PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN
Kajian Hukum Islam, ajaran tasawuf dan Sufisme, Syariat, Tarekat, Hakikat, Ma'rifat, Fana, Baqa, Iman, Islam, Ihsan, Aqidah Akhlaq, Kisah para Wali dan Nabi
Home
Unlabelled
PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN
PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN
PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN
OLEH
Ahmad Sahar
NIM. 9841 3893
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah
Dalam bagian awal ini, penulis mencoba untuk menegaskan beberapa istilah kunci dalam penulisan skripsi ini. Hal ini dilakukan untuk menghindari misunderstanding dan misinterpretation terhadap beberapa istilah yang digunakan dalam judul skripsi ini. Istilah-Istilah yang akan dijelaskan itu meliputi:
a. Pandangan
Pandangan dalam skripsi ini dimaksudkan sebagai pemikiran yang mendasar dan sistematis.
b. Al-Ghazali
Imam al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali saja. ) Dalam sejarah pemikiran Islam al-Ghazali dikenal sebagai ahli dan praktisi pendidikan, agama, hukum Islam, dan memiliki keilmuan yang luas mengenai filsafat, tasawuf, kejiwaan, akhlak (moral) dan spiritualitas Islam.
c. Emile Durkheim
Emile Durkheim adalah seorang pemikir dan profesor kelahiran Perancis, ahli dan praktisi pendidikan, dan filsuf moral yang lahir pada lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur Perancis yang agak terpencil dari masyarakat luas.
d. Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata paedagogia (Yunani) yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Namun kata ini sering diartikan seorang pelayan pada masa Yunani kuno yang pekerjaaannya mengantar dan menjemput anak sepulang dari sekolah. Paedagogis berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin). Kemudian makna paedagogos berarti pekerjaan yang mulia, karena pengertian paedagogog berarti orang yang bertugas membimbing anak dalam pertumbuhannya kearah berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Sedangkan pendidikan dalam pandangan etimologi adalah education yang berasal dari bahasa Latin eex (keluar) dan dudere duc (mengatur, memimpin dan mengarahkan). Secara harfiah pendidikan berarti mengumpulkan informasi dan menyampaikan serta menyalurkan kemampuan (bakat). Adapun John Dewey mengartikan pendidikan sebagai suatu proses pembentukan dasar yang bersifat fundamental yang menyangkut daya pikir (intelektual), maupun daya rasa (emosi) manusia.
Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan manusia untuk membawa anak didik ke tingkat dewasa dalam arti mampu memikul tanggung jawab moral. Selain itu Omar Muhammad Al- Thoumy al-Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan kehidupan alam semesta.
e. Moral
Moral berasal dari kata Mores yang berarti kebiasaan, adat istiadat. Sinonim dari kata tersebut adalah etik (Ethos, bahasa Yunani kuno yang berarti kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir), Akhlaq (bahasa Arab, jamak dari kata Khulq yang berarti tingkah laku atau budi pekerti), serta budi pekerti (bahasa Indonesia). Dagobert D. Runer menjelaskan bahwa istilah moral (Inggris) seringkali digunakan untuk merujuk pada aturan-aturan, tingkah laku, dan kebiasaan individu atau kelompok. Dengan demikian istilah moral atau akhlak dapat digunakan untuk menunjukkan arti tingkah laku manusia maupun aturan-aturan tentang tingkah laku manusia. M. Amin Abdullah misalnya, mengartikan moral sebagai aturan-aturan normatif yang berlaku dalam masyarakat tertentu.Lebih lanjut Amin Abdullah membedakan antara moral dan etika dimana moral merupakan tata nilai yang sudah jadi dan siap pakai sementara etika merupakan studi kritis terhadap moralitas, sehingga moral tidak lain adalah obyek material dari etika.
Istilah Moral seringkali digunakan secara silih berganti dengan akhlak. Berbeda dengan akal yang dipergunakan untuk merujuk suatu kecerdasan, tinggi rendahnya intelegensia, kecerdikan dan kepandaian. Kata moral atau akhlak acap kali digunakan untuk menunjukkan suatu perilaku baik atau buruk, sopan santun dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai kehidupan.
Dalam The Advanced of learner’s Dictionary of Current English dijelaskan tentang pengertian moral dalam empat arti yang saling terkait dan berhubungan satu sama lain, yaitu:
a) Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar salah (concerning principles of rigt and wrong)
b) Baik dan Buruk (good and virtuous)
c) Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah (able to understand the difference between rigt and wrong)
d) Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik (teaching or illustrating good behaviour).
Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan baik moral, etika, akhlak, budi pekerti mempunyai penekanan yang sama, yaitu adanya kualitas-kualitas yang baik yang teraplikasi dalam perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari, baik sifat-sifat yang ada dalam dirinya maupun dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Walau mempunyai perbedaan, namun moral, etika dan akhlaq dapat dianggap sama apabila sumber ataupun produk budaya yang digunakan sesuai.
Oleh karena itu dalam skripsi ini istilah moral digunakan untuk menunjukkan aturan-aturan normatif, tata nilai tentang tingkah laku dan juga tentang sikap dan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai makhluk individu seperti jujur, dapat dipercaya, adil, bertanggung jawab dan lain-lain, maupun sebagai makhluk sosial dalam hubungannya dengan masyarakat, seperti kejujuran, penghormatan sesama manusia, tanggung jawab, kerukunan, kesetiakawanan, solidaritas sosial dan sebagainya.
Dengan pengertian diatas maka kajian tentang pendidikan moral bukan sekedar kajian tentang bagaimana mengajarkan norma moral tentang mana nilai-nilai keutamaan dan mana nilai-nilai keburukan, namun lebih dari itu merupakan kajian tentang bagaimana moralitas anak didik dikembangkan untuk mencapai moralitas yang baik dalam segala situasi kehidupan.
f. Masyarakat Modern
Pengertian Masyarakat modern dalam skripsi ini adalah masyarakat yang ditandai oleh adanya modernisasi yang memiliki ciri-ciri adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, tumbuhnya rasionalitas dan sekularisasi dan adanya pergerakan menuju progress.
Modernisasi dalam kajian ini ditandai oleh perubahan-perubahan besar dibidang sosial, politik, ekonomi, kultural, dan ideologi yang tidak dapat dicerabut dari konteks historisnya yang terjadi di barat. Bertolak dari sana gelombang raksasa ini menciptakan perubahan-perubahan substantif dan kreatif, hasil sintetis faktor-faktor eksogen dan endogen dalam masyarakat dibelahan bumi yang lain. Namun modernisasi sebenarnya bukan hanya menyangkut perubahan- perubahan institusional melainkan juga terjadinya perubahan-perubahan kesadaran pada manusia. Masyarakat modern seringkali didasarkan dengan adanya karakteristik distansi, individuasi, progress, rasionalisasi dan sekularisasi pada kesadaran yang menandai manusia modern.
Dari batasan-batasan yang ada diatas , maka yang dimaksud dengan PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN dalam skripsi ini adalah sebagai pemikiran yang mendasar dan sistematis dari Al-Ghazali maupun Emile Durkheim berkaitan dengan upaya membantu peserta didik memahami esensi dan arti penting nilai-nilai moral dan mampu mengembangkan segala potensinya mewujudkan nilai-nilai moral itu dalam perilaku nyata ditengah kehidupan masyarakat modern yang ditandai oleh adanya modernisasi, yang memiliki ciri-ciri adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, tumbuhnya rasionalitas dan sekularisasi dan adanya pergerakan menuju progress.
B. Latar Belakang Masalah
Globalisasi sebagai sebuah proses bergerak amat cepat dan meresap kesegala aspek kehidupan kita baik aspek ekonomi, politik, sosial budaya maupun pendidikan. Gejala khas dari proses globalisasi ini adalah kemajuan- kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi-informasi dan teknologi transportasi. Kemajuan-kemajuan teknologi rupanya mempengaruhi begitu kuat struktur –struktur ekonomi, politik, sosial budaya dan pendidikan sehingga globalisasi menjadi realita yang tak terelakkan dan menantang. Namun, Globalisasi sebagai suatu proses bersifat ambivalen. Satu sisi membuka peluang besar untuk perkembangan manusia dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi sisi lain peradaban modern yang semakin dikuasai oleh budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tampak semakin lepas dari kendali dan pertimbangan etis. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akibat globalisasi tidak selalu sebanding dengan peningkatan di bidang moral. Dalam satu sisi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang membuat manusia lebih mudah menyelesaikan persoalan hidup, namun disisi lain berdampak negatif ketika ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi berfungsi sebagai pembebas manusia, melainkan justru membelenggu dan menguasai manusia.
Arus Globalisasi ternyata berhasil mendobrak dinding tatanan moral tradisional berupa adat istiadat dan kebiasaan luhur nenek moyang manusia. Wujud nilai-nilai moral berupa penghormatan sesama manusia, tanggung jawab, kejujuran, kerukunan dan kesetiakawanan lambat laun digeser oleh otonomi manusia yang mendewakan kebebasan. Malah, ada yang memandang dirinya sebagai kebebasan, sehingga pihak lain tidak berhak mengaturnya. Kebebasan ini sering mengkondisikan “homo homini lupus”, manusia yang tidak mengenal batas-batas hak dan wewenang dalam kehidupan sosial.
Pergeseran peran norma moral khususnya terjadi pada masa revolusi perancis yang menjadi simbol kebebasan segala zaman. Dalam humanisme baru ini manusia modern makin meninggalkan nilai-nilai baku. Manusia menjadikan dirinya sebagai aturan dan cenderung melepaskan diri dari keterikatan normatif yang dianggap ketinggalan zaman. Manusia mengalami diri sebagai otonomi yang berkuasa penuh atas dirinya sendiri. Ini tercermin dari sikap manusia yang tidak hanya ingin mengolah alam semesta namun lebih ingin menguasai demi kepentingan pribadi.
Pandangan hidup yang mengagungkan kebebasan personal umumnya akan mendorong manusia untuk mendahulukan kepentingan pribadi. Yang diutamakan adalah kebebasan pribadi, dan hak-hak orang lain dilupakan. Sikap ini seringkali menjerumuskan manusia ke dalam perbenturan dengan pihak lain dalam kehidupan sosial. Penyanjung kebebasan seolah-olah tinggal diluar entitas sosial dan tidak berdampingan dengan sesama. Akibatnya, nilai-nilai moral seringkali diabaikan dalam pandangan hidup ini.
Arus globalisasi memang akan terus merambah kesetiap penjuru dan sendi-sendi kehidupan. Oleh karena itu yang menjadi persoalan bukanlah bagaimana menghentikan laju globalisasi, tetapi bagaimana menumbuhkan kesadaran dan komitmen manusia kepada nilai-nilai moral, sehingga dampak negatif dari globalisasi dapat dikendalikan. Sebab ketidakpedulian terhadap nilai-nilai akan mengakibatkan arah dan tujuan perkembangan peradaban manusia menjadi tidak jelas. Akibat selanjutnya manusia akan terpuruk dalam kehampaan makna hidup, alienasi yang mencekam, betapapun ia dilingkupi oleh kekayaan materiil yang melimpah. Noeng Muhadjir menegaskan bahwa masyarakat manusia dapat survive karena adanya komitmen pada nilai-nilai moral. Bila semua orang tidak pernah menaati janjinya, tidak acuh pada tanggung jawabnya, mempermainkan patokan-patokan moralitas, dapat dibayangkan hancurnya masyarakat manusia. Disinilah arti penting pendidikan moral. Dengan pendidikan, subyek didik dapat dibantu memahami esensi dan arti penting nilai-nilai moral dan mampu mengembangkan segala potensinya mewujudkan nilai-nilai moral itu dalam perilaku nyata, baik nilai-nilai ilahi maupun insani.
Persoalan pendidikan moral memang harus diakui bukanlah persoalan baru. Banyak ahli pendidikan dalam merumuskan konsep-konsep pendidikannya telah mengaitkan dan menjadikan moral sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan. Bahkan sering dikatakan bahwa terbentuknya moral yang baik pada subyek didik merupakan tujuan hakiki dari seluruh proses dan aktifitas pendidikan. Dalam konteks pendidikan Islam, Muhammad ‘Athiyah al-Ibrasyi misalnya menegaskan bahwa pendidikan moral merupakan ruh pendidikan Islam.Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berjiwa budi pekerti dan akhlak yang bertujuan untuk mencapai akhlak yang sempurna. Abdullah Nasih Ulwan juga menyatakan bahwa pendidikan moral merupakan serangkaian sendi moral, keutamaan tingkah laku dan naluri yang wajib dilakukan anak didik, dibiasakan dan diusahakan sejak kecil.
Masalah moral secara normatif seharusnya sudah implisit dalam setiap program pendidikan, atau dengan kalimat lain meskipun dalam setiap satuan pelajaran telah disisipkan “pendidikan moral”, namun konseptualisasi sistem pendidikan moral secara khusus tetap diperlukan guna memberikan arah atau panduan kepada pelaku pendidikan dalam menjalankan sistem pendidikan moral.
Dengan demikian kajian tentang konsep pendidikan moral secara spesifik bukan suatu hal yang mengada-ada dan tumpang tindih (overlapping) dengan konsep pendidikan secara umum.
Dalam konteks pendidikan Islam, konseptualisasi sistem pendidikan moral secara filosofis dirasa semakin dibutuhkan, mengingat pemikiran itu dirasa kurang memadai. Hal ini didasarkan pada kenyataan masih belum jelasnya pemikiran filosofis, konsep-konsep atau teori-teori pendidikan Islam, dihadapkan dengan perkembangan peradaban manusia yang ditandai dengan adanya pergeseran nilai yang begitu cepat ditengah-tengah masyarakat seiring perkembangan sains dan teknologi. Dalam konteks demikian, Islam ditantang untuk mampu memberikan solusi dan pemikiran alternatif sekaligus sebagai koreksi diri atas kelemahan kelemahan dari khazanah pemikiran yang dimiliki. Oleh karena itu perlu adanya kajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh pendidikan, baik Islam maupun non Islam, tentang pendidikan moral untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan, dan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil konsep-konsep pendidikan moral yang laik untuk dihidupkan di masa sekarang dan mendatang. Sehingga memberikan inovasi-inovasi baru yang sesuai dan berguna bagi pendidikan Islam.
Diantara tokoh pemikir muslim yang banyak mengkaji masalah moral, jiwa dan pendidikan adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, atau lebih terkenal dengan panggilan al-Ghazali. Dalam sejarah pemikiran Islam al-Ghazali dikenal sebagai ahli dan praktisi pendidikan, agama, hukum Islam, dan memiliki keilmuan yang luas mengenai filsafat, tasawuf, kejiwaan, akhlak (moral) dan spiritualitas Islam.
Al-Ghazali banyak mengulas tentang pendidikan akhlak (moral). Hal ini bisa dilihat dari semua karya-karyanya khususnya dalam Ihya’ Ulumuddin, Mizan al-‘Amal, Mi’raj al-Salikin dan Ayyuha al-Walad. Pengertian pendidikan menurut al- Ghazali tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan, yang berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat kepada individu yang ada didalamnya agar kehidupan dapat berkesinambungan. Perbedaan yang ada mungkin terletak pada nilai-nilai yang diwariskan dalam pendidikan tersebut. Baginya nilai-nilai itu adalah nilai-nilai keislaman yang berdasarkan atas al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan kehidupan orang-orang salaf. Adapun pengertian pendidikan dari segi jiwa menurut al- Ghazali adalah upaya tazkiyah al-nafs dengan cara takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan sifat terpuji.
Dengan demikian pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan moral sejalan dengan filsafatnya yang religius dan sufistik. Amin Abdullah dalam bukunya Filsafat Etika Islam, antara al-Ghazali dan Kant juga menyatakan bahwa konsepsi al-Ghazali tentang etika (moral) bercorak mistis. Sumber moral adalah wahyu dan al-Ghazali menolak rasio sebagai prinsip pengarah dalam tindakan etis manusia. Dalam hal ini peran rasio tidak dibutuhkan secara optimal. Jika dibutuhkan, itupun hanya bersifat periferal. Al-Ghazali lebih memilih wahyu dan bahkan menekankan pentingnya pembimbing moral (Mursyid) sebagai pengarah utama bagi orang-orang pilihan dalam mencapai keutamaan mistis.
Berbeda dengan al-Ghazali, Emile Durkheim seorang ahli dan praktisi pendidikan, filsuf moral, dalam pemikirannya tentang pendidikan moral lebih memilih masyarakat sebagai pemilik otoritas moral dalam rangka mengembangkan dan merealisasikan hakekat diri manusia. Penegasan Durkheim semacam ini, merujuk pada pendekatan spiritualisme sosiologis, yaitu sebuah kepercayaan bahwa sifat dan kepentingan dari keseluruhan dan dari masing-masing individu yang membentuk keseluruhan tidaklah sama. Dengan demikian, kendati masyarakat merupakan gabungan dari unsur individu, tetapi ia tetap berbeda bahkan membentuk fenomena baru yang bersifat sui generis (unik).
Spiritualitas sosiologis ini betul-betul diterapkan oleh Durkheim melalui usaha seriusnya untuk memahami masyarakat sebagai sebuah kenyataan organis yang independen, yang memiliki hukum-hukum perkembangan dan hidupnya sendiri.
Hal yang hendak ditegaskan dari pemaparan diatas adalah bahwa Durkheim cukup piawai meyakinkan kita perihal otoritas moral yang melekat pada masyarakat. Disatu sisi tersimpan potensi untuk menuntun, “memaksa” tingkah laku individu yang berada dan bergulat di dalamnya. Di sisi lain masyarakat dapat dijadikan landasan berpijak bagi kehidupan moral.
Kepiawaian atau keseriusan mempersoalkan moralitas yang didasarkan pada konsensus sosial, memang menyebabkan kekaburan dalam tulisan-tulisan Durkheim antara sebagai teori sosial atau filsafat moral. Namun bagaimanapun juga akhirnya harus diakui bahwa pemikir kelahiran Perancis ini telah menemukan kerangka epistemologi orisinil mengenai moralitas dan usaha-usaha membentuknya (pendidikan moral). Durkheim merumuskannya dengan ilmu moralitas positivistis (Science Positif de la morale).
Hal lain yang menarik, menurut penilaian Taufik Abdullah , Durkheim adalah seorang ahli ilmu pengetahuan yang positivistis dan seorang moralis yang ingin memperbaiki keadaan masyarakat sekaligus tidak ingin kembali ke tatanan sosial lama. Penilaian demikian tentu saja tidak bisa dilepaskan dari bagaimana Durkheim mengembangkan ilmu pengetahuan rasional tentang fakta moral. Ilmu pengetahuan sendiri dimaksud Durkheim adalah tentang fakta moral dengan menekankan penerapan nalar manusia terhadap tatanan moral.
Studi ilmiah tentang moralitas menurut Emile Durkheim pada dasarnya mengisyaratkan usaha serius untuk mengkaji fenomena kehidupan moral sebagai fenomena rasional sejalan dengan evolusi peradaban dan pencerahan masyarakat, konsekuensinya sekularisasi pendidikan moral dapat diterima sebagai keniscayaan sebab transformasi sejarah memang menuntut demikian. Dengan alasan argumentatif ini, Durkheim berpendapat bahwa moralitas harus bersifat rasional dan dibentuk berdasarkan pijakan nalar. Melihat pemikirannya pada moral dan pembentukan moral memperlihatkan bahwa Durkheim adalah ahli pendidikan dan filsuf moral yang beraliran positivis, bercorak rasional, ilmiah dan sekuler.
Namun demikian walaupun kedua tokoh di atas memiliki corak pandangan, kondisi sosial dan rentang waktu yang berbeda, keduanya juga memiliki persamaan. Persamaan-persamaan tersebut adalah baik al-Ghazali maupun Durkheim sangat menekankan urgensi moral dalam kehidupan manusia dan pembentukannya melalui pendidikan. Persamaan yang lain berkaitan dengan sumber pendidikan moral. Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim mengakui adanya otoritas moral tertinggi dalam kehidupan manusia. Otoritas moral dipahami sebagai sesuatu yang menyimpan pengaruh kuat dengan memaksakan semua kekuatan moral yang berada diatas individu. Otoritas tersebut memaksa manusia untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai dengannya, dan menjadi guiding principle dalam kehidupannya.
Namun demikian sumber yang menjadi otoritas moral antara al-Ghazali dan Emile Durkheim sangatlah berbeda. Bagi al-Ghazali tidak ada semacam hukum, tatanan, ataupun struktur dasar yang di dalamnya mampu membangun tindakan moral. Satu-satunya basis moral yang valid adalah wahyu, sedangkan rasio manusia tidak bisa dianggap sebagai basis fondasi moral. Moralitas yang dibangun berdasarkan rasio akan sia-sia.
Sedangkan Emile Durkheim menyebutkan bahwa pemilik otoritas moral adalah masyarakat dengan catatan masyarakat dipahami sebagai kesadaran kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu dalam membentuk otoritas moral sehingga memanifestasikan dirinya dalam aturan-aturan imperatif bagi individu. Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai unsur pengganti agama sebab ia merupakan makhluk moral yang betul-betul berakar dari realitas empiris yang dapat disentuh melalui penginderaan dan rasio, sementara Tuhan tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan. Moralitas yang dibangun Durkheim ini adalah moralitas sekuler dengan menolak agama sebagai sumber otoritas moral. Durkheim menganggap sumber moralitas haruslah fakta sosial yang dapat dikaji dan diamati secara empiris dan mengedepankan fungsi rasio manusia.
Persaman yang lain terletak pada metode pendidikan moral yang digunakan keduanya. Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim dalam penerapan praktis pendidikan memiliki kecenderungan paradigmatis yang sama. Keduanya menekankan pendidikan moral sebagai upaya membentuk pribadi yang bermoral. Keduanya menekankan pada peran sentral guru atau pembimbing moral dengan konsep teacher centered dalam metode pembelajarannya.
Persamaan kecenderungan al-Ghazali dan Emile Durkheim diatas berimplikasi pada penerapan yang hampir sama dalam metode pembelajaran pendidikan moral. Karena bersifat teacher centered maka metode pendidikan moral keduanya, menekankan peranan sentral guru dalam pendidikan dengan metode pembiasaan, metode keteladanan dan disiplin.
Melihat paparan diatas dan menyadari bahwa pemikiran kedua tokoh ini, baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim masih dijadikan dirkursus dan memiliki pengaruh cukup besar terhadap masing-masing budaya dan pemikiran, maka penulis merasa perlu untuk meneliti secara kritis dan komparatif sistem pemikiran kedua tokoh dalam pendidikan moral.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral?
2. Apakah persamaan dan perbedaan pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral?
3. Bagaimana relevansi pandangan kedua tokoh tentang pendidikan moral dalam masyarakat modern?
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a) Untuk mengetahui pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral.
b) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral meliputi pengertian pendidikan moral, sumber pendidikan moral, tujuan pendidikan moral dan metode pendidikan moral.
c) Untuk mengetahui relevansi pandangan kedua tokoh tentang pendidikan moral dalam masyarakat modern.
Dengan demikian penelitian ini diharapkan berguna untuk:
a) Memberikan manfaat bagi para pendidik khususnya agar dalam praktek pendidikannya menekankan kepada pembentukan sikap, perilaku dan membentuk moral sehingga tujuan pendidikan Agama Islam dapat dicapai.
b) Memberikan masukan dan informasi bagi disiplin ilmu Tarbiyah sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berminat.
c) Sebagai bahan pemikiran untuk penelitian lebih lanjut, misalnya mengembangkan penelitian dimaksud dengan mengembangkan tokoh lain.
d) Menemukan inovasi baru dalam pendidikan moral.
E. Metode Penelitian
Kajian skripsi ini seluruhnya berdasar atas kajian pustaka atau studi literatur. Oleh karena itu sifat penelitiannya adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Data yang dikumpulkan dan dianalisis seluruhnya berasal dari literatur maupun bahan dokumentasi lain, seperi tulisan di jurnal, maupun media lain yang relevan dan masih dikaji.
Data yang dikumpulkan dalam studi ini adalah dua jenis data yaitu data yang bersifat primer dan data yang bersifat sekunder. Data primer merupakan data yang terkait dengan pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral dalam berbagai karyanya, antara lain: “Ihya’ Ulumuddin”, “Fatihat al-Ulum”, “Mizan al-‘Amal”, “Mi’raj al-Salikin”, “Ayyuha al-Walad”. Adapun data primer dari Durkheim meliputi: “Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan”, Sosiologi dan Filsafat. Sedangkan data yang sekunder merupakan data yang terkait dengan pendidikan moral yang dikemukakan oleh ilmuwan lain. Data sekunder ini digunakan sebagai bahan penunjang dan pelengkap analisis.
Adapun metode analisis yang digunakan adalah:
a. Metode Historis
Metode historis dimaksudkan untuk menyingkap, menggali dan menelaah serta menganalisis persoalan-persoalan yang menjadi obyek studi ini dari kacamata kesejarahan sehingga didapatkan kesimpulan yang obyektif karena didasari analisis latar belakang peristiwa yang obyektif. Metode ini berpijak pada pendekatan historis yang digunakan bukan untuk menampilkan aspek kesejarahan pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim secara kronologis dari waktu ke waktu, tetapi digunakan terfokus pada kajian mengenai biografi al-Ghazali dan Emile Durkheim, pendidikan dan karir intelektualnya. latar belakang sosio-kultural, latar belakang pemikirannya, karya-karyanya dan hal lain yang relevan.
b. Metode Deskriptif
Metode deskriptif merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka representasi obyektif tentang realitas yang terdapat di dalam masalah yang di teliti. Atau dapat juga diartikan sebagai metode yang digunakan untuk mendeskripsikan segala hal yang berkaitan dengan pokok permasalahan, melacak dan mensistematisir sedemikian rupa. Selanjutnya dengan keyakinan tertentu diambilah kesimpulan umum dari bahan-bahan tentang obyek permasalahannya.
Dalam hubungannya dengan pembahasan penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan pemikiran-pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim yang berkait tentang pendidikan moral dari berbagai karyanya.
c. Metode Analisis.
Metode analisis ini digunakan untuk menelaah pemikiran pendidikan moral al-Ghazali dan Emil Durkheim yang telah dijelaskan dengan metode deskriptif. Cara yang digunakan adalah analisis isi (content analisis), yaitu menganalisis konsep dari pemikiran berbagai tulisan yang berkait dengan pendidikan moral, terutama yang dikemukakan oleh al-Ghazali dan Emil Durkheim.
d. Metode Komparatif.
Metode komparatif ini menggunakan logika perbandingan . Komparasi yang dibuat adalah komparasi fakta-fakta replikatif . Melalui komparasi tersebut pemikiran al-Ghazali dan Emil Durkheim tentang pendidikan moral sebagai fokus kajian penelitian ini dibandingkan, selanjutnya disusun kategorisasi teoritis yaitu perbedaan dan persamaan kedua tokoh tersebut dalam pendidikan moral. Pembandingan ini selanjutnya digunakan untuk menemukan aktualitas, melacak relevansi, kesejajaran dan bahkan menemukan kemungkinan pendididikan moral untuk diterapkan pada masa sekarang dan yang akan datang. Tata pikir yang digunakan adalah tata pikir relevansi yang menunjuk pada keterhubungan yang bersifat fungsional tertentu dengan dimensi yang dipertanyakan.
F. Tinjauan Pustaka
Satu hal yang pasti bahwa pemikiran al-Ghazali ini bukan merupakan yang pertama kali. Kajian tentang tokoh al-Ghazali, telah banyak dilakukan, baik mengenai sejarah hidupnya, karya-karyanya maupun pemikirannya dalam berbagai masalah seperti filsafat, etika, tasawuf, pendidikan, masalah jiwa dan lain-lain. Namun demikian pemikirannya tentang pendidikan moral sejauh pengetahuan penulis, belum tergarap secara spesifik. Pemikiran yang ada biasanya masih bertumpu pada pendidikan secara umum, ataupun pada aspek-aspek lain yang belum tersusun pada bangunan sistem pendidikan moral. Diantara beberapa penulis yang membahas pemikiran al-Ghazali adalah Skripsi Asep Suryana yang membahas “ Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam” yang meliputi pengertian, tujuan, metode dan kurikulum materi pendidikan Islam, Abidin Ibnu Rusn yang mengulas tentang “Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan” yang berisi pandangan al-Ghazali tentang manusia dan ilmu, pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pengertian, subyek didik, kurikulum, metode pendidikan dan Evaluasi pendidikan. Dalam buku ini juga dibahas tentang aktualitas pemikiran al-Ghazali dalam Dunia pendidikan dewasa ini dan juga Skripsi Moch. Ani Muchlis yang menulis “Komparasi Pemikiran Pendidikan Islam Antara Al-Ghazali Dan Naquib Al-Attas”. Dalam skripsi ini dikomparasikan pemikiran pendidikan keduanya meliputi Pengertian pendidikan, konsep tentang ilmu, konsep tentang manusia, tujuan pendidikan dan sistem pendidikan Islam. Satu-satunya yang mengulas pemikiran pendidikan moral al-Ghazali sepanjang yang penulis ketahui adalah tesis Zainal Abidin Ahmad yang mengulas tentang “Pendidikan Moral Menurut Al-Ghazali” meliputi: tujuan pendidikan moral, materi pendidikan moral, dan metode pendidikan moral. Dalam tesis ini juga dikemukakan kelemahan dan kekuatan dari pemikiran al-Ghazali dan relevansinya dengan masa sekarang.
Sedang Emile Durkheim Sebagai seorang sosiolog yang berkaliber internasional maka banyak cendekiawan yang mencoba menyoroti pemikirannya.. Djuretna A. Imam muhni dalam “Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henry Bergson” telah membahas pemikiran Emile Durkheim tentang bagaimana pentingnya moral dan religi sebagai dasar kesejahteraan dan kebaikan hidup bersama, dalam disertasi ini Djuretna membandingkan kedua tokoh yaitu Emile Durkheim dan Henri Bergson. Disamping itu dalam jurnal filsafat, Djuretna juga membahas tentang pemikiran Emile Durkheim mengenai moralitas ditinjau dari segi filsafat pancasila dengan judul “Pandangan Moral Emile Durkheim Ditinjau Dari Filsafat Pancasila”.
Begitu pula skripsi dengan judul “Relasi Moral dan Masyarakat” yang ditulis oleh M. Ridwan alumni fakultas Ushuluddin.M. Ridwan membahas esensi moralitas yang terdiri dari tiga unsur kaitannya dengan dinamika moral dalam masyarakat yaitu disiplin, keterikatan pada kelompok dan otonomi. Dan juga Skripsi karya Fathatur Rahmani dengan judul “Sekolah Sebagai Laboratorium Pendidikan Dan Pelatihan Moral” yang menfokuskan pembahasan pada Penggunaan sekolah sebagai laboratorium pendidikan dan pelatihan unsur-unsur moralitas yang merupakan salah satu pandangan Emile Durkheim dalam pendidikan moral. Dalam skripsi ini juga dibahas relevansi pandangan Emile Durkheim dengan pendidikan Islam.
Dari beberapa karya yang telah disebutkan diatas maka dapat dipastikan bahwa studi komparasi tentang pendidikan moral menurut al-Ghazali dan Emile Durkheim belum pernah dibahas. Karena itu dalam skripsi ini penulis memfokuskan pada “Pendidikan Moral Dalam Pandangan Al-Ghazali Dan Emile Durkheim Dalam Masyarakat Modern”. Pandangan atau pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral selanjutnya sedapat mungkin akan dikaji secara kritis metodologis untuk mendapatkan jawaban atas persoalan-persoalan yang menjadi sasaran kajian.
G. Kerangka Teoritik
Penulis memandang perlu kiranya melihat hal-hal yang melandasi munculnya pengertian moral dan teori-teori tentang pendidikan moral, sebagai pisau analisa untuk membedah dan membandingkan pendidikan moral menurut al-Ghazali dan Emile Durkheim.
Masalah atau pengertian moral selama ini menjadi bahan perdebatan para pemikir. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan, kecenderungan, pengalaman, pengetahuan dan kondisi sosial budaya yang berbeda. Untuk melihat pengertian tentang moral, banyak teori-teori yang telah dihasilkan oleh para ahli yang mendasari lahirnya pengertian moral. Diantara teori tersebut antara lain:
1. Teori Darwin (Survival of the Fittest) kelangsungan hidup bagi yang kuat dan sempurna. Teori ini berintikan bahwa kehidupan itu bagi mereka yang kuat.
2. Teori Sosiologi, yang menegaskan bahwa baik bukan nilai mutlaq. Hal yang baik dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat.
3. Teori Psikoanalisa yang dikemukakan oleh Freud (1856-1939) menerangkan bahwa semua tingkah laku manusia muncul dari dalam dirinya dan timbul dari pengendapan pengalaman yang sudah-sudah
4. Teori yang menyatakan bahwa moralitas adalah kebiasaan, customs, tradisi yang dapat berganti-ganti menurut keadaan zaman, ruang dan empiris. Teori ini dikemukakan oleh David Hume(1711-1776) seorang empiris yang menyatakan bahwa tindakan dianggap benar jika menimbulkan persetujuan dari masyarakat. Jadi moral dalam hal ini adalah nilai mayoritas.
5. Teori Idealis, bahwa moral itu mutlak, akan tetapi hanya mengikuti arah sampai pertengahan jalan , sehingga hasilnya tidak memuaskan.
Melihat dari teori-teori yang ada diatas nampaknya pengertian moral al-ghazali dianalisis dengan teori Psikoanalisa Freud. Pengertian moral menurut al-Ghazali adalah suatu keadaan atau bentuk jiwa dari mana timbul perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa fikir dan usaha. Psikoanalisa Freud yang juga melahirkan spirit personality yang muncul dari dalam diri, walaupun sumbernya berbeda. Bila Freud menggunakan id, ego dan super ego maka Ghazali memakai istilah qalb, nafs, aql dan ruh.
Sedangkan moral dalam pandangan Emile Durkheim nampaknya lebih mendekati pandangan David Hume yang menekankan moralitas bersumber dari apa yang berulang dan ada di masyarakat (moralitas adalah ciptaan sosial), kaidah moral adalah nilai kolektifitas, dan masyarakat adalah pemilik otoritas moral.
Adapun dalam kaitannya dengan pendidikan moral dalam masyarakat modern ada tiga teori yang menerangkan tentang usaha menumbuhkan dan mengembangkan moral, yaitu: teori Perkembangan Kognitif, teori Belajar Sosial dan teori Psiko Analitik.
Yang pertama Teori Perkembangan Kognitif awalnya dikemukakan oleh John Dewey, dilanjutkan oleh Piaget dan disempurnakan Kohlberg. Menurut teori ini proses perkembangan moral manusia muncul secara bertahap berurutan (stepwise sequence) melalui tahapan- tahapan penalaran moral. Teori ini menekankan untuk terwujudnya moralitas, pendidikan moral hendaknya mempertimbangkan tahapan penalaran moral anak didik. Teori ini juga memandang semakin tinggi penalaran moral seseorang semakin tinggi pula moralitas yang dimilikinya. Tahapan moral yang lebih tinggi tidak akan mungkin mundur ke tahapan yang selanjutnya. moral.
Teori yang kedua adalah Teori Belajar Sosial ( Social Learning Theori). Teori ini bersumber dari ajaran Empirismenya John Locke dan Behaviorismenya Watson dan Skinner yang memandang hakekat manusia seperti kertas kosong (blank state) yang siap ditulisi oleh masyarakat. Teori ini memandang sumber moral adalah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dan untuk membentuk moral, pendidikan moral hendaknya mempelajari mengenai apa saja yang seharusnya dikerjakan setiap orang dalam masyarakatnya .
Teori yang ketiga yaitu teori Psikoanalitik yang bersumber dari ajaran Freud. Teori ini memandang hakekat manusia sebagai makhluk yang dikendalikan oleh hati nurani yang sulit dikontrol. Agen-agen masyarakat khususnya orang tua harus turut campur tangan membentuk perilaku anak untuk kebaikan individu dan masyarakatnya. Pengembangan moral dapat dilakukan melalui belajar penguasaan diri dan disiplin.
Dari ketiga teori pendidikan moral yang ada diatas penulis mengunakan dua teori, yaitu teori Psikoanalitiknya Freud untuk membedah dan menganalisa pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan moral dan Teori Belajar Sosial (Social Learning Theori) untuk membedah dan menganalisa pemikiran pendidikan moral Emile Durkheim.
H. Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan skripsi ini dibagi menjadi lima Bab
Bab I Pendahuluan terdiri dari sub-sub bab mengenai: penegasan istilah, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik dan sistematika pembahasan.
Bab II akan difokuskan untuk mengenal lebih dekat al-Ghazali dan Emile Durkheim yang memuat: biografi al-Ghazali dan Emile Durkheim , keterlibatan al-Ghazali dan Emile Durkheim dalam dunia pendidikan, latar belakang sosio politik, latar belakang pemikiran serta karya-karya al-Ghazali dan Emile Durkheim.
Sedangkan pada Bab III akan dijelaskan mengenai pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral meliputi: pengertian dan hakekat pendidikan moral, tujuan pendidikan moral, sumber pendidikan moral, materi pendidikan moral, metode pendidikan moral dan peran dan kualifikasi pendidik moral.
Bab IV memuat tentang masyarakat modern meliputi pengertian masyarakat modern, peradaban masyarakat modern, problem manusia modern dan moral di era modernitas
Bab V memuat telaah komparasi antara pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral meliputi pengertian dan hakekat pendidikan moral, tujuan pendidikan moral, sumber pendidikan moral, materi pendidikan moral, metode pendidikan moral dan peran dan kualifikasi pendidik moral.Dalam bab ini juga memuat relevansi pandangan kedua tokoh tentang pendidikan moral dalam masyarakat modern
Bab VI berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
MENGENAL LEBIH DEKAT AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM
Biografi Al-Ghazali
1. Al-Ghazali dan Lingkungan Keluarganya
Al-Ghazali dikenal sebagai seorang teolog Muslim, ahli pendidikan, dan sufi abad pertengahan. Lahir pada 1058 M/450 H di desa Ghazalah, di Thus (sekarang dekat Meshed), sebuah kota di Persia. Sekarang daerah tersebut termasuk dalam propinsi Khurasan, Iran. Ia meninggal dunia di kampung halamannya, Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H atau 19 Desember 1111 M pada usia 55 tahun dan dimakamkan di Thaburan, wilayah Thus. )
Imam al-Ghazali , ) nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali saja. ) Al-Ghazali juga populer dengan sebutan Hujjatul Islam, Zainuddin at-Tusi (Penghias agama) ), al-Faqih asy-Syafi’i, dan Bahrun Mugriq. ) Ia juga dijuluki the Spinner yang berarti pemintal atau penenun. )
Al-Ghazali hidup pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah II. ) Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang tinggi religiusitasnya. Ayahnya, Muhammad, adalah seorang penenun dan pemintal kain wol dan menjualnya di tokonya sendiri di Thus, di luar kesibukannya, ia senantiasa menghadiri majelis-majelis pengajian yang diselenggarakan para ulama. Al-Ghazali juga mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusi al-Ghazali yang dikenal dengan julukan Majduddin (w. 520). Kondisi keluarga yang religius mengarahkan keduanya untuk menjadi ulama besar. Hanya saja saudaranya lebih cenderung kepada kegiatan dakwah dibanding al-Ghazali yang menjadi penulis dan pemikir. ) Ayah al-Ghazali adalah seorang pencinta ilmu, bercita-cita tinggi, dan seorang muslim yang saleh yang selalu taat menjalankan agama. Tetapi sayang, ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan segala keinginan dan do’anya tercapai. Ia meninggal sewaktu al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad masih kecil. ) Margaret Smith mencatat bahwa ibu al-Ghazali masih hidup dan berada di Baghdad sewaktu ia dan saudaranya Ahmad sudah menjadi terkenal. )
Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari pola hidup sufi. Sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dia sempat berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya yang bernama Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, ahli tasawuf dan Fiqh dari Thus, untuk memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, Yaitu Muhammad dan Ahmad, dengan bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir itu tak mampu memberinya tambahan. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh pakaian, makan, dan pendidikan. Di sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai akhir hayatnya. )
Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali adalah salah seorang pemikir besar Islam dan filsafat kemanusiaan, disamping sebagai salah seorang pribadi yang memiliki berbagai kegeniusan dan banyak karya. Al-Ghazali adalah pakar ilmu syari’ah pada dekadenya, disamping itu dia juga menguasai ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Kalam, Mantiq, Filsafat, Tasawuf, Akhlak, dan sebagainya. Pada tiap-tiap disiplin ilmu tersebut, Al-Ghazali telah menulisnya secara mendalam, murni dan bernilai tinggi.
Banyak tokoh yang mengungkapkan pujian dan kekagumannya pada al-Ghazali. Imamal-Haramain (seorang mantan gurunya) misalnya, ia berkata “Al-Ghazali adalah lautan tanpa tepi”. Sementara salah seorang muridnya, yaitu Imam Muhammad bin Yahya berkata, “Imam Al-Ghazali adalah asy-Syafi’i kedua”. Pujian juga diungkapkan oleh salah seorang ulama sezamannya, yaitu Abu al-Hasan ‘Abdul Ghafir al-Farisiy, beliau mengatakan, “Imam al-Ghazali adalah Hujjatul Islam bagi kaum Muslimin, imam dari para imam agama, pribadi yang tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh selainnya, baik lisannya, ucapannya, kecerdasan maupun tabiatnya.” )
2. Pendidikan dan Karier Intelektual Imam Al-Ghazali
Pendidikan al-Ghazali di masa anak-anak berlangsung dikampung halamannya. Setelah ayahnya meninggal dunia ia dan saudaranya dididik oleh Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka. Dan kepadanyalah kali pertama al-Ghazali mempelajari Fiqh. Namun setelah sufi tersebut tidak sanggup lagi mengasuh mereka, mereka dimasukkan ke sebuah madrasah di Thus.
Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang Fiqh dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Isma’il bin Mus’idah al-Isma’iliy atau yang populer dengan nama Imam Abu Nasr al-Isma’iliy. )
Setelah kembali ke Thus, al-Ghazali yang telah berusia 20 tahun berangkat lagi ke Nisabur pada tahun 470 H. untuk belajar kepada salah seorang ulama Asy’ariyyah, yaitu yang bernama Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini dan mengikutinya sampai gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478 H. Al-Juwaini lebih dikenal dengan nama Imamal-Haramain. Al-Ghazali belajar kepadanya dalam bidang Fiqh, ilmu debat, Mantiq, Filsafat, dan ilmu kalam. ) Dengan meninggalnya Imam al-Haramain, maka al-Ghazali dengan bekal kecakapan dan kecerdasannya menggantikan peran gurunya sebagai pemimpin pada madrasah yang didirikan Imam al-Haramain di Nisabur. )
Disamping itu, al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu ImamYusuf al-Nasaj dan Imam Abu ‘Ali al-Fadl bin Muhammad bin ‘Ali al-Farmazi at-Thusi. Ia juga belajar hadist kepada banyak ulama hadist, seperti Abu Sahal Muhammad bin Ahmad al-Hafsi al-Marwaziy, Abu al-Fath Nasr bin ‘Ali bin Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad al-Khuwariy, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i al-Zauzani, al-Hafiz Abu al-Fityan ‘Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru’asi al-Dahistaniy, dan Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi.
Setelah al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghazali mengunjungi tempat kediaman seorang wazir (menteri) pada masa pemerintah Sultan ‘Adud ad-Daulah Alp Arselan (455 H/1063M-465 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah Malik Syah (465 H/1072 M-485 H/1092 M) dari Dinasti Salajiqah di al-‘Askar, ) sebuah kota di Persia. Wazir tersebut bernama Nizam al-Mulk. ) Wazir kagum atas pandangan-pandangan al-Ghazali sehingga al-Ghazali diminta untuk mengajar Fiqh asy-Syafi’iyah di perguruannya, Nizham al-Mulk, di Baghdad, yang lebih dikenal dengan perguruan atau Madrasah Nizhamiyah. Al-Ghazali mengajar di Baghdad pada tahun 484 H/1091 M. ) Pada saat inilah al-Ghazali yang pada waktu itu berusia 34 tahun memperoleh berbagai gelar dalam dunia Islam dan mencapai puncak kariernya yang ia capai dalam usia yang masih relatif sangat muda. )
Empat tahun lamanya al-Ghazali mengajar di Baghdad. Kemudian ia meninggalkan Baghdad menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya pada tahun 488 H. setelah ia mewakilkan tugasnya kepada saudaranya, dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di sini ia hidup sebagai seorang zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan, dan menyucikan diri dari dosa selama kurang dari 2 tahun lamanya. Kemudian pada akhir tahun 490 H/1098 M. dia pergi ke Hebron dan Bait al-Maqdis, Palestina, dan melanjutkan perjalanannya ke Mesir serta hendak ke Maroko dengan maksud untuk bertemu dengan salah seorang Amir dari pemerintah Murabithun. Namun sebelum keinginannya tercapai al-Ghazali mendengar kabar kematian Amir tersebut. Lantas ia membatalkan niatnya dan kembali ke Timur menuju tanah suci Mekkah dan Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Nisabur dan diangkat oleh Fakhr al-Mulk (putra Nizham al-Mulk) Perdana Menteri dari Gubernur Khurasan, Sanjar yang merupakan salah seorang putra Malik Syah, sebagai Presiden dari perguruan di Nisabur pada tahun 1105. ) Tidak lama di Nisabur, kemudian ia kembali ke Thus dan mendirikan madrasah yang mempelajari teologi, tasawuf, serta madrasah fiqhi yang khusus mempelajari ilmu hukum. Di sinilah al-Ghazali menghabiskan sisa hidupnya setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan berpuluh tahun lamanya dan sesudah memperoleh kebenaran yang sejati. )
3. Latar Belakang Sosial Politik
Situasi Politik
Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari kehidupan politik yang tidak jarang menumbuhkan benih-benih konflik baik internal maupun eksternal. Benih-benih konflik yang terjadi di kalangan umat Islam telah muncul secara jelas sejak masa Khalifah ‘Usman bin ‘Affan dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang berselisih dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ) dan pada saat inilah maka umat Islam berselisih dalam dua medan: Imamah (politik) dan Ushul (teologi). ) Dalam medan politik muncul partai dan aliran Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah serta lahir Daulat Umawiyah yang berpusat di Damaskus (40-132 H) kemudian Daulat ‘Abbasiyah di Baghdad (132-656 H), disamping sisa Daulat Umawiyah di Spanyol (138-403 H), yang di masa Al-Ghazali sudah terkeping-keping menjadi kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Tawa’if), dan Daulat Fathimiyyah/Isma’iliyyah di Mesir (297-567 H) yang hal tersebut menandakan adanya pergeseran doktrin politik Islam yang hakiki kepada monarkisme yang secara umum lebih mencerminkan nepotisme dan ambisi duniawi dan diwarnai oleh konflik-konflik politik berkepanjangan. )
Tetapi umat Islam sendiri, pasca “Tahun Perdamaian” (‘Am al-Jama’ah) yang dipelopori oleh al-Hasan bin ‘Ali, Ibn ‘Abbas, dan Ibn ‘Umar, tidak terbawa hanyut ke dalam arus emosi di atas. Mereka menarik diri dari pentas politik praktis untuk bergerak dalam dunia ilmu dan dakwah. Meski hal ini membawa ekses berupa munculnya semacam dualisme kepemimpinan umat, yaitu “Ulama” dan “Umara” tetapi dengan cara ini dapat dipertahankan sedemikian jauh kemurnian Islam dan obyektivitas ilmu, disamping tercapainya kemajuan ilmu dan dakwah sendiri. Para penerusnya inilah yang kemudian disebut Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang salah satu tokohnya adalah al-Ghazali.
Sepanjang perjalanan Daulat ‘Abbasiyah kompetisi dan konflik berlangsung antara Bani ‘Abbas dan Syi’ah-Mu’tazilah yang lebih dominan disebabkan oleh perbedaan faham dan ideologi. Bahkan, krisis politik Dinasti ‘Abbasiyah yang sangat kompleks ini memaksa jatuhnya otoritas eksklusif Kekhalifahan ‘Abbasiyah ke tangan sultan-sultan yang membagi wilayah ‘Abbasiyah menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen. ) Diantaranya adalah Dinasti Saljuk yang didirikan oleh Togrel Bek (1037-1063 M) hingga akhirnya dapat menguasai kota Baghdad pada tahun 1055 M., tiga tahun sebelum al-Ghazali lahir, ) sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Bani Buwaihi yang sempat berkuasa selama 113 (334-447 H/945-1055 M). )
Maka sejak saat itu berdirilah kekuasaan independen Dinasti Saljuk yang Sunni dengan corak keagamaan yang kuat. Dan pada masa Dinasti Saljuk inilah terutama sejak dipegang oleh Sultan Alp Arselan lalu Malik Syah dengan wazirnya yang masyhur, Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya kembali. ) Namun pada masa Dinasti Saljuk pun tidak lepas dari adanya konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan aliran keislaman. )
Faktor eksternal yang memungkinkan jayanya kembali Dinasti ‘Abbasiyah adalah kondisi Dinasti Fathimiy yang menganut Syi’ah Isma’iliyyah di Mesir yang sedang mengalami kemerosotan menuju keruntuhannya baik karena krisis ekonomi, politik internal maupun karena desakan negara-negara Murabithin yang Sunny-Maliky di Afrika Utara hingga sebagian Sudan dan berafiliasi ke ‘Abbasiyah. Sedang ‘Abbasiyah pusat sendiri terus menerus mendesak dari arah Timur dan Utara. Dengan sendirinya Isma’iliy Yaman pun (Bani Sulaihi 483-569 H) ikut menyusut.
Namun sepeninggal Malik Syah dan Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah berubah drastis, yang akan diikuti oleh perubahan drastis pula dalam kehidupan al-Ghazali. Merosotnya otoritas pemerintah disebabkan oleh adanya konflik/perang saudara yang berkepanjangan di kalangan istana (internal). ) Keadaan ini diperparah lagi dengan bangkitnya kaum Bathiniyyah/Isma’iliyyah/Ta’limiyyah di Timur yang melancarkan teror-teror sehingga memakan korban, diantaranya adalah Wazir Nizham al-Mulk. )
Dalam situasi seperti ini dunia Kristen Eropa melancarkan Perang Salib di Timur, sehingga mereka berhasil mengguncang Syria dan mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen latin di Baitul Maqdis, Antiocia, Tarabils, dan Ruha sejak tahun 490 H/1098 M. )
Sementara itu al-Ghazali masih berkhalwat mencari ’ilmu yaqini di Syam dan sekitarnya. Ia sendiri menilai masa ini sebagai masa fathrah (vacum dari pembimbing keagamaan), dimana ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dilakukan pembaharuan (tajdid) atau “menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama (Ihya’ ‘Ulum ad-Din). Dapat disimpulkan, pada saat itu al-Ghazali hidup dalam suasana dan kondisi Islam yang sudah menunjukkan kemerosotan dan kemunduran dalam beberapa aspeknya.
Situasi Ilmiah dan Sosial Keagamaan
Pada masa al-Ghazali, bukan saja telah terjadi disintegrasi di bidang politik umat Islam, tetapi juga di bidang sosial kegamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam, masing-masing dengan tokoh ulamanya, yang dengan sadar menanamkan fanatisme kepada umat. Dan terkadang, hal itu juga dilakukan pula oleh pihak penguasa. )
Fanatisme yang berlebihan pada masa itu sering menimbulkan konflik antar golongan mazhab dan aliran. Masing-masing mazhab memang mempunyai wilayah penganutnya. Di Khurasan mayoritas penduduk bermazhab Syafi’i, di Transoksiana didominasi oleh mazhab Hanafi, di Isfahan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab Hanbali, di Balkan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab Hanafi. Adapun di wilayah Baghdad dan wilayah Irak, mazhab Hanbali lebih dominan. Konflik sering terjadi karena pengikut mazhab yang satu mengkafirkan mazhab yang lain, seperti antara mazhab Syafi’i dengan mazhab Hanbali. Konflik terbanyak terjadi antara berbagai aliran kalam, yaitu antara Asy’arisme dengan Hanabilah, antara Hanabilah dengan Mu’tazilah, antara Hanabilah dengan Syi’ah dan antara aliran-aliran yang lain. )
Pada tahun 469 H. terjadi apa yang disebut sebagai “Peristiwa Qusyairi”, yaitu konflik fisik antara pengikut Asy’arisme dan Hanabilah, karena pihak pertama menuduh pihak kedua berpaham “tajsim”; dan konflik ini meminta korban seorang laki-laki. Pada tahun 473 H terjadi pula konflik antara golongan Hanabilah dengan Syi’ah; dan dua tahun kemudian terjadi pula konflik antara Hanabilah dan Asy’arisme. )
Penanaman fanatisme mazhab dan aliran dalam masyarakat tersebut juga banyak melibatkan para ulama. Hal ini erat kaitannya dengan status ulama yang menempati strata tertinggi dalam stratifikasi sosial waktu itu, di bawah status para penguasa. Hal ini karena adanya interdependensi antara penguasa dan ulama. Dengan peran ulama, para penguasa bisa memperoleh semacam legitimasi terhadap kekuasaannya di mata umat; sebaliknya dengan peran penguasa, para ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut kemewahan hidup. Karena itu para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa, dan begitu pula sebaliknya. Di samping itu ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di Khankah-khankah (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas. ) Di Damaskus pada masa itu, golongan sufi yang hidup di khankah-khankah dianggap kelompok istimewa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak menghiraukan kehidupan duniawi yang penuh dengan noda, dan mampu mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan dengan mudah bisa terkabul. Kebutuhan mereka dicukupkan oleh masyarakat dan penguasa. Status ini, oleh sebagian sufi digunakan untuk mendapatkan kemudahan dan kemuliaan hidup dengan saran kehidupan sufi yang mereka tonjolkan.
Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa al-Ghazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural non-Islami terhadap Islam yang sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya, yang pada gilirannya mengkristal dalam bentuk pelbagai aliran dan paham keagamaan, yang dalam aspek-aspek tertentu saling bertentangan. )
Interdependensi antara penguasa dan para ulama pada masa itu juga membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu, meskipun bukan hanya bermotif untuk pengembangan ilmu, tetapi juga untuk mendapat simpati dari penguasa yang selalu memantau kemajuan mereka guna direkrut untuk jabatan-jabatan intelektual yang menggiurkan. Tetapi usaha pengembangan ilmu ini diarahkan oleh pihak penguasa kepada suatu misi bersama yaitu mengantisipasi pengaruh pemikiran filsafat dan kalam Mu’tazilah. Memang, filsafat waktu itu tidak hanya menjadi konsumsi kalangan elit intelektual, tetapi sudah menjadi konsumsi umum. Bahkan ada sebagian orang yang sudah menerima kebenaran pemikiran filsafat secara mutlak dan cenderung meremehkan doktrin agama dan pengamalannya. Adapun Mu’tazilah, selain banyak juga menyerap filsafat Yunani, juga merupakan aliran yang secara historis banyak menyengsarakan golongan Ahlussunnah, baik pada masa Dinasti Buwaihi maupun pada masa al-Kunduri (wazir Sulthan Togrel Bek). Karena itu menurut penilaian pihak penguasa dan para ulama yang sama-sama menganut Ahl as-Sunnah, filsafat dan Mu’tazilah adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Dalam situasi dan masa seperti inilah al-Ghazali lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir yang terkemuka dalam sejarah. )
4. Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali
Kehidupan pemikiran periode al-Ghazali dipenuhi dengan munculnya berbagai aliran keagamaan dan trend-trend pemikiran, disamping munculnya beberapa tokoh pemikir besar sebelum al-Ghazali . Di antaranya Abu ‘Abdillah al-Baghdadi (w. 413 H.) tokoh Syi’ah, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar (w. 415 H.) tokoh Mu’tazilah, Abu ‘Ali Ibn Sina (w. 428 H.) tokoh Filsafat, Ibn al-Haitam (w. 430 H.) ahli Matematika dan Fisika, Ibn Hazm (w. 444 H.) tokoh salafisme di Spanyol, al-Isfara’ini (w. 418 H.) dan al-Juwaini (w. 478 H.). Keduanya tokoh Asy’arisme, dan Hasan as-Sabbah (w. 485 H.) tokoh Batiniyah.
Al-Ghazali menggolongkan berbagai pemikiran pada masanya menjadi empat aliran populer, yaitu Mutakallimun, para filosof, al-Ta’lim dan para sufi. Dua aliran yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal walaupun terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara keduanya. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir menggunakan al-dzauq (intuisi).
Dengan latar belakang tersebut al-Ghazali yang semula memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi – Bisa dilihat dari karya-karyanya sebelum penyerangannya terhadap Filsafat – mengalami keraguan (syak). Keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal dalam pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut persepsi idealnya, kebenaran itu adalah satu sumber berasal dari al- Fithrah al- Ashliyat. Sebab menurut Hadits nabi “ Setiap anak dilahirkan atas dasar fithrahnya, yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah kedua orangtuanya. Oleh karenanya ia mencari hakekat al- Fithrah al- Ashliyat yang menyebabkan keraguan karena datangnya pengetahuan dari luar dirinya. Dari sinilah al-Ghazali menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakekat pengetahuan yang diyakini kebenarannya.
Bertolak dari pengetahuan yang selama ini ia kuasai, al-Ghazali menduga bahwa kebenaran hakikat diperoleh dari yang tergolong al-hisriyat (inderawi) dan al-dharuriyat (yang bersifat apriori dan aksiomatis). Sebab kedua pengetahuan ini bukan berasal dari orang lain tetapi dari dalam dirinya. Ketika ia mengujinya kemudian berkesimpulan kemampuan inderawi tidak lepas dari kemungkinan bersalah. Kepercayaan al-Ghazali terhadap akal juga goncang karena tidak tahu apa yang menjadi dasar kepercayaan pada akal. Seperti pengetahuan aksiomatis yang bersifat apriori, artinya ketika akal harus membuktikan sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis (Fardhi) saja, dan tidak sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual.
Al-Ghazali kemudian menduga adanya pengetahuan supra rasional. Kemungkinan tersebut kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi, bahwa pada situasi-situasi tertentu (akhwal ) mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran akal dan adanya hadis yang menyatakan bahwa manusia sadar (intabahu) dari tidurnya sesudah mati. Al-Ghazali menyimpulkan ada situasi normal dimana kesadaran manusia lebih tajam. Akhirnya pengembaraan intelektual al-Ghazali berakhir pada wilayah tasawuf dimana ia meyakini al- dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini diperoleh melalui nur yang dilimpahkan Tuhan kedalam hati manusia.
Namun demikian pandangan al-Ghazali yang bernuansa moral juga tidak terlepas dari filsafat. Pandangannya tentang moral sangat erat kaitannya dengan pandangannya tentang manusia. Dalam karya-karya filsafat, al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh filosof muslim sebelumnya, terutama Ibnu Sina, al-Farabi dan Ibnu Maskawaih. Definisi jiwa (al-nafs) yang ditulisnya dalam kitab Maarijal Quds dan pembagiannya dalam jiwa vegetatif, jiwa sensitif, dan jiwa manusia hampir tidak berbeda dengan yang ditulis Ibnu Sina dalam bukunya Al Najal. Kesimpulan ini didukung oleh pernyataannya sendiri dalam kitab Tahafut al- Falasifat bahwa yang dipercaya dalam menukil dan mentashkik filsafat Yunani adalah al-Farabi dan Ibnu Sina.
Pandangan al-Ghazali yang lain yang berkaitan dengan filsafat Yunani melalui filosof muslim adalah tentang pokok-pokok keutamaan. Menurut al-Ghazali inti keutamaan adalah keseimbangan (al-adl) antara daya yang dimiliki manusia . Inti kebahagiaan menurut al-Ghazali juga sampainya seseorang pada tingkat kesempurnaan tertinggi yaitu mengetahui hakekat segala sesuatu. Pendapat yang serupa telah dijumpai pada filosof muslim pendahulunya yaitu Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih dan al-Farabi.
Sedangkan metode untuk memperbaiki moral antara lain mempunyai konsep muhasabat al nafs menjelang tidur pada setiap hari, dan dalam beberapa hal ia menganjurkan taubikh al nafs (mencerca diri). konsep koreksi diri ternyata dijumpai dalam Pythgorisme, dan konsep mencerca diri ternyata ditemukan dalam Hermetisme. Sumber lain yang turut memberikan sumbangan pemikiran adalah para sufi. Diantaranya adalah Abu Thalib al-Makki, al Junaid al-Baghdadi, Al Sybli Abu Yazid al- Busthomi dan al Muhasibi.
Pandangan tasawuf yang didasarkan dari mereka adalah penempatan al-dzauq diatas akal. Ini diikuti dalam sikapnya membentuk kesempurnaan diri dengan menggunakan al-faqir (kemiskinan), al-ju’(lapar), al-khumil (lemah), al-tawakul (berserah diri) sebagai keutamaan dan tingkat ini harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan tertinggi manusia. Dari berbagai hal diatas inilah pandangan dan konstruk pemikiran al-Ghazali terbentuk.
Karya-Karya Ilmiah
Imam al-Ghazali adalah seorang penulis yang produktif, ia meninggalkan kita warisan keilmuan yang tiada tara harganya. Disebutkan, ia menyusun kurang lebih 228 karya. Karya-karyanya tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu terutama dalam bidang agama, filsafat, tasawuf, dan sejarah. )
Adapun karya-karya Imam Al-Ghazali yang telah ditulisnya dalam berbagai disiplin ilmu antara lain:
1) Bidang Akhlak dan Tasawuf
a) Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama)
b) Minhaj al-‘Abidin (Jalan Orang-orang Yang Beribadah)
c) Kimiya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan)
d) Al-Munqiz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan)
e) Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak Orang-orang yang Baik dan Keselamatan dari Kejahatan)
f) Misykah al-Anwar (Sumber Cahaya)
g) Asrar ‘Ilm al-Din (Rahasia Ilmu Agama)
h) Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara yang Megah dalam Menyingkap Ilmu-ilmu Akhirat)
i) Al-Qurbah ila Allah ‘Azza wa Jalla (Mendekatkan Diri kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung)
j) Adab al-Sufiyah.
k) Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku)
l) Al-Adab fi al-Din (Adab Keagamaan)
m) Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah tentang Soal-soal Batin)
Bidang Fiqh
a) Al-Basit (Yang Sederhana)
b) Al-Wasit (Yang Pertengahan)
c) Al-Wajiz (Yang Ringkas)
d) Al-Zari’ah ila Makarim al-Syari’ah (Jalan Menuju Syari’at yang Mulia)
e) Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (Batang Logam Mulia: Uraian tentang Nasihat kepada Para Raja)
3) Bidang Ushul Fiqh
a) Al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (Pilihan yang Tersaring dari Noda-noda Ushul Fiqh)
b) Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil (Obat Orang yang Dengki: Penjelasan tentang Hal-hal yang Samar serta Cara-cara Pengilhatan)
c) Tahzib al-Ushul (Elaborasi terhadap Ilmu Ushul Fiqh)
d) Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Pilihan dari Ilmu Usul Fiqh)
e) Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i.
f) Kitab Asas al-Qiyas.
4) Bidang Filsafat dan Logika
a) Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf)
b) Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf)
c) Mizan al-‘Amal (Timbangan Amal)
d) Mi’yar al-‘Ilm fi al-Mantiq.
5) Bidang Teologi dan Ilmu Kalam
a) Al-Iqtisad fi al-I’tiqad (Kesederhanaan dalam Beritikad)
b) Fais}al at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (Garis Pemisah antara Islam dan Kezindikan)
c) Al-Qisthas al-Mustaqim (Timbangan yang Lurus)
d) Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam.
6) Bidang Ilmu al-Qur’an
a) Jawahir al-Qur’an (Mutiara-Mutiara al-Qur’an)
b) Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil (Permata Takwil dalam Menafsirkan al-Qur’an). )
7) Bidang Politik
a) Al-Mustazhiri, nama lengkapnya Fadhaih al-Batiniyah wa fadhail al-Mustazhiriyah (Bahayanya Haluan Bathiniyah yang Ilegal dan Kebaikan Pemerintah Mustazhir yang Legal)
b) Fatihat al-‘Ulum (Pembuka Pengetahuan)
c) Suluk as-Sulthaniyah (Cara Menjalankan Pemerintahan). )
B. Biografi Emile Durkheim
1. Riwayat Hidup Dan Latar Belakang Pendidikan
Emile Durkheim lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur Perancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Dia hidup dalam keluarga Yahudi yang taat. Ayahnya adalah seorang rabbi atau pendeta Yahudi, begitu pula kakeknya. Ibunya adalah wanita sederhana, ahli sulam-menyulam. Kalau mengikuti kebiasaan tradisional, seharusnya Durkheim sudah menjadi seorang rabbi.
Namun Durkheim ternyata menyimpang dari kebiasaan ini, salah satunya mungkin disebabkan suatu pengalaman mistik yang dijalaninya. Bahkan karena pengaruh seorang guru wanita beragama katolik, ia memeluk agama Katolik. Pada akhirnya ia justru beralih menjadi seorang agnostic, seorang yang menangguhkan eksistensi Tuhan. Durkheim adalah seorang yang aktif dan patriotis. Dalam berkecamuknya perang tenaganya digunakan untuk mengobarkan semangat patriotisme membela negara. Bahkan perang juga merenggut nyawa anak tunggalnya Andre. Akibat terserang sakit jantung dan kehilangan putra tercintanya, Ia menemui ajal saat menjelang usia 60 tahun tahun 1917 di Fontaineblau.
2. Pendidikan dan Karir Intelektual Emile Durkheim
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, pada tahun 1881 Ia melanjutkan studinya di Paris, masuk Ecole Normale Superieure. Disinilah ia belajar dengan sejumlah orang terkenal seperti Henri Bergson, Jean Jaures serta Pierre Janet.
Di Ecole Normale Superieur Durkheim termasuk mahasiswa yang kritis. Ia tidak menyukai kurikulum tradisional dengan metode literer , yang pengajarannya bertumpu pada sastra-sastra klasik, termasuk bahasa Latin dan bahasa Yunani sementara ilmu pengetahuan kontemporer kurang mendapat prioritas. Padahal keinginannya adalah mendapatkan suatu dasar ilmu pengetahuan sehingga dapat membantu memberikan landasan bagi rekonstruksi moral masyarakat.
Di sekolah ini setidaknya terdapat dua orang professor, Fustel de Coulanges dan Emile Boutroux yang menanamkan pengaruh penting terhadap Durkheim. Ia akrab dengan Fustel, seorang Historiografi modern Perancis. Dari Fustel, Durkheim mulai tertarik pada masalah konsensus dan peranan tradisi yang menjadi sarana instrumental untuk mempertahankan integrasi sosial. Di sekolah ini pula ia terkesan dengan Boutroux. Ahli filsafat yang memperkenalkannya tulisan-tulisan August Comte. Suatu perkenalan yang juga membentuk corak pemikiran Durkheim dalam dunia keilmuan.
Seusai menyelesaikan studinya, pemikir kelahiran Perancis ini mengajar di sekolah menengah Atas (Lycees) daerah Paris selama lima tahun. Ia mendapatkan cuti satu tahun untuk melanjutkan studinya yang dihabiskannya di Jerman. Di sana ia diperkenalkan dengan laboratorium psikologi, dan psikolog eksperimental bernama Wilhelm Wundt yang merangsangnya menggeluti studi empiris dan ilmiah menyangkut perilaku manusia.
Ketika berusia 29 tahun, pemberian kuliah dan beberapa artikel yang ditulisnya membuat dia menjadi seorang ahli ilmu sosial muda yang terpandang. Terhadap kapasitas prestisius ini, ia dihargai dan diangkat sebagai dosen di Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Bordeaux. Kebutuhan untuk mengajar kursus memungkinkan Durkheim mengembangkan perspektif sosiologi mengenai kepribadian manusia yang dibentuk oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya dalam sistem pendidikan. Dengan mengajar kursus, duduk dalam sejumlah komite pendidikan , Durkheim dianggap sebagai salah satu kekuatan penting dalam sistem pendidikan Perancis.
Pada tahun 1896 Durkheim diangkat menjadi professor dalam ilmu sosial. Dengan prestasi ini memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang intelektual, sebab ini adalah gelar profesor pertama dalam ilmu sosial Perancis. Dua tahun kemudian tonggak sejarah penting dicapai ketika ia berhasil mendirikan L’Anee Sociologique, jurnal ilmiah pertama untuk disiplin ilmu sosiologi. Jurnal ini mendapatkan sambutan hangat dan kehadirannya sangat bermanfaat bagi mereka yang ingin meningkatkan studi ilmiah tentang masyarakat.
Seiring dengan kian melonjaknya pengaruh dan karir akademis Durkheim, maka pada tahun 1899 ia diminta mengajar ke Universitas Sorbonne. Tujuh tahun berikutnya ia dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan.
3. Latar Belakang Sosial Politik
Pada abad 18 M ditandai oleh tumbuh suburnya gerakan menuntut perubahan mendasar dan multi dimensional, di Perancis meletus pergolakan besar-besaran sebagai akibat lebih lanjut dari percikan api revolusi. Revolusi Perancis yang pada mulanya dipandang sebagai tonggak sejarah baru dimulainya perombakan struktur feodal, perjuangan cita-cita kebebasan dan etos egalitarianisme, ternyata juga membawa dampak politik yang buram
Dibawah pemerintahan Napoleon dimulailah usaha restorasi absolutisme, yaitu gerakan menghidupkan kembali tatanan sosial lama. Kemudian pada tahun 1870, Perancis dikalahkan Bismarck, Si kanselir besi dari Prusia yang sedang menyingkirkan hadangan politik dan militer dari proses penyatuan Jerman. Semua peristiwa ini menyebabkan Perancis terutama pada periode republik ketiga selalu tidak pernah lepas dari krisis politik. Bersamaan dengan itu krisis Ekonomi tak bisa diatasi sehingga memperbanyak pengangguran, bunuh diri terjadi dimana-mana dan korupsi menjadi gejala sosial.
Situasi politik tersebut meninggalkan kenangan pahit terhadap masyarakat dan menjadikannya pesimis dan tak lagi menaruh harapan terhadap revolusi Perancis yang menjanjikan perubahan dan harapan di masa datang. Mereka memang merindukan tatanan sosial baru, namun pilihan itu kemudian berganti menjadi bertobat dari individualisme. Mereka bahakan yakin sepenuhnya bahwa mengabdi pada pemutlakan kebutuhan atau keinginan individual merupakan kekeliruan besar. Sebaliknya mereka menghimbau agar masyarakat memulihkan kembali struktur sosial tradisional, struktur dimana kesatuan organis masyarakat, wewenang pemerintah dan dominasi kolektifitas atas individu menonjol.Efek negatif ini juga merambah kepada alam kognitif masyarakat. Orang-orang mulai lebih memperhatikan segi-segi irasioanal kehidupan. Latar belakang sosial seperti ini tentu juga dialami bahkan berpengaruh pada pribadi Durkheim.Bahkan dalam sepanjang hidupnya Durkheim secara langsung melibatkan diri dalam berbagai masalah sosial politik yang dihadapi negaranya. Dalam peristiwa Dreyfus, sebuah peristiwa politik yang mengakibatkan permusuhan komunitas cendekiawan dengan politisi, Durkheim menentukan sikap berani memihak Dreyfus. Peristiwa ini bermula dari terbongkarnya skandal di markas tentara Perancis dengan hilangnya dokumen penting yang dalam pengusutannya dilakukan tidak jujur. Dreyfus seorang opsir keturunan Yahudi dituduh sebagai pelakunya. Ia dibuang ke pulau selatan. Pemeriksaan selanjutnya justru membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Karena itu timbul dilema mestikah dia direhabilitasi atau ia dibiarkan menjadi korban demi menjaga nama baik angkatan darat. Dalam perdebatan ini, Durkheim bersama cendekiawan liberal dan progresif lainnya membela Dreyfus.
Dari sinilah bisa dipahami, mengapa keyakinan Durkheim untuk mengkaji masalah kohesivitas dan moralitas bersama tak pernah pudar. Namun penekanannya pada masalah tersebut tidak membawanya larut dalam sikap konservatif maupun tanggapan negatif sebagaimana ia dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat sezamannya. Dia lebih tertarik untuk berusaha memahami dasar-dasar munculnya keteraturan sosial baru yang sesuai dengan cita-cita revolusi Perancis. Dia memang melihat dan merasakan kesulitan –kesulitan akut dalam periode peralihan seperti masyarakat pada umumnya. Namun begitu dia tetap optimis bahwa pengetahuan ilmiah tentang hak evolusi masyarakat dapat menyumbang terkonsolidasinya dasar moral dari proses penataan sosial yang sedang berjalan. Akhirnya, untuk merealisasikan keyakinan diatas, dia bertekad mendorong perubahan pendidikan dengan menanamkan kesadaran dalam diri setiap warga perasaan akan moralitas dan solidaritas terhadap bangsa sebgai satu keseluruhan.
4. Latar Belakang Pemikiran
Pengaruh pengaruh penting terhadap intelektual Durkheim yang telah matang datang dari tradisi-tradisi intelektual yang jelas mengandung unsur-unsur Perancis, disamping juga Jerman dan Inggris. Selain dua professor di Ecole Normale Superiure yang berperan dalam membentuk pemikirannya , Ia juga memetik ajaran dari generasi pemikir sebelumnya. Ia menerima inti pernyataan dari Rene Descartes yang menyatakan bahwa masalah pengetahuan tergantung dari sudut hubungan antara subyek yang mengetahui dan obyek eksternal yang diketahui. Berpijak dari ini fakta sosial jelas bersifat empiris. Masyarakat yang awalnya diasumsikan sebagai fakta sosial harus juga mengatur tindakan mereka dalam arti tidak saja mengatur lingkungan fisik tetapi juga merumuskan tujuan dan tolok ukur normatif perilaku dari anggota yang ada didalamnya.
JJ.Rousseau, seorang filosof utama aliran individualisme demokratis juga mempengaruhi Durkheim melalui sudut pandang tentang ciri khas kontrak sosial. Meskipun Rosseau menganut acuan hukum alam dan hak-hak alam yang begitu menonjol, namun bagaimanapun ia tetap menekankan agar integrasi sosial dari orang-orang yang dilahirkan bebas ke dalam masyarakat jangan dikaitkan dengan kedaulatan yang syaratnya memaksa atau mementingkan identitas alamiah dari kepentingan-kepentingan. Justru sebaliknya dia mempostulasikan bahwa pemecahan kepentingan pada tingkat proses tindakan integratif haruslah berasal dari kemauan otonom.
Hal inilah yang merupakan gagasan dasar tentang kontrak sosial, yang menetapkan pemisahan menjadi dua sisi antara individu dan masyarakat yang sesungguhnya bersifat sosial. Teori ini menganggap manusia sebagai individu dilengkapi seperangkat kepentingan atau hak yang terpisah dari masyarakat dan berusaha membentuk kebenaran moral pada masyarakat dalam arti individualistik. Dari kumpulan kebenaran-kebenaran individualistik itulah kontrak sosial dibentuk dan mendasarkan moralitas sosial pada kebijaksanaan yakni manusia wajib mematuhi kewenangan masyarakat demi keselamatan seluruh kepentingan.
Sebagai pengagum August Comte, Durkheim juga mewarisi paradigma positivismenya. Dia bahkan disebut sebagai murid yang ragu-ragu tetapi setia pada August Comte. Tafsiran-tafsiran yang saling mengisi dari Saint Simon dan Comte mengenai kemunduran feodalisme dan munculnya bentuk masyarakat modern merupakan landasan utama karya-karya Durkheim. Memang sebagian besar tema dari karya-karya Emile Durkheim semasa hidupnya berkenaan dengan usaha mendamaikan antara konsepsi Comte tentang tahapan positif perkembangan masyarakat dengan dengan peragaan Saint-Simon tentang ciri-ciri industrialisme.
Durkheim juga terpengaruh tradisi pemikiran Jerman yang pernah dihirup ketika melanjutkan studinya. Durkheim menyetujui Schaffle yang menegaskan adanya perbedaan radikal antara kehidupan organisme dan kehidupan masyarakat dan masyarakat merupakan sesuatu yang ideal yang mempunyai sifat-sifat spesifik tersendiri, yang bisa dipisahkan dari sifat-sifat anggotanya. Dalam pandangan Schaffle masyarakat bukanlah sekedar kumpulan dari individu-individu, akan tetapi merupakan benda hidup yang jauh ada sebelum adanya anggota masyarakat, dan yang mempunyai jiwa, kepentingan dan takdirnya serta hati nurani kolektif (conscience collective), sehingga peraturan-peraturan moral masyarakat harus ditaati individu ketika dalam struktur sosial. Jika Schaffle mengilhami Durkheim, tak ketinggalan Wilhelm Wundt. Salah satu sumbangannya adalah bahwa ia telah menunjukkan hal yang mendasar dari lembaga agama dan masyarakat.
Ahli psikologi eksperimental ini telah menunjukkan bahwa agama-agama primitif mengandung dua jenis gejala yang berhubungan satu sama lain. Suatu rangkaian renungan metafisik dengan aturan-aturan perilaku dan disiplin moral. Dengan melekatkan cita-cita untuk menjadi sasaran, maka agama merupakan suatu kekuatan dalam menciptakan kesatuan sosial. Durkheim menerima hal ini sebagai dalil umum. Dalam pandangannya cita-cita tadi mungkin berbeda dalam masyarakat yang berlainan. Namun orang tetap percaya bahwa tidak pernah ada manusia yang bersifat ideal bagaimanapun hebatnya dia. Oleh karena itu cita-cita sesuai dengan kebutuhan yang berakar kuat dalam sifat manusiawi kita.
Tapi dalam aspek lain Ia tidak sependapat dengan Wundt. Salah satu kritiknya adalah bahwa psikologi ini tidak sepenuhnya melihat sifat ganda dari pengaruh aturan-aturan moral dan agama. Padahal kegiatan moral dan aturan moral mempunyai mempunyai dua segi, pertama memikat perhatian berkat adanya unsur nilai-nilai positif. Kedua memiliki ciri khas berkaitan dengan kewajiban maupun larangan. Mengingat usaha untuk mencapai sasaran moral tidak selamanya mutlak harus berlandaskan atas cita-cita positif, kedua segi tersebut merupakan hal pokok agar peraturan moral bisa berfungsi.
Sedangkan Imanuel kant yang sebenarnya sudah tidak asing di Perancis, juga memberikan pengaruh yang besar terhadap Emile Durkheim dalam mendewasakan filsafat moralitasnya. Dalam aspek pilihan moral, Individu tidak menghasilkan standar –standar moral dan hanya mengembangklan komitmen untuk masuk ke dalam, mendukung dan mengkritik situasi sosialnya. Nilai-nilai akan kesetiaan moralnya tidak lain adalah ungkapan aktual dari keterikatannya pada kekuatan kolektif, yang tidak saja memiliki asal-usul sosial tetapi juga memiliki fungsi sosial tempat individu berada. Pandangan tersebut adalah sebuah versi sosiologis Durkheim dari Idealisme Imanuel kant.
Berbeda dengan sebelumnya dimana Durkheim cukup terpengaruh dengan pemikir Perancis dan jerman, dalam menelusuri konsepsi-konsepsi dari para pemikir Inggris ia banyak memberikan tanggapan kritis. Dia menolak dengan tegas kecenderungan individualisme Herbet Spencer karena hanya melihat masyarakat sebagai kelanjutan dari individu. Spencer mengasumsikan masyarakat berawal dari persetujuan kontraktual antara individu-individu yang bersepakat untuk mengejar kepentingan individunya. Sebaliknya Durkheim membantah bahwa kemungkinan persetujuan-persetujuan kontraktual itu mengandaikan sudah adanya masyarakat. Orang tidak mungkin menjalin hubungan dengan mereka yang belum memiliki ikatan sosial yang sama. Sekurang-kurangnya sudah ada konsensus moral yang berhubungan dengan sifat-sifat kontrak yang mengikat itu. Ia juga menolak metode mawas diri dari Hobbes yang menganjurkan ilmuwan mengambil jarak tanpa prasangka terhadap kenyataan sosial yang tidak diketahuinya. Menurutnya metode ini menipu sehingga Durkheim bersikukuh pada pendiriannya bahwa kenyataan sosial dapat ditemukan tidak dalam kesadaran individu melainkan dalam fakta sosial. Dan berbagai pemikiran itulah Durkheim membentuk pemikirannya.
5. Karya- Karya Ilmiah
Hampir seluruh tulisan yang dituangkan Emile Durkheim selalu menyisakan ruang untuk membahas masalah moralitas. Bagaikan seorang pecinta, pemikir Perancis ini, menurut E. Bougle, asyik menggeluti dan mengkaji esensi moralitas dan masyarakat, serta menjelaskan perkembangan moral memberikan sumbangan dalam mewujudkan cita-cita sosial dalam tindakan sosial.
Upaya mengembangkan ilmu pengetahuan positif ia buktikan lewat karyanya, Les Regles De La Methode Sosiologie (diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Rules Of Sociologi Method,1964). Buku yang terbit pada tahun 1895 ini sering dianggap sebagai petunjuk klasik karena menjelaskan dasar-dasar metodologi dalam disiplin sosiologi.
Dua tahun sebelumnya, tahun 1893 Ia menerbitkan buku De La Division Du La Travail Social (diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Division Of Labour In Society, 1964). Buku terbitan pertama ini bertujuan menganalisa kompleksitas pengaruh ataupun spesialisasi fungsi pembagian kerja ditengah-tengah struktur sosial, dan perubahan yang diakibatkannya.
Selanjutnya pada tahun 1897 Durkheim menulis buku Le Suicide (A Studi in Sociology) yang memuat kajian sistematis seputar bunuh diri. Tiga buah buku yang ditulis diatas ditambah buku Les Formes Elementaires De La Sociologie Religieuse ( diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Elementary Forms Of The Religious Life,1964) merupakan buku yang diterbitkan sebelum ia meninggal. Buku Les Formes Elementaires De La Sociologie Religieuse ini menyajikan analisa dan uraian deskriptif tentang kepercayaan-kepercayaan dan ritual agama totemic orang Arunta di Australia dan menjadi rujukan bagi pengkajian agama melalui pendekatan sosiologis.
Karya-karya Emile Durkheim yang diterbitkan setelah ia meninggal adalah:
Education Et Sociologi (1922), Sociologie Et Philosophie (1924), L’ Education Morale (1925)- Yang Diterjemahkan Dalam Bahasa Indonesia Pendidikan Moral, Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, Le Socialisme : Sa Definition, Ses Debuts La Doctrine Saint-Simonne ( 1928), L’evolution Pedagogique En France (1938), Le Cons, De Sociologie: Phisique Des Moerers Et Du Droit Pragmatisme Et Sociologie (1955), Montesqieu En Rosseau: For Runners Of Sociology (1965), Dan Durkheim Essays On Moral And Education (1979).
BAB III
PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM
TENTANG PENDIDIKAN MORAL
A. Pandangan Al-Ghazali
Pengertian Dan Hakikat Pendidikan Moral
Untuk memahami pandangan al-Ghazali tentang moral dapat dilacak dari konsepnya tentang khulq. Al-Ghazali mendefisinikan kata khulq (moral) sebagai suatu keadaan atau bentuk jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan –perbuatan yang mudah tanpa melalui pemikiran dan usaha.
Adapun untuk menjelaskan pengertian jiwa, Al-Ghazali menggunakan empat istilah, yaitu al-qalb, al-nafs, al-ruh dan al-aql. Keempat isilah itu menurut al-Ghazali memiliki persamaan dan perbedaan arti. Perbedaannya terutama bila ditinjau dari segi fisik dimana al-qalb berarti kalbu jasmani, al-ruh berarti roh jasmani dan latif, al-nafs berarti hawa nafsu dan al-aql yang mempunyai arti ilmu. Sedang persamaannya adalah bila ditinjau dari segi ruhaniah keempat hal berarti jiwa manusia yang bersifat latif rabbani yang merupakan hakikat, diri dan zat manusia. Oleh karena itu manusia dalam pengertian pertama(fisik) tidak kembali kepada Allah, namun dalam pengertian kedua (ruhaniah) kembali kepada-Nya.
Dengan demikian pengertian jiwa menurut Al-Ghazali mencakup pengertian jiwa dalam arti yang fisik yang berhubungan dengan daya hidup fisik dan jiwa yang berhubungan dengan hakekat, diri dan zat manusia yang bersifat rabbani.
Di dalam “Maarif al-Quds”, al-Ghazali menyatakan manusia terdiri atas substansi yang berdimensi (materi) dan substansi yang tidak berdimensi (immateri) yang mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Al-Ghazali membagi fungsi jiwa manusia dalam tiga tingkatan, al-nafs al-insaniyyat (jiwa manusia), al-nafs al-nabatiyah (jiwa vegetatif) dan al nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif). Al-nafs al nabatiyah (jiwa vegetatif) memiliki daya makan tumbuh dan berkembang. Al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif) memiliki daya bergerak, daya tangkap dan daya khayal. Al-nafs al-insaniyyat (jiwa manusia) memiliki daya akal praktis (al-‘amilat) dan daya akal teoritis (al-‘alimat). Daya yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teoritis.Yang dimaksud dengan akal teoritis adalah akal yang berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan yang abstrak dan universal.
Berdasarkan analisis terhadap hakekat jiwa, potensi dan fungsinya, al-Ghazali berpendapat bahwa moral dan sifat seseorang bergantung kepada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Kalau jiwa yang berkuasa nabbati dan hewani maka moral dan sifat orang tersebut menyerupai nabbati dan hewani. Akan tetapi apabila yang berkuasa jiwa insaniyyah maka orang tersebut bermoral seperti insan kamil.
Namun demikian, ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi al-Ghazali mengenai moral sama sekali tidaklah berarti ia mengabaikan unsur jasmani manusia. Ia juga menganggap penting unsur ini karena ruhani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya sebagai khalifah. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan ruhani yang baik. Dengan menghubungkan kehidupan jasmani dengan dunia ia menyatakan bahwa dunia itu merupakan ladang bagi kehidupan akhirat, maka memelihara, membina mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan jasmani agar tidak binasa adalah wajib.
Jadi menurut al-Ghazali moral bukanlah perbuatan lahir yang tampak melainkan suatu kondisi jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan secara wajar mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran
Dari konsep dasar ini maka untuk menilai baik buruk suatu perbuatan moral tidak bisa dilihat dari aspek lahiriahnya saja, namun juga harus dilihat dari unsur kejiwaannya. Oleh karena itu perbuatan lahir harus dilihat dari motiv dan tujuan melakukannya
Mengenai pengertian pendidikan menurut al-Ghazali memiliki pengertian yang sangat luas, tidak hanya menyangkut pendidikan dari segi individu, namun juga masyarakat dan kejiwaan. Dari segi individu pendidikan baginya berarti pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang terdapat dalam diri manusia sesuai tuntutan fithrahnya kepada ilmu dan agama. Manusia selalu ingin mengenal zat yang absolut dan perjuangan terpenting dalam hidupnya adalah pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya
Pengertian pendidikan dari segi masyarakat menurut al-Ghazali pada umumnya tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ahli pendidikan modern yang berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat terhadap setiap individu didalamnya agar kehidupan budaya berkesinambungan. Perbedaannya mungkin terletak pada nilai-nilai yang diwariskan dalam pendidikan tersebut. Bagi al-Ghazali nilai-nilai yang diwariskan adalah nilai-nilai keislaman yang didasarkan pada al-Qur’an, hadits, atsar dan kehidupan orang-orang salaf.
Adapun pengertian pendidikan dari segi jiwa menurut al- Ghazali adalah upaya tazkiyah al-nafs dengan cara takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan sifat terpuji.
Jika istilah moral oleh al-Ghazali diartikan sebagai kondisi atau keadaan jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan tanpa fikir dan usaha, sementara pendidikan jiwa diartikan sebagai usaha penyucian jiwa maka pendidikan moral menurut al-Ghazali berarti upaya membentuk manusia yang memiliki jiwa yang suci, kepribadian yang luhur melalui proses takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tujuan Pendidikan Moral
Untuk dapat melihat tujuan dan orientasi pendidikan moral al-Ghazali, perlu kiranya menjadikan peta wacana pendidikan moral yang berkembang sebagai parameter. Bila dianalisis, wacana pendidikan moral yang berkembang setidaknya dapat dipetakan menjadi lima jenis orientasi atau kecenderungan
Pertama, pendidikan moral yang berorientasi pada pembiasaan diri dengan prinsip-prinsip moral beberapa lama sampai mentradisi. Kedua pendidikan moral yang berorientasi pada pembentukan kesadaran dan kepekaan moral (Basirah akhlaqiyah) seseorang sehingga ia mampu membedakan antara perilaku baik dan perilaku buruk. Ketiga, pendidikan moral yang berorientasi pada pengajaran prinsip-prinsip moral dengan cara indoktrinasi-imperatif. Keempat orientasi spiritual-sufistik yang memandang pendidikan moral tidak sekedar dengan tiga orientasi diatas melainkan lebih dari itu, penyucian diri dari segala kehinaan dan dorongan –dorongan jahat (takhalli) serta penghiasan diri dengan keutamaan-keutamaan moral lahir batin (tahalli). Kelima pendidikan moral yang berorientasi pada pembentukan kesiapan moral, sehingga transfer abilitas pada ragam perilaku moral dapat terjadi dengan mudah atas kemauan diri sendiri.
Kelima jenis orientasi pendidikan moral diatas dalam praktiknya tidaklah distingtif-eklusif, melainkan masing-masing mengandung unsur yang tumpang tindih, hanya saja kadar aksentuasinya yang berbeda sejalan dengan orientasi yang dianut. Demikian halnya dengan al-Ghazali walaupun pendidikan moralnya bertujuan untuk penyucian diri dari segala kehinaan dan dorongan –dorongan jahat (takhalli) serta penghiasan diri dengan keutamaan-keutamaan moral lahir batin (tahalli), namun tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang lain.
Menurutnya moral yang baik yaitu hendaklah seseorang itu bersedia menghilangkan seluruh kebiasaan- kebiasaan buruk yang telah dijelaskan perinciannya dengan agama dan dijadikannya sekiranya seseorang itu membencinya kemudian menjauhinya seperti menjauhi benda-benda yang menjijikkan. dan hendaklah membiasakan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menyukainya sehingga memberi kesan dan ia pun merasa nikmat dengannya. Hal diatas menggambarkan bahwa untuk menumbuhkan moral yang baik seseorang harus berlandaskan agama.
Menurut al-Ghazali tujuan dari perbuatan moral adalah kebahagiaan yang identik dengan kebaikan utama dan kesempurnaan diri Kebahagiaaan menurut Al-Ghazali terbagi menjadi dua macam : kebahagiaan ukhrawi dan kebahagiaan duniawi. Menurutnya kebahagiaan ukhrawi adalah kebahagiaan yang utama sedangkan kebahagiaan duniawi hanyalah metamorfosis. Namun demikian apapun yang kondusif bagi kebahagiaan/ kebaikan utama maka itu merupakan kebaikan juga . Bahkan ia menegaskan bahwa kebahagiaan ukhrawi tidak dapat diperoleh tanpa kebaikan-kebaikan lain yang merupakan sarana untuk meraih tujuan kebaikan ukhrawi. Kebaikan –kebaikan itu dalam pandangan al-Ghazali terangkum menjadi empat hal. Yang pertama yaitu empat kebaikan utama: Hikmah, Syaja’ah, Iffah, dan ‘Aadalah.
Pengertian hikmah (kebijaksanaan ) yaitu keutamaaan kekuatan akal. Hikmah disini meliputi pengaturan yang baik, kebaikan hati, kebersihan pemikiran dan kebenaran perkiraan. Yang dimaksud dengan pengaturan yang baik adalah kebaikan fikiran dalam mengambil sesuatu yang lebih maslahat dan lebih utama dalam mencapai kebaikan yang agung dan tujuan-tujuan yang mulia dari hal-hal yang berhubungan dengan diri sendiri. Adapun kebaikan hati adalah kemampuan membenarkan hukum di kala terjadi kekaburan pendapat dan berkobarnya perselisihan dalam pendapat. Kemudian yang dinamakan kebersihan pemikiran adalah kecepatan mengerti tentang sarana –sarana yang menyampaikan akibat-akibat terpuji. Sedang kebenaran perkiraan adalah sesuainya kebenaran pada hal-hal yang nyata tanpa bantuan angan-angan.
Sedangkan syaja’ah (keberanian) maksudnya adalah adanya kekuatan nafsu marah. Sifat-sifat yang termasuk dalam keutamaan keberanian adalah :murah hati, besar hati, berani menanggung derita, tidak lekas marah, teguh hati merasa senang hati terhadap perbuatan-perbuatan yang mulia, bijaksan dan sopan. Kebalikan dari sifat-sifat yang termasuk keberanian adalah: pemborosan, menghambur-hamburkan, penakut, bermegah-megahan, menghinakan diri, lekas marah, sombong, berbuat keji, ujub dan menjadi hina
Adapun iffah (pemeliharaan diri) maksudnya adalah keutamaan syahwat. Sifat-sifat yang termasuk dalam iffah yaitu: adanya perassaan malu ( pertengahan antara tidak berperassaaan malu dengan kelemahan), terlalu malu ( kesedihan dan kelemahan nafsu akibat sangat malu), toleransi, sabar, murah hati, memiliki perhitungan, memiliki kesukaan hati, teratur, menjauhi dosa, ramah-tamah menolong dan lain-lain. Sedangkan ‘aadalah ialah suatu kondisi bagi terjadinya tiga kekuatan diatas secara teratur dan sesuai ketertiban yang semestinya
Yang kedua kebaikan-kebaikan jasmani seperti kesehatan, kekuatan, hidup teratur dan panjang umur. Yang ketiga kebaikan-kebaikan eksternal seperti kekayaan, keluarga, kedudukan sosial, dan kehormatan. Yang keempat kebaikan-kebaikan Tuhan seperti petunjuk (hidayah), Bimbingan yang lurus (rusyd), pengarahan (tasdid) dan pertolongan (ta’yid). Sebagian kebaikan ini seperti halnya kebaikan jiwa sangat esensial bagi kebaikan-kebaikan diatas dalam berbagai tingkatan.
Dengan demikian konsep al-Ghazali tentang tujuan moral tidaklah membedakan antara konsep kebahagiaan (happines) dan kebaikan (virtue), karena suatu tindakan moral mempunyai tujuan lain diluar kebaikan itu sendiri, maka konsep al-Ghazali ini dapat dikatakan bersifat teleologis.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan moral menurut al-Ghazali adalah terbentuknya moral yang baik pada anak didik sesuai landasan agama. Moral yang baik terstruktur dari hikmah, syaja’ah, iffah dan ‘aadalah. Adapun tujuan akhir dari moral adalah mencapai kebahagiaan utama yaitu makrifatullah.
Sumber Pendidikan Moral
Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan hakiki moral adalah kebahagiaan ukhrowi. Hal ini mengandung arti adanya keterikatan antara perbuatan moral dengan eksistensi Tuhan. Al-Ghazali sejak awal telah menempatkan eksistensi Tuhan sebagai tujuan primernya, sehingga dalam membangun filasafat moralnya mengacu kepada cinta kepada Allah, makrifatullah dan menjadikan Tuhan sebagai sumber utama dari nilai-nilai moralnya.
Bagi al-Ghazali kekuasaan Tuhan dan otoritas-Nya lebih absolut daripada gagasan tentang kemungkinan manusia memahami karya Tuhan melalui inisiatif manusia dalam meraih keutamaan-keutamaan puncak. Al-Ghazali menolak peranan rasio bebas dalam memberikan landasan bagi tindakan moral. Penolakan tersebut adalah dengan mengontraskan antara rasio dengan wahyu baik dalam bentuk-bentuk langsung maupun turunannya, juga dengan syara’, teks-teks kitab suci dan tradisi-tradisi yang dipandang sebagai sumber ahkam.
Penolakan Al-Ghazali yang demikian tampaknya didasarkan pada kekhawatirannya yang berlebihan tentang konsekuensi penerimaan hukum-hukum kausalitas dalam alam dan moralitas yang akan membawa penolakan terhadap kemahakuasaan Tuhan.
Tindakan al-Ghazali menyerang dan menolak fungsi rasio dalam memilih perbuatan etis yang layak tidak berarti bahwa al-Ghazali meninggalkan persoalan moral tanpa solusi alternatif apapun. Dia bersandar pada wahyu, tetapi masih membutuhkan perantara dalam menyampaikan ajaran wahyu. Dengan semangat ingin tahu yang tinggi, al-Ghazali menggantikan fungsi aktif dan kritis rasio manusia menjadi fungsi yang tidak aktif dan tidak kritis dengan mengajukan suatu metode baru dalam menanamkan perbuatan etis manusia melalui bimbingan ketat dari syaikh atau pembimbing moral.
Peran syaikh dalam pandangan al-Ghazali menjadi sangat menonjol karena rasio manusia tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya sebagai pembimbing dalam memilih jenis pilihan moral. Terdapat sisi yang jelas dalam sistem pemikiran al-Ghazali bahwa aql akan tersesat jika tidak dibimbing secara terus menerus oleh syaikh. Oleh karena itu para murid harus mempercayakan kepada syaikh mengenai urusan-urusannya ibarat pasien dungu yang harus tunduk kepada dokter yang pandai. Al-Ghazali mengatakan:
Apapun yang disarankan oleh sang guru kepada murid, yang belakangan harus tunduk dengan mengesampingkan pendapat pribadinya, karena kesalahan gurunya (syaikh) adalah lebih bermanfaat baginya daripada putusannya sendiri. Meskipun benar karena pengalaman akan menampakkan detail-detail yang barangkali asing, sekalipun begitu akan sangat berguna.
Dengan demikian sumber pendidikan moral menurut al-Ghazali adalah wahyu dengan perantara bimbingan yang ketat dari syaikh. Al-Ghazali dengan demikian meminggirkan rasio atau paling tidak meminimalisir fungsi rasio yang semestinya dalam landasan etis kehidupan manusia.
Materi Pendidikan Moral
Pandangan al-Ghazali tentang materi pendidikan moral dapat dilacak dari pendapatnya mengenai jalan untuk mencapai kebaikan sejati. Menurutnya untuk dapat bermoral baik dan mencapai tujuan moral tidak ada jalan lain kecuali dengan ilmu dan amal. Adapun ilmu dalam kitab “Ihya’ Ulumuddin”, al-Ghazali menyebutkan ilmu untuk mencapai kebahagiaan sejati terbagi menjadi dua:
1. Ilmu Mukasyafah
Yaitu ilmu yang sesuatu daripadanya dituntut menyingkap sesuatu yang diketahui. Ilmu mukasyafah ini menyangkut masalah-masalah metafisik yang membicarakannya hanya dengan rumuz dan isyarat atas jalan perumpamaan dan global. Ilmu mukasyafah individu dapat juga dikatakan sebagai sain esoteris mengenai rahasia-rahasia transenden yang disebutkan dalam al-Qur’an yang tidak dapat dicapai oleh masyarakat awam. Oleh karena itu manusia harus dicegah untuk menekuni rahasia-rahasia ini dan sebagai gantinya mereka didorong untuk mencari subyek-subyek yang dibolehkan hukum Islam.
2. Ilmu Muamalah
Ilmu Muamalah adalah ilmu yang daripadanya dituntut mengetahui serta mengamalkannya. Ilmu Muamalah terbagi kepada ilmu lahir yakni ilmu mengenai amalan anggota badan dan ilmu batin yakni ilmu mengenai amalan-amalan hati. Ilmu yang berjalan atas anggota- anggota badan menjadi adat dan ibadat. Sedangkan bagian batin yang berhubungan dengan keadaan hati dan akhlak jiwa terbagi menjadi tercela dan terpuji. Dengan kata lain ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah.
Sedangkan dalam kitab “Mizan al-Amal”, al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu yang dapat mengantarkan manusia menuju kebahagiaan sejati dibedakan menjadi dua macam yaitu: ilmu Nazhari dan ilmu Amali. Ilmu Nazhari terbagi menjadi bermacam-macam dan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan adat, negara dan bangsa. Namun menurut al-Ghazali yang terpenting dalam kaitannya dengan pembinaan moral adalah ilmu yang dapat menyampaikan kesempurnan jiwa, sehingga dengan kesempurnaan itu manusia dapat mencapai kebahagiaan.
Tentang ilmu Amali al-Ghazali membagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Ilmu Jiwa dengan sifat-sifat dan akhlak, yaitu melatih jiwa dan memerangi hawa nafsu.
b. Ilmu Jiwa tentang cara mengatur ekonomi , kelurga, anak, pelayan dan para hamba.
c. Ilmu Tata Negara ( siasat mengatur penduduk negeri). Diantara ketiga ilmu tersebut kaitannya dengan pendidikan moral, menurut al-Ghazali yang paling penting adalah ilmu mensucikan jiwa, ilmu mengatur badan dan memelihara keadilan sesuai dengan sifat-sifat yang ditentukan.
Sedangkan menurut sumbernya, al-Ghazali membagi ilmu yang ada menjadi ilmu Syar’iyyah dan ilmu non Syar’iyyah. Ilmu-ilmu Syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan syari’at. Ilmu ini terbagi menjadi empat macam: al-ushul ( pokok), al-furu’ ( cabang), al-muqaddimah (pengantar) dan al-mutammimat ( pelengkap).
Sedangkan ilmu non Syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang bersumber pada akal, eksperimen, akulturasi. Termasuk dalam ilmu ini adalah semua ilmu rasional dan filosofis. Ilmu-ilmu ini apabila tidak dilarang dengan tegas oleh syar’i maka hukumnya adalah mubah.
Fathiyah Hasan Sulaiman menyimpulkan gradasi materi pendidikan akhlak dari karya-karya Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
1. Urutan pertama: al-Qur’an al-karim dan ilmu-ilmu agama seperti Fiqh, Sunnah dan Tafsir.
2. Urutan kedua ilmu-ilmu bahasa, seperti ilmu Nahwu, serta artikulasi huruf dan lafal karena ilmu tersebut melayani agama.
3. Urutan ketiga ilmu yang termasuk kategori ilmu wajib kifayah.
4. Urutan keempat Ilmu yang berkaitan dengan budaya, sejarah serta sebagian cabang filsafat, seperti matematika, logika dan lain sebagainya.
Disamping ilmu sarana kedua mencapai kebaikan moral dan tujuan moral adalah amal. Menurut al-Ghazali amal adalah penyempurna ilmu untuk mencapai tujuan yang semestinya. Amal dalam konteks ini adalah mengekang nafsu jiwa mengontrol amarah dan menekankan pertimbanagan sehingga benar-benar tunduk terhadap akal.
Metode Pendidikan Moral
Al-Ghazali tidak membahas secara tersendiri tentang metode pendidikan dalam karya-karya secara mendalam sebagaimana ia membahas tentang pendidik dan anak didik dan berbagai kewajiban yang melingkupinya. Namun demikian bukan berarti ia tidak membahasnya dalam pendidikannya. Analisis cermat terhadap pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan moral akan karya-karyanya terutama “Ihya’” akan ditemukan beberapa metode pendidikan moral. Dalam karya monumentalnya ”Ihya’ Ulumuddin” tentang pendidikan moral (al-thuruq ila tahzib al akhlak), al-Ghazali menggunakan beberapa metode yang dapat ditempuh dalam pembentukan moral yang baik:
Yang pertama adalah metode pembiasaan. Yakni metode dengan melatih anak didik untuk membiasakan dirinya pada budi pekerti dan meninggalkan kebiasaan yang buruk melalui bimbingan dan latihan. Tentang metode ini al-Ghazali mengatakan bahwa semua etika keagamaan tidak mungkin akan meresap dalam jiwa sebelum jiwa itu sendiri dibiasakan dengan kebiasaan baik dan dijauhkan dari kebiasaan yang buruk, atau rajin bertingkah laku terpuji dan takut bertingkah laku tercela. Al-Ghazali sangat menekankan langkah pembiasaan kepada anak-anak untuk berbuat sesuai dengan nilai-nilai moral yang baik. . Hal ini seperti apa yang dikemukakan :
“ apabila anak itu dibisakan untukmengamalkan apa-apa yang baik, diberi pendidikan kearah itu pastilah ia akan tumbuh ditas kebikan tadi aibat positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika ana itu sejak kecil dibiasakan dan dibiarkan mengerjakan keburukan, begitu saja tanpa diberikan pendidikandn pengajaran, yakni sebagaiman halnya sesesorang memelihara binatang, mak akibatnya anaki tu akan selalu berakhlak buruk, dan dosanya dibebankan kepada orang yang bertanggung jawab (orang tua dan guru) memelihara dan mengasuhnya.
Untuk menopang proses pembentukan kebiasaan bagi anak-anak al-Ghazali mengemukakan beberapa prinsip yang perlu dilakukan oleh pendidik yaitu :
a. Penggunaan dorongan atau pujian.
b. Pemberian celaan secara bijaksana.
c. Melarang anak untuk berbuat buruk secara sembunyi-sembunyi.
d. Melarang anak untuk membanggakan apa yang dimilikinya.
e. Mengajari anak untuk bersikap suka memberi dan tidak suka meminta.
Metode yang kedua adalah metode keteladanan.
Dalam rangka membawa manusia menjadi manusiawi, Rasulullah dijadikan Allah dalam pribadinya teladan yang baik. Demikian halnya dengan guru. Dalam pandangan Al-Ghazali guru adalah pewaris nabi dan subyek pendidikan, maka haruslah menjadi teladan bagi anak didiknya.
Berkaitan dengan hal tersebut Al-Ghazali memberikan penjelasan seperti apa yang dikemukakannya:
“ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatanya.... Perumpamaan guru yang membimbing murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya, bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok. “
Hal diatas menegaskan betapa al-Ghazali sangat menekankan keteladanan dalam pendidikan moral.
Metode yang ketiga adalah tazkiyah nafs ( metode penyucian diri)
Metode ini merupakan metode yang dikenal dengan metode sufistik. Dalam kaitannya dengan pembinaan moral, al-Ghazali menganalogikan metode ini dengan metode pembinaan badan. Untuk menghindarkan badan dari rasa sakit yaitu dengan menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit badan, demikian pula denagn jiwa. Untuk menghaindarkan jiwa dari penyakit maka haruslah menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit jiwa. Adapun jiwa yang sakit harus disucikan sebagaimana pengobatan bagi badan yang sakit.
Metode ini terdiri dari dua langkah yaitu takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan sifat terpuji.
Al-Ghazali dalam proses penyucian jiwa menekankan pentingnya seorang pembimbing moral sebagai panutan penyucian diri, pencerahan, pembersihan jiwa . Dalam proses tersebut menurutnya seorang sufi harus memahami tingkat-tingkat atau kondidsi penyakit jiwa yang dialami oleh murid. Karena itu bagi seorang guru harus benar-benar mengetahui kondisi jiwanya.
Mengenai cara pengosongan sifat-sifat tercela dalam rangka penyucian jiwa, al-Ghazali mengemukakan empat cara:
1. Menghadap kepada syaikh pembimbing moral yang mampu melihat aib diri atau penyakit jiwa kemudian mengikuti petunjuknya dalam bermujahadah.
2. Mencari teman yang jujur agar memperhatikan keadaan-keadan dan perbuatan diri agar memberitahu mana moral dan perbuatan tercela yang tidak disenanginya baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
3. Mencari tahu aib diri melalui ucapan-ucapan musuh sebab musuh selalu mencari aib lawan.
4. Bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat luas sehingga mampu melihat mana yang baik dan mana perbutan dan moral yang buruk, kemudian menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai atau tercela yang dilakukan orang lain. Dari keempat cara penyucian diri, cara pertama merupakan cara yang dianggap sangat penting bahkan dianggap suatu keharusan oleh al-Ghazali
Peran dan syarat pendidik moral
Pendidik menurut al-Ghazali menempati kedudukan yang sangat mulia dan peran yang sentral dalam membentuk manusia yang bermoral. Sehubungan dengan hal tersebut al-Ghazali berkata:
“ Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang paling mulia penampilannya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat kepada Allah.
Dari pernyataan diatas dapat dipahami bahwa bahwa profesi guru adalah profesi yang sangat mulia dan tugas utama pengajar adalah berusaha membimbing, meningkatkan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliknya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk mulia. Kesempurnaan manusia itu terletak pada kesucian hatinya, untuk itu pendidik dalam perspektif al-Ghazali harus memiliki kesucian jiwa dan kebersihan hati.
Disamping itu seseorang pendidik dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadianya. Diantara sifat-sifat tersebut adalah:
1. Sabar dalam menghadapi berbagai pertanyaan dari murid
2. Senantiasa mengembangkan kasih sayang.
3. Duduk dengan sopan, tidak riya’ dan tidak pamer.
4. Tidak takabur kecuali terhadap orang yang dzalim dengan maksud mencegah tindakannya.
5. Bersikap tawadlu’ dalam pertemuan ilmiah
6. Sikap dan perbuatannya hendaknya tertuju pada topik persoalan
7. Memiliki sikap bersahabat dengan murid-muridnya.
8. Menyantuni dan tidak membentak-bentak orang bodoh.
9. Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang tidak dikuasainya.
10. Menampilkan hujjah yng benar.
Mohammad Athiyah al-Abrasyi menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki seorang guru dalam mengemban tugasnya sebagai berikut: zuhud, tidak mengutamakan materi, bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari riya’, dengki, permusuhan dan sifat tercela yang lain, ikhlas dalam beramal dan bekerja, mencintai murid , memikirkan murid seperti anaknya sendiri, mengetahui tabiat murid dan menguasai materi pelajaran.
Dari uraian diatas tampak betapa berat tugas dan tanggung jawab seorang guru. Berkaitan dengan berat tugas dan tanggung jawab seorang guru, al-Ghazali lebih lanjut menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Guru ialah orang tua kedua di depan murid
b. Guru sebagai pewaris ilmu nabi
c. Guru sebagi penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
d. Guru sebagai sentral figur bagi murid
e. Guru sebagai motivator bagi murid
f. Guru sebagi orang yan memahami tingkat perkembangn intelektual murid
g. Guru sebagai teladan bagi murid.
Pandangan Emile Durkheim
Pengertian dan hakikat pendidikan moral
Pemikiran pendidikan menurut Emile Durkheim haruslah berorientasi pada moralitas. Menurut Durkheim pendidikan adalah upaya yang terus menerus untuk mengisi jiwa anak dengan cara atau jalan melihat, merasa dan bertindak, dimana upaya itu diterima dan dicapai oleh si anak tidak secara spontan tetapi bersifat diarahkan. Sejak lahir seorang bayi dilatih (dipaksa) untuk makan, minum dan tidur pada waktu yang telah ditentukan, disisi lain ia juga dilatih untuk tenang, bersih dan menurut apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Kemudian ia bertambah besar , kebiasaaan itu tidaklah cukup dengan paksaan saja karena ia tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat luas, oleh karena itu dia harus dibimbing dan dibina untuk memikirkan orang lain, memahami lingkungan, menghormati adat-istiadat, serta merasakan pentingnya suatu karya.
Pendidikan menurut Durkheim juga merupakan sarana sosial untuk mencapai tujuan sosial – sarana dengan mana suatu masyarakat menjamin kelangsungan hidupnya. Pendidikan bukan hanya bertugas mengembangkan seorang individu sesuai kodratnya, atau hanya menyingkapkan segala kemampuan tersembunyi pada individu yang mengganggu penampakannya, namun pendidikan haruslah menciptakan makhluk baru. (Elle Cree Dans I Homme Un Etre Nouveau)
Moralitas bagi Durkheim tidak bisa dianggap hanya ajaran normatif yang menyangkut baik dan buruk melainkan suatu sistem fakta yang diwujudkan, terkait dalam keseluruhan sistem dunia. Moralitas bukan hanya menyangkut sistem perilaku yang sewajarnya melainkan juga suatu sistem yang didasarkan pada ketentuan- ketentuan. Dan ketentuan ini adalah sesuatu yang ada di luar diri pelaku. Karena itu selain bercorak positivis studi tentang moralitas semestinya juga bersifat rasional dan sekuler.
Seperti telah disinggung, Durkheim sadar bahwa Eropa yang dikenalnya sedang mengalami proses transformasi. Dengan kecenderungan visi sejarah yang bersifat evolusionistis ia merasakan pula bahwa dasar konsensus lama telah tidak memadai. Sistem tradisional, katanya ternyata hanya bisa bertahan karena keajaiban ekuilibrium (keseimbangan) dan kekuatan kebiasaan. Padahal sesungguhnya tradisi itu telah lama tidak lagi berpijak pada dasar yang kuat.
Disaat perkembangan ilmu pengetahuan yang makin deras dan disaat homogenitas alam telah terpecah-pecah maka dasar moral tidak bisa hanya dilihat sebagai apa yang disebut imanuel kant “kategori imperatif “ –suatu dorongan dari dalam diri untuk berbuat etis. Bukan dasar yang internal itu yang biasa dipakai sebagai ukuran melainkan sistem perbuatan yang tampaknya obyektif.
Bagi Durkheim kebenaran haruslah bersifat moralitas dan ilmiah. Moralitas menurutnya haruslah dilihat sebagai suatu fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan subyektif. Fakta moral harus dianggap sebagai fenomena sosial yang terdiri atas aturan –aturan atau kaidah-kaidah dalam bertindak yang bisa dikenali dari ciri khas tertentu.
Moral menurut Emile Durkheim juga berhubungan dengan bagian yang fungsional dari masyarakat. Dan moral terlibat pula dalam proses historis yang bersifat evolusionistis, berubah sesuai dengan struktur sosial. Lebih lanjut moral menurut Emile Durkheim meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku dan bisa juga dalam pengertian wewenang. Pada definisi keteraturan tingkah laku dan wewenang sebenarnya merupakan dua aspek dari satu hal yaitu disiplin. Dengan kata lain bahwa disiplin dibentuk dari keteraturan tingkah laku dan wewenang.
Bagi Durkheim bertindak moral berarti bertindak demi kepentingan orang lain atau kolektif yaitu suatu tindakan atau aktifitas yang impersonal, sebab yang menjadi objek perilaku moral adalah sesuatu yang berada diluar diri seseorang, atau diluar sejumlah orang dari sejumlah orang yang lain yang disebut masyarakat. Menurutnya seseorang yang bertindak demi kepentingan dirinya belum dianggap sebagai suatu tindakan yang bersifat moral, karena tindakan tersebut tidak bersifat sosial.
Dengan demikian menurut Emile Durkheim pendidikan moral merupakan suatu aktifitas yang harus dilatih dan mungkin dipaksakan bagi setiap orang sejak dini untuk menjadikan anak yang baik dan mempunyai tingkat kesadaran moralitas yang tinggi dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosial. Disamping bersifat sosial pendidikan moral haruslah bersifat rasional. Durkheim mengacu pada pendapat –pendapat kaum rasionalis yang menyatakan bahwa tidak ada realita apapun yang membenarkan seseorang membuat pertimbangan secara mendasar diluar lingkup penalaran manusia.
2. Tujuan Pendidikan Moral
Oleh banyak kalangan Durkheim acap disebut sebagai juru bicara paradigmatik dari mereka yang mengembangkan konsepsi sosial dalam menyikapi persoalan-persoalan moral. Sebutan semacam itu agaknya cukup beralasan kalau kita kaitkan dengan pelbagai pandangan Durkheim yang antara lain melihat bahwa tujuan-tujuan moral adalah segala sesuatu yang berobyekkan pada masyarakat, ranah moral akan berkembang bersamaan dengan ranah sosial, moralitas dimulai dari keterlibatan seseorang pada masyarakat dan bukan tindakan –tindakan yang merefleksikan kepentingan individu semata.
Dalam teori sosiologi menurut Emile Dukheim, proses sosialisasi harus dilihat sebagai faktor yang hakiki dari pembentukan gagasan, perasaan, hasrat yang lebih tinggi dan watak. Selain itu teori Emile Durkheim menyatakan bahwa:
Manusia baru menjadi manusia, sebab dia hidup di masyarakat.
Seseorang dianggap sebagai makhluk moral karena dia hidup di masyarakat.
Tanpa masyarakat moralitas tidaklah memiliki tujuan, tugas dan akar.
Moralitas diciptakan oleh masyarakat dan ditujukan untuk masyarakat.
Moralitas sosial tidak selalu sama dengan moralitas konvensional.
Dari pernyataan ini memunculkan pandangan bahwa Emil Durkheim lebih melihat bahwa makhluk individual adalah makhluk prasosial, tanpa masyarakat moralitas tidak akan tercipta dan tujuan tindakan moral adalah masyarakat. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat tidak bisa direduksi hanya sebagai kumpulan individu-individu semata, melainkan harus dilihat sebagai makhluk baru yang sui generis, dengan ciri khasnya sendiri yang berbeda dari ciri khas anggota-anggota, dengan individualitas sendiri yang tentunya berbeda dengan individualitas pembentuknya. Dalil yang digunakan Durkheim adalah bahwa kombinasi elemen-elemen dengan cara apapun, menghasilkan sifat-sifat baru yang sama sekali berbeda dengan dari sifat masing-masing elemen pembentuknya. Jadi kombinasi tersebut menjadi sesuatu yang justru melalui penggabungan-penggabungan pembentuknya.
Dalam proses penggabungan terjadi kontak dan interaksi antara masing-masing individu yang melibatkan tindakan, pikiran, maupun perasaan sehingga melahirkan kesadaran kolektif. Dengan demikian masyarakat menjelma menjadi makhluk moral yang mempunyai ide-ide, tindakan, dan perasaan yang khas yang tidak pernah menjadi ciri individu bila hidup terpisah-pisah.
Disamping itu jika masyarakat menjadi tujuan tindakan moral ia juga harus dipandang sebagai sesuatu yang diinginkan dalam dan pada dirinya, dan tidak hanya karena berguna bagi individu. Dalam mengikat dirinya dengan masyarakat setiap orang harus mempunyai kepentingan. Keterikatan hanya mungkin terealisir bila manusia rela menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Sebab dalam kenyataannya mengaitkan diri dan makhluk lain selalu berarti sampai tingkat bergabung atau menyatu bersamanya, bahkan siap menggantikan makhluk tersebut apabila keterikatan memang menuntut pengorbanan.
Namun bagaimana mungkin keterikatan demikian bisa mengendap dalam kesadaran individu, jika masyarakat sebagai tujuan moral berada diatas dan berbeda dengan individu. Apakah kepentingan pribadi harus dikorbankan karena kepentingan masyarakat. Durkheim mengakui adanya perbedaan antara individu dan masyarakat. Namun perbedaan itu menurutnya tidak dapat diletakkan pada posisi resiprokal dan kedua makhluk tersebut tidak dapat diletakkan dalam posisi antagonis. Sejalan dengan itu ujarnya tidak benar individu sendirilah yang hanya mengidentifikasi hakekat dirinya, yang benar justru sebaliknya yaitu ia tidak dapat sepenuhnya merealisasikan dan menjadi dirinya sendiri kecuali manakala ia telah melibatkan diri dalam masyarakat.
Hal serupa juga terjadi pada ilmu pengetahuan. Ia terbentuk dan berkembang sebagai hasil dari tujuan kolektif. Masyarakatlah yang membentuknya seraya mendesak para anggotanya untuk terus belajar . Demikian pula peradaban dilahirkan, dilestarikan, dan diwariskan masyarakat kepada individu. Peradaban merupakan kumpulan dari segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai tertinggi serta merupakan kongregasi dari nilai-nilai kemanusiaan
Oleh karena itu untuk menjadi manusia yang baik, orang harus segera menyatu dengan sumber utama kehidupan moral dan mental yang mnjadi ciri manusia yaitu masyarakat. Dari masyarakatlah berasal segala sesuatu yang paling baik dalam diri manusia. Berawal dari masyarakat pulalah keseluruhan segala tingkah laku manusia.
Lebih lanjut Durkheim mengatakan bahwa seseorang hanya akan bertindak efektif demi kepentingan masyarakat manakala menggabungkan usaha- usaha individu sehingga tercipta tindakan kolektif. Tindakan ini tidak saja memiliki pengaruh lebih luas, melainkan di dalamnya juga terkandung moral yang lebih tinggi, karena mengejar tujuan yang melampaui kepentingan pribadi.
Dengan demikian tujuan pendidikan moral menurut Emile Durkheim adalah upaya membentuk manusia menciptakan makhluk baru. (Elle Cree Dans I Homme Un Etre Nouveau yang mempunyai rasa solidaritas tinggi, disiplin untuk tujuan-tujuan sosial dan menciptakan ekuilibrium masyarakat.
3. Sumber pendidikan moral
Gagasan Emile Durkheim tentang pendidikan lebih difokuskan pada pendidikan moral yang rasional yang tidak memasukan unsur-unsur agama didalamnya . Moralitas bukan sekedar sistem perilaku yang menjadi kebiasaan melainkan suatu sistem perilaku yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang menjadi kesepakatan bersama. Dalam hal ini moralitas didasarkan pada beberapa unsur sebagaimana telah dikemukakan oleh Durkheim . Unsur-unsur tersebut adalah semangat disiplin, ikatan pada kelompok dan otonomi
Durkheim menolak sumber moral adalah agama. Hal ini disebabkan analisa Durkheim bahwa kini peranan Tuhan hanya menjadi pengawal. Sistem moral tidak diciptakan untuk kepentingan-Nya melainkan demi kepentingan manusia. Tuhan hanya bercampur tangan dalam membuat moral agar lebih efektif. Sejak saat itulah kewajiban manusia sebagian besar menjadi bebas dari gagasan religius sehingga ia tidak lagi merupakan landasan pijak bagi perkembangan moral.
Tahapan perkembangan diatas memperlihatkan betapa moralitas pada awalnya tidak dibangun sama sekali dengan melepaskan konsepsi teologis manapun. Namun demikian pertalian yang sejak semula memadukan dan mengikat kedua sistem tersebut semakin lama semakin longgar. Maka usaha melepaskan ikatan tersebut secara definitif berarti mengakui arus sejarah. Persis pada titik inilah proses sekularisasi moral merupakan kenyataan yang mau tidak mau harus diterima. Durkheim menyadari bahwa upaya menjadikan proses yang dimaksud tidak akan hanya cukup dengan mengajarkan moralitas warisan leluhur seraya menghindarkan segala kebutuhan untuk menemukan kembali jalan menuju gagasan religius. Lebih dari itu diperlukan transformasi menyeluruh
Mengapa transformasi menyeluruh ditekankan, hal ini disebabkan karena sistem kepercayaan dan moralitas telah menjadi satu dalam sejarah selama berabad-abad. Kedua sistem tersebut terjalin erat bahkan sebelum hubungan keduanya disa dikenal, serta pemisahan antara keduanya bisa diwujudkan. Baik kepercayaan maupun moral haruslah ditopang pada landasan yang sama yaitu Tuhan. Dia adalah pusat religius tertinggi serta jaminan tata nilai moral tertinggi.
Inilah sebabnya mengapa perpaduan ini menjadikan agama dan moral sama-sama memiliki unsur kewajiban. Orang bahkan dengan mudah melihat bahwa beberapa elemen dari kedua sistem tersebut saling mendekati satu sama lain, sehingga membentuk hanya sebuah sistem. Gagasan moral tertentu menyatu dengan gagasan religius sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan lagi.
Oleh karena itu apabila dalam merasionalisasikan moralitas, seseorang semata-mata berusaha mencabut apa saja yang dianggap bersifat moral tanpa mencari unsur penggantinya, hal ini merupakan yang bersangkutan sekaligus mencabut semua elemen yang sebetulnya adalah moral itu sendiri. Upaya mencari jalan keluar metodis dari masalah ini sebagaimana ditawarkan Durkheim dapat dilakukan dengan mencari tepat pada jantung konsepsi religius, hakekat realitas moral yang terkubur dan tersembunyi di dalamnya.
Jadi seseorang harus melepaskan gagasan religius namun pada saat yang sama harus menemukan unsur-unsur moral, menentukan sifatnya dan mengungkapkannya dalam bahasa rasional. Dalam hal ini kecenderungan Durkheim adalah menggantinya dengan masyarakat, dengan catatan masyarakat dipahami sebagai kesadaran kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu dalam membentuk otoritas moral sehingga memanifestasikan dirinya dalam aturan-aturan imperatif bagi individu. Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai unsur pengganti sebab ia merupakan makhluk moral yang betul-betul berakar dari realitas empiris yang dapat disentuh melalui penginderaan dan rasional sementara Tuhan tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan.
Demikianlah gambaran dari upaya Durkheim menggagas realitas moralitas sekuler yang ingin mendasarkan moral pada masyarakat dan sebaliknya menolak agama sebagai titik pijak moral. Konsepsi tentang moralitas sekuler ini sekaligus dijadikan alasan untuk mengkritik anggapan banyak orang yang melihat moralitas tidak mungkin digeluti oleh nalar manusia, karena di dalamnya memuat sifat mistis dan Durkheim juga menggunakan ini sebagai landasan untuk menolak persepsi kaum empiris utilitarian yang disatu pihak menawarkan gagasan rasional tentang moralitas namun menolak sifat-sifatnya yang sui generis dan mereduksi ide-ide menjadi ide-ide teknik ekonomi.
Terlepas dari itu semua, pandangan Durkheim mengenai sumber dan prinsip-prinsip moral membentangkan kombinasi elemen-elemen yang berbeda. dan sebagian lainnya, memberikan tekanan pada satu elemen dan tidak pada elemen yang lain. dan itulah yang barangkali yang menjadi alasan mengapa Durkheim acap kali dilukiskan sebagai sosok yang begitu perhatian pada norma-norma moral dan tindakan-tindakan yang bersifat wajib, lebih lagi kalau melihat kecenderungannya terakhir yang begitu besar perhatiannya pada ide-ide moral.
Prinsip-prinsip moral kata Durkheim harus berfungsi sebagai penunjuk dan asas kehidupan moaral yang dapat dan harus dijelaskan kepada peserta didik melalui proses pendidikan moral. Mengingat prinsip-prinsip pendidikan moral adalah jantung bagi pendidikan moral maka prinsip-prinsip moral itu harus diajarkan sedemikian rupa sehingga peserta didik akan merasa terpanggil untuk melaksanakan dengan mengetahui landasan-landasan atau pertimbangan-pertimbangannya.
4. Metode pendidikan moral
Bagaimana membangun unsur-unsur moralitas pada anak.? pertama dalam mengembangkan unsur-unsur moralitas pada anak adalah, dengan metode pembiasaan (membangun disiplin). Untuk mebangun disiplin ada dua unsur yang terkait di dalamnya yaitu keinginan adanya keteraturan dan keinginan tidak berlebihan serta penguasaan diri. Pada usia dini anak harus dapat dididik untuk membiasakannya dengan keteraturan. Dengan kata lain disiplin merupakan cara untuk merangsang kemauan anak dalam proses pembelajaran. Anak harus dilatih menaati kaidah peraturan, maka ia harus bisa merasakan adanya sesuatu yang patut dihormati yaitu otoritas moral yang ditanamkan pada anak.
Kedua, metode hukuman dan penghargaan.
Hukuman diperlukan untuk lebih menaati kaidah peraturan dan menyampaikan kepada anak tentang otoritas yang inheren, sehingga mereka mematuhi peraturan tersebut secara spontan dan mempunyai rasa hormat terhadap peraturan. Memang dengan adanya hukuman tidak menjamin segala sesuatu berjalan baik, namun hukuman itu diharapkan sekurang-kurangnya dapat mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan dalam mencapai disiplin dan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Menghukum bukan berarti membuat orang lain menderita secara jasmani dan ruhani, karena hal ini bertentangan dengan tujuan moral dalam pendidikan yaitu menghargai martabat manusia. Hukuman hanya simbol yang gamblang dari keadaan batin. Oleh karena itu hukuman tidak diperbolehkan diberikan dalam dosis terlalu berat, sebaiknya dilakukan dengan sangat bijaksana, karena pengaruhnya akan terasa dan meningkat kalau diterapkan secara bijaksana.
Ketiga, adalah penggunaan lingkungan sekolah dalam menumbuhkan solidaritas pada anak.
Untuk membentuk unsur moralitas kedua, ikatan terhadap kelompok sosial maka Emile Durkheim mengambil sekolah sebagai sarana pelatihan anak untuk selalu merasa dirinya berada di lingkungan masyarakat luas sehingga mempunyai solidaritas tinggi terhadap orang lain dan lebih percaya terhadap apa yang dia lakukannya..
Lingkungan sekolah yang terdiri dari berbagai murid yang melakukan aktifitas bersama, dapat dijadikan sarana yang tepat untuk menanamkan kepada anak kebiasaaan kebiasaan hidup berkelompok, kebutuhan untuk terikat dengan kekuatan-kekuatan kolektif. Dalam proses pembelajaran terkadang bahkan sering dilakukan metode pemberian tugas secara kelompok untuk lebih melatih anak menghargai pendapat orang lain.
Keempat, adalah metode keteladanan
Dalam pendidikan moral Emile Durkheim, keteladanan yang ditunjukkan oleh seorang pendidik merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya pendidikan moral. Menurutnya pendidik adalah agen moral masyarakat, mata rantai yang sangat penting dalam pembentukan moral dan pengalihan budaya. Pendekatan sosialisasi moral dalam pendidikan Emile Durkheim menyatakan bahwa murid atau siswa dapat mempelajari nilai-nilai moral dan perilaku apabila pendidik mampu mengajarkan secara aktif nilai-nilai moral tersebut. Menurut Bennet (penganut pandangan Durkheim) para penganut Emile Durkheim percaya tentang proses pengajaran moral dapat difasilitasi dengan cara menjelaskan tentang bagaimana para pengajar mampu mengajarkannya dengan memberikan contoh-contoh karakter dan perilaku personalnya.
Tentang penggunaan metode pendidikan moral banyak tokoh yang memandang bahwa metode pembiasaan dan keteladanan adalah hal yang sangat penting dalam rangka membentuk anak didik mempunyai moralitas yang baik. Abdullah Nasih Ulwan misalnya, menyebutkan ada lima metode dalam pendidikan moral yang diharapkan dapat mempersiapkan anak baik secara moral, mental, spiritual, maupun memiliki ethos sosial. Diantara metode yang dirumuskan Nasih ulwan tersebut adalah:
a) Pendidikan dengan keteladanan
b) Pendidikan dengan adat kebiasaan
c) Pendidikan dengan nasehat
d) Pendidikan dengan perhatian dan pengawasan
e) Pendidikan dengan hukuman.
Metode yang lain juga disampaikan oleh Athiyah al-Abrasyi bahwa dalam memberikan pendidikan moral itu tidak terlepas dari keteladanan para guru, selain itu juga metode yang menjadi perhatiannya adalah pendidikan moral baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu bagaimana guru dapat mensugesti anak didik.
Zakiah Daradjat juga menyampaikan bahwa untuk membentuk moral yang baik ada beberapa metode yakni metode pembiasaan dan pengulangan terhadap apa yang dianggap baik, metode kebebasan yakni anak didik diberi otonomi dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, setelah anak didik diberi pelajaran.
5. Materi pendidikan moral
Materi pendidikan moral menurut Emile Durkheim bukan suatu materi yang harus dicantumkan dalam kurikulum atau pengajar tertentu, akan tetapi hal ini merupakan kurikulum tersembunyi ( hidden curiculum). Jadi setiap guru harus memberikan contoh yang baik kepada anak didik, baik dari segi tingkah laku, sikap, pengetahuan saling menghormati dan lain sebagainya. Di dalam sebuah sekolah tanggung jawab pokok untuk pembentukan moral tidaklah terletak pada kegiatan intra kurikuler akan tetapi pada pengajar.
Selanjutnya dengan hidden curiculum seorang pengajar harus memiliki pandangan atau sikap yang terbuka dan tegas tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan benar dan salah, serta membiasakannya siswa bertingkah laku prososial di lingkungan sekolah. selain itu masyarakat juga harus bisa disosialisikan secara efektif untuk menunjukkan karakter moral prososialnya dan perilaku sosialnya melalui ekspose bebas.
Segi lain yang paling menonjol mengenai materi pendidikan moral menurut pandangan Emile Durkheim adalah tidak adanya daftar panjang tentang aturan-aturan yang harus ditransmisikan terhadap peserta didik. Melalui pelbagai artikelnya nampaknya Durkheim tidak mengedapankan isi materi tertentu yang diaplikasikan dalam sebuah kurikulum pendidikan moral. Materi pendidikan moral tidak harus memuat aturan panjang yang harus didikte akan tetapi lebih menekankan prosedur-prosedur dan pendekatan– pendekatan yang ada kaitannya dengan situasi-situasi moral. Materi pendidikan moral lebih bersumber pada norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
6. Peran dan syarat pendidik moral
Masalah pendidik moral agaknya cukup menempati peran yang sentral dalam sistem pemikiran Durkheim. Hal ini dapat kita buktikan dari berbagai pandangannya tentang filsafat sosial, epistemologi dan sosiologi. Bagi Durkheim belajar adalah satu proses dimana peserta didik akan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga dapat tumbuh selaras dengan posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya. Untuk dapat menjadi pribadi berpengetahuan dan bermoral, tidak ada kekuatan lain yang mampu membentuk dan mempengaruhinya kecuali masyarakat. Guru adalah agen masyarakat, mata rantai yang sangat penting dalam peralihan budaya . Tugas guru adalah menciptakan suatu makhluk sosial, suatu makhluk yang bermoral.
Posisi guru yang begitu sentral, dengan tugas dan kekuasaannya yang demikian besar, sudah pada tempatnya kalau didayagunakan secara optimal. Namun untuk lebih efektif dan efisien, kata Durkheim, guru harus memiliki beberapa kualitas pokok Kualitas yang pertama adalah apa yang disebut dengan otoritas moral.
Guru pendidikan moral harus menjadi simbol dan sekaligus menjadi contoh bagi anak didik baik dalam upaya menjadikan dirinya sebagai lambang idola anak didiknya maupun pemenuhan tugas sehari-hari dalam mewujudkan tertib dan efisiensi. Oleh karena itu guru harus dibekali dengan otoritas moral, karena tanpa otoritas seorang guru pendidikan moral tiadak akan mungkin dapat mengajar atau mengembangkan peserta didik ke arah sifat-sifat yang dibutuhkan bagi kehidupan moral.
Kualitas pokok yang kedua adalah totalitas dalam berusaha. Mengajar bukanlah sekedar mentransmisikan fakta atau berita kecil yang terisolasi, akan tetapi mengajar lebih merupakan aktivitas organis dan sintesis. Dalam mengajar, kata Durkheim perlu diperhatikan totalitas kepribadian peserta didik
Demikianlah pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim mengenai pendidikan moral, meliputi konsep dan hakekat pendidikan moral, tujuan pendidikan moral, sumber pendidiakn moral, materi pendidikan moral, metode pendidikan moral, serta peran dan syarat pendidik moral.
BAB IV
KOMPLEKSITAS ERA MODERN
A. Pengertian Dan Ciri Masyarakat Modern
Menurut Daniele Lerner, Modernisasi adalah istilah yang baru untuk satu proses yang panjang –proses perubahan sosial- dimana masyarakat yang kurang berkembang memperoleh ciri-ciri yang biasa bagi masyarakat yang lebih berkembang.
Berbagai pendapat tentang modernisasi telah dibahas banyak ahli dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Sbagaimana yang dikemukakan dalam buku M. Rusli Karim, Light and killer misalnya, mengartikan modernisasi sebagai perubahan nilai-nilai, lembaga-lembaga dan pandangan yang memindahkan masyarakat tradisional kearah masyarakat industrialisasi dan urbanisasi. Atau seperti ditegaskan Zanden bahwa Modernisasi merupakan proses dimana suatu masyarakat beralih dari pengaturan sosial dan ekonomi tradisional atau pra- indurstrial ke masyarakat yang industrial.
Adapun sudut pandang modernisasi revolusioner yang dikemukakakn oleh Robinson mendasarkan pada tiga asumsi pokok. Pertama, sebagai hasil sejumlah perubahan filosofis, perluasan dibalik pendekatan ilmiah barat terhadap dunia alamiah dan sosial dan dari bangkitnya teknologi sampai pada tahap tertentu. Kedua, sebagai hasil, maka revolusi dalam abad dua puluh menjadi sama dengan modernisasi politik, ekonomi, sikap dan kemasyarakatan. Ketiga, modernisasi memerlukan waktu untuk mentransformasikan masyarakat tradisional.
Dalam tradisi sosiologi, modernisasi dilihat sebagai suatu proses diferensiasi pelbagai bidang kehidupan. Secara keseluruhan konsep modernisasi umumnya dianggap mencakup pembedaan kehidupan ke dalam tiga fase perkembangan : zaman primitif, zaman religio methaphysical dan zaman modern. Pembedaan ini sebenarnya bisa dilacak dari konsepsi Comte tentang fase perkembangan masyarakat. Tahap-tahap tersebut dianggap memperlihatkan pembedaan fase-fase kemampuan abstraksi pemikiran dan sistem pengetahuan yang dihasilkan.
Sedangkan menurut Alex Inkeles dan David Smith modernisasi memerlukan perubahan dari cara berpikir dan perasaan, yaitu perubahan dalam keseluruhan sikap terhadap problem kehidupan, masyarakat dan alam semesta.Dalam bukunya Becoming Modern sebagaimana dikutip oleh Arief Budiman, mengulas tentang apa yang disebut dengan manusia modern. Kedua tokoh ini menyajikan tujuh ciri khas manusia modern seperti berikut :
Kesiapannya terhadap pengalaman baru dan keterbukaannya untuk menerima inovasi dan perubahan.
Ia harus mampu membentuk atau menangani (Holding) opini berkenaan dengan sejumlah besar masalah dan isu yang timbul baik dilingkungannya maupun di luarnya.
Ia menunjukkan sikap yang lebih sadar terhadap berbagai sikap dan opini dilingkungannya daripada menutup diri terhadap kenyataan diluar dirinya.
Berorientasi kepada masa sekarang dan mendatang daripada masa lalu.
Ia percaya bahwa manusia dapat belajar untuk menguasai lingkungan untuk memajukan tujuannya sendiri bukan tunduk kepada lingkungan.
Ia yakin bahwa bahwa dunia ini dapat dikalkulasikan, bahwa orang dan lembaga-lembaga lain disekitarnya dapat tergantung padanya untuk memenuhi dan menemukan kewajiban dan tanggung jawab.
Ia sangat percaya terhadap keadilan distributif.
Kedua tokoh ini melakukan pengujian terhadap konsep-konsepnya dalam penelitian empiris yang meliputi penduduk di enam negara berkembang. Dari penelitiannya tentang pembentukan manusia modern mereka menyatakan ada tiga hal untuk merubah menjadi manusia modern yaitu : pendidikan, pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa. Pendapat ini mendukung pendapat Daniel Lerner yang menekankan pentingnya media massa sebagai lembaga yang mendorong proses modernisasi.
Adapun H.A.R. Tilaar menjelaskan adanya beberapa teori tentang modernisasi :
1. Teori Historis
Menurut teori historis mengenai modernisasi, maka yang dipakai ialah masyarakat maju atau masyarakat barat. Oleh sebab itu modernisasi diartikan sebagai westernisasi. Menurut Samuel Eisenstadt, pengertian ini memang telah muncul sejak abad ke 17 –19 di Eropa pada masa Aufklarung dengan rasionalismenya. Konsep ini merambat dari Eropa dan Amerika Utara ke Asia pada abad ke-20. Menurut penglihatan More, modernisasi merupakan transformasi total dari masyarakat pra-modern menuju masyarakat modern, yaitu suatu masyarakat yang telah berkembang teknologinya serta organisasi sosial yang mendukungnya. Inilah yang dijadikan kriteria dari negara ekonomi maju dengan politik yang sudah mapan. Seolah-olah hanya negara Industri maju di Eropa dan Amerika Utara-lah yang mempunyai hak dijadikan acuan suatu masyarakat modern.
2. Teori Relativisme
Berbeda dengan teori historis mengenai modernisme, mak teori relativisme tidak menjadikan Eropa dan Amerika Utara sebagai episentrum masyarakat modern. Menurut teori ini episentrum dari modernisasi adalah berpindah-pindah. Mungkin manusia maju pertama di dunia ini ada dilembah sungai Indhus (Idia), di daerah sungai Yang Tse (China), dan di daerah lembah sungai Nil. Kemudian pusat modernisasi berpindah lagi ke Yunani- Romawi dan kemudian berpindah lagi ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Bahkan dewasa ini ada yang beranggapan bahwa episentrum masyarakat modern akan berpindah ke kawasan pasifik.
3. Teori Analitik
Teori ini melihat tingkat modernisasi masyarakat dari berbagai aspek, yaitu aspek ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, stratifikasi, mobilisasi sosial dan agama. Suatu masyarakat modern dalam bidang ekonomi antara lain ditandai dengan penerapan tehnologi berdasarkan ilmu pengetahuan dalam pengembangan kehidupan ekonominya. Dalam bidang pertanian terjadi perubahan dari pertanian subsintensi menjadi pertanian komersial. Demikian pula tenaga yang dipakai, bukan tenaga manusia atau binatang melainkan tenaga mesin. Dalam bidang pendidikan masyarakatnya mempunyai perhatian yang besar terhadap pemberantasan buta huruf. Dalam kehidupan keluarga terjadi hubungan anggota keluarga yang lebih longgar. Stratifikasi dan mobilisasi sosial lebih jelas dan cepat dan didasarkan pada kemampuan perorangan atau bukan karena keturunan. Dalam bidang agama terjadi suatu proses sekularisasi. Demikianlah beberapa teori tentang modernisasi
Melihat beberapa teori diatas modernisasi seolah diinterpretasikan untuk menjelaskan perubahan-perubahan besar dibidang sosial, politik, ekonomi, kultural, dan ideologi yang tidak dapat dicerabut dari konteks historisnya yang terjadi di barat. Bertolak dari sana gelombang raksasa ini menciptakan perubahan-perubahan substantif dan kreatif, hasil sintetis faktor-faktor eksogen dan endogen dalam masyarakat dibelahan bumi yang lain. Namun modernisasi sebenarnya bukan hanya perubahan –perubahan institusional melainkan juga terjadinya perubahan-perubahan kesadaran pada manusia.
Masyarakat modern seringkali didasarkan dengan adanya karakteristik distansi, individuasi, progress, rasionalisasi dan sekularisasi pada kesadaran yang menandai manusia modern. Dengan menempatkan pada kelima proses ini, pertama-tama manusia modern dapat dipahami sebagai makhluk yang tersentak dari keterpukauannya terhadap alam, sehingga mental partisipasi yang membenamkan manusia ke dalam proses-proses kosmos menjadi sikap distansi, manusia mengalami keretakan dari kosmosnya. Proses menjadi sadar ini merayap melahirkan proses desakralisasi dan berlanjut pada tercerai berainya pranata-pranata sosial dari simbol-simbol religius lewat proses sekularisasi. Dari dukungan entitas –entitas kolektifnya muncullah individu yang bereksistensi melalui proses individuasi. Manusia bukan lagi menghuni ruang sosio-mistis, melainkan muncul melampaui masyarakat dan roda tradisinya. Di hadapan manusia alternatif-alternatif dapat diciptakan. Manusia menghayati sejarahnya sebagai perubahan-perubahan unik yang mengarah kepada progress. Seluruhnya ini pada gilirannya akan membentuk kesadaran manusia yang fundamental yang mengalihkan kemampuan naluriahnya kearah rasio lewat proses rasionalisasi. Dengan kenyataan diatas nampak bahwa modernisasi merupakan peralihan dari situasi yang lebih primer, partisipatif, determinatif, dan tertutup ke situasi yang lebih sekunder, distantif, kreatif dan terbuka. Dalam pengertian ini modernisasi dipahami sebagai proses pembebasan, suatu proses yang bergerak menuju penyempurnaannya
B. Peradaban Masyarakat Modern
Tiga belas tahun yang lalu John Naisbitt dan Patricia Abuderbe dalam “Mega Trends 2000 "-nya memprediksikan bahwa umat manusia di dunia ini akan memasuki pintu gerbang abad 21 . Dalam memasuki dasawarsa baru ini trend terpenting yang akan menaungi dan mempengaruhi kehidupan manusia adalah:
1) Boom Ekonomi global
2) Rennaisans dalam seni
3) Munculnya sosialisme pasar bebas
4) Gaya hidup global dan nasionalisme kultural
5) Penswastaan negara kesejahteraan
6) Kebangkitan tepi pasifik
7) Dasa warsa wanita dalam kepemimpinan
8) Abad Biologi
9) Kebangkitan agama milenium baru
10) Kesejahteraan individu
Perubahan di dalam semua segi kehidupan manusia sebagaimana yang dilontarkan futuris terkenal ini tentunya akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Terjadinya perubahan tersebut oleh karena sumber kekuatan dan kemakmuran suatu masyarakat atau negara bukan lagi ditentukan oleh luasnya wilayah maupun kekayaan sumber daya alamnya namun diakibatkan adanya penguasaan dan pemanfaatan ilmu penegtahuan dan tehnologi . Dalam peradaban baru ini terdapat tiga kekuatan yang dominan: 1) Ilmu pengetahuan 2) Tehnologi sebagai penerapan ilmu pengetahuan, 3) Informasi.
Penggunaan rasio sebagai pra syarat masyarakat modern melahirkan ilmu, pengetahuan dan teknologi. Magnis-Suseno mencirikan peradaban masyarakat modern sebagai berikut:1) Masyarakat modern pertama-tama adalah masyarakat yang berdasarkan industrialisasi. Industrialisasi menjadi darah daging masyarakat modern. Industrialisasi menjadi format dasar yang bukan hanya bidang ekonomi, melainkan seluruh kehidupan masyarakat, penghayatannya, way of life nya dan sebagainya. 2) Implikasi dari industrialisasi adalah perubahan total dan mendalam dalam gaya hidup manusia. Perubahan itu menyangkut semua bidang kehidupan dan yang paling mencolok adalah penciptaan jalur-jalur komunikasi lokal, regional dan global yang amat padat dan cepat. Sarana lalu lintas mengalami perkembangan revolusioner dan manusia difasilitasi mesin-mesin yang mempermudah pekerjaan. 3) Industrialisasi tingkat pertama yang sudah dilalui oleh negara-negara industri. Teknologi merupakan ilmu baru, yakni ilmu yang secara khusus meneliti kekuatan-kekuatan alam dengan maksud untuk memanfaatkannya bagi produksi industrial. Gelombang pasca-industri kiranya akan melahirkan masyarakat informasi. 4) Masyarakat modern adalah masyarakat yang kecuali dalam keadaan darurat dan luar biasa tidak mengalami ketergantungan pada alam. Muncul kesan bahwa dengan otonomi rasionya apa saja bisa diciptakan manusia, seolah semua masalah dapat dipecahkan.
Adapun sumber-sumber peradaban masyarakat modern adalah : pertama, kapitalisme dan revolusi industri. Pelbagai bentuk ekonomi kapitalis sudah dikenal sejak sebelum abad ke 17 yang ditandai munculnya kota-kota pelabuhan.Tetapi kapitalisme dalam arti khas sebagai suatu sistem yang merevolusikan perekonomian lahir di Eropa Barat dan Utara (Inggris, Belanda, Belgia,Perancis) dalam abad ke 17. Hakekat kapitalisme adalah bahwa tujuan produksi bukanlah konsumsi melainkan penambahan modal. Kapitalisme bersifat dinamis, sebab selalu berusaha memperluas produksi guna menguasai pasaran.
Sumber peradaban masyarakat modern kedua, adalah munculnya subyektivitas modern. Dengan subyektivitas dimaksudkan bahwa manusia, dalam memandang alam, sesama dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Manusia dalam subyektivitasnya, dengan kesadarannya, serta keunikannya menjadi titik acuan realitas. Subyektivitas dalam konteks ini mengacu pada Hegel dan Sartre. Menurut Hegel (1770-1832) manusia itu bukan substansi, melainkan subyek. Substansi disini dimaksud sebagai kepadatan kebendaan, sebagai sesuatu yang berada di dunia ibarat sebongkah batu di tengah sawah. Sedangkan subyek adalah pusat kesadaran, kesadaran akan kesadaran pusat yang secara kritis melawankan diri terhadap realitas dan dunia. Manusia tidak sekedar hadir dalam dunia, melainkan hadir dengan sadar, dengan berpikir, dengan berefleksi serta mengambil jarak secara kritis dan bebas . Ketiga, rasionalisme. Dengan rasionalisme dimaksud tuntutan agar semua klaim dan wewenang dipertanggungjawabkan secara argumentatif, tanpa pengandaian kepercayaan, jadi dapat diuniversalkan. Sedangkan Segi-segi rasionalisme : pertama adalah kepercayaan terhadap kekuatan akal budi manusia. Segala hal harus dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima sebagai benar, dan sebuah klaim hanya dapat dianggap sah apabila dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Kedua, Penolakan tradisi, dogma dan otoritas di luar pemikiran rasional. Dalam bidang sosial politik, misalnya, rasionalisme menuntut kepemimpinan rasional. Pada bidang agama, klaim dogma tidak dapat begitu saja ditetapkan oleh otoritas religius. Ketiga, Rasionalisme mengembangkan metode baru bagi ilmu, pengetahuan dan teknologi, yakni pengamatan dan eksperimen serta bertumpu pada dalil-dalil ilmiah. Keempat Rasionalisme membawa serta sekularisme. Sekularisme ialah suatu pandangan dasar dan sikap hidup yang dengan tajam membedakan antara Tuhan dan dunia sebagai sesuatu yang duniawi saja. Sekularisme juga menghilangkan unsur-unsur gaib dan keramat.
Disisi budaya Dengan kian merebak dan canggihnya teknologi media, memungkinkan sebuah masyarakat menyaksikan bentuk-bentuk kehidupan dan sistem kepercayaan lain yang berbeda. Sebuah masyarakat juga menyaksikan masyarakat lain dalam macam-macam gaya hidup, orientasi keagamaan yang berlainan, ragam etnis-suku bangsa, perbedaan bahasa dan sebagainya. Bahkan, bukan itu saja, globalisasi seperti yang diungkapkan Anthony Giddens juga merupakan efek jarak jauh (time-space distanciation). Maksudnya, apa yang terjadi pada satu belahan bumi, bisa terjadi efek pada belahan bumi yang lain. Misalnya, teror bom di Bali dengan serta merta mempengaruhi dunia kehidupan masyarakat di belahan bumi lainnya. Pada intinya, kehidupan masyarakat modern saat ini dihadapkan pada pluralitas kebudayaan yang saling mempengaruhi, yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Saling pengaruh di antara ragam kebudayaan ini, jika tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan konflik yang hebat, berkepanjangan dan susah dihentikan.Seperti yang disinyalir oleh Samuel Huntington, garis-garis batas dalam dunia mutakhir (dunia era pasca-Perang Dingin) tidak berasal dari politik atau ideologi, melainkan kebudayaan. Dalam karyanya yang kontroversial ‘The Clash of Civilization" (1993), Huntington berpendapat bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban .
C. PROBLEM MANUSIA MODERN
Modernitas sesungguhnya merupakan pilihan hidup yang niscaya dalam setiap babakan sejarah peradaban umat manusia baik pada masa Yunani kuno, era kejayaan Islam sampai pada masa modern Barat dewasa ini. Tetapi karena modernitas sebagai ide pokok kemajuan (progres) tidak lepas dari ambisi-ambisi berlebihan dari manusia sendiri sebagai pelaku utamanya yang kemudian bertemu dengan situasi-situasi sosial yang tidak selalu vakum dari permasalahan maka pada akhirnya modernitas menampilkan dua wajah yang ambivalen. Satu sisi wajah baik yang positip dan di sisi lain wajah buruk yang negatif. Manusia sebagai aktor dengan segala macam kemajuan yang dicapainya dan segala ambisinya, tetap sebagai sumbu segala persoalan dibalik fenomena modernitas yang berwajah ganda tersebut.
Dunia modern yang banyak menyajikan kisah-kisah agung tentang kemajuan, kisah sukses secara materi, karya ilmu pengetahuan serta tehnologi, agaknya tidak memberikan bekal hidup yang kokoh sehingga orang modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya.
Fenomena modernisme, yang diyakini sebagai pilihan tepat membebaskan manusia dari situasi ketertinggalan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, meski dalam arti terbatas menunjukkan kemajuan yang cukup spektakuler, tetapi juga menyisakan persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks. Penggunaan rasio yang melahirkan kemajuan IPTEK merupakan embrio ekspansi wilayah, imperialisme. Modernisme, dengan demikian, disamping menawarkan kemudahan-kemudahan bagi manusia, juga memproduksi model-model belenggu baru yang jauh lebih dahsyat. Peter L. Berger mengisyaratkan bahwa modernisme yang dicirikan oleh kemajuan IPTEK tidak lebih dari ideologi yang menutup-nutupi kenyataan imperialisme, eksploitasi, dan ketergantungan.
Justifikasi pernyataan Berger ialah kenyataan lahirnya korelasi a-simetris antara bangsa barat yang menguasai dan mendominasi IPTEK dengan seperangkat nilai budayanya dengan bangsa Timur yang diberi atribut: underdeveloped countries atau eufemismenya, developing countries. Korelasi serupa inilah yang oleh Galtung dikatakan merupakan awal kekerasan, yakni situasi manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensial. Hal ini oleh Simon Weil digambarkan secara ekstrim: kekerasan adalah tindakan yang mereduksi seseorang atau kelompok menjadi barang. Tindakan terakhir dari reduksi itu ialah pembunuhan, yakni mereduksi seseorang menjadi mayat.
Suatu hal yang menentukan berkembangnya modernisme adalah peralihan filsafat dasar dari theosentris kepada antroposentris. Yang pertama dimaksudkan bahwa Tuhan menjadi sentra pemikiran kefilsafatan sementara yang terakhir manusia menjadi pusatnya. Dengan Theosentris manusia mengarahakan orientasi dan dasar hidupnya bagi kepenuhan hidup kerohaniahan untuk mencapai keselamatan jiwa, sementara yang terakhir manusia berusaha menggapai kelimpahan dan kenikmatan ketubuhan secara sporadis dan temporer.
Problem modernitas yang dialami dunia kemanusiaan dewasa ini boleh jadi memang bukan semata-mata karena manusia bersifat rasional seperti yang didengungkan oleh zaman modern. Namun rasionalitas yang merupakan elemen intrinsik yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk Tuhan yang terbaik, telah bergeser menjadi rasionalisme, dan manusia menjadi serba organik, sehingga potensi-potensi alamiah manusia seperti hati nurani dan perasaan menjadi marginal dalam struktur perilaku dan kehidupan manusia. Rasionalitas manusia modern juga telah melahirkan ambisi-ambisi manusia yang serba eksploitatif dan tidak jarang mengabaikan kebajikan-kebajikan dan kearifan-kearifan karena pilihan rasional yang bersifat instrumental.
Hal ini juga menjadi keprihatinan dari Hokheimer yang menyebutkan bahwa masyarakat modern ditandai dengan telah terbenamnya akal budi obyektif digantikan dengan akal budi instumental. Akal budi semata-mata menjadi alat dan memang bisa diperalat untuk mendukung dan melestarikan sistem yang ada. Karena hanya menjadi alat maka akal budi kehilangan otonominya, kehilangan sifat kritisnya.
Pengertian akal budi instrumentalis ini berkembang subur dalam tradisi Empirisme dengan ajarannya tentang self-preservation, dimana akal budi hanya dipakai sebagai alat untuk memperhitungkan segala kemungkinan tercapainya tujuan dalam arti subyektif, yakni tujuan yang berguna bagi kepentingan subyek untuk mempertahankan dirinya.
Lawan dari akal budi instrumentalis adalah akal budi obyektif. Akal budi semacam ini tidak hanya ada dalam arti subyektif- tidak hanya ada dalam diri individu-tapi juga dalam arti obyektif, artinya akal ini ada dalam dunia obyektif diluar individu. Jadi sifatnya universal. Meliputi seluruh manusia dalam hubungannya satu sama lain. Berada dalam alam dan semua pertwujudannya.
Gejala sekularisasi yang tumbuh bersamaan dengan rasionalisasi yang naif dalam prakteknya dapat mekar bersama dengan nilai-nilai kebendaan, seperti materialisme, hedonisme dan budaya inderawi lainnya. Dalam budaya modern barat yang dibangun atas faham humanisme- antroposentris, fenomena budaya inderawi itu merupakan suatu pola bagi kebudayaaan untuk menggumuli dan memecahkan persoalan-persoalan hidup secara nyata, telah secara langsung maupun tidak langsung telah menjauhkan manusia dari pertalian ketuhanan.
Para sosiolog melihat gejala krisis manusia modern dengan skala kehidupan masyarakat yang mengggambarkan kemunduran (regresi) sebagai lawan dari kemajuan (progress) sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantahkan. Setidaknya terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat. Pertama berlangsung dalam level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi termasuk didalamnya status dan peran. Kedua berkaitan dengan norma yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan-patokan perilaku yang oleh Durkheim disebut kehidupan tanpa acuan norma.
Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa dibalik modernisasi yang diagungkan manusia sesungguhnya tersimpan gejala yang dinamakan The Agony of Modernisasi.( azab dan sengsara modernisasi). Gejala ini tercermin dengan semakin meningkatnya angka-angka kriminalitas yang disertai dengan menjamurnya tindak kekerasan dalam kehidupan.
Sedangkan Syahrin Harahap menyimpulkan tentang dampak negatif peradaban modern yang dialami manusia modern antara lain:
1) Kemiskinan nilai-nilai spiritual. Tindakan sosial yang tidak mempunyai implikasi dengan materi dianggap sebagai tindakan irasional.
2) Sebagian manusia seakan-akan mengalami kejatuhan dari makhluk spiritual menjadi makhluk material yang menyebabkan nafsu hayawaniyah menjadi pemandu dalam kehidupan.
3) Peran agama digeser menjadi urusan akhirat dan urusan privat.
4) Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam perilaku dan tindakan.
5) Munculnya individualistik.
6) Terjadinya frustasi eksistensisl dengan ciri:
a. Hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, bersenag-senang mencari kenikmatan yang tercermin dengan perilku yang berlebihan.
b. Kehampaan eksistensi diri, hidup serba hampa.
c. Neurosis neogenik yaitu perasaan hidup tanpa arti, tanpa tujuan
d. Terjadinya ketegangan ketegangan di desa maupun kota, antar kaya-miskin maupun konsumerisme dan kelaparan.
Dari beberapa hal diatas tampaklah bahwa modernisme meminggirkan pertimbangan-pertimbangan etis sehingga menggusur nilai-nilai kemanusiaan. Harkat dan martabat manusia ditundukkan di bawah hasrat pemilikan harta dan kesenangan sesaat. Manusia tidak lagi dipandang sebagai suatu realitas sui generis dan khas, yang lebih tinggi, unik dan absolut terhadap alam semesta. Jauh daripada memberi arti (signifikasi) kepada realitas ekstern, sebaliknya realitas itu sendirilah yang secara total menentukan kondisi manusia.
D. MORAL DALAM KANCAH MODERNITAS
Masyarakat modern yang ditandai dengan kapitalisme dan rasionalisasi hubungan sosial, dewasa ini menghadapi persoalan yang pelik terkait jatidiri (identitas) sosial. Masyarakat yang atomistik, impersonal dan penuh persaingan dalam dunia pasar dan kapitalisme, membuat orang tidak lagi menemukan jatidiri individualnya dalam jatidiri sosial. Dalam masyarakat tersebut jatidiri seseorang menjadi abstrak dan berdasarkan pilihan bebasnya sendiri. Kesadaran bahwa seseorang menjadi warga komunitas, sehingga berbuat baik terhadap seluruh anggota komunitas secara keseluruhan , telah menipis bahkan cenderung menghilang.
Moralitas publik tidak lagi dapat didasarkan atas kesadaran untuk mengejar keutamaaan hidup bagi manusia, karena mana yang disebut baik dan mana yang disebut buruk semakin sulit diperoleh kata sepakat. Apa yang secara tradisional dijadikan dasar material, obyektif, dan rasional untuk hidup bermoral, yakni kodrat manusia yang secara ontologis terarah pada Yang baik, kini mulai dipertanyakan karena dianggap tidak sesuai dengan tuntutan kebebasan eksistensial manusia. Moralitas dalam masyarakat modern tidak lagi dilihat dan dihayati sebagai wujud pemenuhan diri, tetapi sebagai pemberi batas-batas yang menjamin kebebasan individu dalam hubungan kontraknya dengan individu yang lain.
Seiring dengan peralihan dari masyarakat tradisional yang relatif homogen, ke masyarakat global yang pluralistik, terjadilah krisis legitimasi yang luar biasa di dalam masyarakat global tersebut. Krisis legitimasi dalam pengertian bahwa tatanan legitimasi masyarakat tradisional sebuah tatanan masyarakat yang didasarkan pada sebuah sistem kepercayaan atau agama mulai kehilangan validitasnya. Hal-hal diatas pada gilirannya akan memunculkan tendensi perlawanan jika sebuah masyarakat coba diatur dengan dan oleh aturan masyarakat lain. Akan lebih kacau lagi jika setiap kelompok masyarakat memaksakan sistem kepercayaannya sebagai yang "paling benar"untuk mengatur masyarakat dunia.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah visi besar untuk mengawal perkembangan masyarakat global saat ini dan di masa depan. Seorang teolog besar abad ini, hans kung, mengajukan sebuah visi besarnya tentang etika global. Dalam karyanya yang berjudul “A Global Ethics For Global Politics And Economics”, Hans Kung menyatakan tak akan ada tatanan baru tanpa sebuah etika dunia yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan (agama) meskipun terdapat perbedaan dogmatis ateis.Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung, konsensus berarti kesepakatan yang memerlukan standar etika fundamental (nilai-nilai universal) yang meskipun terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam agama,bentuk-bentuk kehidupan, budaya, politik, namun dapat diposisikan sebagai basis terkecil bagi kehidupan masyarakat yang pluralistik. Sebuah konsensus global dimungkinkan terwujud di atas moralitas dasar pada beberapa tuntutan fundamental (nilai-nilai universal); seperti kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan semacamnya.
Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus global tidak bersifat subjektif (monologal). Artinya, kebenaran dalam sebuah konsensus tidak bisa didasarkan pada klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang dipikirkan sendiri. Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap klaim kebenarannya sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi hubungan-hubungan sosial . Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti yang dikatakan Habermas, bersifat intersubjektif (dialogal). Melalui dialog yang bebas dominasi, jujur dan terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai etika global dapat dikukuhkan. Tanpa etika global, cepat atau lambat masyarakat modern terancam konflik-konflik dan kekacauan.
Namun, harus juga disadari bahwa etika global ini bukanlah obat mujarab yang langsung memberikan solusi bagi persoalan dunia. Setidaknya, etika global memberi tuntutan dan dasar moral bagi individu maupun tatanan global yang lebih baik. Hans Kung juga tidak naif, bahwa tuntutan etika global ini bukan main sulitnya untuk mahkluk rasional sekalipun. Tetapi, menurut dia, harus ada tuntutan semacam itu dalam dialog yang riil dalam masyarakat global.kalau tidak, dialog akan jatuh pada perspektif etnosentris, entah agama, ras, bangsa, dan kelompok-kelompok kepentingan. Jadi, etika global dalam masyarakat global merupakan sesuatu yang niscaya.
BAB V
PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN
A. Analisis Persamaan Dan Perbedaan Pandangan Al-Ghazali dan Emile DurkheimTentang Pendidikan Moral
Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim sangat menekankan urgensi moral dalam kehidupan manusia dan keduanya juga menekankan pentingnya mentransmisikan moral melalui pendidikan. Namun demikan analisis secara mendalam terhadap pandangan al-Ghazali maupun Emile Durkheim tentang pendidikan moral, seperti yang tercantum dalam bab III akan menemukan banyak hal lain yang memiliki titik-titik persamaan dan perbedaan.
a. Konsep Dan Hakekat Pendidikan Moral.
Pendidikan moral al-Ghazali lebih bertumpu pada sisi kejiwaan anak didik. Ini terlihat dari pandangannya tentang konsep moral. Baginya moral adalah suatu keadaan atau bentuk jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan –perbuatan yang mudah tanpa melalui pemikiran dan usaha. Hal ini pada gilirannya akan memunculkan pendidikan moral yang lebih mengembangkan spirit personality, dimana pendidikan lebih mengarah pada pembentukan insan purna yang saleh, mempunyai kepribadian yang baik, kesucian jiwa dengan adanya unsur moral hikmah, syaja’ah, iffah, dan ‘aadalah dalam dirinya, dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
Berbeda dengan pendidikan moral yang dikembangkan oleh Emile Durkheim yang bersifat sosial. Hal ini terlihat dari pandangan Durkheim tentang moral. Bahwa moral merupakan suatu fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan subyektif. Fakta moral harus dianggap sebagai fenomena sosial yang terdiri atas aturan– aturan atau kaidah-kaidah dalam bertindak yang bisa dikenali dari ciri khas tertentu seperti munculnya disiplin, keterikatan kepada kelompok dan otonomi.
Dengan demikian pendidikan moral dalam pandangan Durkheim lebih mengarah kepada spirit society, dimana pendidikan bukan hanya bertugas mengembangkan seorang individu sesuai kodratnya, atau hanya menyingkapkan segala kemampuan tersembunyi pada individu yang mengganggu penampakannya. Pendidikan menurut Durkheim merupakan sarana sosial untuk mencapai tujuan sosial – sarana dengan mana suatu masyarakat menjamin kelangsungan hidupnya.
Perbedaan hakikat pendidikan moral dari al-Ghazali dan Emile Durkheim tersebut boleh jadi diakibatkan titik pijak awal yang berbeda dan kondisi sosial politik masyarakat pada zaman yang berbeda. al-Ghazali, sebagai seorang sufi dan menekuni filsafat mengorientasikan penelitianya pada hakekat manusia meliputi hati nurani dan al-dzauq yang ada dalam diri manusia, sehingga pendidikan moralnya lebih berbasiskan psikologi, moral manusia berpangkal dari diri dan pendidikan moral merupakan tuntunan mistik pada jiwa untuk selalu berusaha mencari kehidupan akhirat. Sementara Emile Durkheim berangkat dari seorang sosiolog yang melakukan penyelidikan terhadap persoalan moral yang dihadapi bangsanya. Ia tumbuh di tengah kondisi masyarakat Perancis yang carut-marut akibat kegagalan revolusi Perancis. Kegagalan dalam politik yang dialami Perancis berimbas dalam nilai-nilai moral dalam masyarakat. Masyarakat mengalami anomie (keadaaan tanpa acuan moral). Nilai-nilai moral untuk membela bangsa dan tujuan sosial semakin pudar. Sehingga memunculkan pandangan Durkheim bahwa pendidikan moral harus memberikan kontribusi positif dalam menata masyarakat dan bangsanya.
b. Tujuan Pendidikan Moral
Menurut al-Ghazali tujuan dari perbuatan moral adalah kebahagiaan yang identik dengan kebaikan utama dan kesempurnan diri. Kebahagiaaan menurut Al-Ghazali terbagi menjadi dua macam : kebahagiaan ukhrawi dan kebahagiaan duniawi. Menurutnya kebahagiaan ukhrawi adalah kebahagiaan yang utama sedangkan kebahagiaan duniawi hanyalah metamorfosis.
Orientasi dan tujuan pendidikan moral al-Ghazali mengkristal pada upaya terbentuknya insan kamil menuju pendekatan diri kepada Allah, karena pada hakekatnya manusia diciptakan sebagai hamba Allah. Akan tetapi konsep pendidikan moral al-Ghazali pada hakekatnya juga tidak melupakan kehidupan dunia sama sekali. Kehidupan dunia adalah sisi lain dari peran manusia dalam proses pendekatan diri kepada Allah. Pandangan ini berdiri atas prinsip karena manusia juga diciptakan sebagai khalifah Allah yang bertanggung jawab atas lestari dan harmonisnya alam.
Namun demikian dalam ternyata dalam pendidikan moralnya, al-Ghazali tidak mengulas lebih lanjut tentang sisi-sisi pembentukan moral anak didik dalam kaitannya dengan hubungan dengan masyarakat. Ini artinya bahwa pendidikan moral al-Ghazali lebih menitik beratkan pada pembentukan moral individu yang baik secara individual.
Berbeda dengan orientasi pendidikan moral yang diungkapkan oleh Durkheim, yang lebih menitikberatkan pada terbentuknya masyarakat yang harmonis dan terciptanya struktur-struktur sosial yang baik dalam masyarakat, melalui munculnya kesadaran kolektif sehingga tercipta ekuilibrium sosial dalam masyarakat. Menurutnya individu yang baik adalah individu yang mematuhi kaidah, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat serta mampu bertindak demi tujuan sosial dan masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam pendidikan moral Emile Durkheim, kepribadian anak didik dalam rangka penanaman sifat-sifat baik bagi dirinya dan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan diri kurang begitu tergarap dengan baik.
Dari perbedaan diatas menunjukkan bahwa tujuan pendidikan moral Al-Ghazali lebih komprehensif yakni memuat tugas manusia baik sebagai hamba Allah maupun khalifah fil ardh, menghargai sisi-sisi kemanusiaan dari individu sebagai bagian dari proses individuasi. Adapun tujuan pendidikan moral Emile Durkheim lebih bercorak humanisme- antroposentris. Sehingga hasil konklusi yakni pendidikan moral yang diarahkan pada pembentukan pribadi yang mempunyai kesalehan spiritual dalam hubungannya dengan Allah maupun kesalehan sosial dalam hubungannya dengan sesama manusia merupakan sesuatu yang niscaya.
c. Sumber Pendidikan Moral
Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim mengakui adanya otoritas moral tertinggi dalam kehidupan manusia. Otoritas moral dipahami sebagai sesuatu yang menyimpan pengaruh kuat dengan memaksakan semua kekuatan moral yang berada diatas individu. Otoritas tersebut memaksa manusia untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai dengannya, dan menjadi guiding principle dalam kehidupannya.
Namun demikian sumber yang menjadi otoritas moral antara al-Ghazali dan Emile Durkheim sangatlah berbeda. Bagi al-Ghazali tidak ada semacam hukum, tatanan, ataupun struktur dasar yang didalamnya mampu membangun tindakan moral. Satu-satunya basis moral yang valid adalah wahyu. Rasio manusia tidak bisa dianggap sebagai fondasi moral. Moralitas yang dibangun berdasarkan rasio akan sia-sia. Dengan mengatakan hal ini, al-Ghazali mengabaikan aspek penting dalam wacana moral bahwa subyek atau pelaku tindakan moral adalah manusia. Disamping itu al-Ghazali lupa bahwa agama pada dasarnya dibuat demi kesejahteraan manusia, bukan untuk kesejahteraan dan keuntungan Tuhan. Penolakan terhadap fungsi rasio, dengan bersandarkan wahyu dan anugerah Tuhan untuk mengetahui tindakan moral yang sesungguhnya dan menawarkan suatu metode baru melalui bimbingan syaikh secara ketat. Pandangan al-Ghazali yang demikian memunculkan apa yang disebut etika religius.
Sedangkan Emile Durkheim menyebutkan bahwa pemilik otoritas moral adalah masyarakat dengan catatan masyarakat dipahami sebagai kesadaran kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu dalam membentuk otoritas moral, sehingga memanifestasikan dirinya dalam aturan-aturan imperatif bagi individu. Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai unsur pengganti agama sebab ia merupakan makhluk moral yang betul-betul berakar dari realitas empiris yang dapat disentuh melalui penginderaan dan rasio, sementara Tuhan tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan. Moralitas yang dibangun Durkheim ini dengan demikian adalah moralitas sekuler dengan menolak agama sebagai sumber otoritas moral. Durkheim menganggap sumber moralitas haruslah fakta sosial yang dapat dikaji dan diamati secara empiris dengan mengedepankan fungsi rasio manusia.
Dengan demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara Al-Ghazali dan Emile Durkheim dimana Al-Ghazali membangun moralitasnya berlandaskan wahyu sehingga bercorak etika religius, sementara Durkheim menolak landasan moral dari agama, Sumber pendidikan moralnya adalah masyarakat dengan berlandaskan rasio dan fakta sosial dalam masyarakat sehingga bercorak rasional, ilmiah dan sekuler.
d. Materi Pendidikan Moral
Banyak pakar pendidikan moral, filsuf moral sampai sekarang ini masih berseberangan dalam menyikapi muatan pendidikan moral. Pendidikan moral harus mengajarkan isi (content) ataukah proses. Sebagian Filsuf, pendidik, dan pakar-pakar pendidikan moral tetap berpegang pada satu pandangan bahwa pendidikan moral haruslah mengajarkan isi moral tertentu atau paling tidak, pelbagai pandangan dasar tentang moral. Tegasnya pendidikan moral harus mampu mentransmisikan ideologi moral. Sementara sebagian filsuf, pendidik dan pakar pendidikan moral yang lain berpendapat berbeda.Mereka lebih menekankan pada proses. melihat keragaman dalam menyikapi hakikat moralitas, sebagai konsekuensi logis dari kehidupan modern, pendidikan moral harus berorientasi kepada upaya mengajarkan proses moralitas. Pendidikan moral harus lebih berorientasi kepada upaya pengembangan peserta didik dalam mengoperasionalkan proses umum utamanya dalam menyikapi persoalan moral.
Melihat pandangan keduanya seperti dikemukakan diatas, penulis melihat materi pendidikan moral Al-Ghazali lebih bertumpu kepada pandangan bahwa pendidikan moral haruslah mengajarkan isi moral tertentu atau paling tidak, pelbagai pandangan dasar tentang moral. Tegasnya pendidikan moral harus mampu mentransmisikan ideologi moral yang bersumber pada nilai-nilai yang bersumber dari agama. Nilai-nilai tersebut sedapat mungkin menjadi acuan dalam perilaku sehari-hari.
Adapun pandangan pendidikan moral Durkheim tidak merupakan daftar-daftar urutan tentang kebaikan moral yang harus diajarkan kepada peserta didik. namun merupakan kurikulum yang tersembunyi (hidden curiculum), yang proses penanaman nilai-nilai moralnya sangat bergantung dari peranan guru dan masyarakat. Materi pendidikan moral lebih bersumber pada norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
e. Metode Pendidikan Moral
Metode pendidikan moral yang dikemukakan al-Ghazali dan Emile Durkheim dalam penerapan praktis pendidikan memiliki kecenderungan paradigmatis yang sama. Keduanya menekankan pendidikan moral sebagai upaya membentuk pribadi yang bermoral. Keduanya menekankan pada peran sentral guru atau pembimbing moral dengan konsep teacher centered yang lebih menekankan pendidik yang otoritatif dalam metode pembelajarannya.
Persamaan kecenderungan al-Ghazali dan Emile Durkheim diatas berimplikasi pada penerapan yang hampir sama dalam metode pembelajaran yang dibangunnya. Karena bersifat teacher centered maka metode pendidikan moral mereka lebih menekankan peran sentral guru seperti: metode pembiasaan, metode keteladanan dan disiplin
Namun ada hal yang berbeda dimana sebagai seorang sufi al-Ghazali juga menggunakan metode tazkiyah an-nafs yakni dengan penyucian jiwa melalui bimbingan yang ketat dari syaikh yang tidak dimiliki oleh Emile Durkheim , sedangkan Durkheim menggunakan metode penerapan hukuman dan penggunaan sekolah dan keterikatan pada kelompok.
f. Posisi Dan syarat Pendidik Moral
Guru (pendidik moral) dalam pandangan al-Ghazali maupun Emile Durkheim memiliki peran sentral sebagai subyek yang cukup menentukan berhasil tidaknya pendidikan moral. Hal ini berkaitan dengan konsep teacher centered dalam pendidikan moral mereka. Konsep seperti ini memandang anak didik sebagai obyek yang pasif sehingga pengajaran moral yang berlangsung merupan transfer dan transmisi dari guru
Namun begitu terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara al-Ghazali dan Emile Durkheim berkaitan dengan kualifikasi seorang pendidik moral. Menurut al-Ghazali seorang pendidik moral haruslah mencerminkan sifat-sifat baik dalam dirinya, mampu mengamalkan ilmu dan amal dan juga berfungsi sebagai waratsatul anbiya’ di bumi. Konsep demikian menganggap bahwa peran dan tugas guru tidak hanya mempersiapkan anak didik bermoral baik dalam kehidupan dunia semata, namun juga mempersiapkannya menghadapi kehidupan akhirat kelak.
Adapun Emile Durkheim dalam pandangannya tentang pendidik moral lebih mendasarkan pada kecakapan dan kewenangan profesional, menjadikan dirinya sebagai simbol idola dan teladan bagi peserta didiknya. Kualifikasi yang ditekankan kepada pendidik tidak mendasarkan pada moral yang baik kepada Tuhan namun hanyalah kepribadian sosial sebagai mata rantai masyarakat dalam mencapai tujuan sosialnya .
Relevansi Pendidikan Moral Al-Ghazali dan Emile Durkheim Dalam Masyarakat Modern
Agama dalam masyarakat modern saat ini dihadapkan kepada berbagai permasalahan sekaligus tantangan sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari perubahan dalam skala besar (wide scale of change) yang melanda hampir seluruh sektor kehidupan manusia. Diantara masalah atau tantangan tersebut adalah runtuhnya moralitas manusia. Ketidakpedulian terhadap nilai-nilai moral akan mengakibatkan arah dan tujuan perkembangan peradaban manusia menjadi tidak jelas.
Adalah tanggungjawab agama untuk menjaga dan menumbuhkan kesadaran serta komitmen manusia kepada nilai-nilai moral, sehingga dampak negatif dari globalisasi dapat dikendalikan. Agama melalui pendidikan moral dapat membantu anak didik memahami esensi dan arti penting nilai-nilai moral dan mampu mengembangkan segala potensinya mewujudkan nilai-nilai moral itu dalam perilaku nyata.
Urgensi pendidikan moral ini mendapat perhatian yang besar baik oleh al-Ghazali maupun Durkheim yang berpandangan bahwa pendidikan moral merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan moralitas dapat ditransmisikan kepada manusia melalui pendidikan.
Namun demikian Pendidikan moral yang ada, baik yang dilakukan lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga keagamaan kurang berdaya dalam mengatasi dampak negatif dari globalisasi (globalization). Kegagalan-kegagalan pendidikan tersebut antara lain diakibatkan pada lemahnya sisi metodologi, perbedaan orientasi antara kebaikan Individu dan sosial ( moral publik versus moral privat) maupun landasan epistemologi pendidikan moral.
Dari sisi metodologi, pendidikan moral yang ada selama ini lebih bercorak doktriner sehingga tidak memberi kesempatan dan ruang yang cukup kepada kepada peserta didik untuk mengunyah ajaran-ajaran moral tersebut secara lebih kritis. Di samping itu pendidikan moral selama ini juga cenderung lebih mengandalkan metode yang bersifat teacher centered dan sebagai konsekuensinya peserta didik dipandang sebagai obyek pasif, yang senantiasa tunduk. Bahkan dianggap sebagai sosok yang perlu diasah dan dibentuk. Model-model pendidikan semacam ini lebih mengarah kepada proses transfer dan transmisi. Metode ini banyak digagas oleh al-Ghazali dan Emile Durkheim.
Namun demikian bukan berarti bahwa metodologi al-Ghazali dan Emile Durkheim tidak berguna sama sekali. Metode teacher centered sebagaimana digagas oleh al-Ghazali dan Emile Durkheim yang menekankan adanya keteladanan oleh guru dalam konteks kekinian memiliki relevansi dan sangat dibutuhkan. Persoalan tiadanya keteladanan juga memiliki andil bagi kegagalan pendidikan moral selama ini. Oleh karena itu pendidikan moral haruslah mengembangkan aspek keteladanan bukan sekedar seruan, ajakan, imbauan, perintah apalagi pemaksaan. Pendidikan moral juga harus berlangsung secara dialogis, kritis bukan dogmatis maupun doktriner.
Kedua, Kelemahan pendidikan moral saat ini adalah tidak adanya integrasi orientasi pendidikan moral secara menyeluruh. Fragmentasi Orientasi pendidikan moral ini terlihat dari pendapat al-Ghazali dan Durkheim. Orientasi pendidikan moral al- Ghazali misalnya hanya menekankan pembentukan individu yang baik dengan munculnya kesucian jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun ia terpisah dari realitas sosialnya. Sedang Durkheim berpendapat pendidikan moral berorientasi pada pengabdian manusia pada tujuan sosial dan masyarakat, dan meninggalkan unsur eksistensi individu.
Orientasi pendidikan moral al-Ghazali yang menekankan kesalehan individual memiliki relevensi dimasa modern seperti sekarang ini dimana manusia mengalami krisis identitas diri, kehampaan makna hidup dan sangat membutuhkan tuntunan dalam dirinya. Namun disisi lain kesalehan individual itu membentuk individu yang kurang peduli dengan realitas sosial masyarakat.
Demikian halnya orientasi pendidikan moral Durkheim yang menekankan pada kesadaran kolektif. Ini menjadi penting jika dikaitkan dengan kecenderungan masyarakat modern saat ini yang lebih mengagungkan individualisme dan mengabaikan tujuan dari tatanan sosial masyarakat yang telah ada.
Sebagaimana diketahui, dewasa ini pengagungan terhadap individualisme meninggalkan problem serius dalam masyarakat, meskipun harus diakui bahwa individualisme membuka kebebasan bagi manusia sehingga kreatifitas dan inovasi dapat tumbuh subur, namun perlu diingat pada saat yang sama individualisme membawa benih-benih kegetiran. Pertama manusia dengan sikap individualistiknya cenderung menuntut kebebasan tanpa batas. Atau sepenuhnya akibatnya peraturan-peraturan normatif terabaikan. Kedua manusia kurang peduli terhadap kepentingan sosial karena lebih sibuk dengan kepentingannya sendiri. Louis Leahy bahkan menyebutkan aliran pemikiran modern menganggap manusia hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Gejala demikian semakin mengakar seiring berdentumnya gelombang modernisasi. Modernisasi yang pada awalnya dianggap sebagai pembawa kemajuan dan perkembangan manusia membawa efek ikutan yang membahayakan. Akibat paling buruk adalah menyusutnya kebudayaan yang berlangsung dalam kehidupan manusia di berbagai bidang dan tempat. Dengan demikian hampir sebagian orang kehilangan makna dan pegangan hidup
Ditengah-tengah realitas seperti ini tradisi lama disisihkan dan dianggap usang, sementara nilai-nilai baru tidak kunjung memberikan kebaikan. Pada gilirannya hal ini menyebabkan rusaknya tatanan sosial, sehingga kebersamaan yang kohesif pudar bersamaan dengan tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan individu dalam kehidupan bersama. Jati diri individu menjadi abstrak dan hanya berdasar pilihan bebasnya sendiri. Kesadaran bahwa seseorang menjadi warga komunitas dan berbuat baik bagi komunitas secara keseluruhan adalah baik untuk diri telah menipis. Bahkan cenderung menghilang. Individualisme dengan sendirinya meletakkan individu diatas kolektifitas, sebaliknya norma-norma tidak memiliki otoritas yng cukup kuat dalam mengukuhkan kesadaran diri. Persis pada titik inilah manusia kembali kehilangan guiding principle dalam menentukan arah kehidupan. Inilah kondisi yang disebut Durkheim sebagai anomie (keadaan hampa moral). Disisi lain orientasi hanya terhadap pencapain tujuan masyarakat semata akan menimbulkan problem serius dalam peneguhan keunikan dan kepribadian individu. Apalagi bila individu tersebut kurang dibekali nilai-nilai agama. Ia akan terombang-ambing ditengah masyarakat. Apa yang dinggap masyarakat baik akan diikutinya dan apa yang dianggap masyarakat buruk akan ditinggalkannya. Padahal dalam masyarakat modern seperti sekarang tidak semua yang baik menurut masyarakat, baik bagi individu. Oleh karena itu hasil sintesis antara orientasi pendidikan al-ghazali dan emile Durkheim dalam wujud integrasi orientasi tujuan mereka menjadi sangat penting dalam masyarakat modern.
Ketiga berkaitan dengan landasan epistemologi. Pendidikan moral dengan transfer dogma-dogma sebagai otoritas moral yang sangat meminggirkan akal pikiran dalam mengunyah dan menginternalisasikan aturan-aturan dan tata moral dan menggantikannya dengan bimbingan secara ketat syaikh seperti yang dikemukakan al-Ghazali, akan meminggirkan fungsi kritis dari akal manusia dalam memamahami realitas. Adalah sangat naif jika pada era modern seperti sekarang ini peran akal pikiran manusia dipinggirkan. Kegelisahan anak muda era modern mencari spiritualitas baru jangan-jangan disebabkan penyempitan ventilasi ruang gerak akal pikiran untuk merumuskan etika keagamaan mereka sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Sekat-sekat budaya, batas-batas wilayah, semakin transparan sehingga akal pikiran tidak mungkin tidak terpengaruh gelombang budaya dan ilmu. Ini tidak relevan dengan semangat rasionalisme yang diusung oleh masyarakat modern. Demikian halnya pendidikan moral Emile Durkheim yang mendewakan akal dan sumber moral adalah sesuatu yanga dapat diindera secara empiris seperti apa yang ada dalam masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan manusia kehilangan nilai-nilai moral yang lahir dari fithrah dirinya dan diganti dengan munculnya akal instrumentalis yang serba materi. Bagaimanapun harus disadari bahwa manusia tidak hanya dibekali potensi akal semata namun juga perasaan dan hati nurani yang juga sangat berguna dalam memberikan tuntunan dalam mencari nilai-nilai moral bagi kehidupan.
Melihat dari hal diatas maka landasan pendidikan moral sudah seharusnya memberikan porsi yang seimbang terhadap akal manusia dalam menterjemahkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Bukan seperti Durkheim yang lebih mengunggulkan rasio dan menolak agama yang berakibat hilangnya nilai-nilai transenden dalam kehidupan, ataupun al-Ghazali yang menekankan peran wahyu secara total dengan meminggirkan rasio. Sehingga etika keagamaan menjadi kaku, rigid dan puritan. Namun haruslah ada keseimbangan dalam keduanya.
Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pendidikan moral diletakkan diatas unsur-unsur nilai agama yang paling mendasar yang dipahami secara komprehensif dari tinjauan berbagai perspektif, termasuk telaah historis yang merupakan hasil refleksi sosio-kultural kekinian. Dengan pertimbangan yang sarat nilai tersebut pendidikan moral akan selalu terbuka terhadap kritik untuk terus melakukan transformasi.
Diantara komponen- komponen nilai yang secara sistemik mengakar dalam agama dan lebih mencerminkan karakter inklusif dan universal adalah sistem nilai kultural, sitem nilai sosial, sistem nilai psikologis, sistem nilai tingkah laku manusia yang memuat interelasi dan interkomunikasi dengan sesamanya. Dengan demikian seharusnya dalam pendidikan moral terkandung nilai-nilai humanitarianisme-transendental yang bisa dijadikan sandaran civil ethics yang mampu menggugah kesadaran intrinsik manusia akan adanya pertanggung jawaban moral dalam menunaikan amanahnya masing-masing sebagai abdi dari sang Khalik. Dan aspek transenden yang merupakan unsur eksistensial yang ada dalam setiap diri manusia sebagai human being yang selalu berusaha melewati batas kemanusiaannya atau apa yang disebut transendensi diri menuju kasalehan ritual dan kesalehan sosial.
Pendidikan moral juga harus mempunyai visi etis bagi kehidupan masyarakat, berusaha mengantisipasi dampak perubahan sosial dari akibat revolusi industri dan merebaknya kapitalisme yang berakibat adanya kesenjangan antara yang publik dan yang privat sehingga memudarkan tanggung jawab publik dari warga karena kuatnya dorongan pemuasan kepentingan pribadi. Sehingga pendidikan moral mampu melahirkan sentimen moral dan sikap saling menyayangi sesama.
Visi etis moralitas mengandung arti bahwa setiap masyarakat mempunyai suatu kearifan moralitas alamiah yang lahir dari persamaan-persamaan hak asasi manusia dan persaman dalam menunaikan kewajiban-kewajiban moral, yang darinya individu dan masyarakat bersepakat menciptakan kontrak sosial dalam mengabsahkan formasi-formasi sosial yang eksis menjamin kohesi sosial.
Akhirnya terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya pendidikan moral yang dikemukakan oleh Al-Ghazali maupun Durkheim setidaknya memberikan wawasan baru, ide-ide inovatif dan kontribusi masyarakat modern. Bukan untuk menghentikan laju globalisasi dalam masyarakat modern, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran dan komitmen manusia kepada nilai-nilai moral, sehingga dampak negatif dari globalisasi dapat dikendalikan.
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan :
1. Pandangan al-Ghazali tentang pendidikan moral bercorak individual dan religius. Tujuan pendidikan moral dalam pandangan al-Ghazali adalah membentuk manusia yang suci jiwanya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sumber pendidikan moral al-Ghazali adalah wahyu dan melalui bimbingan secara ketat dari syaikh sehingga kurang mengoptimalkan fungsi akal. Materi pendidikan moral al-Ghazali meliputi ilmu dan amal. Metode pendidikan al-Ghazali adalah: metode pembiasaan, metode keteladanan dan metode tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) melalui takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan sifat terpuji. Mengenai peran dan Syarat pendidik moral al-Ghazali menekankan bahwa pembimbing moral adalah warastatul anbiya’ dengan konsep teacher centered.
2. Pandangan Emile Durkheim tentang pendidikan moral bercorak sosial, rasional dan sekuler. Pendidikan Moral menurut Emile Durkheim adalah sarana sosial untuk mewujudkan tujuan sosial. Sehingga tujuan pendidikan moral adalah terciptanya solidaritas sosial dan ekuilibrium sosial dalam masyarakat. Otoritas pembuat moral dalam pandangan Durkheim adalah masyarakat dengan menggantikan peran agama.Materi pendidikan moral Emile Durkheim merupakan kurikulum yang tersembunyi (hidden curiculum). Emile Durkheim menekankan metode pendidikan moralnya dengan disiplin, pembiasaan, penggunaan sekolah sebagai keterikatan dalam kelompok dan metode keteladanan. Mengenai peran dan posisi guru, Durkheim menggunakan konsep teacher centered dimana peran dan posisi guru sebagai mata rantai dan agen moral dari masyarakat sangatlah penting.
3. Baik al-Ghazali dan Emile Durkheim mengakui adanya otoritas moral yang tertinggi sebagai prinsip pengarah (guiding principle) dalam kehidupan manusia. Keduanya juga mengakui bahwa sumber moral adalah partikular. Metodologi pendidikannya mengembangkan konsep teacher centered dan menekankan arti penting metode keteladanan dalam membentuk moral yang baik. Perbedaan antara keduanya terletak pada konsep dan hakekat pendidikan moral, al-Ghazali lebih bercorak individualis dan durkheim bercorak sosialis. Hal ini berakibat pada perbedaan tujuan pendidikan moral. Disisi epistemologi yang otoritas moral keduanya pun berbeda, al-Ghazali menekankan kepada wahyu sedangkan Durkheim menekankan pada masyarakat. Materi pendidikan moral keduanya juga berbeda al-Ghazali menekankan materi yang terapliksikan dalam program pengajaran, sedangkan Durkheim menggunakan hidden curiculum.
4. Urgensi pendidikan moral yang mendapat perhatian besar baik oleh al-Ghazali maupun Durkheim yang berpandangan bahwa pendidikan moral merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, pendidikan merupakan saran dalam mentransformasikannya adalah sangat relevan dengan masyarakat modern yang mengalami krisis kemanusiaan, kehampaan makna hidup maupun disorientasi dalam kehidupannya. Metode keteladanan pun masih diaggap cukup relevan dalam pendidikan moral. Namun demikian konsep pendidikan yang bercorak teacher centered dianggap kurang relevan dengan masyarakat modern. Konsep pendidikan semacam ini kurang menghargai potensi dan bakat yang terkandung dalam diri anak didik. Disisi lain Orientasi pendidikan moral Al-Ghazali dengan menekankan pada wilayah individu semata akan akan melahirkan manusia yang lepas dari realitas sosialnya. Sementara orientasi pendidikan moral Emile Durkheim yang hanya menekankan pembentukan masyarakat yang baik akan melahirkan kurangnya penghargaan pada eksisitensi manusia. Oleh karena itu, integrasi orientasi pendidikan moral keduanya merupakan amunisi yang cukup ampuh dalam menanggulangi krisis manusia modern, menuju terbentuknya kesalehan individual dan kesalehan sosial.
B. SARAN-SARAN
Bertitik tolak dari penelitian yang ada maka penulis memberikan saran untuk proses pendidikan ke depan:
1. Bahwa sudah saatnya pendidikan moral diajarkan secara sistematis dalam lembaga pendidikan formal baik secara eksplisit, ataupun implisit dalam setiap program pengajaran agama.
2. Proses yang berlangsung dalam pendidikan moral hendaknya bersifat dialogis dan transformatif, serta menempatkan peserta didik sebagai subjek sehingga memberikan ruang kepada peserta didik untuk mendayagunakan segala potensinya mencapai kedewasaan berpikir dan kematangan bertindak.
3. Bagi pendidik Disamping dituntut menampilkan dirinya sebagai teladan, juga harus mampu menyampaikan secara arif nilai-nilai moral, mampu menjadi fasilitator dan sekaligus sebagai katalisator dalam instropeksi moral.
4. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini sangat jauh dari kesempurnaan sehingga pembaca diharapkan melakukan penelitian lebih lanjut dalam mempertajam kajian yang ada baik dengan membandingkan tokoh lain ataupun field research sehingga memberikan sumbangn positif bagi sistem pendidikan moral.
DAFTAR PUSTAKA
Atiyah al-Abrasyi, Muhammad, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj. H. Bustami dan Johar Bahry), Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Amin Abdullah, Antara al- Ghazali dan Kant: Filsatat Etika Islam, (Penerj. Hamzah, Bandung: Mizan, 2002.
ِAl-Ghazali, Muhammad, Ihya’ Ulumuddin, (terj. H. Ismail Yakub), Jakarta: CV.Faizan, 1985.
---------, Jawahirul Qur’an: Permata Ayat-ayat Suci, (alih bahasa : Mohammad Luqman Hakiem), Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
----------, al Munqidz minal Dhalal, Kairo : Silsifat al Tsaqofat al Islamiyah, 1961.
A. Sudiarja SJ, “Pendahuluan” dalam Budi Susanto, et al. , Nilai-Nilai Etis Dan Kekuasaan Utopis : Panorama Praksis Etika Indonesia Modern, Yogyakarta : Kanisius, 1992.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Masalah Pembaruan Pendidikan Islam, dalam Ahmad Busyairi dan Sahil, Azharuddin,Tantangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: LPM UII, 1997.
Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman; Suatu Pengantar Tentang Tasawuf, (alih bahasa, Ahmad Rofi’), cet. II, Bandung : Pustaka, 1997.
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, (alih bahasa : al-Baqir), cet. IV, Bandung: Mizan, 1996.
Al-Syaibani OMA, Filsafat pendidikan Islam, (terjemahan Hasan Langgulung), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, cet. VI, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung: Eresco cet. XII, 1993.
AS Homby, EV Galerby dan H. Wakel field, The The Advanced of learner’s Dictionary of current English, London, Oxford University Press, 1973.
Basyuni Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filsuf Muslim, cet. I, Yogyakarta: Al Amin Press, 1997.
Chang, William, Pendidikan Nilai-nilai Moral, Kompas Senin 3 Mei 1999.
Djuretna A. Imam Muhni, Moral Dan Religi Menurut Durkheim Dan Henry Bergson, Yogyakarta : Pustaka Filsafat, 1994.
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, (terj. Lukas Ginting), Jakarta : Erlangga, 1990.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Dadang Hawari, Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Mental, Jakarta : Dana bakti Prima Yasa, 1996.
Dagobert D. Runer,et.al, Dictionary Of Philosophy, New Jersey, littlefield Adam & co, 1971.
Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant dalam Jurnal Filsafat edisi 23 Nopember 1995, Yogyakarta : Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada.
Eko Wijayanto, Etika Global untuk masyarakat Global, dalam Kompas, 20 Januari, 2003.
Esposito, John L, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, (alih bahasa, Eva Y.N), dkk., cet. I, Bandung: Mizan, 2001.
F. Budi Hardiman , Melampaui Positivisme Dan Modernisasi, Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, Yogyakarta : Kanisius, 2003.
---------, Kritik Ideologi, Pertautan pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta : Kanisius, 1993.
Frans Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta : Kanisius,1991.
---------, Etika Dasar ; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta : Kanisius, 1994.
Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, Yogyakarta : CV Bina Usaha, 1984.
Giddens, Anthony, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim Dan Max Weber, Jakarta : UI press, 1985.
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1985.
Hasan Sulaiman, Fatiyah, Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali, (terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz), Jakarta: P3M,1990.
H.M. Zurkani Jahja, Teologi : Pendekatan Metodologi, cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
Berger, Peter L., Pikiran Kembara, Yogyakarta : Kanisius, 1992.
H. A. R. Tilaar, Perubahan Sosial dan pendidikan , pengantar pedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta : PT Grasindo, 2002.
Hikmat Budiman, Pembunuhan yang selalu Gagal ; Modernisme dan Rasionlitas Menurut Daniel Bell, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
Hasan al-Basya, Dirasah fi Tarikh al Daulah al-‘Abbasiyah, Kairo : Dar al Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1975.
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara,1987.
Mochtar Lubis, (peny.), Menggapai Dunia Damai, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Haedar Nashir, Krisis Manusia Modern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. II, 1999.
Hungtinton, samuel P., Benturan Antar Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia, (terj. M. Sadat Ismail), Yogyakarta: Penerbit Qalam: 1996.
Kung, Hans, Etika Ekonomi-Politik Global, (terj. Ali Noer Zaman), Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2002.
.
I. Aria Dewanta, Upaya Merumuskan Etika Ekologi Global, Basis No. 01-02 Tahun ke-52, Januari-Februari 2003.
Ibnu Khaldun, Kitab al-‘Ibar wa Daiwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, Beirut : Muassasat Jammal li al-Tiba’ah wa al-Nasyar, 1979.
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (alih bahasa : A. Mas’adi), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. I, 1999.
Inkeless And Smith, Dalam Dr. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga , Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Joesoep Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1977.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern I, (terj. Robert MZ Lawang), Jakarta : Gramedia Cet.,1994.
John Snarey, Moral Education Emile Durkheim Dan Moral Sozialisation dalam Marvin C, Alkind (ed) , Encyclopedi of educational research (new York, Macmillan Publishing Company, 1992) vol. 3.
Khursyid Ahmad, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, (terj. AS Robith), Surabaya : Pustaka progresif,1992.
K. Bertens, Etika, Jakarta : Gramedia, 1994.
Light and Keller, Sociology dan Zenden, The Social experience dalam M. Rusli Karim, Agama, Modernisasi & Sekularisasi, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1994.
L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (terj. Samekto SS), Jakarta: Gramedia,1983.
Margaret Smith, Al-Ghazali The Mystic, Lahore: Kazi Publication, t.t.
M. ‘Umaruddin, The Ethical Philosophy of Al-Ghazali, Delhi: Publisher & Distributors, 1996.
Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum, Bandung : Alfabeta,1993.
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (alih bahasa Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah), cet. I, Surabaya : Risalah Gusti, 1996.
Musya Asy’ari, Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial, Sebuah Bunga Rampai Filsafat, Jakarta : Sinar Harapan, 1984.
Musa Asy’arie, dkk., Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.
Mahmud Arif, Konsep Pendidikan Moral : Telaah Terhadap Pemikiran al-Mawardi, Tesis Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1990.
M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Delhi: Low Price Publications, 1961.
M. Francis Abraham, Modernisasi di Dunia ketiga, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.
Naisbitt, John Dan Abuderbe, Patricia, Mega Trends 2000, Sepuluh Arah Baru Untuk Tahun 1990-an, Jakarta : Binarupa Aksara, 2000.
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, Yogyakarta: Raka Sarasin, 1993.
----------, Metodologi Penelitian kualitatif, Yogyakarta : Raka Sarasin, 1989.
Nasih Ulwan, Abdullah, Pendidikan Anak Menurut Islam : Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, (terj. Khalilullah Ahmad Masykur), Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990.
Nouruzzaman Shidiqi, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983.
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan , Teoritis Dan Praktis, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,1985.
Peristiany, J.G, “pengantar” dalam Emil Durkheim, Sosiologi dan Filsafat, (terj. Soedjono Dirdjosisworo), Jakarta: Erlangga, 1989.
Rosseau, JJ, Kontrak Sosial, (terj. Sumardjo), Jakarta : Erlangga, 1986.
Ross Poole, Moralitas Dan Modernitas; Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme, (terj. F.B Hardiman), Yogyakarta : Kanisius, 1993.
S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam, (terj. Anas Mahyudin), Bandung: Pustaka, 1983.
Sulaiman Dunia, Al Haqiqat Fi Nazli Ulum Al Ijtimaiyat, (Kairo, Daar al Ma’arif 1971.
Seyyed Hossein dan Oliver Leaman, Routledge History of World Philosophies: History of Islamic Philosophy, Part I, London dan New York: Rotledge, 1996.
Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadarah al-Islamiyah, Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Musri, cet. V, 1974.
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Jakarta : PT Gramedia, 1983.
Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Di Era Globalisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1998.
Sutrisno Hadi, Metodologi research I, Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1987.
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1981.
Taufik Abdullah & Van Der Leeden, A.C., Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,1980.
Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin Dalam Perspektif Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia,1999.
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (alih bahasa, Hartono Hadikusumo), cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta : CV Ruhama, 1994.
Yusuf al Qardawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, (alih bahasa : Abrori), cet. III, Surabaya : Pustaka Progressif, 1996.
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1975.
0 komentar:
Posting Komentar