Konsep Kafaah Menurut KGPAA Mangkunegara IV
Konsep Kafaah Menurut KGPAA Mangkunegara IV
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Islam, persoalan nikah adalah salah satu persoalan penting yang diatur dalam berbagai ajarannya. Al-Qur’an dan As-Sunah, dua sumber utama ajaran islam, banyak berbicara tentang persoalan ini. Secara lebih sistematis dan komprehensif, tema ini dipaparkan di dalam kitab-kitab fiqih dari berbagai mazhab. Dan dalam pandangan Jawa, hubungan seks juga sangat ditabukan dan hanya boleh dilakukan ketika dalam lembaga perkawinan.[1] Hal ini dianut dan menjadi pandangan umum masyarakat Jawa.
Salah satu persoalan yang terkait dengan persoalan nikah adalah persoalan kafa’ah, yakni kesejajaran, kesetaraan, kesepadanan, atau kesederajatan antara pihak calon suami dan pihak istri dalam faktor-faktor tertentu.[2] Persoalan kafa’ah ini menjadi penting di dalam pembahasan tentang nikah, karena fuqaha telah sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak bagi calon istri dan walinya. Maksudnya, calon istri berhak menolak atau menggagalkan pernikahan yang akan atau telah dilakukan oleh walinya, apabila dia menilai calon suami yang dipilihkan oleh walinya tidak sekufu’ dengannya. Demikian pula sebaliknya, wali berhak menolak atau menggagalkan pernikahan yang akan atau telah dilangsungkan di hadapan wali hakim oleh calon istri apabila calon suami dinilainya tidak sekufu’ dengan wanita yang berada di bawah perwaliannya itu.[3]
Di kalangan fuqaha, terdapat perbedaan pendapat mengenai konsep kafa’ah ini, terutama tentang faktor-faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kesekufu’an seseorang. Menurut Mazhab Hanafi, faktor keberagamaan, keturunan, profesi dan kemerdekaan menentukan kesepadanan itu, sementara menurut Mazhab Maliki, hanya faktor keberagamaan yang diperhitungkan dalam menentukan konsep kesepadanan. Dalam pandangan Mazhab Syafi’i faktor keberagamaan, profesi, dan kekayaan menjadi faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kesepadanan seseorang.[4] Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Buku I. Hukum perkawinan Bab IV Pasal 23 Ayat (1) dan (2), apabila wali nasab enggan atau tidask bewrsedia menjadi wali, maka wali hakim bisa bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan dari Peradilan Agama. Dan pada Bab X pasal 61 dinyatakan bahwa tidak sekufu’ tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu’ karena perbedaan agama (ikhtilaf ad-din).
Dalam pandangan masyarakat Jawa sendiri, hubungan seks sangat ditabukan dan hanya bisa dilakukan dalam lembaga perkawinan. Itulah mengapa perkawinan menjadi sangat penting bagi fase kehidupan masyarakat Jawa. Perkawinan ditempatkan sebagai fase penting sama dengan sebuah kelahiran dan kematian. Adagium yang mengatakan bahwa hidup itu adalah lahir, kawin dan mati begitu terkenal dalam masyarakat Jawa.
Dalam memahami pandangan hidup suatu masyarakat, kita bisa mempelajarinya melalui catatan-catatan yang ditinggalkan oleh masyarakat tersebut pada jaman dahulu. Catatan itu bisa bersifat tulisan atau pun dari tradisi yang berkembang pada masyarakat. Jawa abad 19 juga menemukan sebuah cara perlawanan terhadap penjajahan yang betul-betul lahir dari pandangan hidup dan filsafat orang jawa yang kemudian membentuk sosok “Jawa” yang orisinil, yaitu melalui perhelatan perkawinan kerajaan.[5]
Sementara itu, literatur-literatur sastra jawa tidak banyak yang membahas masalah nikah secara umum dan kafa’ah secara khusus. Hal ini sesuai dengan tipologi kepustakaan yang berkembang di Jawa yaitu perpustakaan islam kejawen, di mana di samping menggunakan bahasa Jawa, juga sangat sedikit mengungkapkan aspek syari’at atau bahkan kurang menghargai aspek syari’at, dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum lahir agama islam.[6]
Dari yang sedikit ini, dapat dikemukakan salah satunya adalah Serat Piwulang Warni-warni karya KGPAA Mangkunegara IV. Serat Piwulang tersebut merupakan salah satu genre sastra klasik yang mengandung nilai didaktis pedagogis. Dari segi tahunnya, Serat Piwulang termasuk ke dalam jaman Madya. Piwulang diubah menjadi sebagian pendidikan dan penggunaan waktu senggang kepada para pangeran keluarga sentana (keluarga kerajaan). Dari sisi pengarangnya, Serat Piwulang Warni-Warni dikarang oleh Mangkunegara IV yang mempunyai keahlian dalam berbagai segi. Diantaranya adalah keahliannya dalam segi militer, ekonomi, sastra budaya, dan keagamaan. Keahliannya memerintah wilayah Mangkunegaran, menjadikan kerajaan tersebut mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru pada masa kekuasaan kerajaan Belanda dan merupakan satu-satunya istana yang tradisi militer bangsawan Jawa masih tetap hidup meskipun di bawah kekuasaan Belanda. Dalam bidang ilmu keagamaan, beliau pernah belajar ilmu agama secara serius pada seorang ulama karena kegelisahan hatinya mengingat kepada kehidupan sesudah mati. Dan berhentinya beliau dari menuntut ilmu agama tersebut lebih dikarenakan tuntutan panggilan tugas kerajaan, di mana pada waktu tesebut beliau dalam posisi yang sangat bimbang antara meneruskan menuntut ilmu ataukah mengikuti panggilan kerajaan.[7]
Dalam salah satu Serat Piwulang Warni-Warni tepatnya pada Serat Warayagnya pupuh dhandhanggula disebutkan :
“Mula nora gampang wong arabi, kudu milih wanadya kang utama, ginawe rewang uripe, sarana ngudi tuwuh, myang ngupaya sandang bukti, wewilangane ana, catur upayeku, yogyane kawikana, dhingin bobot, pindho bebet, katri bibit, kaping pat tatariman”.[8]
Terjamah:
Karena itu tidak gampang orang menikah, harus memilih sesorang yang dapat diajak bekerjasama dalam suka maupun duka, dengan mengupayakan apa yang menjadi ciri utama yang terdiri dari keempat ciri yang sebaiknya diperhatikan pertama berkualitas baik, kedua berdarah mulia, ketiga dapat berketurunan, keempat bersifat menerima.
Dan dalam bait selanjutnya beliau mengatakan:
“Papat iku iya uga kanti, dhingin warna kapindhone brana, kaping tri kawibawane, catur pambekanipun, endi kang sira senengi, aja ngawang, menawa kaduwung, karana milih wanadya, datan kena den mupakataken sasami, wuruk neng karsanira”.[9]
Terjemah:
Keempat itu juga harus ada, pertama kecantikannya, kedua hartanya, ketiga kewibawaanya dan keempat prilakunya. Mana-mana yang kamu senangi, jangan sampai salah pilih, karena akan menyesal. Karena memilih seorang wanita itu tanpa dimusyawarahkan, tergantung pada kehendakmu.
Dari kedua bait tersebut dapat diambil dasar memilih pasangan hidup yaitu bobot (berkualitas baik), bebet (berdarah mulia), bibit (dari keturunan yang baik) , tatariman (bersifat menerima), warna (kecantikan), brana (harta), wibawa (kewibawaan), dan pambeka (prilaku). Hal tersebut menandakan bahwa proses pernikahan sudah jauh hari harus diperhitungkan oleh seseorang yang akan menikah, mulai dari proses memilah dan memilih pasangan hidupnya. Sedangkan dalam Islam Nabi SAW sudah pernah bersabda:
تنكح المرأ ة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولد ينها فاظفر بذا ت الدين تربت يدا ك
Addin diletakkan sebagai prasyarat utama dalam Islam sebelum menginjak pada prasyarat yang lain. Sedangkan dalam Serat Warayagnya tidak disebutkan secara eksplisit dan berbarengan dengan sarat yang lain. Dilihat dari pernyataan-pernyataan di atas, tampaknya penulis memiliki kecenderungan untuk mendasarkan kafa’ah pada latar belakang dan status sosial.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok maslah, yaitu :
1. Bagaimanakah konsep Mangkunegara tentang kafa’ah.
2. Bagaimanakah konsep kafa’ah Mangkunegara tersebut ditinjau dari segi fiqh perkawinan islam.
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan.
a. Ingin menjelaskan lebih jauh terhadap hasanah peninggalan kebudayaan jawa dalam hubungannya dengan studi keislaman.
b. Ingin mengetahui relevansi nilai-nilai ajaran perkawinan jawa dan kafa’ah khususnya dengan ajaran islam yang ada.
2. Kegunaan.
Hal penting yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk memeperkaya kajian-kajian keislaman dalam perhubungannya dengan budaya lokal.
D. Telaaah Pustaka
Pembahasan tentang serat-serat jawa hususnya dan budaya jawa pada umumnya telah menarik minat banyak ilmuwan, baik ilmuwan manca maupun dalam negeri. Mulai dari kajian naskah serat-serat peninggalan para pujangga jawa, ataupun kehidupan pujangga tersebut dan juga sejarah tentang kebudayaan jawa lainnya. Tak terkecuali karya-karya Mangkunegara IV dan kehidupannya.
Berdasarkan penelusuran terhadap literatur-literatur yang dapat ditemukan, kajian mengenai konsep kafa’ah dalam perkawinan telah banyak dilakukan. Hampir dalam setiap kitab-kitab fiqih ditemukan satu bab yang secara khusus mebahas permasalahan nikah, demikian pula dalam kitab-kitab fiqh perbandingan. Persoalan kafa’ah ini menjadi bagian dari bab nikah. Ada kalanya ditempatkan pada subbab pasal tersendiri, dan ada kalanya langsung tergabung dengan subbab lain.
Selain dalam kitab-kitab fiqh konvensional, kajian tentang konsep kafa’ah ini terdapat juga dalam literatur-literatur lain, baik dalam buku maupun dalam karya tulis ilmiah lain. Kajian komprehensif telah dilakukan oleh oleh M.Hasyim Assagaf (2000)[10] dalam buku berjudul “Derita Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah”. Kajian ini menggunakan pendekatan historis yang di dalamnya terdapat studi komparatif terhadap pandangan berbagai mazhab fiqh. Assagaf membahas persoalan ini dengan pendekatan historis mengenai tradisi pernikahan dari zaman ke zaman. Kisah hijrahnya keturunan Arab ke Indonesia beserta dinamika yang ada di dalamnya berikut sejarah Hadramaut dibahas sebagai wacana yang relevan dan aktual. Adapun fokus kajian dalam buku ini adalah kafa’ah berdasarkan faktor keturunan, yaitu mengenai kaum syarifah yang diharamkan menikah dengan kaum yang bukan sayyid.
Adapun dalam bentuk karya ilmiah lainnya, penelitian tentang konsep kafa’ah telah dilakukan oleh Makhrus Munajat (1998) dengan judul “Kesepadanan dalam Perkawinan ( Studi Pemikiran Fuqaha Klasik)”.[11] Dalam karya ini, dideskripsikan pandangan para fuqaha periode klasik tentang konsep kafa’ah secara umum. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa di kalangan para fuqaha klasik terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan kriteria kafa’ah. Menurutnya, perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan pemahaman terhadap dalail-dalil syar’i baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Di samping itu situasi dan kondisi lingkungan masyarakat turut mempengaruhi pemikiran mereka dalam beristinbath hukum. Mengenai kafa’ah, Makhrus berkesimpulan bahwa ; dalam islam, ketentuan dan norma-norma kafa’ah tidak ditentukan secara jelas kecuali dalam hal agama dan akhlak, kafa’ah selain dalam hal agama bukan faktor yang wajib dipertimbangkan dalam perkwinan.
Dalam bentuk skripsi, penelitian tentang kafa’ah telah dilakukan oleh Marfu’ah (1998) dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Kafa’ah di Kalangan Masyarakat Keturunan Arab di Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta.[12] Kajian lain dilakukan oleh Halwiyah (1998) berjudul “Kafaah dalam Perkawinan (Analisa Perbandingan Menurut Hukum Islam dan Adat Bugis).[13] Dua penelitian tersebut merupakan penelitian sosiologis dengan melihat praktik kafa’ah di kalangan masyarakat Indonesia. Di dlamnya dideskripsikan dengan jelas praktik kafa’ah yang terjadi di daerah Surakarta dan Bugis.
Sedangkan kajian kafa’ah dengan mengananilis pendapat berbagai mazhab fiqh dilakukan oleh Khusnul Khotimah (1997) dengan judul “Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan (Studi Perbandingan antara Ulama Hanafiyah dan Malikiyah)”[14] dan skripsi Mawar S. Ana (1999) berjudul “Konsep Kafa’ah Dalam Hukum Perkawinan (Studi Komparatif antara Mazhab Ahmadiyah Qodiyan dengan Mazhab Syafi’i)”[15] serta Euis Rabiah Adawiyah (2002) dengan judul “Studi Terhadap Pendapat Mazhab Hanafi tentang Kriteria Kafa’ah dalam Perkawinan”.[16] Kedua skripsi pertama ini merupakan studi komparasi yang membandingkan pendapat beberapa mazhab tentang konsep kafa’ah. Dalam kedua skripsi tersebut dijelaskan beberapa perbedaan dan persamaan di antara pendapat-pendapat fuqaha disertai alasan-alasan yang melatarbelakanginya, kemudian dianalisa sehingga menghasilkan titik temu. Sedangkan skripsi yang ketiga menelaah tentang berbagai pendapat tentang kafa’ah yang ada pada Mazhab Hanafi serta analisis terjadinya perbedaan pandangannya.
Dari penelusuran penulis, karya-karya Mangkunegara IV sudah ada yang pernah mengangkat dan membahasnya, baik dalam bentuk skripsi maupun buku ilmiah lainnya.Yang perlu dicatat di sini adalah skripsi yang ditulis oleh Moh.Zaenuri (1999) dengan judul ”Nilai-Nilai Akhlak Dalam Keluarga Berdasarkan Kajian Serat Piwulang Warni-Warni Karya KGPAA Mangkunegara IV” Fakultas Tarbiyah IAIN Kalijaga.[17]
Dalam skripsi ini dijelaskan tentang nilai-nilai akhlak keluarga menurut serat piwulang dengan titik tekan terhadap ajaran akhlak dan nilai-nilai pedagogis sebagai acuannya. Meskipun mengkaji secara menyeluruh terhadap Serat Piwulang Warni-wari, skripsi ini tidak mengkaji secara dalam tentang hukum-hukum fiqh perkawinan yang ada dan hanya menyoroti nilai-nilai pendidikan keluarga secara umum dan dengan cara pandang moralitas Islam dengan pendekatan pedagogis. Sedangkan karya tulis yang menyoroti khusus terhadap masalah kafa’ah dan perhubungannya dengan hukum perkawinan Islam yang ada pada serat Piwulang Warni-warni, sejauh pengetahuan penulis belum ada yang mengangkatnya.
Dan dari buku-buku yang ada, yang perlu dikedepankan adalah buku karangan Prof.Dr Moh Ardani dengan judul Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV.[18] Dalam buku ini, disinggung sedikit tentang ajaran akhlak dalam rumah tangga dengan mengambil beberapa bait, tidak mencakup isi secara keseluruhannya. Namun demikian, pada akhir buku tersebut dilampirkan ringkasan isi dari Serat Piwulang tanpa penjelasan lebih jauh.Titik tekan penelitiannya pun bukan terhadap Serat Piwulang, tetapi terhadap Serat Wedhatama dengan pendekatan ilmu tasawuf.
Selain buku karya Moh Ardani tersebut, ada buku lain karya Kamajaya berjudul Karangan Pilihan Mangkunegara IV, yang dilatinkan dari buku Serat Anggitan Ndalem KGPAA Mangkunegara IV yang ditulis oleh Dr.TH Piegeud dan dikeluarkan oleh Java Institut Surakarta pada tahun 1928-1934. Dalam buku karya Kamajaya tersebut menuangkan karangan-karangan pilihan Mangkunegara IV dalam bentuk latin jawa dan tidak dijelaskan panjang lebar mengenai isi ajaran yang ada. Penulis hanya memberikan catatan kecil mengenai kata-kata kawi yang sulit seperti candrasangkala dan penjelasan atas judul serat.
E. Kerangka Teoretik
Dalam hukum Islam, syari’ah adalah kodifikasi dari seperangkat norma tingkah laku yang diambil dari al-Qur’an dan al-Hadits. Keduanya adalah pembentuk inti islam-normatif yang telah membentuk tradisi-tradisi yang membentuk ritual umat islam. Orang dikatakan sudah mencapai kesalehan normatif jika telah melakukan seperangkat tingkah laku yang telah digambarkan Allah melalui utusannya Muhammad, sebagai umat islam. Kesalehan normatif adalah bentuk tingkah laku agama di mana kataatan dan ketundukkan makna “islam” secara istilahi merupakan hal yang sangat penting.
Sumber utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping kedua sumber utama ini, terdapat dua lagi sumber hukum islam yang telah disepakati, yakni Ijma’ dan Qiyas. Keempat sumber hukum ini biasa dikenal dengan istilah al-adllat asy-syar’iyah, adillat al-ahkam, usul al-ahkam, al-masadir at-tasyri’iyah li alahkam.[19]
Sementara itu, fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci[20], dan kitab-kitab fiqih merupakan salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran dalam hukum islam.[21] Pada dasarnya hukum islam disyariatkan dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokok (daruriyyah), kebutuhan sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan yang bersifat pelengkap (tahsiniyat). Maka jika daruriyyah, hajjjiyah dan tahsiniyah terpenuhi, maka berarti kemaslahatan tersebut telah terpenuhi.
Hukum Islam dalam mengatur persoalan kafa’ah tentu saja tidak terlepas dari upaya untuk mencapai kemaslahatan tersebut. Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan keluarga sakinah (bahagia) yang penuh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang), maka penentuan kafa’ah tentulah dalam rangka untuk mendukung tujuan tersebut.[22]
Wahbah az-Zuhaily lebih tegas menyatakan bahwa menurut adat, kemaslahatan hubungan suami isteri tidak akan terwujud bila tidak ada kesepadanan diantara keduanya. Karena menurut adat, keberadaan seorang suami besar pengaruhnya terhadap isteri, maka tidak ada kesepadanan ini, suami tersebut menjadi tidak berpengaruh lagi terhadap isterinya. Apabila seorang suami tidak kufu’ dengan istrinya, maka hubungan suami istri tidak akan berlangsung lama, tali kasih sayang antara keduanya akan putus dan jadilah suami bukan pemimpin lagi dalam rumah tangga. [23]
Sedangkan dalam menentukan kriteria kafa’ah, para ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i menentukan kriteria kafa’ahnya dengan nasab (an-nasab), keberagamaan (ad-diyanah), kemerdekaan (al-hurriyyah), profesi (al-hirfah), dan bebas dari cacat (as-salamah min al-‘uyub).[24] Telah menjadi kesepakatan para Fuqaha, faktor agama merupakan faktor utama dalam menentukan kriteria kafa’ah. Akan tetapi, di antara para fuqaha juga menyebutkan beberapa faktor lain. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Dalam realita yang terjadi di masyarakat, faktor-faktor kafa’ah selain agama menjadi pertimbangan dalam memasuki kehidupan rumah tangga. Persoalan kafa’ah merupakan faktor ijtihadiyah yang penentuannya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat tertentu berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan kemaslahatan. Faktor-faktor kafa’ah selain agama telah berlaku di masa perumusan fiqih, akan tetapi rumusan kafa’ah ini hanya sebagai panduan dalam situasi dan kondisi setempat untuk memenuhi kebutuhan lokal dan temporal di mana dan kapan produk pemikiran itu dihasilkan. Oleh karena itu, perbedaan pendapat di kalangan fuqaha adalah wajar, selain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di mana ulama itu hidup, juga disebabkan oleh perbedaan dalam metode yang mereka gunakan. Asy-Syatibi mengemukakan bahwa kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan untuk melindungi kemaslahatan manusia.[25] Pendapat ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh: [26]
أن المقصودالعام لشارع من تشريع الا حكام هوتحقيق
مصالح الناس في هذه الحياة يجلب النفع لهم ودفع الضرر عنهم.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka murni (Library Research). Penelitian difokuskan pada literatur-literatur yang relevan, sesuai dengan kajian ini yaitu buku Nurhop Kolep, “Serat-Serat Anggitan Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV” yang memuat tentang Serat Piwulang Warni-Warni dalam bahasa Jawa. Sebagai pembanding juga digunakan buku Kamajaya “Karangan Pilihan Mangkunegara IV” yang berbahasa latin.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian terhadap teks dan bersifat deskriptif analitik, yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun data, dan untuk memeberikan kandungan teks secara keseluruhan agar dapat dipahami secara kualitatif. Kemudian setelah hasil tercapai, penyusun mencoba menganalisis melalui kacamata hukum islam, dalam hal ini dengan ushul fiqh.
3. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan, yaitu:
- Filologis.
Pendekatan filologis merupakan suatu bentuk pendekatan terhadap karya-karya tulis masa lampau atau naskah-naskah yang bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan pendekatan ini penyusun mengamati dan memahami bahasa yang dipergunakan dalam naskah, yang didasarkan pada teks tertulis. Jadi, dalam penelitian ini, penyusun mengamati dan memahami bahasa yang dipergunakan dalam Serat Piwulang Warni-Warni, untuk mengungkap makna-makna yang terkandung di dalamnya, berdasarkan teks tertulis.
b. Historis.
Yaitu suatu usaha merekonstruksi masa lampau melalui proses mengumpulkan, mengklasifikasi, menyeleksi, menguji dan menganalisis secara kritis sumber-sumber, rekaman dan peninggalan masa lampau. Dalam penelitian ini pendekatan sejarah digunakan untuk mengungkap latar belakang sejarah atau suasana yang mewarnai dan mempengaruhi terciptanya naskah Serat Piwulang Warni-Warni tersebut sehingga akan tercapai suatu penggambaran yang jelas tentang kondisi ketika konsep kafa’ah dalam Serat Piwulang Warni-Warni ini dibuat.
4. Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini merupakan data perpustakaan dan bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Sumber data primer didapatkan dari buku Serat-Serat Anggitan Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara IV jilid 4 dengan teks Jawa yang merupakan buku kumpulan karya Mangkunegara IV yang dibukukan oleh Nurhop Kolep pada tahun 1953. Sedangkan buku sekunder dalam penelitian ini yaitu buku yang berjudul Karangan Pilihan KGPAA Mangkunegara IV karya Kamajaya yang berbahasa latin sekaligus sebagai pembanding buku primer. Buku sekunder yang lain adalah buku “al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV” karya Dr.Moh. Ardani.
5. Analisis Data
Dalam menganalisis data yang sudah terkumpul, maka digunakan langkah-langkah, yaitu :
a. Interpretasi, sambil merekonstruksi teks naskah diterjemahkan dan diselami untuk menangkap arti dan nuansa yang dimaksud secara khas.
b. Analisis Normatif, dari kesimpulan yang diperoleh kemudian disejajarkan dengan nilai-nilai kafa’ah yang ada menurut agama islam.
c. Analisis Induktif, sering disebut juga penalaran induktif, yaitu pembahasan dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik generalisasi yang bersifat umum.
d. Analisis Deduktif, atau sering disebut dengan penalaran deduktif yaitu pembahasan dari yang berangkat dari data umum ditarik generalisasi yang bersifat khusus.
G. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini dibagi kedalam tiga bagian utama yaitu bagian pendahuluan, bagian utama atau isi dan bagian penutup. Bagian pendahuluan diletakkan pada bagian pertama yang terdiri dari latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bagian isi dituangkan ke dalam tiga bab yaitu pertama adalah bab kedua yang berisi tinjauan umum tentang konsep kafa’ah yang terdiri dari lima subbab, yaitu: pengertian kafa’ah, dasar hukum kafa’ah, faktor-faktor penentu kafa’ah menurut fuqaha, dan pengaruh kafa’ah terhadap tercapainya tujuan pernikahan. Kedua adalah bab ketiga yang membicarakan tentang biografi Mangkunegara IV dan pendapatnya tentang kafa’ah. Ketiga adalah bab keempat yang memuat tentang analisis nilai-nilai kafa’ah yang ada pada Serat Piwulang Warni-Warni serta relevansinya dengan kehidupan zaman sekarang.
Sedangkan bab penutup ditempatkan pada bab terakhir dari skripsi ini yakni pada bab kelima yang terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan kemudian diakhiri dengan lampiran-lampiran.
Tags: Konsep Kafaah Menurut KGPAA Mangkunegara IV
0 komentar:
Posting Komentar