbab sebagaimana wanita muslimah lainnya. Sebagai seorang muslimah, ia menginginkan apa yang ia lakukan sesuai atau tidak bertentangan dengan syari’at Isla>m, demikian juga dalam hal perkawinan, ia ingin menikah secara sah menurut Isla>m. Namun ia mengalami kebingungan, apakah perkawinan yang ia lakukan nanti bisa dilegalkan?, atau ia harus menjalani operasi kelamin terlebih dahulu?. Padahal, sebagaimana penyusun jelaskan di muka, operasi pergantian atau penyempurnaan kelamin membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan harus melalui beberapa tes yang juga membutuhkan biaya.
Perkawinan atau ikatan yang dikakukan oleh waria tidak didampingi oleh walinya dan tidak dilakukan di depan dua orang saksi serta tidak ada mahar sebagaimana yang telah ditentukan dalam syarat dan rukum perkawinan. Perjanjian yang mereka lakukan bersifat pribadi antara waria dan lekongnya, jadi tidak ada orang ketiga atau saksi yang menyaksikan perjanjian tersebut. Sebagaimana perkawinan pada umumnya, dalam perikatan yang mereka buat, waria memegang peranan sebagai istri dan ibu rumah tangga yang harus mengurus rumah dan melayani suaminya (lekongnya) dengan baik, seperti, memasakkan air buat mandi suami, mencuci dan memasak serta menyiapkkan makanan. Namun bila mereka mendapatkan lekong yang baik maka pekerjaan tersebut dilakukan bersama-sama.
Dalam perkawinan yang dilakukan secara sah menurut hukum, bila terjadi perceraian maka harta yang dihasilkan selama perkawinan (harta gono gini) harus di bagi dua secara adil. Namun tidak demikin pada perikatan yang dilakukan oleh para waria, kebanyakan waria memilih tidak meributkan harta tersebut sebab ikatan yang mereka buat tidak memiliki kekuatan hukum. Apabila lekongnya menginginkan maka waria tersebut akan memberikannya begitu juga sebaliknya, bila si waria membutuhkannya maka lekongnya juga akan menyerahkannya, atau siapa yang bertahan di rumah kontrakan yang mereka sewa selama perikatan maka dialah yang berhak atas harta tersebut sebagaimana yang terjadi pada Emy.
Pada dasarnya kaum waria ingin bisa menikah secara sah menurut hukum, sebab hanya dengan menikah secara sah ia bisa benar-benar memiliki pasangannya. Selain itu, dengan menikah secara sah berarti ia tidak perlu gonta ganti pasangan setiap malam dan jauh dari berbagai macam penyakit yang menakutkan, di antaranya adalah aids dan penyakit kelamin. Sebagian waria mengatakan bahwa mereka telah sangat bosan dengan kehidupan malam yang selama ini mereka jalani, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini di antaranya disebabkan susahnya mencari partner dalam memenuhi kebutuhan biologis (seks), minimnya pendidikan yang diperoleh dan pada umumnya masyarakat belum bisa menerima keberadaan mereka.
Latar belakang kehidupan sebagaian besar kaum waria adalah melarikan diri dari rumah karena ingin mencari jati dirinya. Oleh karena itu, latar belakang pendidikan mereka rata-rata hanya tamat SD sampai SMP, bahka ada yang tidak tamat SD, sebagaimana yang terjadi pada waria suku laut[246]). Hal ini juga dialami oleh Weni, ia mengaku telah meninggalkan rumah sejak kelas enam SD. Sedikit sekali waria yang mempunyai pendidikan hingga SMU, namun ada juga beberapa waria yang yang bisa meneruskan pendidikannya hingga Perguruan Tinggi, seperti Sunia yang kuliah di Fisipol UGM, Merlyn di salah satu Pergurun Tinggi di Malang dan Fais yang telah menyelesaikan S1-nya di Fakultas Psikologi UGM.
Sebagaimana yang telah penyusun jelaskan di muka, bahwa Isla>m tidak mengatur keberadaan khuns\a secara spesifik, karena telah jelas atau alat kelaminnya dapat dibedakan apakah laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, para pemikir Isla>>m hanya menetapkan aturan-aturan baik dari segi ibadah maupun mu’amalah kepada kelompok khuns\a musykil saja. Sedangkan bagi kelompok pertama, khuns\a, hanya mengikuti pada kecenderungan alat kelaminnya, maksudnya lebih dominan pada laki-laki atau perempuan. Artinya, kalau kecenderungan kelaminnya laki-laki maka aturan-aturan yang diterapkan kepadanya adalah aturan-aturan yang ditujukan kepada laki-laki begitu juga sebaliknya bila kecenderungannya perempuan maka hukum yang diterapkan kepadanya adalah hukum sebagaimana yang ditujukan kepada perempuan.
Dalam Isla>m, perkawinan yang dilakukan oleh khuns\a musykil adalah dilarang sampai jelas diketahui jenis kelaminnya. Untuk memperjelas jenis kelaminnya, maka salah satu solusi yang ditawarkankan adalah dengan melakukan operasi kelamin. Pada umumnya keadaan ekonomi kaum waria menengah kebawah. Sebab ketika mereka memutuskan untuk hidup sebagai waria maka secara tidak langsung mereka juga memutuskan untuk hidup dan membiayai hidupnya sendiri. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang mempunyai tanggung jawab untuk membantu ekonomi keluarga. Sedangkan operasi pergantian atau penyempurnaan kelamin membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Sesungguhnya operasi pengubahan kelamin tidak akan mengubah diri seseorang. Seorang waria laki-laki yang mengubah kalaminnya menjadi perempuan, tidaklah kemudian bisa melahirkan. Karena kegunaan operasi pergantian kelamin tersebut hanyalah untuk menyesuaikan antara kondisi fisik dan psikologis yang dimiliki oleh seorang waria sekaligus untuk memperjelas keberadaannya dalam hukum.
Namun, kenyataan mengatakan bahwa hanya dengan melakukan operasi pergantian kelamin – sebagaimana yang telah dilakukan oleh Dorce Gamalama – seorang waria bisa mendapatkan pengakuan hukum. Kemudian, peraturan yang diberlakukan padanya adalah peraturan-peraturan sebagaimana kondisi kelaminnya setelah operasi, namun sebaliknya, bagi waria yang tidak mau melakukan operasi maka peraturan yang diberlakukan padanya adalah yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Sebab, peraturan Perundang-undangan di Indonesia sementara ini –dan entah sampai kapan – hanya mengatur tentang keberadaan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan laki-laki dan perempuan saja. Oleh karena itu, satu-satunya solusi yang ditawarkan oleh negara Indonesia sementara ini, bila ingin mendapatkan pengakuan dan mempunyai kedudukan dalam hukum ialah dengan melakukan operasi pergantian atau penyempurnaan kelamin. Operasi kelamin pada transeksual oleh Fais disebut sebagai operasi penyesuaian kelamin bukan pergantian kelamin dan bila ada yang mengatakan operasi pergantian kelamin maka ia membantah dengan tegas anggapan tersebut. Lebih lanjut, ia juga menyayangkan bahwa Rumah Sakit di Indonesia yang menangani operasi ini memakai nama pergantian bukan penyesuaian[247]).
Pada umumnya, waria di Yogyakarta tidak ingin melakukan operasi tersebut, meskipun mereka punya uang banyak. Selain takut dikatakan menyalahi kodrat, mereka juga berfikir bahwa operasi pergantian kelamin bukanlah solusi yang baik untuk dapat hidup dan diterima masyarakat. Sebab mereka masih berfikir, ketika mereka telah melakukan operasi pergantian kelamin apakah lantas mereka menjadi saudara semahram dengan perempuan, sehingga mereka bisa leluasa bersentuhan karena tidak membatalkan. Mereka yakin bahwa dengan melakukan operasi pergantian kelamin tidak akan dapat mengubah pandangan Tuhan terhadapnya. Selain itu, dalam acara diskusi yang sama Sunia – yang ketika itu juga menjadi pembicara– mengatakan bahwa ada teman warianya yang melakukan operasi kelamin dan ia menyesal juga kecewa karena ternyata hasilnya tidak seperti yang ia harapkan. Kemudian Fais mengatakan, masih dalam acara diskusi yang sama, bahwa hal itu merupakan salah satu contoh operasi yang gagal dan akibatnya sangat fatal.
4th. Problematika Perkawinan Waria
Sebagaimana dikatahui, bahwa seks merupakan gejolak biologis yang telah diciptakan oleh Alla>h sedemikian rupa, oleh karenanya seks membutuhkan penyaluran yang wajar. Isla>m telah memberi petunjuk kepada umatnya tentang penyaluran seks yang wajar melalui prosedur perkawinan yang sah menurut ketentuan agama. Dengan perkawinan, gejolak seks dapat disalurkan secara sempurna, utuh, khidmat, syahdu dan penuh kenikmatan di mana saja dan kapan saja, tentunya di tempat dan saat yang tidak dilarang oleh agama. Penyaluran seks seperti ini (melalui perkawinan), bahkan dianjurkan dan termasuk sunnah Rasu>lulla>h, sedangkan bagi mereka yang belum mampu dianjurkan untuk menahan diri dengan cara berpuasa. Kenyataan ini dikuatkan oleh sebuah hadi>s\ Nabi yang berbunyi [248]):
يحي بن يحي التميمى وابوبكربن ابى شيبة ومحمد بن العلاء الهدانى جميعا عن ابىمعاوية (واللفظ ليحي) اخبرنا ابومعاوية عن الأعمش عن ابراهيم عن علقمة قال كنت امش مع عبدالله بمنى فلقيه عثمان فقام معه يحدثه فقال له عثمان يااباعبدالرحمان ألانزوجك جارية شابة لعلها تذكرك بعض مامض من زمانك قال فقال عبدالله لئن قلت ذاك لقد قال لنارسول الله صلى الله عليه وسلم, يا معشر الشباب, من استطاع منكم الباءة فليتزوج. فإنه أغض للبصر, وأحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم, فإنه له وجاء.
Hadi>s\ Nabi di atas menganjurkan agar seseorang yang telah mampu baik lahir maupun batin untuk menikah berlaku bagi semua umatnya tanpa terkecuali, dalam hal ini waria termasuk di dalamnya. Namun, satu hal yang menjadi ganjalan adalah dengan siapa waria harus menikah?. Sedang pada kenyatannya, Isla>m melarang perkawinan antara laki-laki dengan laki-laki, dan waria mempunyai kelamin laki-laki meskipun jiwanya perempuan. Tetapi selama ini seolah-olah keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat tidak diakui. Padahal dalam al-Qur’a>n dikatakan bahwa Alla>h tidak mengukur manusia dari harta, jenis kelamin maupun warna kulit melainkan dari amal shalih yang mereka lakukan.
Sebagaimana di ketahui bahwa dalam perundang-undangan Indonesia keberadaan waria belum diakui, tidak terkecuali masalah perkawinannya. Meskipun sebenarnya mereka juga ingin melangsungkan perkawinan secara sah, namun mereka sadar hal itu tidaklah mungkin dengan mengatakan bahwa menginginkan perkawinan mereka diakui oleh pemerintah sama halnya seperti mimpi di siang bolong. Meskipun ada beberapa negara Eropa yang telah mengakui keberadaan mereka termasuk pernikahannya, demikian juga dengan pernikahan gay. Sebagaimana yang terjadi di Denmark, tanggal 1 Oktober 1989 merupakan tanggal bersejarah bagi kaum gay dan lesbian sedunia. Sebab Undang-undang baru yang dikeluarkan dan disahkan pada tanggal tersebut mengakui hubungan perkawinan antara dua orang laki-laki atau perempuan dalam suatu yang disebut permitraan terdaftar (registered partnership)[249]. Namun untuk saat ini, di Indonesia hal itu tidak mungkin terjadi selama masyarakat Indonesia belum bisa menerima keberadaan mereka. Selain itu, pernikahan sejenis tersebut bertentangan dengan “adat ketimuran”, karena indonesia didominasi oleh Masyarakat yang beragama Isla>m. Meskipun ada beberapa daerah yang justru menganggap hubungan sejenis sebagai hubungan yang “berpetuah”, sebagaimana tradisi warok yang memelihara gemblak di Ponorogo. Namun, menurut Maya tradisi tersebut sekarang tidak ada lagi.
Hal senada juga dikatakan oleh Merlyn Sopjan, sesungguhnya ia pun ingin dapat melangsungkan pernikahan dan berkeluarga sebagaimana manusia pada umumnya, bahkan ia memakai nama “suaminya” sebagai nama belakangnya (Sopjan). Namun, keinginan tersebut pada akhirnya hanya berupa fantasi dan angan-angan belaka karena pada kenyataannya dalam hukum positif keberadaan kaum marjinal ini tidak pernah diakui[250]). Kemudian, bila melirik pada doktrin agama, Isla>m pun ternyata hanya mengakui waria jenis khuns\a – yang dalam istilah sekarang lebih dikenal sebagai hermaprodite – dan khuns\a musykil. Dari sini kemudian muncul sebuah pertanyaan, bila merujuk pada definisi khuns\a musykil yang dikemukakan oleh as-Sayyid Sa>biq, apakah waria termasuk kategori khuns\a musykil.
Oleh karena ikatan yang dibuat kaum waria tidak mempunyai kekuatan hukum, maka hal itu menjadi rentan terhadap berbagai macam masalah. Memudahkan ikatan tersebut untuk putus misalnya, sebab tidak ada Undang-undang yang mengatur dan mengakuinya. Selain itu, hal ini membuat mereka berpikir bahwa meskipun mereka telah melakukan perjanjian tetapi mereka tidaklah terikat dan merasa memiliki antara satu dengan yang lainnya. Sebab perjanjian yang mereka buat tidak mempunyai kekuatan hukum tetap dan bila ada perselisihan juga tidak bisa di meja hijau-kan. Jadi bila salah satu telah bosan dan ingin pergi maka ia akan pergi begitu saja tanpa minta persetujuan terlebih dahulu dari pasangannya, meskipun ada beberapa pasangan yang berpisah dengan cara baik-baik. Oleh karena itu, bila ada perselisihan dalam perjanjian perikatan yang mereka buat, maka kebanyakan mereka lebih memilih mengalah dan tidak mau meributkannya, misalnya, dalam pembagian harta bersama yang dihasikan selama berlangsungnya ikatan tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa waria adalah seseorang yang memiliki fisik laki-laki namun berjiwa perempuan. Dan pada umumnya orang tua tidak bisa menerima keadaan anaknya yang menurutnya “tidak pantas” tersebut. Kemudian para orang tua biasanya mengambil keputusan untuk menikahkan anaknya, yang menurutnya mengalami kelainan tersebut, dengan lawan jenis kelaminnya sembari berharap bahwa anaknya akan sembuh dan menjadi normal seperti yang diinginkannya. Namun, ternyata “solusi” ini tidak mampu membuat keadaan menjadi lebih baik, sebaliknya “solusi” ini malah menimbulkan kekacauan. Sebab orang yang mempunyai kelamin berlainan dengan kondisi jiwanya akan terganggu fisik dan psikologisnya, karena merasakan pertarungan antara jiwa dan kenyataan biologisnya. Hal ini akan mengancam ketenteraman batin bagi pasangan suami istri. Di satu pihak akan merasakan disharmonis seks dan di pihak lain akan merasakan harmonis seks, dan ini dapat menimbulkan malapetaka yang berdampak pada perceraian. Pernyataan ini dibenarkan oleh filsuf Isla>m, al-Ima>m al-Gaza>li>, dalam kitabnya Ihya>’ ‘Ulu>m ad-Di>n sebagai berikut :
والاختلاف في طبع الإنزال يوجب التنافرمهماكان الزوج سابقا إلى الإنزال[251]
Hal ini pernah terjadi pada Kely[252]), karena orang tuanya melihat ada keanehan pada diri Kely, kemudian mereka menikahkannya dengan perempuan. Sebagai wujud rasa hormatnya, Kely berusaha memenuhi keinginan orang tuanya dengan menikahi perempuan tersebut. Akhirnya Kely resmi menjadi seorang suami hingga sekarang – selama sepuluh tahun. Namun selama itu Kely mengaku tidak bisa menyentuh istri sahnya karena ia merasa bahwa dirinya juga perempuan. Dengan demikian maka Kely tidak bisa memberi cucu yang menjadi harapan orang tuanya.
BAB IV
KONTEKSTUALISASI HUKUM TERHADAP PRAKTEK
PERKAWINAN WARIA DI YOGYAKARTA
Perkawinan merupakan jalan keluar yang semula oleh Isla>m dihukumi mubah kemudian bisa menjadi sunnah, haram dan bahkan wajib. Dari perkawinan manusia bisa melakukan seks yang sehat dengan hanya satu pasangan – atau maksimal dengan empat perempuan (istri) bagi laki-laki yang mampu – sehingga terjaga dari “penyakit kutukan” yaitu penyakit kelamin dan aids. Selain itu, perkawinan merupakan satu-satunya ikatan yang dapat melegalkan hubungan seksual dengan beberapa ketentuan di dalamnya. Namun, ketentuan-ketentuan tersebut hanya mengakui dan mengatur perkawinan antar jenis kelamin yaitu laki-laki dengan perempuan. Dalam hukum, baik hukum Isla>m maupun positif tidak ada satu pun yang mengatur dan mengakui perkawinan sejenis. Selanjutnya, karena hukum hanya mengatur dan melegalkan perkawinan antar jenis, maka kemudian salah satu kaum marjinal yang merasa dirinya terperangkap dalam tubuh yang salah ini mencari solusi sendiri untuk “melegalkan perkawinannya”, meskipun hanya diakui oleh teman dan masyarakat di sekitarnya.
Isla>m dengan tegas melarang perkawinan sejenis, karena dapat menghambat perkembang biakan manusia di bumi. Bahkan Isla>m mengecam dan melaknat hubungan sejenis (homoseksual) ini sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Lu>t} as. Dan telah disinggung dalam beberapa ayat al-Qur’a>n dan hadi>s\. Kecaman dan laknat Nabi ini juga ditujukan pada hubungan sejenis antara perempuan dengan perempuan yang biasa disebut lesbianisme sebagaimana kritik dan laknat Nabi yang ditujukan pada seorang perempuan muslimah yang menenteng pedang di waktu tidak ada peperangan[253]). Meskipun berbeda dengan homoseksual, waria juga merupakan kaum yang melakukan seks sejenis, hanya saja mereka lebih memposisikan dirinya sebagai perempuan, sebab mereka merasa bahwa dirinya adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki.
Waria yang sering juga disebut sebagai banci, bencong, wadam dan wandu adalah sosok manusia yang selalu tampil dengan suatu keganjilan yang selalu menarik perhatian orang di manapun mereka berada. Hal ini disebabkan karena penampilannya yang dianggap aneh dan di luar kebiasaan orang pada umumnya.
1st.Penentuan Status Waria
Dalam mendidik seorang anak Lusi memakai istilah “membebaskan tumbuh”, maksudnya seorang anak harus dibiasakan untuk mengerjakan semua kegiatan keseharian di rumah tanpa membedakan apa jenis kelaminnya[254]), dari mulai di dapur, membersihkan rumah, bahkan ketika harus mengganti genting yang bocor. Hal ini dilakukan agar keinginan mewujudkan generasi seutuhnya yang tidak terjebak dalam batasan-batasan jenis kelanin yang merugikan mereka[255]).
Di lain pihak, Soerjono mengatakan bahwa keluarga batin – yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah – mempunyai pengaruh besar terhadap anak yang bisa dikatakan masih sangat tergantung pada keluarga batin tersebut. Pada remaja keadaannya sudah agak berubah. Dalam mencari identitasnya, para remaja sudah bergerak keluar lingkungan keluarga batin. Mereka cenderung lebih dekat dengan teman-teman “senasib” yang biasanya disebut kawan-kawan sepermainan. Sedang kelemahan kelompok sepermainan itu adalah sama-sama masih mencari identits, sehingga belum mampu mengadakan seleksi terhadap pengaruh-pengaruh yang datang (apakah itu baik-buruk atau benar-salah)[256] ).
Perilaku seks setiap orang sebagai wujud dari seksualitasnya, ternyata berbeda satu sama lain meski mungkin konsep “kelelakian” atau “keperempuanannya” sama. Perbedaan perilaku seksual secara psikologis mungkin ditentukan oleh selera, fantasi, obsesi, pengalaman masa kecil, kejadian-kejadian traumatik, atau faktor-faktor psikologis lainnya. Demikian juga kelainan seksual yang terjadi pada kaum waria sering dianggap dibentuk oleh lingkungan atau diakibatkan oleh kejadian-kejadian traumatik yang tidak bisa mereka lupakan hingga tanpa sadar membuat mereka memiliki kacenderungan seksualitas yang abnormal. Dari pengakuan beberapa waria yang berhasil penyusun wawancarai, di antara mereka memang ada yang diperlakukan seperti perempuan sejak kecil, bahkan ada yang selalu dibelikan baju-baju perempuan oleh ayahnya bila pulang dari bepergian. Padahal mereka punya kakak dan adik perempuan, tetapi ternyata ayahnya memang sengaja membelikan baju-baju tersebut untuknya bukan untuk kakak ataupun adik perempuannya, sebagaimana yang terjadi pada Maya. Namun, ada juga yang mengaku bahwa mereka tidak pernah diperlakukan seperti perempuan oleh keluarga dan lingkungannya, bahkan dengan lingkungan yang cukup keras dan disiplin, sebagaimana Merlyn yang tumbuh dalam keluarga militer.
Pembentukan manusia sebagai seksual being telah dimulai sejak berupa janin di dalam kandungan. Pada periode ini perkembangan manusia sebagai makhluk seksual semata-mata masih ditentukan oleh faktor biologis, yaitu gen dari orang tua janin[257]). Sel-sel benih pada mulanya tunggal dan merupakan sel telur (ovum) yang matang dari seorang ibu. Pada saat konsepsi, saat mana ovum dibuahi oleh sebuah spermatozoom (sel jantan) terbentuklah sebuah sel yang dinamakan zygote. Zygote ini melekat pada dinding dalam gua gurba (uterus) ibu. Di dalam uterus itu zygote tumbuh dan berkembang dengan jalan membelah diri dan sel-selnya bertambah menurut deret hitung (2, 4, 8, 16 dan seterusnya) sehingga bermilyar-milyar jumlahnya[258]). Inilah periode paling awal dari proses karakteristik seks yang bakal terus berlangsung sejak hari pertama seseorang dilahirkan. Selain itu, Jung percaya bahwa pada periode ini perbedaan tipe kepribadian manusia juga akan dimulai, karena tipe kepribadian manusia dimulai sejak kecil. Berkaitan dengan tipe kepribadian, waria termasuk seseorang yang memiliki kecenderungan perilaku ekstrover yaitu suatu kecenderungan yang mengarahkan kepribadian lebih banyak keluar dari pada ke dalam diri sendiri. Pada seorang ekstrover, terdapat kekacauan fungsi psikis dan fisik sebagai akibat logis dari paksaan ke dalam suatu pengekangan diri yang tidak dikehendaki[259]).
Sebagaimana pendapat Jung di atas yang mengatakan bahwa pembentukan tipe kepribadian manusia dimulai sejak kecil. Freud juga berpendapat bahwa insting seksual manusia juga telah dimulai sejak kecil, hanya saja lebih lanjut Freud menjelaskan bahwa keabnormalan yang terjadi pada manusia adalah akibat dari pengalaman masa kecil yang kemudian terbawa ke dunia bawah sadar[260]). Dalam hal ini, pada umumnya seorang waria sejak kecil telah merasakan keanehan pada dirinya, hanya saja mereka belum tahu keanehan apa yang ada pada dirinya tersebut. Dengan berjalannya waktu keanehan-keanehan yang mereka rasakan kemudian terjawab, namun sebagian di antara mereka mengatakan bahwa tidak ada kejadian-kejadian masa kecil mereka yang spektakuler hingga menyebabkan mereka bertingkah laku abnormal, dari mulai cara berpakaian, bertingkah laku hingga kecenderungan seksualnya.
Penyaluran seks dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu bisa dengan sesama jenis, lawan jenis, sendirian maupun dengan hewan. Seks yang dilakukan dengan sesama jenis di antaranya ialah homoseks dan lesbian[261]). Sedangkan seks yang dilakukan sendiri tanpa pasangan disebut onani (dilakukan oleh pria) dan masturbasi (dilakukan oleh perempuan). Kemudian, seks yang dilakukan dengan lawan jenis (antara laki-laki dan perempuan) disebut heteroseksual. Dan terakhir adalah seks yang dilakukan dengan hewan atau biasa disebut bestiality.
Sebagaimana penyusun telah jelaskan di muka, bahwa Isla>m menyinggung waria dengan sebutan khuns\a> gair musykil dan khuns\a> musykil. Namun, Isla>m tidak mengatur keberadaan khuns\a> gair musykil secara spesifik, karena telah jelas atau alat kelaminnya dapat dibedakan apakah laki-laki atau perempuan. Untuk megetahuai kelelakian atau keperempuanannya adalah dengan cara melihat kecenderungan seks primer ketika belum dewasa dan seks sekunder bila sudah dewasa. Sehingga hukum yang mengaturnya pun disamakan sebagaimana hukum pada laki-laki atau perempuan. Hal ini diperkuat oleh Hasanain Muhammad Makhluf (ahli fikih kontemporer Mesir) yang mengatakan bahwa apabila seorang khuns\a> mempunyai indikasi yang lebih cenderung menunjukkan kelelakian atau keperempuanannya, maka ia disebut khuns\a> gair musykil (banci yang tidak sulit ditentukan jenis kelaminnya)[262] ).
Tetapi tidak demikian dengan khuns\a> musykil, karena kebelum jelasan statusnya, maka Isla>m memandang perlu untuk mengaturnya secara spesifik. Dalam menentukan hukum bagi khuns\a> musykil para fuqaha berbeda pendapat, misalnya dalam masalah status hukum waris. Menurut Abu Hanifah, sebagaimana dikutip Sabiq, sesungguhnya ia diberi bagian sebagaimana laki-laki, kemudian diberi bagaian sebagaimana perempuan. Oleh karena itu, seorang khuns\a> musykil harus diperlakukan dengan cara yang terbaik dari kedua keadaan tersebut (keadaan laki-laki- atau perempuan), maksudnya bila ia mewarisi menurut satu kedaan dan tidak mewarisi menurut kedaan yang lain, maka ia tidak diberi sesuatu[263]). Jadi, khuns\a> musykil diperlakukan sebagai ahli waris yang kurang beruntung nasibnya. Sebab, ia hanya bisa menerima bagian warisan yang lebih kecil dari dua alternatif bagian warisan dengan status hukum pewaris pria atau wanita. Bahkan Undang-undang Warisan Mesir, sebagaimana yang dikutip oleh as-Sayyid Sabiq, juga menganut sistem ini, yaitu termuat dalam pasal 46 yang berbunyi :
Bagi khuns\a> musykil, yaitu orang yang tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, mendapatkan bagian terkecil dari dua bagian dan sisa harta peninggalan diberikan kepada ahli waris lainnya[264]).
Dari teks undang-undang tersebut, kemudian Fatchur Rahman menarik dua kesimpulan[265]) sebagai berikut :
1. Yang diberi bagian sebagaimana tercantum dalam undang-undang adalah khuns\a> yang benar-benar sukar untuk ditetapkan status kelelakian maupun keperempuanannya.
2. Ia tidak diberikan bagian harta peninggalan sedikitpun baik menurut pembagian laki-laki maupun perempuan, sekiranya ia terhijab hirman[266]) oleh ahli waris yang lain dan karenanya seluruh harta peninggalan dipusakai oleh seluruh ahli waris yang lain.
Sedangkan dalam masalah ibadah, baik ibadah wajib maupun sunnah, khuns\a> akan mendapatkan keringanan bila ibadah tersebut berhubungan dengan pemisahan persyaratan atau ketentuan antara laki-laki dan perempuan, dalam shalat berjama’ah misalnya, mereka dianjurkan berada pada saf perempuan karena pada umumnya khuns\a> bersifat feminin[267]).
Para sarjana hukum Isla>m berijtihad dengan mengkategorikan banci pada laki-laki atau perempuan melalui dua jalan[268]) :
1. Melihat perkembangan seks primernya, yaitu dengan cara meneliti alat kelamin yang dilalui air kencing, yaitu bila air kencing keluar melalui dzakar atau keduanya tapi yang lewat dzakar lebih dulu keluarnya, maka ia dianggap laki-laki. Oleh karena itu, ia dapat mewarisi sebagaimana laki-laki. Namun, bila ia membuang air kecil melalui farji atau keduanya tetapi yang lewat farji lebih dahulu keluarnya, maka ia dianggap sebagai perempuan dan ia dapat mewarisi sebagaimana perempuan. Hal ini diperkuat oleh hadi>s\ Nabi SAW. yang berbunyi[269]) :
- حدثنا أبو بكر بن أبى شيبه ثنا هشيم عن مغيرة عن شباك عن الثعبي عن علي في الحنثى قال
يورث من قبل مباله.
- أخبرنا عبيد الله بن موسى عن إسرائيل عن عبد الأعلى أنه سمع محمد بن علي يحدث عن علي
في الرجل يكون له ما للرجل وما للمرأة من أيهما يورث. فقال : من أيهما بال.
2. Meneliti tanda-tanda kedewasannya, yaitu dengan cara melihat perkembangan seksual sekundernya. Seksual sekunder pada laki-laki ditandai dengan tumbuhnya janggut dan kumis, suaranya berubah jadi besar, pinggul lebih kecil, dada lebar, mimpi basah atau keluarnya sperma lewat dzakar. Sedangkan pada perempuan dapat dilihat dari munculnya buah dada, pinggul yang membesar, menstruasi dan lain sebagainya.
Ijtihad di atas menunjukkan bahwa bagi para pemikir Isla>m, fisik merupakan acuan utama dalam menentukan hukum apa yang akan dipakai dan diberlakukan pada seorang banci tanpa melihat lebih jauh pada aspek psikologis, sosial, budaya dan yang lainnya. Padahal, penentuan jenis kelamin tidak sesederhana itu, sebab bila dilakukan secara medis mungkin saja akan memperoleh kesimpulan yang berbeda, sebagaimana yang terjadi pada Rogayah, seorang remaja hermaprodite dari Bandung yang sejak kecil diperlakukan sebagai perempuan, namun ketika dewasa menjadi laki-laki[270]). Selain itu, kecenderungan jiwa atau tingkah laku sehari-hari kepada lawan jenis kelamin juga bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam menentukan status jenis kelamin pada khuns\a> musykil[271]).
Pandangan fiqh yang hanya melihat kecenderungan kelamin dalam menentukan hukum bagi kaum marjinal ini sepintas memang sangat positivistik, karena hanya melihat waria dari sisi biologis saja tanpa mempedulikan aspek lainnya (psikologis). Padahal persoalan waria tidak sesederhana itu hingga cukup dilihat ukuran alat kelaminnya untuk kemudian ditentukan hukum apa yang akan dipakai. Persoalan waria meliputi berbagai macam aspek, sehingga dalam mencari alternatif hukum yang akan diberlakukan padanya juga harus melihat dan mempertimbangkan aspek-aspek lain yang berkaitan atau melingkupinya.
Dengan demikian, bila hukum Isla>m dalam menentukan status hukum terhdap kaum marjinal ini hanya mengacu pada aspek jasmani atau fisik tanpa memperhatikan aspek psikisnya, maka penyelesaian terhadap permasalahan ini akan jauh dari memuaskan. Padahal Hukum Isla>m sering dikatakan sebagai rahmatan lil’alamin dan fleksibel karena dapat disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktu dimana hukum itu berkembang atau diberlakukan, sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi :
تفسير الأ حكم بتغير الزمان والمكان [272]
Selain itu, secara medis jenis kelamin khuns\a> dapat dibuktikan dengan perbedaan pada bagian luar dan dalam, misalnya jenis kelamin bagian dalam adalah perempuan dan terdapat rahim, tetapi bagian luar berkelamin laki-laki dan memiliki penis atau memiliki keduanya yaitu penis dan vagina atau bahkan tidak memiliki keduanya sama sekali[273]. Nining Asmara adalah salah satu banci yang memiliki kelamin dalam perempuan dan kelamin luar laki-laki. Dari wawancara yang dilakukan oleh Aly Manshur dan Iskandar, Nining bercerita[274]) :
Dari kecil saya memang senang bergaul dengan perempuan, pakaian tiap hari laki-laki, namun terkadang juga berpakaian perempuan. Setelah SMP kelas III saya mengalami menstruasi, sampai sekarang sudah tujuh kali menstruasi. Dan alhamdulillah saya sekarang sudah bekerja, saya tidak seperti waria yang berkeliaran , sebab ayah dan ibu keras melarangnya dan saya sendiri tidak senang seperti itu. Waktu saya menstruasi ibu juga kaget dan menangis namun akhirnya keluarga memakluminya, dan kemudian saya memakai baju perempuan sampai sekarang. Selain itu, saya sendiri merasa bahwa diri saya adalah perempuan. Dulu saya pernah diperikasa dokter RSUP, katanya saya dapat dioperasi dan bisa sepeti perempuan, tetapi karena saya orang miskin, akhirnya saya tidak bisa meneruskan operasi, sebab tidak ada biaya. Meskipun demikian, saya yakin keinginan saya untuk menjadi perempuan akan tercapai entah tahun berapa saya tidak tahu, saya terus berdo’a semoga bisa terlaksana.
Dari penggalan cerita di atas, Nining termasuk khuns\a> gair musykil karena sudah jelas. Meskipun kelamin luarnya laki-laki namun kelamin perempuan di dalamnya lebih dominan menguasai dirinya. Kemudian, untuk memperjelas status khuns\a> atau hermaprodite, para ulama sepakat bahwa mereka boleh melakukan operasi penyempurnaan kelamin, yaitu dengan membuang salah satu kelamin yang dianggap tidak berfungsi atau dengan memperjelas kelamin yang semula belum jelas atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan dalam menentukan keberadaan status waria atau transeksual, para pemikir Isla>m berbeda pendapat. Sebagian di antara mereka berpendapat bahwa kaum transeksual telah jelas alat kelaminnya. Oleh karena itu, mereka dilarang melakukan operasi kelamin dengan alasan bahwa hal itu sama dengan merubah ciptaan Tuhan, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 119. Selain itu, pada umumnya para waria juga menggunakan alasan ini, guna menolak melakukan operasi kelamin dan mereka juga mengatakan bahwa mereka telah bisa menerima kondisi mereka sebagaimana adanya. Surat an-Nisa’ (4) ayat 119 tersebut dikuatkan oleh pendapat ulama :
قال عياض : ويأتى علىماذكره أن من خلق بأصبع زائدة أوعضو زائد لايجوزله قطعه ولانزعه, لأنه من تغيير خلق الله تعالى, إلا أن تكون هذه الزوائد تؤلمه, فلا بأس بنزعها عند ابى جعفر وغيره[275]
Sebagian lagi berpendapat, bahwa dalam menentukan kejelasan status waria atau transeksual, mereka membolehkan kaum ini melakukan operasi pergantian atau penyempurnaan kelamin, namun harus melalui beberapa tahapan pemerikasaan yang dari hasil pemerikasaan tersebut diindikasikan bahwa hanya operasi satu-satunya jalan yang bisa ditempuh untuk memperjelas status waria tersebut. Namun, ada juga yang berpendapat, bila dengan keadaannya yang sekarang dia tidak ada masalah maka operasi tidak diperlukan, karena pengaruhnya bukan hanya pada dirinya sendiri melainkan juga pada orang lain[276]). Selain itu, Masjfuk juga berpendapat bahwa operasi pergantian kelamin bisa menimbulkan konflik dalam rumah tangga, sebab suami atau istri yang telah menjalani operasi pergantian kelamin tetap tidak akan dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri yang normal[277]). Oleh karena itu, yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan cerai ke Lembaga Peradilan dengan alasan pasangannya tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami atau istri yang normal. Hal ini sesuai dengan PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19 ayat e[278]).
Cara lain untuk mengetahui abnormalitas seksual pada kaum waria atau transeksual tersebut alami atau bukan, dalam buku “Diagnosis Gangguan Jiwa” dikatakan bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai gangguan identitas jenis kelamin, identitas transeksual sejak masa kanak-kanak hingga dewasa harus memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut[279]) :
Pertama, keinginan anak yang mendalam dan menetap untuk menjadi jenis kelamin lawan jenisnya disertai penolakan terhadap perikalu, memakai atribut yang sesuai dengan jenis kelaminnya.
Kedua, manifestasi pertama timbul pada usia pra-sekolah dan gangguan harus sudah tampak sebelum pubertas, lebih suka bermain dengan lawan jenisnya misalnya[280]).
Ketiga, sudah menetap selama minimal dua tahun dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom.
Keempat, ada hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya yang biasanya disertai dengan ketidak cocokan dengan anatomi seksualnya.
Kelima, adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkannya
2nd. Analisis Hukum Islam terhadap Praktek Perkawinan Waria
Orang dengan gangguan identitas jenis kelamin mungkin[281]) :
1. Tertarik secara seksual pada laki-laki
2. Tertarik secara seksual pada perempuan
3. Tertarik secara seksual pada kedua jenis kelamin, atau
4. Tidak tertarik secara seksual pada laki-laki maupun perempuan.
Pada sebagian besar kasus, orang-orang tersebut tidak mau dikatakan sebagai homoseksual meskipun ia tertarik pada laki-laki bila ia laki-laki atau lesbian bila ia perempuan. Sebab, mereka yakin bahwa dirinya adalah anggota jenis kelamin berlawanan, hanya saja jiwanya terperangkap dalam tuhuh yang salah. Oleh karena itu mereka yakin bahwa dirinya adalah heteroseksual.
Keberadaan kaum waria atau transeksual tersebut kemudian memunculkan berbagai macam masalah, karena bagaimanapun juga waria – bisa dikatakan – termasuk kelompok hubungan seks sejenis, meskipun mereka berbeda dengan gay. Sebagaimana penyusun telah jelaskan di muka, bahwa dalam Isla>m hubungan seks sejenis dengan tegas diharamkan, karena dianggap dapat mengancam perkembang biakan habitat manusia dan bertentangan dengan salah satu tujuan perkawinan yaitu untuk memperoleh keturunan. Alasan lain diharamkannya seks sejenis adalah karena hubungan yang mereka buat pada umumnya tidak menggunakan perantara mahar yang merupakan syarat sah perkawinan, dan hal ini juga terjadi pada perkawinan yang dilakukan oleh para waria. Bila ditanya tentang mahar, mereka (waria) selalu mengatakan bagaimana mungkin lekongnya memberikan – sesuatu yang mungkin bisa dikategorikan sebagai – mahar padanya sedangkan pada kenyataannya merekalah yang menanggung hidup lekongnya. Namun, berbeda bila lekongnya juga bekerja, maka pada umumnya mereka akan saling melengkapi.
Sebagaimana penyusun telah jelaskan di muka, bahwa perkawinan yang dilakukan oleh para waria hanya bersifat ikatan biasa yang dilakukan oleh dua orang, dalam hal ini waria dan lekong-nya, tanpa ijab qabul, saksi, mahar, wali[282]) dan beberapa syarat dan rukun lain yang telah ditentukan oleh syara’. Padahal, keberadaan syarat dan rukun tersebut dalam suatu perkawinan sangat penting bahkan wajib hingga bila tidak dipenuhi dapat mengakibatkan perkawinan tersebut tidak sah. Oleh karena itu, praktek perkawinan yang dilakukan oleh kaum waria tersebut sangat dipertanyakan keabsahannya, meskipun seandainya keberadaan mereka diakui oleh hukum. Tetapi, di tempat para waria tinggal, perkawinan tersebut secara tidak langsung diakui oleh teman-teman sesama warianya dan masyarakat sekitar.
Kenyataan bahwa tidak mungkin ada laki-laki yang mau menjadi lekong seorang waria untuk selamanya, juga merupakan salah satu alasan kenapa kaum ini tidak ada yang menikah secara hukum. Alasan seorang lekong tidak bisa hidup selamanya dengan waria adalah sangat simpel, yakni semua manusia ingin memiliki keturunan termasuk lekong waria terebut. Dalam hal ini seorang waria meskipun memiliki jiwa perempuan namun fisiknya tetaplah laki-laki dan tentu saja tidak memiliki rahim. Dengan keadaan yang serba “membingungkan” tersebut, maka tidak mungkin mereka dapat melahirkan sebagaimana seorang perempuan. Selain itu, kenyataan dilapangan mengatakan bahwa tidak ada orang atau KUA yang mau menikahkan mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh ketua KUA Jetis “kami akan menikahkan laki-laki dan perempuan yang datang ke sini untuk minta dinikahkan. Tetapi, bila yang datang adalah laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan kemudian mereka minta dinikahkan maka kami tidak bisa melakukannya, karena Isla>m melarang hubungan sesama jenis seperti kaum Nabi Lu>t} as.”. Selain itu, Drs. Mukhlis selaku kepala KUA Jetis, yakin bahwa Tuhan hanya menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan[283] ).
Namun, bagaimana bila ketika memohon untuk dinikahkan pada seseorang atau KUA identitas waria tersebut tidak diketahui hingga akhirnya mereka dinikahkan, maka apakah kemudian perkawinan tersebut bisa dianggap sah atau legal. Padahal kenyatannya, dalam Isla>m tidak ada satu pun ayat maupun hadi>s\ yang membolehkan – setidaknya memberikan keringanan – hubungan seks sejenis, bahkan pelakunya diancam dengan hukuman, hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang hukuman yang tepat bagi pelaku homoseks ini. Sebagian ulama berpendapat, bahwa hubungan seks sejenis dihukumi sebagaimana atau diqiyaskan pada zina, namun sebagian lain membedakannya, oleh karena itu hukuman yang diterapkan pun berbeda.
Lebih lanjut, Ima>m Abu> Hani>fah, seorang pendiri mazhab Hanafi dalam dunia Sunni>, mengatakan bahwa perbuatan persetubuhan antara sesama jenis adalah perbuatan wati’ yang tidak menggunakan perantara mahar maka perbuatan ini tidak dikenai hukuman sebagaimana yang dikenakan kepada pelaku zina. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa pelaku zina tidak sama dalam melakukan “hajat”nya[284]). Selanjutnya, menyangkut sebuah hadis Nabi Muhammad yang berbunyi[285]) :
حدثنا عبدالله بن محمد بن علي النفيلي, أخبرنا عبدالعزيز بن محمد, عن عمروبن أبي عمرو, عن عكرمه, عن ابن عباس قال : قال رسول الله ص.م "من وجدتموه يعمل عمل لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به".
Ima>m Abu> Hani>fah tidak membedakan antara hukuman fâil dan maf’ûl-nya. Seharusnya, masih menurut Abu Hanifah, kalau pelaku homoseks disamakan dengan zina maka tentunya Nabi membedakan pelaksanaan hukumannya itu terhadap yang sudah kawin atau belum sebagaimana halnya yang terdapat pada hukuman zina.
Sedangkan bila dilihat dari segi qiya>s perbuatan persetubuhan sesama jenis yang intinya adalah melampiaskan syahwat atau mengeluarkan sperma pada tempat yang diharamkan sama denga zina. Sebab, pelakunya tidak mempunyai hak kepemilikan dan tidak pula syubhat pemilikan[286]).
Keberadaan waria di tengah-tengah kehidupan manusia masih menjadi polemik terutama status hukum yang akan diberlakukan kepada mereka, karena hukum baik hukum Isla>m maupun hukum positif hanya mengenal dua jenis kelamin yaitu jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Kemudian dari keduanya (laki-laki dan perempuan) manusia berkembang biak di atas permukaan bumi ini menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, sebagaimana firman Allah di bawah ini :
- An-Nisa’, (4) : 1 :
يآيهاالناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منهازوجها وبث منهمارجالا
كثيرا ونساء…
- Al-Hujurat, (49) : 13 :
يآيها الناس اناخلقناكم من ذكروانثى وجعلناكم شعوباوقبائل لتعارفوا …
Dari kedua ayat tersebut, maka status hukum yang diberikan kepada seseorang sangat bergantung pada jenis kelamin yang dimilikinya, seperti pelaksanaan ibadah, perkawinan, kewarisan, dan lain-lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada alat kelamin lain (kelamin ketiga) yang dapat digunakan untuk menentukan suatu makhluk pada jenis kelamin ketiga karena Allah hanya menciptakan makhluknya dengan dua bentuk yaitu laki-laki dan perempuan.
Sehubungan dengan jenis kelamin atau gender, keberadaan waria sering dikatakan sebagai jenis kelamin ketiga karena ketidak jelasan statusnya – bila dikatakan laki-laki mereka seperti perempuan, namun bila dikatakan perempuan jenis kelaminnya menunjukkan mereka laki-laki. Namun, Vinolia dengan tegas menolak anggapan tersebut, menurutnya tidak ada jenis kelamin ketiga, bahkan lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam kartu tanda penduduk (KTP) ia memilih dan memakai jenis kelamin laki-laki, karena ia sadar bagaimanapun juga kondisi fisiknya memang menunjukkan ke arah tersebut. Namun, tidak demikian dengan Maya dan pada umumnya waria lain, mereka lebih memilih memakai jenis kelamin perempuan dalam KTP-nya, sebab mereka merasa bahwa dirinya perempuan meskipun hanya jiwanya.
Sebagaimana penyusun telah jelaskan di muka, bahwa Isla>m mengenal waria dengan sebutan khuns\a> dan mukhannas\, dan masing-masing dibagi menjadi dua. Bila mengacu pada definisi yang ditawarkan oleh as-Sayyid Sabiq, maka waria termasuk dalam kategori khuns\a> musykil. Tetapi, bila merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, waria bukan termasuk mukhannas\ bentuk kedua yang banyak dikecam dalam beberapa hadist Nabi saw., melainkan termasuk mukhannas\ bentuk pertama, yaitu terbentuknya bukan dari hasil rekayasa melainkan karena takdir sebagaimana yang dikatakan oleh Merlyn.
Namun, pada tanggal 11 Oktober 1997, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak eksistensi waria, karena mereka menganggap bahwa waria sama dengan mukhannas\ bentuk kedua, yaitu laki-laki yang “menyerupai” perempuan karena terpaksa atau sengaja, dan hal itu dilarang dalam Isla>m[287]), sebagaimana hadi>s\ di bawah ini :
حدثنا معاذبن فضالة حدثنا هشام عن يحيى عن عكرمة عن ابن عباس قال لعن النبى ص.م المخنثين من الرجال والمترجلات من النساءوقال أخرجوهم من بيوتكم قال فأخرج النبي ص.م فلانا وأخرج عمر فلانا[288].
Selain itu, masih terdapat beberapa hadi>s\ Nabi saw. yang berisi larangan memasukkan mukhannas\ ke dalam rumah :
- حدثنا مالك بن إسماعيل حدثنا زهير حدثنا هشام بن عروة أن عروة أخبره أن زينب ابنة أبى سلمة أخبرتها أن النبى ص.م كان عند ها وفي البيت مخنث فقال لعبدالله اخى أم سلمة ياعبدالله إن فتح لكم غدا الطائف فإنى أدلك على بنت غيلان فإنها تقبل بأربع وتدبربثمان فقال النبي ص.م لايدخلن هؤلاء عليكن[289].
- حدثنا عثمان بن أبى شيبة حدثنا عبدة عن هشام بن عروة عن أبيه عن زينب بنت أم سلمة "عن أم سلمة أن النبى ص.م كان عندها – وفى البيت مخنث – فقال المخنث لأخى أم سلمة عبدالله بن أبى أمية : إن فتح الله لكم الطائف غدا أدلك على ابنة غيلان, فإنها تقبل بأربع وتدبر بثمان. فقال النبى ص.م لايدخلن هذا عليكم"[290].
Meskipun Nabi saw. telah melaknat keberadaan mukhannas\ dan melarang memasukkan mereka kedalam rumah, tetapi Nabi saw. juga menjaga hak mukhannas\ dengan melarang membunuhnya sebagaimana hadi>s\ Nabi saw. :
حدثنا هارون بن عبد الله ومحمد بن العلاء أن أبا أسامة أخبرهم عن مفضل بن برنس عن الأوزاعى عن ابن بسار القريشي, عن ابن هاشم عن أبي هريرة : أن النبي ص.م أتى بمخنث قد خضب يديه ورجليه, فقال النبى ص.م مابال هذا؟. فقيل : يارسول الله إن هذا يتشبه بالنساء, فأمر به فنفي إلى النتيع, فقالوا يارسول الله ألا تقتله ؟ فقال : إني نهيت عن قتل المصلمين[291].
Selanjutnya, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa mukhannas\ ada dua macam[292]), yaitu (1) Mukhannas\ yang tidak dicela (mukhannas bentuk pertama), namun ia harus berusaha untuk mengobati “penyakitnya” hingga dapat hidup sebagaimana manusia normal dan (2) Mukhannas\ yang dicela (mukhannas bentuk kedua) yaitu seseorang yang hidup sebagai mukhannas\ karena sengaja dan bertujuan agar semua laki-laki menjauhi perempuan dan hanya mendatanginya, sebagaimana perkataan mukhannas\ yang bernama Hait (Hit) pada kedua saudara Ummu Salamah dalam hadi>s\ Nabi yang berbunyi : “Jika besok Allah menaklukkan kota Thaif untuk kalian, akan aku tunjukkan kepadamu anak perempuan Gailan, karena sesungguhnya ia bila dari depan mempunyai empat lipatan dan dari belakang memiliki delapan lipatan”[293]). Selain itu, menurut al-Mihlab, dilarangnya memasukkan seorang mukhannas\ ke dalam rumah kerana ia memiliki sifat seperti perempuan, dan dengan sifatnya tersebut dikhawatirkan akan menarik para suami atau laki-laki untuk menjauhi perempuan dan beralih mendekati mereka[294]).
Namun, bila mukhannas\ tersebut baik dan tidak memiliki tujuan sebagaimana dipaparkan di atas, maka Nabi saw. tidak mencela atau membiarkan mereka dan tidak melarang memasukkan mereka ke dalam rumah sebagaimana hadi>s\ Nabi yang berbunyi :
وحدثبا عن بن محمد. أخبرنا عبد الرزاق عن معمر, عن الزهري, عن عروة, عن عائشة. قالت : كان يدخل على أزواج النبي ص.م مخنث. فكانوا يعدونه من غير أولي الإربة. قال فدخل النبي ص.م يوما وهو عندبعض نسائه. وهو ينعت امرأة...[295]
Terlepas dari mukhannas\ bentuk kedua yang diharamkan tersebut, bagaimana status hukum yang diberlakukan pada mukhannas bentuk pertama, terutama pada aspek perkawinan. Sebab, masyarakat umum tidak pernah membedakan keabnormalan-keabnormalan tersebut, mereka menyamaratakan dan memandang negatif terhadap semua bentuk keabnormalan seksual, baik yang merupakan takdir maupun bukan. Tingkat kesulitan dalam membedakan beberapa bentuk abnormalitas seksual, seperti homoseksual, transvestisme dan transeksualisme ini juga merupakan salah satu faktor penyebab masyarakat sering menyamakan beberapa bentuk abnormalitas seksual tersebut. Meskipun demikian, fenomena keberadaan waria di tengah-tengah kehidupan namusia adalah nyata dan tidak bisa lagi selalu dianggap tidak ada. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi status hukum yang akan diterapkan pada mereka, terutama pada aspek perkawinan. Sebab, manusia – termasuk di dalamnya waria – merupakan seksual being, dan kebutuhan seksual ini hanya dilegalkan melalui perkawinan. Seks merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat krusial, maka munafik bila ada yang mengatakan bahwa ia tidak butuh dan peduli pada seks.
Dalam kalam-Nya, Allah menjelaskan bahwa manusia ada yang diciptakan dalam keadaan dan bentuk yang sempurna, namun ada juga yang dalam keadaan dan bentuk kurang sempurna sebagaimana Firman-Nya dalam al-Qur’an surat al-Hajj yang berbunyi : …مخلقة وغير مخلقة … [296]). Dan kaum waria mungkin saja adalah salah satu makhluk Tuhan yang diciptakan kurang sempurna sebagaimana dimaksud dalam firman Alla>h tersebut. Selain itu, dari wawancara yang dilakukan Ety, Bapak Machasin mengatakan bahwa memaksa transeksual untuk menjadi perempuan (bila ia perempuan) atau menjadi laki-laki (bila ia laki-laki), maka hal itu di luar kemampuan mereka (transeksual) dengan merujuk pada firman Allah yang berbunyi: لايكلف الله نفسا إلا وسعها [297]).
Selama ini para pemikir Isla>m lebih disibukkan dalam menentukan status hukum waris bagi khuns\a>, hingga sedikit sekali di antara mereka yang mengeluarkan pendapatnya dalam pemberian status hukum perkawinannya. Dalam hal perkawinan ini, seorang khuns\a> musykil diperbolehkan menikah bila telah jelas statusnya, maksudnya sudah dapat dibedakan apakah dia laki-laki atau perempuan. Namun, lebih lanjut tidak dijelaskan apa dan bagaimana cara yang harus ditempuh untuk memperjelas status khuns\a> musykil ini. Kemudian, sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi, ditemukan satu solusi untuk memperjelas keberadaan status ini, yaitu dengan cara operasi pergantian atau penyempurnaan kelamin, meskipun kebolehannya masih diperdebatan di kalangan pemikir Isla>m. Ada yang berpendapat, bila operasi dilakukan untuk menyempurnakan kelamin yang tidak jelas supaya menjadi jelas, maka diperbolehkan. Tetapi, bila operasi dilakukan untuk mengganti kelamin, yaitu dari berkelamin laki-laki menjadi berkelamin perempuan, maka operasi tersebut tidak diperbolehkan, karena “mengganti” berarti “mengubah” dan dalam Isla>m hal itu tidak diperbolehkan sebagaimana firman Alla>h dalan surat an-Nisa’ (4) ayat 119, yaitu berisi tentang larangan mengubah ciptaan Alla>h.
Hal ini senada dengan pendapat Msjfuk, bila operasi kelamin bersifat dan bertujuan untuk mnegubah ciptaan Tuhan, maka status jenis kelainnya tetap sebagaimana sebelum operasi atau seperti saat ketika lahir. Namun, bila sifat dan tujuan opersi kelamin itu hanya untuk tashhih / takmil, artinya untuk memperbaiki atau menyempurnakan jenis kelaminnya saja, maka diperbolehkan bahkan dibenarkan oleh Isla>m, sehingga waria yang telah melakukan operasi kelamin tersebut diperbolehkan melakukan perkawinan dengan pasangan yang berbeda jenis kelamin dari keadaan setelah operasi[298]).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada umumnya kaum waria juga ingin melangsungkan perkawinan secara sah sebagaiman ketentuan Syara’, namun tidak ada orang yang bersedia menikahkannya, bahkan KUA sebagai lembaga Isla>m yang mengurusi permasalahan perkawinan juga menolak mengawinkan mereka dengan alasan bahwa Isla>m melarang bahkan melaknat hubungan atau perkawinan sejenis sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Lu>t} as. yaitu pada suku Sodom dan Amoro. Hal ini mengakibatkan tidak ada kaum waria yang menikah secara sah, dan kemudian menciptakan sistim pernikahan sendiri. Pernikahan yang dilakukan oleh para waria selama ini bisa dikatakan tidak sah, karena tidak memenuhi beberapa persyaratan dan rukun yang telah ditetapkan, misalnya wali, saksi, mahar dan sebagainya. Perjanjian perikatan diantara mereka bersifat pribadi antara kedua belah pihak. “Perkawinan” yang dilakukan oleh para waria hanya bersifat agar mendapatkan pengakuan – bahwa laki-laki yang tinggal bersama dengannya tersebut adalah “suaminya”, sehingga tidak ada yang akan mengganggu “suaminya” lagi – dari teman-teman warianya dan lingkungan di mana ia tinggal.
2. Dalam hal perkawinan waria ini, para pemikir Isla>m berpendapat bahwa apabila seorang waria sejati atau alami ingin melakukan perkawinan maka ia harus terlebih dahulu melakukan operasi kelamin guna memperjelas statusnya dalam hukum. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa apabila waria tersebut tidak mengalami konflik dengan jenis kelaminnya yang sekarang maka operasi tidak mutlak harus dilakukan.
1st.Saran-saran
Melihat keberadaan waria terutama di Yogyakarta pada saat ini, maka ada beberapa saran yang mungkin bisa dijadikan masukan atau bahan pertimbangan dalam menyelaraskan hukum Isla>m dengan tuntutan zaman :
1. Kaum waria seharusnya dilihat sebagai manusia pada umumnya yang keberadaannya tidak melulu ditentukan oleh kelaminnya, tetapi sabagai makhluk Tuhan yang sama-sama memiliki hak dan kewajiban di dunia ini.
2. Jika waria merupakan keabnormalan yang diakibatkan atau dibentuk oleh lingkungan dan dianggap dapat “disembuhkan” maka selayaknya dibantu mencarikan obat untuk menyembuhkannya, sebab terapi yang selama ini dianggap bisa menyembuhkan ternyata belum sepenuhnya berhasil, bahkan sangat sedikit yang berhasil, dan bila berhasil biasanya ia tidak dapat sembuh atau menjadi normal secara total, ketika tua keabnormalan tersebut biasanya akan muncul kembali.
3. Namun, jika keabnormalan yang diderita kaum waria merupakan gejala alami atau takdir Tuhan, maka selayaknya dicarikan solusi hukum yang tepat dan sesuai dengan kondisi sekarang serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sehingga mereka tidak merasa diberatkan dengan solusi hukum yang ditawarkan tersebut, untuk memperjelas statusnya maka ia harus operasi kelamin misalnya, sebab operasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tetapi, bila satu-satunya jalan keluar yang bisa ditawarkan adalah operasi kelamin, maka status setelah operasi harus diperjelas, sebab pada umumnya mereka takut dan ragu dengan status mereka setelah operasi – takut, dengan melakukan operasi apakah mereka tidak termasuk merubah ciptaan Tuhan sebagaimana dimaksud surat an-Nisa’ (4) ayat 119 dan ragu apakah setelah melakukan operasi meraka lantas bisa menjadi “semahram” dengan perempuan.
4. Oleh karena itu, Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin harus bisa mencari solusi hukum dalam menyikapi keberadaan kaum waria ini, hingga statusnya di masyarakat jelas, ia termasuk laki-laki meski berkelamin perempuan atau sebaliknya, karena Islam tidak mengenal jenis kelamin ketiga, sebab Tuhan hanya menciptakan manusia dengan dua bentuk yaitu laki-laki dan perempuan sebagaimana yang termaktub dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 1 dan surat al-Hujurat (49) ayat 13.
DAFTAR PUSTAKA
Kelompok al-Qur’an dan Tafsir
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : Surya Cipta Aksara, 1993
Al-Qurtubi, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’a>n, 10 Jilid, t.tp. : Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi> lith-Thiba>’ah wa an-Nasyr, 1967
As-Sa>yis, Muhammad Ali> As-Sa>yis, Tafsir Aya>t al-Ahka>m, cet. ke-3, ttp : Matba’ah Muhammad Ali> Sabi>h, t.t.
Kelompok Hadi>s\
Al-‘Asqala<>ni, Hafidz bin Hajar, Bulu>gul Mara>m, t.tp. : Syirkah a
Ad-Da>rimy, Abu> Muhammad Abdulla>h Bahram, Sunan ad-Darimy, t.tp. : Da>r Ihya>’ as-Sunnah, t.t.
Muslim, Imam, Sahih Muslim, India : Adam Publishers dan Distributor, t.t.
As-Sijjista>ni>, Abu> Da>wud Sulaima>n ibn al-Asy’as, Sunan Abi> Da>wud, ttp : Da>r al-Fikr, t.t.
Al-Qusairy, Abi> al-Husain Muslim ibn al-Hajja>j ibn Muslim, Al-Jami>’ as-Sahi>h, Beirut : Da>r al-Fikr, t.t.
Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh
Al-‘Asqala>ni, Ibnu Hajar, Fath al-Ba>ri> fi Syarh al-Bukha>ri>, XIV Juz, t.tp. : Maktabah Salafiyah, t.t.
Abidin, Slamet, Fiqih Munakahat I, cet. ke-1, Bandung : Pustaka Setia, 1999
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-9, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001
Anwar, Moch., Hukum Perkawinan dalam Islam, dan Pelaksanaannya Berdasarkan Undang-undang no.1 tahun 1974, cet. ke-1, Bandung : Al-Ma’arif, 1981
Burhanudin, Erwin, “Praktek Kewarisan Pada kaum Waria dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Yogyakarta), Skripsi, Jurusan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, hlm. 61. (tidak dipublikasikan)
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1988
Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-V1, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
Ensiklopedi Islam, 3 Jilid, Jakarta : Departemen Agama R.I., 1993
Firdaweri, Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan; Karena Ketidak Mampuan Suami Menunaikan Kewajibannya, cet. ke-1, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1989
Al-Gaza>li>, Abu> Hami>d, Ihya’ al-‘Ulu>m ad-Di>n, X Jilid, t.tp. : tnp, t.t.
……………….., Menyingkap Hakikat Perkawinan; Adab, Tata Cara dan Hikmahnya, Penerjemah : Muhammad al-Baqir, cet. ke-10, Bandung : Karisma, 1999
Hamid, Zahri, Pokok-pokok Hukum Perkaiwnan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, cet. ke-1,Yogyakarta : Bina Cipta, 1978
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah; Pada masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, cet. ke-2, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997
Idris, Abdul Fatah dan Abu Ahmadi, Fiqh Islam Lengkap, cet. ke-2, Jakarta : Rineka Cipa, 1994
I Doi, Abdur. Rahman, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, cet. ke-1, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996
Jurnal Penelitian Agama; Media Komunikasi, Penelitian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Agama, Vol. XI, No. 2 Mei-Agustus 2002, Yogyakarta : Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 2002
Koeswinarno, Islamic Response to Transeksuality in Indonesia, Disampaikan pada Konsortium on Gender, Sexuality and Sexual Health se-Asia Tenggara, Salaya, Thailand, 2003
Al-Maudu>di>, Abu> al-A’la> dan Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan dalam Islam, cet. ke-2, Jakarta : Darul Ulum Press, 1994
M. Thalib, Fiqih Nabawi, Surabaya : Al-Ikhlas, t.t.
Mawardi, Hukum Perkawinan dalam Islam, cet. ke-3, Yogyakarta : BPFE, 1984
Musawa; Jurnal Studi Gender dan Islam, cet. ke-2, Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Royal Danish Embassy Jakarta, 2003
Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan; Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk, cet. ke-2, Bandung : Al-Bayan, 1995
M. Bukhari, Islam dan Adab Seksual, cet. ke-1, Jakarta : Bumi Akasara, 1994
Ma’rifah, Eti Fajar, “Operasi Penggantian dan Penyempurnaan Kelamin; Studi Koparasi Ulama Muhammadiyah dan NU di Yogyakarya”, Skripsi, Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet. ke-3, Jakarta : Bulan Bintang, 1993
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, cet. ke-1, Semarang : Dina Utama, 1993
Ar-Ruhayliy, Ruway’i, Fiqih Umar II, cet. ke-1, Jakarta : Pustaka al-Kausar, 1994
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Hukum Fiqh Lengkap, cet. ke-28, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1995
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-4, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Rahman, Fathur, Ilmu Waris, Bandung : Al-Ma’arif, t.t.
Ridwan, Fathi, Minfalsafah at-Tasyri’ al-Islamiy, Cairo : Dar al-Kitab al-‘Arabyah, 1969
Al-Shabbagh, Mahmud, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, cet. ke-3, Penerjemah : Bahruddin Fannani, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet. ke-4, Yogyakarta : Liberti, 1999
Sa’abah, Marzuki Umar, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, cet. ke-1, Jogjakarta : UII Press, 2001
Sudirman, Rahmat, Konstruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial; Peralihan Tafsir Seksualitas, cet. ke-1, (Yogyakarta : Media Pressindo, 1999), hlm. 57.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, cet. ke-2, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994
……………….., Pokok-pokok Hukum Islam; MKDU, cet. ke-1, Jakarta : Rineka Cipta, 1992
As-Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 7, cet. ke-8, Alih Bahasa : Drs. Moh. Thalib, Bandung : Al-Ma’rifah, 1997
……………….., Fikih Sunnah 9, Alih Bahasa : Moh. Nabban Husein, cet. ke-9, Bandung : Al-Ma’arif, 1997
………………., Fikih Sunnah 14, Diindonesiakan oleh Drs. Mudzakir AS, cet. ke-8, Bandung : Al-Ma’arif, 1996
Thalib, Sajuti, Hukum Islam di Indonesia; Berlaku bagi Umat Islam, Jakarta : Universitas Indonesia, 1974
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali, cet. ke-10, Jakarta : Hidakarya Agung, 1983
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, cet. ke-9, Jakarta : Toko Gunung agung, 1996
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, Penerjemah : Saefullah Ma’shum, cet. ke-4, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999
Kelompok Buku-buku Lain
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, cet. ke-1, Jakarta : Akademika Pressindo, 1992
Asnawi, Moch, Himpunan Peraturan dan Undang-undang Republik Indonesia tentang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya, Kudus : Menara, t.t.
Atmojo, Kemala, Kami Bukan Lelaki, Jakarta : Grafiti Pers, 1987
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir ; Kamus Arab-Indonesia, cet. ke-14, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997
Ali Quthub, Muhammad, Generasiku Dengarkan Pesan Nabimu, Alih Bahasa : Muhammad Azahar, cet. ke-1, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002
Bisri, Cik Hasan dkk, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999
Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan ringkas dari PPDGJ-III
Freud, Sigmund, Teori Seks, Alih Bahasa : Apri Danarto, cet. ke-1, Yogyakarta : Jendela, 2003
Faisal, Sanapiah dan Andi Mappiare, Dimensi-dimensi Psikologi, Surabaya : Usaha Nasional, t.th.
Gunawan, FX Rudy, Krisis Orgasme Nasional, Yogyakarta : Galang Press, 2002
……………….., Mendobrak Tabu; Sex, Kebudayaan dan Kebejatan Manusia, cet. ke-1, Yogyakarta : Galang Press, 2000
……………….., Filsafat Seks, cet. ke-1, Yogyakarta : Bentang,1993
Hadiwardoyo, Al. Purwa, Moral dan Masalahnya, cet. ke-1, Yogyakarta : Kanisius, 1990
Hawari, Dadang, Psikiater., Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997
Jurnal Antropologi UGM, Tahun II, No. 3 Juli-Desember 1999
Kartono, Kartini, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, cet. ke-6, Bandung : Mandar Maju, 1989
……………….., Psikologi Anak; Psikologi Perkembangan, cet. ke-5, (Bandung : Mandar Maju, 1995
……………….., Psikologi Wanita; Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, cet. ke-5, Bandung : Mandar Maju, 1992
Koeswinarno, Revolusi Sosial Kaum Minoritas; Study Kasus Waria di Yogyakarta, The Toyota Fondation, 1993
……………….., Waria dan Penyakit Menular Seksual, cet. ke-1, Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, 1996
……………….., Profil Waria Yogyakarta; Latar Belakang Sosial dan Perilaku Seksual Waria di Yogyakarta, The Toyota Foundatiaon, t.t.
……………….., “Hidup Sebagai Waria”, Tesis, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Program Studi Antropologi Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Kuzari, Akhmad, Nikah Sebagai Perikatan, cet. ke-1, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Koesnadi, Seksualitas dan Alat Kontrasepsi, Surabaya : Usaha Nasional, Cet.I, 1992
Kalpan dan Sadock, Sinopsis Psikiatri; Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatrik Klinis, Jilid : II, Alih Bahasa : Dr. Widjaja Kusuma, t.t, t.tp, t.th.
Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan Kekuasaan, Diterbitkan atas kerja sana Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2001
Manshur, Aly dan Noer Iskandar al-Barsany, Waria dan Pengubahan Kelamin, Cet. I, Yogyakarta : Nur Cahaya, Tahun 1981
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, cet. ke-8, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1998
Naisaban, Ladislaus, Psikologi Jung; Tipe Kepribadian Manusia dan Rahasia Sukses dalam hidup (Tipe Kebijakan Jung), cet. ke-1, Jakarta : Grasindo, 2003
Oetomo, Dede, Memberi Suara Pada yang Bisu, cet. ke-1, Yogyakarta : Galang Press, 2001
Prisma; Seks dalam Jaring Kekuasaan, No. 7 Tahun XX, LP3ES, Juli 1991
Ramulyo, Mohd. Idrim, Tinjauan beberapa pasal Undang-undang Nomor I Tahun 1974; dari Segi Hukum Perkawinan Islam, cet. ke-1, Jakarta : t.p, 1985
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, cet. ke-28, Jakarta : Pradnya Paramita, 1996
Salim, Hadiayah, Rumahku Mahligaiku, cet. ke-8, Bandung : Remaja Rosdakarya Offset, 1995
Sosialisasi Gender; Menjinakkan “Takdir” Mendidik anak secara Adil, cet.ke-1, Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA) bekerjasama dengan The Ford Foundation, 1999
Schimmel, Annemarie, Jiwaku adalah Perempuan; Aspek Feminis dalam Spiritualitas Islam, cet. ke-2, Bandung : Mizan, 1998
Sahlany, Muallif Perkawinan dan Problematikanya, cet. ke-1, Yogyakarta : Sumbangsih Offset, 1991
Sahly. Mahfudli, Etika Seksual, cet. ke-7, Pekalongan : Bahagia, t.t.
S. Hall, Calvin, Libido Kekuasaan Sigmund Freud, cet. ke-1, Yogyakarta : Tarawang, 2000
Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidada, Bogor : Politeia, 1996
Soekanto Soerjono, Sosiologi Keluarga; Tentang Ikhwal Kelurga, Remaja dan Anak, cet. ke-2, Jakarta : Rineka Cipta, 1992
Suryo, Genetika, cet. ke-9, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2001
Tukan, Johan Suban, Metode Pendidikan Seks, Perkawinan dan Keluarga, Jakarta : Erlangga, 1993
Tempo, No. 40. Tahun XV. 30 November 1985
Umar, Nasaruddin, Kodrat Perempuan dalam Isla>m, cet.ke-1, Diterbitkan atas kerja sama Lembaga Kajian Agama dan Gender, Solidaritas Perempuan, dan The Asia Foundaion, 1999
Undang-undang Pokok Perkawinan, cet. ke-3, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1996
Yash, Transseksualisme; Sebuah Studi Kasus Perkembangan Transeksual Perempuan ke Laki-laki, cet. ke-2, Semarang : Aini, 2003
Ya Ummi, “Bingung karena Calon Suami Gay”, Majalah Wanita Ummi, Edisi 9/XV/2004
Yatim, Wildan ,Genetika, Bandung : Tarsito, 1983