METAFISIKA JAWA DALAM SERAT WEDHATAMA Karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV
METAFISIKA JAWA DALAM SERAT WEDHATAMA ( Karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV )
Oleh Team www.seowaps.com
ABSTRAK
Wacana tentang metafisika yang merupakan hasil pemikiran filsafat yang bertolak dari eksistensi manusia dan alam-dunia sebagai wujud nyata yang dapat ditangkap dengan panca indera. Bukanlah dasar yang dicari dan dipertanyakan untuk mencapai kesempurnaan hidup seperti yang terjadi pada filsuf-filsuf Yunani, melainkan dari mana dan kemana semua wujud ini berasal dan berakhir atau dalam istilah Jawa disebut dengan sangkan paraning dumadi dan manungsa ( awal dan akhir dari alam semesta dan manusia berasal dari Tuhan)
Dalam skripsi ini ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas, pertama; bagaimana konsep metafisika dalam filosofi jawa, kedua; bagaimana konsep metafisika yang terkandung dalam serat Wedhatama, penulis memakai metode analisis dan pendekatan sejarah. Tema yang penulis angkat adalah masalah metafisika jawa yang terkandung dalam serat wedhatama hasil karya K.G.P.A.A Mangkunegara IV, penulis mencoba melakukan analisis terhadap konsep metafisika Jawa khususnya konsep metafisika yang terkandung dalam serat wedhatama.
Sebagai salah seorang pujangga besar,. Mangkunegara IV ssdalam hasil karyanya banyak membicarakan tentang etika, seni, mistik, dan juga metafisika. Dalam serat wedhatama konsep metafisika Mangkunegara IV adalah mencapai hidup tertinggi yaitu mencapai kesatuan kembali dengan Tuhan yaitu deangan jalan penghayatan dan penguasaan batin yang diolah dan dilatih dalam sembah catur sebagai tangga menuju insan kamil.
Konsep metafisika Jawa dalam serat wedhatama menjelaskan bahwa manusia pada hakekatnya hidup pada alam tiga dimensi, dan eksistensi manusia tidak bisa lepas dari ketiga dimensi tersebut, baik yanag berupa alam benda, alam batin maupun alam ghaib. Tujuan hidup tertinggi menurut filosofi Jawa adalah untuk mencapai kesempurnaan, dalam serat wedhatama dijelaskan dan digambarkan bagaimana manusia harus meningkatkan atau mentransformasikan dirinya dari dunia materi yang fana menuju kehidupan mutlak dan kekal kepada Tuhan sebagai akhir dari kesempurnaan yang hakiki.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah berdirinya suatu kerajaan, istana atau keraton mempunyai fungsi ganda. Di samping sebagai pusat pemerintahan, istana berfungsi pula sebagai pusat kebudayaan.[1] Sebagai pusat kebudayaan, Pemerintahan kerajaan banyak menghasilkan peninggalan bersejarah yang bersifat monumental berupa bangunan bersejarah yang mempunyai nilai seni yang tinggi dan masih dapat di saksikan hingga sekarang, Seperti Candi Prambanan maupun peninggalan kerajaan Mataram (Hindu),Candi penataran peninggalan kerajaan Majapahit, Candi Borobudur, Masjid Demak, serta istana Surakarta, dan istana Yogyakarta yang masih eksis hingga sekarang. Peninggalan bersejarah yang bersifat monumental itu dapat pula berupa karya sastra. Misalnya, Ramayana merupakan peninggalan kerajaan Mataram (Hindu), Mahabharata merupakan peninggalan kerajaan Medang, Arjuna Wiwaha (Karya Empu Kanwa) merupakan peninggalan kerajaan kahuripan, Baratayuda (karya Empu Sedah dan Empu Panuluh) merupakan peninggalan kerajaan kediri, negara kertagama (karya prapanca) merupakan peninggalan kerajaan Majapahit dan masih banyak lagi peninggalan-peninggalan kerajaan Islam yang berupa serat dan suluk, seperti; suluk syekh al-Bari merupakan peninggalan kerajaan Demak, serat nitipraya merupakan peninggalan kerajaan Mataram (Islam) dan sebagainya.[2]
Sesudah kerajaan Mataram terpecah menjadi empat kerajaan, seperti, Surakarta, Ngayogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman, yang keempatnya telah kehilangan kekuasaan politik, kenegaraaan, dan otoritas pemerintahan diambil alih di bawah pengawasan pemerintah kolonial Belanda. Dengan kehilangan kekuasan politik dan kekuasaan pemerintahan, maka pemikiran aktivitas istana dapat dipusatkan bagi perkembangan rohani dan kebudayaan spiritual, usaha ini merupakan satu-satunya jalan untuk mempertahankan wibawa istana sebagai pusat kebudayaan jawa.[3]
Maka dimulailah penulisan karya sastra yang tidak lepas dari peran para pujangga sastra yang umumnya memang secara khusus ditunjuk oleh para raja untuk membuat tulisan pesanan yang biasanya berupa seluk beluk kerajaan serta silsilahnya, atau beberapa hal mengenai kebijakan pemerintah yang berisi tentang kebaikan raja dan kerajaan. Akan tetapi kadangkala seorang pujangga juga ditugasi oleh kerajaan untuk menulis syair, babad atau sejarah, ramalan, serta cerita wayang.[4]
Turut sertanya raja membangun sastra jawa sangat berpengaruh terhadap perkembangan sastra jawa di tengah masyarakat. Karena kedudukan raja sebagai tokoh sentral dalam masyarakat jawa yang serba magis dan mistis, sebagian besar masyarakat memandang serat-serat sastra karya para raja sebagai pedoman yang harus diikuti. Bahkan secara fisik, naskah miliknya dipandang sebagai benda pusaka yang memiliki tuah, sebagaimana benda-benda keraton lainnya yang mengandung nilai magis. Faktor tersebut kiranya menjadi salah satu pendukung berkembangnya sastra jawa abad XVIII dan XIX di Surakarta dan Yogyakarta. Masa tersebut oleh Pigeaud dinamakan renaissance sastra Jawa atau kebangkitan sastra Jawa.[5]
Kebangkitan rohani dan kesusastraan Jawa baru ini bermula semenjak pusat kerajaan Mataram di pindahkan dari kartasura ke Surakarta, atau tepatnya sejak tahun 1757 M, dan berlangsung selama kurang lebih 125 tahun, yaitu sampai wafatnya Raden Ngabehi Ranggawarsita tahun 1773 M, yang sering disebut sebagai pujangga penutup (as the coping stone of Javanese write). Atau lebih tepatnya berakhir pada tahun 1881 M, dengan wafatnya penyair kenamaan Aryo Mangkunegara IV. Kebangkitan spiritual ini menghasilkan perkembangan dan kesusilaan (etika) kesusasteraan dan bahasa Jawa, serta kesenian, serta seni tari, musik dan Syair Jawa.[6]
Berkaitan dengan itu karya-karya sastra yang ditulis oleh para pujangga kraton, misalnya Babad Tutur dan serat Wedhatama, tentu saja tak lepas dari keinginan serta imajinasi pribadi penulisnya, kedua karya sastra tersebut dianggap representatif sebagai rujukan bagi sastra Jawa-Islam karena telah berhasil menampilkan refleksi dari keluarga kraton tentang realitas sosial (dalam Babad Tutur) dan serta nasehat atau pitutur bagi masyarakat tentang kehidupan beragama serta adab sopan santun dan kehidupan rumah tangga (serat Wedhatama).
Serat Wedhatama dan Babad Tutur yang yang ditulis oleh KGPA Mangkunegara IV pada abad XIX, merupakan dua buah karya sastra yang barangkali cukup representatif untuk mewakili gambaran umum sastra Jawa abad XVIII-XIX.[7]
Menurut Sri Suhandjati secara keseluruhan, isi serat Wedhatama merupakan sebuah refleksi dari olah cipta seorang penguasa kerajaan yang jauh dari kesan arogan dan feodalistik, sebaliknya pengaruh dari sebuah komitmen yang tinggi terhadap agama dan pelestarian budaya serta kemajauan negara tampaknya sangat kental. Hal ini terlihat dari beberapa karya atau tembang-tembang yang lain, yang tertulis dalam buku tersebut, terutama tentang ajaran sembah, budiluhur, ibadat, akhlak, serta beberapa nasihat tentang kehidupan berkeluarga, termasuk nasihat untuk pawestri (wanita).[8]
Sehingga Wedhatama pada zamannya sangat terkenal. Bukan saja didalam lingkungan istana Mangkunegaran saja tetapi juga istana kasunanan maupun kasultanan Yogyakarta. Bahkan Wedhatama dikenal dan dihafal sampai dipelosok-pelosok desa yang berbahasa Jawa, meskipun hanya satu dan dua bait tetapi mereka itu hafal luar kepala.[9] Sehingga Wedhatama merupakan sebuah falsafah atau petunjuk hidup. Karena Wedhatama bersifat relijius dan menjadi “agama ageming aji kang tumrap neng tanah Jawa”.[10]
Pada masa kini serat Wedhatama masih banyak dipelajari dan diteliti oleh para sarjana baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Akan tetapi kebanyakan yang dipelajari dan diteliti dalam serat Wedhatama adalah unsur etika dan mistiknya. Sementara kalau kita pelajari dan teliti lebih mendalam banyak sekali kandungan dan hikmah dalam serat Wedhatama itu, sebagaimana dikatakan Drs.R.Parmono dalam bukunya yaitu; “pandangan serat Wedhatama dalam beberapa cabang filsafat” didalam naskah penelitian itu dikemukakan ada tiga cabang filsafat yaitu: metafisika, Filsafat manusia,dan etika atau filsafat tingkah laku.[11]
Sehubungan dengan hal diataslah yang mendorong penulis untuk mengungkapkan salah satu pandangannya tentang metafisika Jawa dalam serat Wedhatama yang menurut penulis belum ada yang mengkaji dan meneliti tentang hal itu secara lebih mendalam, dalam rangka memperkaya khazanah kefilsafatan di Indonesia pada umumnya dan filsafat Jawa pada khususnya.
Menurut Marbangun Hardjowirogo, semua orang Jawa itu berbudaya satu mereka berfikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa tengah dengan kota Solo dan Jogja sebagai pusat-pusat kebudayaan. Dalam penghayatan hidup budaya mereka, baik yang yang tinggal di pulau Jawa maupun yang tinggal di pulau-pulau lain bahkan juga yang tinggal di Suriname orientasi nilai mereka tetap terarah ke kota Solo dan Jogja. Oleh sebab itulah kesatuan budaya yang dipegang oleh orang Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia ini mau ataupun tidak, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap budaya Indonesia[12].
Suku-suku bangsa Indonesia khususnya Jawa sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan Animisme-Dinamisme sebagai akar religiositasnya, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka, adanya warisan hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli telah hidup teratur dibawah pemerintahan atau kepala adat, walaupun masih dalam bentuk sangat sederhana. Religi Animisme-Dinamisme yang menjadi akar budaya asli Indonesia khususnya masyarakat Jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.[13]
Seiring perjalan waktu, peradaban Jawa yang berpusat di istana raja-raja Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan perpaduan yang bercorak mistis antara doktrin dan praktek Hindu-Budha dan Islam yang bercorak sinkretisme menghasilkan peradaban yang disebut kejawen. Yang dalam sejarah Jawa kemudian menyatu dalam sebuah filsafat mengenai prinsip-prinsip bertindak dalam kehidupan.
Sebagai sebuah sistem penulisan, Jawanisme itu cukup rumit dan luas meliputi Kosmologi, Mitologi, seperangkat konsep-konsep yang Mistis pada hakekatnya dan hal-hal lain yang serupa itu, muatan-muatan itu memunculkan antropologi Jawa sebuah sistem gagasan tentang watak manusia dan masyarakat yang pada gilirannya, mewarnai etika, adat-istiadat dan gaya hidup. Pendeknya, Jawanisme memberikan sebuah semesta umum pemaknaan ini berisi sekumpulan pengetahuan tentang penafsiran masyarakat Jawa tentang kehidupan sebagaimana adanya dan bagaimana seharusnya.[14]
Kepustakaan Islam kejawen adalah salah satu kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Terutama aspek-aspek ajaran tasauf dan budi luhur yang terdapat dalam perbendaharaan kitab-kitab tasauf.[15] Pada masa Surakarta, tahun 1744 pertumbuhan kepustakaan Islam kejawen mengalami masa gemilang, sesudah kerajaan dipecah menjadi tiga negara Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran, semua kekuasaan dirampas oleh Belanda. Oleh karena itu seluruh perhatian dan kegiatan istana diarahkan untuk perkembangan kebudayaan rohani. Kegiatan ini menghasilkan perkembanagan dalam bidang kesusastraan dan berbagai cabang kesenian. Perkembangan dalam lapangan kesusastraan ini sedemikian indahnya, sehingga para peneliti barat, seperti G.W.J Drewes menilai sebagai masa renaisssance of modern Javanese letters, yaitu masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru. Kebangkitan kepustakaan Jawa berlangsung selama 125 tahun, dari tahun 1757 sampai tahun 1873 (dengan wafatnya pujangga Ranggawarsita), atau bahkan sampai tahun 1881 (dengan wafatnya pujangga Ranggawarsita dan raja Mangkunegara IV).[16]
Pada tahun 1940 Prof. Dr.I.J Brugmans seorang sarjana Belanda dengan gegabahnya mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada “Filsafat Pribumi” (autochtone philosophie) tetapi yang ada adalah “Filsafat Barat” , jadi orang Indonesia tidak dapat berbicara tentang filsafat pribumi (Nusantara) pernyataan Brugman mendapat tanggapan dari Prof.Dr.P.J Zoet Mulder, bahwa memang benar ada perbedaan-perbedaan sistem filsafat Barat dengan pernyataan filsafat Timur (Jawa) itu sendiri. Di Timur orang mempelajari filsafat hampir boleh dikatakan, tidak pernah mempelajari filsafat demi ilmu filsafat itu sendiri dan sebagai arena aktivitas otak seperti yang terjadi di Barat.[17]
Tetapi justru hikmah yang terpenting dan tertinggi yang menjadi puncak dari filsafat di Timur adalah mengenal Tuhan dan dan berhubungan dengan-Nya. Jadi filsafat Timur tidak meninggalkan “ngelmu atau olah rasa, yaitu sarana untuk mencapai kesempurnaan dalam mencapai kamuksan” atau ”kelepasan” sebagai akhir dari segala akhir tujuan hidup.[18] Pernyataan Brugman diatas sangat bertentangan sekali dengan fakta yang terjadi dilapangan dimana kesusastraan Jawa yang bernilai seni tinggi itu dimana mencapai puncaknya pada masa pujangga Ranggawarsita dan Mangkunegaran IV yang menghasilkan dokumen-dokumen tertulis karya para pujangga atau ahli sastra yang mengandung unsur-unsur filsafat Jawa antara lain: Serat Wedhatama, Serat Kalatidha, Serat Centini, Serat Hidayat Jati, Wulang Reh, cerita wayang Mahabharata maupun Ramayana. Belum lagi yang terdapat dalam lagu-lagu rakyat, legenda, mitologi, cerita babad tanah Jawi dan sebagainya.[19]
Dari pemaparan diataslah yang mendorong penulis untuk melakuan suatu kajian dan penelitian lebih mendalam tentang filsafat Jawa terutama tentang konsep metafisikanya dalam serat wedhatama.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas memunculkan beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Bagaimana konsep metafisika dalam filsafat Jawa ?
- Bagaimana konsep metafisika yang terkandung dalam serat Wedhatama ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan terpenting yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah bagaimana mendapatkan gambaran yang jelas dan utuh mengenai konsep metafisika dalam filsafat jawa, khususnya tentang konsep metafisika dalam serat wedhatama.
Penelitian juga diharapkan dapat memberikan pemahaman dan kesadaran tentang arti pentingnya penghayatan dan pengamalan konsep filosofi Jawa terutama tentang konsep metafisika Jawa dalam serat wedhatama sebagai pedoman dari dampak arus globalisasi yang banyak menyesatkan manusia.
D. Telaah Pustaka
Serat Wedhatama yang dikarang oleh; Mangkunegara IV pada abad XIX merupakan falsafah hidup khususnya bagi masyarakat Jawa pada masa itu.[20] Namun dalam perkembangannya hingga kini serat Wedhatama yang berisi tentang petunjuk atau pedoman untuk menjadi manusia yang berbudi luhur dalam mencapai keberhasilan hidup lahir dan batin. Sangat digemari baik kalangan muda dan tua karena Serat Wedhatama adalah suatu kitab yang padat dan ringkas yang disusun dalam bentuk sekar macapat dengan sastra yang amat indah, terutama sangat digemari oleh para pecinta kepustakaan dan kesenian Jawa. Bahkan isi dan kandungan ajarannya tentang budiluhur (etika) disejajarkan dengan etika dan pemikir-pemikir besar dunia Barat dan mirip dengan etika Aristoteles (384-322 SM).[21]
Sehingga sangat wajar bila Serat Wedhatama banyak dikaji dan ditelaah oleh para pemikir-pemikir dan sastrawan dalam negeri maupun Barat seperti terjemahan Serat Wedhatama oleh; Drs. S.Z. Hadisutjipto yang dikeluarkan oleh; yayasan Mengadeg tahun 1975, “Wedhatama Jinarwa” oleh: R.Tanoyo yang diterbitkan oleh Fa. Triyana 29 juli 1963, Soedjonoredjo R.”Wedhatama winardi” dalam huruf Jawa krama inggil disertai penjelasan arti dan maknanya, Menyingkap Serat Wedotomo oleh: Anjar Any Semarang: Aneka Ilmu,1986.
Kajian tentang Serat Wedhatama banyak juga dikaji oleh beberapa mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga yang penulis ketahui kurang lebih ada 12 orang yang mengangkat tentang Serat Wedhatama sebagai kajian dalam skripsinya diantaranya: penelitian yang dilakukan oleh; Siti Nur a’ini sukrillah dengan judul “Konsepsi Moral Dalam kitab Wedhatama” (1981), Bahron Zidni Rais dengan judul “Manusia Menurut Serat Wedhatama” (1983), H.M Mubari dengan judul”Ajaran Mistik Dalam Serat Wedhatama” (1982), Warits Lukmatun Hakimah dengan judul “Muatan Etika dalam Serat Wedhatama” (1998), dan sebagainya. Dari kedua belas judul skripsi yang ditulis tentang Serat Wedhatama tersebut belum ada satupun yang membahas tentang kajian metafisika, kebanyakan skripsi yang mereka angkat tentang persoalan etika, manusia, dan mistik Islam kejawen dalam dalam kajiannya.
Sementara itu dalam bukunya yang berjudul; “Menggali Unsur-unsur Filsafat Indonesia” Yang di tulis oleh; Drs.R. Parmono yaitu “pandangan Serat Wedhatama dalam beberapa cabang Filsafat”. Didalam naskah penelitian yang dikemukakan bahwa dalam serat Wedhatama terdapat tiga cabang filsafat yaitu; Metafisika, Filsafat manusia, dan Etika.
Berangkat dari penjelasan Drs.R.Parmono yang mendorong penulis untuk mengkaji dan menulis skripsi tentang “Metafisika Jawa dalam Serat Wedhatama “ dalam hal ini penulis ingin meneliti tentang kajian metafisika yamg terdapat dalam Serat Wedhatama yang belum banyak diungkap dan dikaji secara luas, dalam hal ini yang penulis ketahui baru Drs. Parmono dalam bukunya “Menggali Unsur-unsur Filasafat Indonesia “ terbitan Yogyakarta: Andi Offset 1985 halaman 94-101, yang juga merupkan hasil penelitian DPPM 1981/ 1982, yang menyinggung persoalan Metafisika dalam Serat Wedhatama, tetapi apa yang diungkapkan dan diteliti oleh Drs.Parmono dalam bukunya tersebut masih secara garis besar dan belum mengungkapkan serta menganalisa seluruh pandangan Serat Wedhatama Mengenai Metafisika secara lebih luas dan mendalam.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba mengungkap kandungan metafisika Jawa yang terkandung yang penulis angkat yaitu “Metafisika Jawa Dalam Serat Wedhatama”.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah kepustakaan (library research),yaitu menelusuri literatur-literatur yang ada relefansinya dengan masalah yang sedang dibahas maka penulis menggunakan dua model sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data skunder.
Sumber data primer adalah yang berhubungan langsung dengan konsep yang sedang dikaji yaitu buku yang mengkaji tentang Serat Wedhatama terutama Serat Wedhatama karya K.G.P.A.A Mangkunegara IV sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari literatur-leteratur lain yang relevan dengan topik kajian ini baik dari buku, artikel, majalah, maupun sumber-sumber terkait lainnya.
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu suatu bentuk penelitian yang meliputi proses pengumpulan data, penyusunan, penjelasan atas data kemudian dianalisis, sehingga metode ini sering disebut sebagai metode analitis.[22] Yaitu berupaya memaparkan isi ajaran metafisika yang terkandung dalam Serat Wedhatama secara sistematis dan sedetail mungkin.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh hasil yang utuh dan sistematis agar memudahkan proses penelitian dan masalah yang diteliti dapat dianalisa secara tajam, maka pembahasan dalam penelitian ini disusun sebagai berikut:
Bab Pertama adalah berupa Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua adalah, metafisika dalam filsafat jawa yang berisi tentang pengertian metafisika, metafisika dalam filsfat Jawa dan metafisika dalam kesusastraan Jawa.
Bab ketiga adalah, merupakan bagian yang mengupas tentang Serat Wedhatama, biografi Mangkunegara IV, penulis Serat Wedhatama, isi ringkas Serat Wedhatama.
Bab Keempat adalah, merupakan inti dari pembahasan Tentang Serat Wedhatama terutama tentang kajian metafisika yaitu; Tuhan sebagai dzat yang mutlak, Dualisme tunggal, Kosmologi dalam Serat Wedhatama, Yang Fana dan Abadi.
Bab Kelima Merupakan bab akhir yang berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan, saran dan kata penutup.
Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD
Tags: METAFISIKA JAWA DALAM SERAT WEDHATAMA Karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV
0 komentar:
Posting Komentar