Pengembangan Kurikulum Fiqh
Pengembangan Kurikulum Fiqh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah
Untuk
menghindari adanya kesalahan dalam menafsirkan judul skripsi ini, maka penulis
perlu memberikan penegasan atau pengertian pada istilah-istilah dalam judul tersebut yang sekaligus menjadi
batasan dalam pembahasan selanjutnya:
1. Pengembangan
Pengembangan berasal dari
kata dasar kembang yang berarti menjadi bertambah sempurna. Kemudian
mendapat imbuan pe- dan –an sehingga menjadi pengembangan yang
artinya proses, cara atau perbuatan mengembangkan.[1] Jadi
pengembangan di sini adalah usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai tujuan
yang diinginkan agar lebih sempurna dari pada sebelumnya.
2. Kurikulum
Menurut Iskandar dan
Usman Mulyadi, kurikulum adalah program pendidikan yang disediakan oleh sekolah
untuk siswa, melalui program yang direncanakan tersebut siswa melakukan
berbagai kegiatan belajar sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhannya
sesuai dengan pendidikan yang telah ditentukan.[2]
Melihat definisi
kurikulum di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kurikulum itu merupakan
segala sesuatu maupun semua pihak yang terlibat dalam memberikan bantuan kepada
siswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang tidak terbatas pada mata pelajaran.
3. Fiqih
Fiqih dalam arti tekstual
dapat diartikan pemahaman dan perilaku yang diambil dari agama.[3] Kajian
dalam fiqih meliputi masalah Ubudiyah (persoalan-persoalan ibadah), ahwal
al-sakhsiyah (keluarga), mu’amalah (masyarakat) dan, siyasah (negara).
Senada dengan pengertian
di atas, Sumanto al-Qurtuby melihat fiqih merupakan kajian ilmu Islam yang
digunakan untuk mengambil tindakan hukum terhadap sebuah kasus tertentu dengan
mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam syariat Islam yang ada.[4] Dalam
pemahaman seperti ini maka kajian atau produk fiqih selayaknya bersifat lebih
dinamis. Dan lebih lanjut fiqih merupakan suatu metode pemaknaan hukum terhadap
realitas. Dalam perkembangan selanjutnya fiqih mampu menginterpretasikan
teks-teks agama secara kontekstual.
Dalam pengertian fiqih
tersebut, maka dalam konteks pembelajaran fiqih di sekolah adalah salah satu
bagian pelajaran pokok yang termasuk dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam
(PAI) yang diberikan pada siswa-siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs). Kesatuan
pengertian Kurikulum Fiqih yang dimaksud di sini adalah adalah kurikulum yang
diorientasikan pada pembinaan pengembangan
perilaku dan pemahaman peserta didik terhadap agama pada dataran praksis
operasional yang ditetapkan secara bersama dan menjadi GBPP pada Madrasah
Tsanawiyah.
4. Telaah
terhadap komponen Kurikulum Fiqih
Menurut kamus bahasa
Indonesia kontemporer, kata telaah memiliki arti penyelidikan,
pemerikasaan, dan penelitian.[5]
Dan yang dimaksud dengan telaah dalam skripsi ini adalah sebuah
penyelidikan, pemeriksaan dan penelitian. Sedangkan komponen mempunyai arti unsur,
sub-sistem.[6]
Jadi komponen yang dimaksud di sini adalah unsur atau sub sistem yang tercakup
dalam pengembangan kurikulum fiqih.
Dalam kesatuan arti
telaah terhadap komponen pengembangan kurikulum fiqih adalah suatu upaya penyelidikan, pemerikasaan dan
penelitian terhadap unsur atau sub sistem dalam kurikulum fiqih. Dan di sini
yang akan menjadi kajian adalah
kurikulum fiqih yang dijadikan acuan dan dilaksanakan pada proses pembelajaran
pada tingkat Madrasah Tsanawiyah.
5. Madrasah
Tsanawiyah
Madrasah Tsanawiyah yang
kemudian disingkat MTs, adalah lembaga pendidikan islam formal yang setingkat
dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Madrasah Tsanawiyah merupakan
sekolah yang berciri khas agama islam yang menyelenggarakan program tiga tahun
setelah Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar.[7] Dan ciri
lain adalah mata pelajaran keislaman sebagai dasar pembelajaran di MTs yang
sekurang-kurangnya 30 persen, disamping itu juga mata pelajaran umum diberikan
kurang lebih 70 persen pada muatan
kurikulumnya.
Dengan
demikian yang dimaksud dengan judul skripsi “Pengembangan Kurikulum Fiqih
(Telaah terhadap komponen Kurikulum Fiqih pada Madrasah Tsanawiyah)”, adalah
studi deskriptif analitik yang bersifat kualitatif yang membahas tentang
pengembangan kurikulum Fiqih dari sudut komponennya pada Madrasah Tsanawiyah.
Dan dalam penelitian ini dibatasi pada empat komponen yaitu; tujuan, materi,
metode dan evaluasi.
B. Latar Belakang Masalah
Pada
dasarnya pendidikan merupakan media pengembangan kreatifitas, nalar berfikir
dan moralitas kehidupan manusia. Dengan demikian perlu mendapatkan perhatian
yang lebih mendasar dalam rangka perbaikan kualitas sumber daya manusia. Baik
pada sisi intelektual, kreativitas maupun moralitas. Memang pendidikan di
Indonesia mendapat nominasi yang paling utama di urutan terakhir bila dibanding
dengan pendidikan di negara-negara di Asia misalnya; Filipina, Jepang,
Malaysia, dan lain sebagainya.
Seperti
yang dipublikasikan oleh United Nations Development Program (UNDP) misalnya,
Indonesia memiliki nilai rapor cukup memprihatinkan. Dalam laporan Human
Development Indeks (HDI) tahun 2002, UNDP sebuah institusi dibawah naungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menempatkan Indonesia dirangking
110, satu level lebih rendah dari Vietnam yang berada diurutan 109. Publikasi
UNDP tersebut didukung juga oleh Asosiasi Penilaian Pendidikan Internasional
yang menempatkan anak Indonesia nomor empat dari terbawah dari 38 negara untuk
kemampuan membaca.[8]
Usaha
pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan dan memperbaiki sistem pendidikan
di Indonesia kurang mengena. Kemudian yang menjadikan persoalan mendasar adalah
hakekat pendidikan sebagaimana termuat dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945
yang berbunyi; “…untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tetapi hal
tersebut hanya sekedar menjadi slogan saja meskipun usaha tersebut sudah
berjalan.
Pada perkembangan
selanjutnya, dapat kita lihat dalam rangka konvergensi, Departemen Agama
menganjurkan supaya pesantren yang tradisional dikembangkan menjadi sebuah
madrasah, disusun secara klasikal, dengan memakai kurikulum yang tetap dan
memasukkan mata pelajaran umum di samping agama. Melalui peraturan Menteri
Agama No. 3 tahun 1950, pemerintah melakukan pembaharuan
pendidikan—khususnya islam dengan menginstruksikan
pemberian pelajaran umum di madrasah dan memberi pelajaran agama di sekolah
umum negeri dan swasta.[9]
Sebagai respon
terhadap kebijakan pemerintah tersebut, berbagai inovasi telah dilakukan untuk
pengembangan Madrasah baik oleh
masyarakat sendiri maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan ketrampilan
ke dalam Madrasah adalah sebagai upaya untuk memberikan bekal tambahan agar
para peserta didik bila telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak
dalam masyarakat. Masuknya sistem klasikal dengan menggunakan sarana dan peralatan
pengajaran madrasah sebagaimana yang berlaku di sekolah-sekolah bukan barang
baru lagi. Bahkan adanya pesantren modern lebih cenderung membina dan mengelola
madrasah-madrasah atau sekolah umum, baik tingkat dasar, menengah maupun
perguruan tinggi.[10]
Memang
dunia pendidikan tidak dapat terlepas dari aspek kehidupan manusia yang lain
misalnya; politik, ekonomi, budaya, dan keamanan. Sehingga dunia pendidikan
harus selalu mengkontekskan diri seiring dengan perlembangan zaman. Tetapi
tidak lantas kemudian pendidikan kehilangan arah dan tujuan sejatinya. Setiap
kali ada usaha untuk pengembangan terhadap mutu pendidikan adalah tidak
terlepas dari kulikulum. Dan dewasa ini keberadaan kurikulum sebagai bagian
dari elemen pendidikan selalu dikambinghitamkan oleh masyarakat dan pakar
pendidikan. Mereka berpendapat bahwa kurikulum 1994 perlu dirombak total,
dirampingkan, dan diperbaharui.
Bahwa
sebenarnya untuk menilai suatu kurikulum
harus dilaksanakan secara utuh, tidak sepotong-potong dan harus
obyektif. Kecaman beberapa pihak terhadap kegagalan kurikulum 1994 yang
kemudian akan diganti dengan kurikulum baru seperti penawaran terhadap Kurikulum
Berbasis Kompetensi(KBK), adalah disebabkan karena tidak adanya sinergitas
antara beberapa komponen kurikulum itu sendiri. Ketidakharmonisan itu terwujud
ketika segala sesuatu yang telah dirancang dalam kurikulum berbeda jauh dengan
apa yang dilaksanakan di lapangan.
Keberhasilan
kurikulum setidaknya ditentukan oleh beberapa faktor sebagai berikut; pertama,
adalah guru. Untuk keberhasilan suatu kurikulum faktor pendidik sangat
menentukan. Guru yang berkualitas baik dapat melaksanakan tuntutan
kurikulum dengan maksimal, maupun mereka
yang dapat mengembangkan dengan sendirinya. Kedua, dukungan sarana dan
prasarana. Selain keduanya yang juga ikut menentukan misalnya gedung sekolah
yang memadai serta perabotan sekolah yang memadai untuk guru dan siswa.
Disamping itu buku-buku pelajaran dan buku petunjuk pelaksanaan pembelajaran
bagi guru juga berpengaruh. Dari sini dapat dilihat pelaksanaan kurikulum akan
berjalan dengan lancar sebab didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.
Dan
yang ketiga, adalah adanya dukungan masyarakat. Dalam perancanaan
kurikulum sebelumnya tentunya sudah diadakan observasi berkaitan dengan relevansi
pengembangan kurikulum terhadap masyarakat sehingga konsekuensi logisnya adalah
masyarakat harus mendukung dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan
bersama.
Sebagaimana
yang dimuat dalam harian Kompas, bahwa adanya perkelahian antar siswa di
depan ITC Rozi Mas Jakarta Barat pada bulan september 2000 adalah salah satu
contoh dan sekaligus pelajaran berharga dalam menelaah kurikulum pendidikan di
Indonesia. Tuntutan untuk menciptakan kurikulum yang beragam adalah menjadi
suatu keharusan dalam pengembangan kurikulum itu sendiri. Perkelahian dan
sejenisnya terjadi karena tidak adanya pemahaman yang mendalam akan pluralitas
masyarakat dan peserta didik.[11]
Kautsar
Ashari Noer berpandangan bahwa konflik yang berbau sentimen keagamaan
seringkali disebabkan oleh sifat ekslusifisme dan pandangan keagamaan. Seorang
yang eksklusif menginginkan orang-orang yang tidak seagama berubah menjadi
seagama dengannya supaya memperoleh keselamatan. Konflik antar umat beragama
sering ditimbulkan karena penyebaran agama, dan yang lebih potensial adalah
penyebaran agama yang disertai dengan sikap militan.[12]
Sikap
eksklusifisme pemeluk agama seperti tersebut di atas kemudian akan menimbulkan
ekstrimisme dalam beragama. Sikap ini ditengarai dapat juga menjadi penyebab
konflik, karena berimplikasi pada sebuah pandangan tunggal tentang kebenaran
(absolutisme) yang tidak mengakui kebenaran yang ada diluar agamanya.[13] Jika
sikap ini di pegangi oleh pemeluk agama (peserta didik) maka disharmoni menuju
konflik akan tersebar luas dimasyarakat.
Sikap
eksklusifisme dikarenakan pendidikan agama (islam) yang diberikan pada peserta
didik kurang menekankan pada nilai-nilai moral seperti; kasih sayang,
pluralisme, toleransi, dan cinta. Pendidikan agama ( Fiqih) juga kurang
memberikan apresiasi terhadap paham keagamaan lain sebagai bagian dari sikap
pluralisme agama. Sehingga hal ini mengakibatkan peserta didik awan terhadap
paham keagamaan lain, padahal kurangnya pemahaman ini yang kemudian dapat
menimbulkan sikap eksklusifisme dan absolutisme tersebut.[14]
Sedangkan pelajaran agama yang diajarkan di sekolah
tidak sensitif dengan fenomena sosial yang terjadi, kurikulum pendidikan belum
sepenuhnya mampu menjawab persoalan tersebut. Ini yang menyebabkan kefatalan
dalam pelaksanaan kurikulum pada sekolah-sekolah. Hal yang mendasar dan perlu
segera dilakukan adalah melaksanakan revitalisasi dan sinergitas dalam pengembangan kurikulum
dengan melihat pada komponen-komponen yang ada didalamnya.
Mengingat kurikulum merupakan salah satu unsur yang
sangat penting dalam sistem pendidikan. Zakiah Daradjat salah seorang tokoh
pendidikan menyatakan bahwa unsur-unsur pendidikan meliputi; 1) institusi, 2)
kurikulum, 3) administrasi dan supervisi, 4) bimbingan dan penyuluhan dan 5)
evaluasi.[15] Berdasar pada pembagian
tersebut di atas, maka unsur-unsur pendidikan yang ada merupakan sebuah tatanan
yang pada dasarnya satu sama lain saling berkaitan, yaitu : bertujuan, punya
batas, terbuka, tersusun dari subsistem atau komponen, ada saling keterikatan
dan tergantung, merupakan satu kebulatan yang utuh, melakukan kegiatan
transformasi, ada mekanisme kontrol dan memiliki kemampuan mengatur dan
menyesuaikan diri.
Oleh karena itu, kelima aspek yang tersebut di atas
sesungguhnya akan menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan menjadi
sebuah jalinan erat dalam kelangsungan pendidikan yang pada gilirannya
meningkatkan keberhasilan dalam menempuh tujuan pendidikan.
Dengan
demikian kontekstualisasi hal tersebut adalah pengembangan dan perubahan dalam
kurikulum Pendidikan Agama Islam yang didalamnya mencakup kurikulum
pelajaran Fiqih. Perlu disadari bahwa
Madrasah Tsanawiyah (MTs) merupakan sekolah lanjutan tingkat pertama yang
berciri khas islam sehingga perlu menjadikannya sebagai media strategis dalam
penanaman kesadaran dan kesalehan personal dan sosial pada peserta didik.
Kurikulum Fiqih sebagai bagian dari
kurikulum Pendidikan Agama Islam pada Madrasah Tsanawiyah (MTs) mempunyai
peranan yang cukup mendasar dalam mewujudkan cita-cita bersama. Pelajaran Fiqih sebagai pelajaran yang tidak hanya
bernuansa kognitif tetapi lebih pada afektif dan psikomotorik. Sehingga dengan
ini Fiqih menjadi pelajaran yang cukup
penting sehingga benar-benar mengarah kepada tujuan yang hendak dicapai.
Adapun
selama ini dalam upaya pengembangan kurikulum PAI yang termasuk kurikulum Fiqih masih terkesan tidak adanya hubungan
yang sinergis antara berbagai komponen pengembangan kurikulum. Meskipun
landasan kenapa diadakannya pengembangan sudah jelas dan sesuai dengan
prinsip-prinsip yang ada, tetapi hal tersebut tidak menggigit terhadap komponen
yang akan dikembangkan dan bersinggungan langsung di lapangan. Komponen
tersebut mencakup tujuan, isi (materi), metode, dan evaluasi.
Dengan latar belakang demikian, penulis perlu
menganalisis lebih mendalam terhadap kurikulum
Fiqih pada tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), sebagai obyek kajian
skripsi. Oleh karena itu, mengkaji landasan pengembangan kurikulum Fiqih dan sekaligus mengkritisi komponennya
menjadi suatu persoalan yang cukup mendasar dan subtansial.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka
masalah yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirimuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana pengembangan Kurikulum Fiqih pada Madrasah Tsanawiyah?
2.
Komponen apa saja yang harus dikembangkan dalam
pengembangan Kurikulum Fiqih?
D. Alasan Pemilihan Judul
Ada beberapa alasan dari penulis untuk menetapkan
judul di atas sebagai karya tulis skripsi adalah sebagai berikut:
1.
Sebagai bagian dari civitas akademika di perguruan
tinggi yang menekuni bidang Kependidikan Islam (KI), maka penulis merasa
mempunyai tanggungjawab moral dan intelektual untuk selalu intens dan memicu
arah perkembangan pemikiran pendidikan islam.
2.
Jurusan Kependidikan Islam yang ada di Fakultas Tarbiyah nota bene-nya lulusannya lebih
diarahkan untuk menjadi desainer dan pemikir pendidikan. Oleh sebab menurut
penulis merupakan hal yang sangat signifikan melakukan kajian terhadap
pengembangan kurikulum sehingga dapat
memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan, khususnya pada Madrasah Tsanawiyah
(MTs).
3.
Kurikulum merupakan bagain dari komponen pendidikan
memiliki peranan yang mendasar dalam mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.
Setiap ada rekonstruksi terhadap pendidikan, kurikulum merupakan fokus utama
untuk diadakan perubahan. Bahkan kurikulum dijadikan sebagai dasar perubahan
tersebut. Maka dalam hal ini komponen pengembangan kurikulum menjadi semakin
menarik untuk dikaji dalam rangka upaya perbaikan kurikulum PAI khususnya
terfokus pada kurikulum Fiqih.
4.
Adanya tuntutan masyarakat bahwa perlunya kurikulum
pendidikan yang menyentuh masyarakat. Karena selama ini kurikulum pendidikan
terutama kurikulum yang berbasis pada ajaran keagamaan seperti; Fiqih, aqidah, akhlak, dan lain sebagainya kurang
menyetuh pada pengalaman peserta didik.
Mengingat materi yang diberikan sangat
melangit sehingga peserta didik kurang bisa memahami dan mensikronkan materi tersebut dengan realitas kehidupan
yang ada di masyarakat.
E. Tujuan dam Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Sebagaimana rumusan masalah yang dikemukakan di atas,
maka tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Mendiskripsikan komponen pengembangan kurikulum
fiqih pada tingkat Madrasah Tsanawiyah.
b. Mengetahui dan mengkritisi bagaimana pengembangan
kurikulum fiqih beserta komponen yang melingkupinya pada Madrasah Tsanawiyah.
2.
Kegunaan
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, hasil dari
penelitian ini mempunyai kegunaan sebagai berikut:
a. Secara teoritik dapat dijadikan bahan informasi
atau kontribusi baru bagi pembaharuan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI)
khususnya pada bidang Fiqih pada wilayah pengembangan kurikulum.
b. Untuk meningkatkan motivasi Madrasah Tsanawiyah
(MTs) dalam menyempurnakan kemajuan bidang pendidikan islam, khususnya pada
kurikulum Fiqih.
c. Diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran
bagi perkembangan pendidikan dan pengembangan kurikulum di sekolah-sekolah.
F. Telaah Pustaka
Sebagai bahan telaah pustaka, telah ada beberapa
penelitian yang berkaitan dengan skripsi ini misalnya skripsi saudari Nur
Hidayah yang judul; “Prinsip-prinsip
Pengembangan Kurikulum PAI (Telaah tingkat SLTP)”, penelitian tersebut
mendiskripsikan dan mengkritisi prisip pengembangan kurikulum PAI yang
dijadikan dasar pada pengembangan PAI di tingkat SLTP. Dan penulis mencoba
untuk mengkaji lebih detail dalam skripsi ini pada wilayah kurikulum Fiqih di tingkat MTs.
Selanjutnya penelitian lainnya, skripsi saudara
Aniq Alifi yang berjudul: “Pengembangan
Kurikulum PAI Madrasah Aliyah di Ponpes Wahid Hasyim Yogyakarta”, dalam
penelitian ini dijelaskan tentang pelaksanaan pengembangan kurikulum PAI yang
dilakukan di Madrasah Aliyah (MA) Wahid Hasyim Yogyakarta. Skripsi ini lebih
penulis jadikan sebagai kajian untuk perbandingan dalam pengkaji pengembangan
kurikulum di MA dan MTs.
G. Kerangka Teoritik
Dalam pembahasan
dan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan kerangka teoritik untuk
memperkuat analisis data yang ada. Karena penulisan skripsi ini berdasarkan
pada permasalahan pengembangan kurikulum
Fiqih dengan menelaah komponen pengembangannya pada Madrasah Tsanawiyah
(MTs), maka ada beberapa teori yang menjadi landasan dalam penulisan skripsi
ini.
Menurut
al-Syaibani kurikulum pendidikan islam diartikan sebagai jalan terang yang
dilalui oleh pendidik atau guru dengan orang-orang yang dididik atau yang
dilatihnya (peserta didik) untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan
sikap mereka. Pengertian yang demikian ini didasarkan pada pemahaman kurikulum
yang berarti jalan terang atau jalan yang dilalui oleh manusia pada berbagai
kehidupan.[16]
Pemahaman
kurikulum yang demikian sebenarnya akan mengindikasikan adanya dikotomi antara
subyek dan obyek. Subyek pendidikan adalah guru yang bertugas memberi jalan
yang terang dan murid sebagai obyek sebagai penerima petunjuk. Implikasinya
adalah akan terputusnya hubungan antara kurikulum dengan kebutuhan masyarakat
atau peserta didik. Maka di sini kemudian pembuatan, perubahan maupun
pengembangan kuruikulum perlu kajian lebih mendalam disamping perlunya
melibatkan elemen-elemen dalam pendidikan (peserta didik).
Lebih jauh zakiah
Daradjat menjelaskan bahwa kurikulum merupakan salah satu unsur yang penting dari sistem pendidikan.
Ia menjabarkan bahwa unsur-unsur pendidikan meliputi; a). institusi, b)
kurikulum, c) administrasi dan supervisi, d) bimbingan dan penyuluhan, dan e)
evaluasi.[17]
Berdasar pada pembagian tersebut di atas, maka
unsur-unsur pendidikan yang ada merupakan sebuah tatanan yang pada dasarnya
satu sama lain saling berkaitan, yaitu : bertujuan, punya batas, terbuka, tersusun
dari subsistem atau komponen, ada saling keterikatan dan tergantung, merupakan
satu kebulatan yang utuh, melakukan kegiatan transformasi, ada mekanisme
kontrol dan memiliki kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri.
Sedangkan menurut
aliran progressivisme kurikulum yang disusun hendaknya berkisar pada
pengetahuan dasar dengan perluasan dan pendalaman, baik secara akademik maupun
profesional. Selanjutnya, agar minat dan bakat peserta didik dapat dipenuhi
seyogyanya tidak diadakan pemisahan sejak awal antara kurikulum akademik dan
vokasional atau teknologi.[18]
Dengan demikian
kurikulum haruslah menjalin hubungan yang integral dengan realitas sosial.
Sekolah atau Madrasah merupakan miniatur masyarakat dan yang demikian, tujuan
dan materi pendidikan hendaknya merefleksikan apa yang ada di masyarakat.
Tujuan dan materi pendidikan bersifat kondisional, relatif dan progresif
seiring dengan arus perubahan sosial yang tidak pernah berhenti.
Sesuai dengan
konsep filsafatnya yang menyatakan tidak pernah ada nilai absolut dan perenial,
maka dalam pendidikan pun tidak ada tujuan dan materi yang absolut dan statis.
Target utama pendidikan adalah kemampuan individu peserta didik untuk
beradaptasi dan hidup bersama dengan lingkungan yang selalu berubah, serta
mampu menghadapi masalah yang dihadapinya secara efektif.[19]
Oleh karena itu jenis kurikulum yang dipakai sesuai
dengan pemaparan di atas adalah Core-Correlated Kurikulum, yaitu berusaha
meniadakan batas-batas antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain. Mata
pelajaran itu sedapat mungkin disajikan dalam bentuk terintegrasi, sehingga
sesuai dengan pengalaman dan kebutuhan dan tujuan anak. Biasanya pelajaran yang
diberikan dalam bentuk unit.
Disamping itu juga bahan yang fundamental yang
harus diketahui murid. Misalnya, agar menjadi warga negara yang baik dan
anggota masyarakt yang berguna, semua anak harus diberi pelajaran : filsafat,
sejarah nasional, kewarganegaraan, cita-cita nasional. Jadi prinsipnya, core curriculum bertujuan memberikan
pendidikan umum atau general education.
Dalam core diajarkan hal-hal yang
perlu diketahui oleh setiap orang terlepas dari pekerjaan yang akan dilakukan
kelak dalam masyarakat.[20]
Kurikulum
merupakan hasil dari sistem pelaksanaan kurikulum, tetapi sistem pelaksanaan
bukan kurikulum. Selanjutnya kurikulum merupakan seperangkat tujuan belajar
yang terstruktur.[21]
Mengingat hal yang demikian dan pentingnya perubahan dan pengembangan kurikulum
bagi pendidikan, maka seyogyanya tidak boleh sembarangan dalam merubah dan
pengembangkan kurikulum. Karena itu harus mengkaji dan menelaah lebih jauh
beberapa aspek dalam pengembangan kurikulum. Sehingga pengembangan dan perubahan kurikulum menjadi
lebih utuh dan sesuai dengan apa yang diharapkan.
H. Metode Penelitian
1.
Metode Sumber Data
Tulisan ini berangkat
dari sebuah telaah kepustakaan karena sifatnya analisis kritis. Maka pencarian sumber data didasarkan
pada data primer dan sekunder. Adapun data primer dan sekunder yang dijadikan
pijakan adalah:
a.
Sumber Primer adalah data yang secara langsung membahas
tentang pengembangan kurikulum yang antara lain; buku panduan pelaksanaan MTs
(Depag RI 1987), UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, GBPP
dan Kurikulum MTs 1994, dan Buku
Pelajaran Fiqih untuk MTs yang telah
disesuaikan dengan GBPP dan Kurikulum 1994.
b.
Sumber Sekunder adalah data yang berasal dari sumber
lain, seperti buku, majalah atau literatur lain yang berhubungan dengan
komponen-komponen pengembangan kurikulum
Fiqih tingkat MTs.
2.
Metode Analisa Data
Setelah data
terkumpul, langkah selanjutnya adalah mengolah, menganalisa serta mengambil
kesimpulan dari data yang telah terkumpul. Tujuan analisa data dalam penelitian
ini adalah untuk memfokuskan dan membatasi penemuan-penemuan sehingga menjadi
data yang teratur dan tersusun secara rapi dan berarti.
Dalam menganalisa
data yang telah terkumpul penulis menggunakan metode analisa data kualitatif.
Metode kualitatif adalah suatu analisa yang digambarkan dengan kata-kata atau
kalimat yang dipisahkan menurut kategori untuk mendapatkan kesimpulan. Dalam
pelaksanaannya penulis menggunakan cara berfikir induktif dan deduktif.[22]
Sedangkan dalam
pembahasan ini, penulis menggunakan pola pikir sebagai berikut:
Deskriptif-analisis, yaitu penulis menggambarkan dan menganalisis secara jelas
komponen-komponen yang perlu dikembangkan dalam kurikulum Fiqih tingkat MTs, kemudian dianalisis untuk
menemukan hasil analisis yang baru dan mampu memberikan corak dalam
pengembangan kurikulum selanjutnya.
3.
Pendekatan Penelitian
Untuk memudahkan
analisis data, dalam kajian kepustakaan ini digunakan beberapa pendekatan
sehingga dapat memperjelas kajian dalam penelitian. Adapun pendekatan yang ada
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan
kebijakan” (love of wisdom). Orang
belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara
bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu
atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir,
yaitu berpikir secara sistematis, logis dan mendalam. Pemikiran demikian ini
sesungguhnya terdapat dalam filsafat. Filsafat berupaya merangkum atau
mengintegrasikan bagian-bagian ke dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan
bermakna. Filsafat melihat segala sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya (Das Sollen), faktor-faktor subyektif
dalam filsafat sangat berpengaruh.[23] Dalam pendidikan, pandangan hidup sebagai sistem nilai atau lebih
dikenal dengan filsafat bukan semata-mata terdapat pada individu, melainkan
juga pada kelompok masyarakat atau suatu bangsa.
Oleh karena itu, dalam penyusunan penelitian ini
penulis harus memperhatikan landasan filosofis terhadap kurikulum, sehingga
pada pelaksanaan dan pengembangannya diarahkan kepada pembentukan manusia
(peserta didik) yang mempunyai sistem nilai yang lebih baik.
b. Pendekatan Historis
Menurut
Shiddiqi, karakter yang menonjol dari pendekatan sejarah adalah tentang
signifikansi waktu dan prinsip-prinsip kesejarahan tentang individualitas dan perkembangan.
Melalui pendekatan sejarah, peneliti dapat melakukan periodesasi atau derivasi
sebuah fakta, dan melakukan rekonstruksi proses genesis : perubahan dan
perkembangan.[24]
Ada
dua sumber yang biasa digunakan dalam pendekatan histories, yakni sumber primer
(utama) dan sumber sekunder (kedua). Sumber utama antara lain : dokumen,
peninggalan langsung dari peristiwa dan catatan saksi mata dan lain-lain.
Sumber kedua adalah sumber dari tangan kedua. Adapun proses-proses yang
digunakan pada pendekatan ini terdiri dari penyelidikan, pencatatan, analisis
dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa masa lalu guna
generalisasi-generalisasi. Generalisasi tersebut dapat membantu untuk memahami
masa lampau, juga keadaan masa kini bahkan secara terbatas bisa digunakan untuk
mengantisipasi hal-hal mendatang.
Pada
penulisan skripsi ini pendekatan historis akan menganalisa tentang latar
belakang penggunaan kurikulum Fiqih di
MTs.
c. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi
merupakan suatu kajian ilmiah tentang tingkah laku manusia dalam hubungannya
dengan kelompok-kelompok yang lain serta dengan orang-orang lain dengan siapa
ia berinteraksi.[25]
Dalam hal ini ada tiga kata kunci yang harus diperhatikan, yaitu kelompok,
hubungan dan interaksi. Ketiga kata kunci tersebut merupakan prasyarat bagi
pembentukan kelompok, organisasi, institusi-institusi sosial dan unsure-unsur
lainnya dalam struktur masyarakat.[26]
Dalam penelitian
ini, pendekatan sosiologis digunakan untuk mengidentifikasi sekaligus
menganalisis fenomena interaksi hubungan sosial antar komponen pendidikan
(guru, siswa dan jajaran birokrasi madrasah) yang terjadi dalam kelompok
tersebut.
I. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari empat bab, sebelum bab pertama
penulis mencantumkan halaman judul, halaman nota dinas, halaman persembahan,
halaman pengantar, dan daftar isi.
Bab I adalah pendahuluan yang
terdiri dari: Penegasan Istilah, Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Alasan Pemilihan Judul, Tujuan dan Kegunaan, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik,
Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan.
Bab
II berisi antara lain: tinjauan tentang kurikulum secara umum yang mencakup
(Pengertian, Landasan, Prinsip, Jenis, dan Komponen pengembangan kurikulum).
Bab III sebagai bab ini dari skripsi
ini adalah berisi: a). Kurikulum Fiqih
tingkat MTs, b). Komponen pengembangan kurikulum Fiqih tingkat MTs yang mencakup: tujuan,
materi/isi, metode, dan evaluasi. c). Pengelolaan Kurikulum Fiqih Berbasis
Madrasah Tsanawiyah dalam kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Bab
IV berisi antara lain: Kesimpulan, Saran-saran, dan Penutup.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah memaparkan bab-bab sebelumnya tentang ruang
lingkup Kurikulum, Kurikulum Fiqih Madrasah Tsanawiyah. Maka kesimpulan yang
dapat dirumuskan di sini adalah sebagai berikut:
Dalam rangka peningkatan mutu
pembelajaran Fiqih, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan penyempurnaan dan
pengembangan kurikulumnya. Peningkatan
mutu pembelajaran Fiqih mencakup perubahan pada pola kegiatan pembelajaran, pemilihan
media pembelajaran, penentuan pola dan strategi penilaian, dan pengelolaan
kurikulum yang dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil merupakan beberapa
indikator keberhasilan pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, pengembangan
kurikulum fiqih pada Madrasah Tsanawiyah harus memperhatikan komponen-komponen
pengembangan kurikulum secara umum. Kurikulum Fiqih 1994 menjadi acuan lebih
lanjut dalam pengembangan kurikulum fiqih. Dan dalam Pengembangan Kurikulum
setidaknya memuat empat hal yaitu: Kurikulum dan Hasil Belajar, Penilaian
Berbasis Kelas, Kegiatan Pembelajaran, dan Pengelolaan Kurikulum Berbasis
Madrasah. Pengelolaan pengembangan kurikulum fiqih sendiri menggunakan prinsip
Kesatuan dalam Kebijakan dan Keberagaman dalam Pelaksanaan sesuai dengan
kondisi madrasah dan daerah.
Komponen yang harus dikembangkan dalam
pengembangan kurikulum Fiqih Madrasah Tsanawiyah dapat dipetakan menjadi empat
hal, yaitu: tujuan, materi atau isi, metode dan evaluasi. Dalam hal materi
fiqih seyogyanya mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan, bukan sebaliknya.
Dan materi pelajaran fiqih, harus mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu materi fiqih tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari
tujuannya. Begitu juga metode,
idealnya merupakan suatu cara yang terarah yang dikerjakan oleh pendidik (guru)
dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri
perkembangan peserta didiknya dan suasana alam sekitarnya dengan tujuan
menolong peserta didiknya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan
perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Terakhir adalah Evaluasi,
dalam kurikulum evaluasi merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah
laku manusia-peserta didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif
dari seluruh aspek kehidupan mental-psikologis dan spriritual religius, karena
manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya
bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketrampilan yang sanggup
beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya.
Saran-saran
Agar
pengembangan kurikulum fiqih mencapai tujuan yang optimal dan sesuai
dengan sebagaimana yang diinginkan, maka penulis menyumbangkan beberapa
saran-saran sebagai berikut:
Hendaknya institusi Madrasah Tsanawiyah meningkatkan
profesionalitas guru fiqih dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai
dengan norma-norma dan kaidah yang berlaku.
Pengembangan kurikulum fiqih harus memperhatikan kebutuhan dari
peserta didik, orang tua dan masyarakat.
Hendaknya pembaharuan dan pengembangan kurikulum fiqih bersifat
integrated dan berorientasi ke depan dengan menciptakan kurikulum yang tidak
dikotomis antara pengetahuan agama dan umum.
Hendaknya seluruh komponen pembelajar dalam Madrasah Tsanawiyah
meningkatkan kedisiplinan dalam proses belajar.
Penutup
Al-hamdulillah,
puji syukur kehadirat Allah SWT. atas nikmat dan hidayah yang telah diberikan
kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan yang
berarti.
Penulis
sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini ,asih banyak kekurangan dan kelemahan
dalam pemabahasannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari
pembaca sekalian sangat kami berarti dan duharapkan sebagai bahan perbaikan
tulisan ini.
Akhirnya,
penulis berharap semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagai pembaca
sekalian. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga terselesaikannya skripsi ini. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah, Dinamika Islam
Kultural, (Bandung: Mizan, 2000)
Ade Irawan, Mendagangkan Sekolah; Studi Atas Kebijakan Manajemen
Berbasis Sekolah di DKI Jakarta, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch
(ICW), 2004)
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1999)
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al
Qur’an, H.M. Arifin, dkk : penrj,
(Jakarta : Rineka Cipta, 1994)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989)
Depag RI, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Pengelolaan Kurikulum
Berbasis Madrasah, (Jakarta: Depag RI: 2003)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1999)
Harian Umum Kompas, edisi
1 Mei 2001
Hermawan Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta:
Kerjasana Apik dengan PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992)
H.M. Ahmad, dkk, Pengembangan Kurikulum Untuk IAIN dan PTAIS Semua
Fakultas dan Jurusan Komponen MKDK, (Bandung : Pustaka Setia, 1998)
Hendyat Soetopo dan Wasty Soemanto, Pembinaan dan Pengembangan
Kurikulum sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan, (Jakarta :
Bina Aksara, 1986)
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sitem dan Metode,
(Yogyakarta: Andi Offest. 1990)
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung
: Remaja Rosdakarya, 2001)
Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988)
Kaustar Azhari Noer, Passing Over; Memperkaya Pengalaman Keagamaan,
dalam Passing Over, Melintasi Batas Agama, editor Komarudin Hidayat
dan Ahmad Gaus AF, (Jakarta: Gramedia, 1998)
M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996)
Mursal, Perkembangan Madrasah di Pesantren (Studi Pada Pondok
Pesantren di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat), Tesis mahasiswa Program
Studi Pendidikan Islam Konsentrasi Sejarah Pendidikan Islam IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2002.
Nana Syaodih Sukmadinata, Pelaksanaan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1997)
Nasution, Pengembangan
Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993)
Oemar Hamalik, Administrasi dan Supervisi Pengembangan Kurikulum, (Bandung:
Mandar Maju, 1992)
_____________, Pengembangan Kurikulum (Dasar-Dasar dan
Perkembangannya), (Bandung : Mandar Maju, 1990)
Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany, Falsafah pendidikan Islam,
Hasan Langgulung : penerj), (Jakarta : Bulan Bintang, 1979)
Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern English Press, 1991)
Surat
Keputusan Menteri Agama RI, No. 369 Tahun 1993, Tentang: Madrasah Tsanawiyah
Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor: 372 Tahun 1993 Tangga;
22-12-1993, Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Madrasah Tsanawiyah
(MTs), (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag
RI, 1997)
Siswadi, Ibnu Khaldun dan Progressivisme (Analisis Komperatif
Konsep Belajar), (Yogyakarta: Tesis IAIN, 2000)
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta : Rajawali
Press, 1993)
Syaiful Bahri Djamaroh dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta
: Rineka Cipta, 1997)
Team Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar didaktik
Metodik Kurikulum PBM, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993)
Th. Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di
Indonesia, (Yogyakarta: Interfidei, 2001)
Wila Huky, Pengantar
Sosiologi, (Surabaya : Usaha Nasional, 1986)
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta
: Bumi Aksara, 1996)
[1] Depdikbud,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) hlm.414
[2] Dr.
Iskandar W dan Drs. Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Jakarta:
Bina Aksara, 1988) hlm. 6
[3] M.
Kholidul Adib, Fiqh Progresif: membangun Nalar Fiqih Bervisi Kemanusiaan, dalam
Jurnal Justisia, Edisi 24 XI 2003, hlm. 4
[4] Sumanto
al-Qurtuby, K.H MA. Sahal Mahfudh; Era baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta:
Cermin, 1999) hlm. 134
[5] Drs.
Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern English Press, 1991) hlm. 1567
[6] Ibid,
hlm. 1022
[7] Surat
Keputusan Menteri Agama RI, No. 369 Tahun 1993, Tentang: Madrasah Tsanawiyah
[8] Ade
Irawan, Mendagangkan Sekolah; Studi Atas Kebijakan Manajemen Berbasis
Sekolah di DKI Jakarta, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW), 2004)
hlm. 5
[9] Mursal, Perkembangan
Madrasah di Pesantren (Studi Pada Pondok Pesantren di Pulau Lombok Nusa
Tenggara Barat), Tesis mahasiswa Program Studi Pendidikan Islam Konsentrasi
Sejarah Pendidikan Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002, hlm. 41.
[10]
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejaran
Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1999),
hlm. 155.
[11] Harian
Umum Kompas, edisi 1 Mei 2001
[12] Kaustar
Azhari Noer, Passing Over; Memperkaya Pengalaman Keagamaan, dalam Passing
Over, Melintasi Batas Agama, editor Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF,
(Jakarta: Gramedia, 1998) hlm. 128
[13] Amin
Abdullah, Dinamika Islam Kultural, (Bandung: Mizan, 2000) hlm. 198
[14] Kaustar
Azhari Noer, Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia: Menggugat
Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama, dalam Th. Sumartana, dkk., Pluralisme,
Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Interfidei, 2001)
hlm. 239
[15] Zakiah Daradjat, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm. 84.
[16] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, penej. Hasan
Langgulung, cet. I (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hlm. 478
[17] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996) hlm. 84
[18] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sitem dan Metode, (Yogyakarta: Andi Offest.
1990) hlm. 29
[19] Siswadi,
Ibnu Khaldun dan Progressivisme (Analisis Komperatif Konsep Belajar),
(Yogyakarta: Tesis IAIN, 2000) hlm. 74
[20] Team Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar didaktik Metodik Kurikulum PBM, (Jakarta
: RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 122-123.
[21] Nana Syaodih Sukmadinata, Pelaksanaan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1997) hlm. 72
[22] Hermawan Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kerjasana Apik dengan
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992) hlm. 99
[23] Ibid, hlm.
38.
[24] Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2001), hlm. 53.
[25] Wila Huky, Pengantar
Sosiologi, (Surabaya : Usaha Nasional, 1986), hlm. 30
[26] Ibid, hlm.
31