JILBAB DALAM PANDANGAN AL-MAUDUDI DAN MUHAMMAD SA’ID AL-‘ASYMAWI
JILBAB DALAM PANDANGAN ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI DAN MUHAMMAD SA’ID AL-‘ASYMAWI
Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama terakhir dan diwahyukan kepada Nabi yang terakhir pula, telah dijamin oleh Allah kesempurnaan ajarannya. Kesempurnaan di sini mengacu kepada aturan-aturan yang terkandung di dalamnya, yang telah mengatur kehidupan manusia dari seluruh aspeknya yang berpusat pada Tauhid mutlak. Tauhid adalah payung utama ajaran Islam, akidahnya mutlak bertumpu pada tauhid, yang juga merupakan ajaran agama Allah yang diwahyukan kepada para rasul sebelumnya. Ajaran ibadah juga bertumpu pada tauhid Uluhiyyah yang mengajarkan bahwa hanya Allah-lah tuhan yang wajib dan berhak disembah. Bidang ahklak diajarkan secara pasti, atas dasar-dasar dan nilai Ilahi, tidak berdasarkan atas nilai-nilai manusiawi yang relatif, situasional dan kondisional. Bidang mu’amalat diajarkan dalam bentuk global yang penerapannya diperlukan pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat yang tentu tetap berpegang pada nilai-nilai transendental.
Ajaran Islam yang mengatur tata cara hidup disebut hukum. [1] Dalam Usul fiqh, hukum didefinisikan sebagai titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yang berupa tuntutan untuk melakukan sesuatu, yang berarti perintah yang wajib dikerjakan, atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, yang berarti larangan dan haram dikerjakan, atau berupa ketetapan hukum itu berupa hal yang mubah (fakultatif) yang berarti boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua hal berkaitan dan salah satu menjadi sebab atau syarat atau menjadi penghalang bagi yang lain. [2]
Salah satu ajaran Islam, yang banyak diklaim sebagai bagian dari budaya Islam adalah jilbab. Ayat-ayat yang berbicara mengenai jilbab ini turun untuk merespon kondisi dan konteks budaya masyarakat, yang penekanannya kepada persoalan etika, hukum dan keamanan masyarakat dimana ayat itu diturunkan. Dalam Islam wanita harus menutup tubuhnya dalam pergaulan dengan laki-laki yang secara hukum tidak termasuk muhrimnya dan tidak boleh memamerkan dirinya. [3]
Dalam Islam, penekanan fungsi jilbab adalah untuk menutup aurat, yaitu menutup anggota tubuh tertentu yang dianggap rawan dan dapat menimbulkan fitnah. Selain itu sebagai wujud nyata bentuk penghormatan terhadap wanita.
Di antara tokoh yang sangat menganjurkan bahkan mewajibkan pemakaian jilbab ini adalah Abu al-A’la al-Maududi. Dalam bahasa yang digunakan oleh al-Maududi adalah Hijab, yang meliputi hijab domestik dan hijab non domestik. Hijab domestik adalah bahwa wanita muslimah dianjurkan tinggal di dalam rumahnya dan menjaga dirinya untuk tidak meninggalkan rumah bahkan untuk melaksanakan salat di masjid berjama’ah. Sedangkan hijab non domestik (publik) adalah dengan memakai pakaian yang tertutup rapat, kecuali apa yang biasa terlihat seperti wajah dan kedua telapak tangan. [4] Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bakar bin Abdullah Abu Zaid. [5] Bahkan tokoh yang kedua ini lebih ekstrim lagi dalam memahami persoalaan ini. Dia bahkan menganggap bahwa wajah dan telapak tangan wajib untuk ditutup ketika berada di luar rumah atau bertemu dengan non muhrimnya.[6]
Namun di sisi lain, masih banyak tokoh yang berpendapat bahwa jilbab bukanlah suatu hal yang wajib dengan berdasarkan argumen bahwa konteks turunnya ayat tentang jilbab tersebut dilatarbelakangi oleh situasi kota Madinah yang kala itu belum mempunyai tempat buang hajat di dalam rumah, sehingga ketika hendak buang hajat, mereka harus ketempat sepi di tengah padang pasir. Kesulitan tentu dihadapi oleh wanita muslimah yang ketika akan buang hajat sering diikuti oleh laki-laki iseng yang menyangka bahwa mereka adalah budak. Untuk membedakan antara wanita muslimah dengan budak tersebut, maka turunlah ayat tersebut. Sehinga dengan memakai jilbab, wanita muslimah dikenali dari pakaian mereka, sehingga mereka terhindar dari gangguan laki-laki iseng. [7]
Diantara mereka adalah Muhammad Sa’id al-‘Asymawi yang berpendapat bahwa hijab dalam pengertian penutup kepala atau di Indoneia dikenal dengan jilbab, bukanlah kewajiban agama. Itu merupakan tradisi masyarakat yang bisa diikuti ataupun ditentang. Karena itu, masalah hijab ini tidak memiliki konsekuensi iman-kafir, selama dasarnya tetap kesopanan dan kehormatan.
Oleh karena itu, menarik sekali apabila kedua tokoh ini disandingkan sejajar untuk melacak lebih jauh bagaimana bisa keduanya sampai kepada kesimpulan yang berbeda dengan menggunakan suatu dasar hukum yang sama yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena masing-masing tokoh di samping mewakili pemikiran yang berbeda juga mewakili dua kelompok yang berseberangan. Al-Maududi sebagai representasi dari kecendrungan fundamentalis dan al-Asymawi yang mewakili kecendrungan ke arah sekulraris, antara normatifitas dan historisitas. Sehingga kedua tokoh ini layak disandingkan untuk memunculkan wacana dialogis dan dialektis antara keduanya.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu dibahas yaitu:
- Bagaimana istidlal hukum yang dikemukakan al-Maududi dan al- ‘Asymawi?
- Apakah yang mendasari istidlal hukum dari al-Maududi dan al- ‘Asymawi sehingga pendapat keduanya sangat bertentangan satu sama lainnya?
C. Tujuan dan Kegunaan
Skripsi ini diharapkan memberikan jawaban atas pokok masalah yang telah dipaparkan. Untuk lebih jelasnya, tujuan pembahasan ini adalah:
1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai argumentasi hukum jilbab yang dikemukakan al-Maududi dan al-‘Asymawi.
2. Untuk menjelaskan landasan berpikir dari argumen hukum yang digunakan oleh keduanya.
Sementara itu kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1. Diharapkan dapat menambah sumbangan pemikiran dan wacana tentang jilbab dengan jalan komparasi antara tokoh-tokoh yang berseberangan.
2. Menambah dan memperluas orientasi pemikiran dalam wacana jilbab itu sendiri.
B. Telaah Pustaka
Sebelum menganalisa lebih lanjut, penulis akan menelaah karya-karya yang membahas masalah ini. Diantaranya adalah Fadwa el-Guindi dalam karyanya yang merupakan hasil dari observasinya di beberapa daerah di Timur Tengah. Dengan judul: Jilbab antara kesalehan, kesopanan dan perlawanan. Di dalam buku ini dinyatakan bahwa jilbab (yang dalam bahasa Inggris disebut Veil atauVoile dalam bahasa Prancis) bisa dipakai untuk merujuk pada penutup tradisional kepala, wajah (mata, hidung, atau mulut), atau tubuh wanita di Timur Tengah dan Asia Selatan.[8] Menurut el-Guindi juga bahwa, Islam tidak menciptakan atau memperkenalkan kebiasaan berjilbab. Jilbab bukan hanya merupakan pakaian yang dipakai oleh wanita an sich, tetapi juga merupakan pakaian yang sering dikenakan oleh laki-laki. Budaya ini telah ada sebelum Islam- dalam budaya Hellenis, Judaisme, Bizantium dan Balkan. Apakah melalui adopsi, penciptaan kembali atau penciptaan independen, berjilbab dalam sistem sosial Arab telah membangkitkan suatu fungsi dan karakteristik makna tertentu yang ada diwilayah Mediterania utara. [9]
Sedangkan menurut Bakar bin Abdullah Abu Zaid, hijab dibagi kepada dua kategori. Yang pertama hijab secara umum dan hijab secara khusus. Yang dimaksud dengan hijab secara umum adalah bahwa kewajiban berhijab adalah untuk laki-laki dan perempuan. Dan perbedaan hijab antara laki-laki dan perempuan ini berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam bentuk ciptaan, kemampuan tugas yang dibebankan kepada masing-masing. Bagi laki-laki misalnya, diwajibkan menutup aurat mulai dari pusar sampai lutut dari pandangan kaum perempuan dan laki-laki lain selain istri mereka dan budak perempuan mereka. Dan juga dilarang bertelanjang baik ketika sendiri maupun ketika bersama seperti ketika berjalan di tengah publik. [10]
Sebagaimana sabda Nabi saw:
لا تمشوا عراة [11]
فالله أحق أن يستحيا منه من الناس [12]
Sedangkan hijab secara khusus diwajibkan bagi seluruh wanita muslimah dengan menutup seluruh tubuh termasuk muka dan kedua telapak tangan, serta menutup seluruh perhiasan yang dipakainya dari penglihatan laki-laki lain (ajnabi). Hal itu didasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ 'amali dari para istri kaum mukminin, mulai dari zaman Rasulullah, Khulafa’ ar-Rasyidin, masa Tabi’in dan pada masa terpecahnya Daulah Islamiyyah menjadi beberapa kerajaan kecil pada pertengahan abad ke-14 H. [13]
Sedangkan menurut Abd al-Halim Abu Syuqqah, hijab berdasarkan penafsirannya terhadap surat al-Ahzab ayat 53 merupakan suatu kekhususan terhadap istri-istri Nabi saw yang berbentuk tabir atau tirai sebagai pembatas antara laki-laki yang bukan muhrim jika berbicara pada istri-istri beliau, sehingga antara laki-laki yang bukan muhrim tidak akan dapat melihat sosok istri Nabi.[14] Demikian pula halnya, istri-istri nabi hanya hanya diperbolehkan keluar rumah untuk keperluan yang mendesak saja, kalaupun keluar rumah, mereka harus menutup wajah dan bagian tubuh lainnya. [15]
As-Sabuni berpendapat bahwa al-Ahzab ayat 53 merupakan dalil atas wajibnya hukum menutup wajah bagi perempuan, karena laki-laki dilarang untuk melihat wajah seorang perempuan yang bukan muhrimnya, meskipun ayat tersebut turun berkenaan dengan istri-istri Nabi, tetapi berlaku untuk semua perempuan dengan jalan Qiyas, sedangkan illatnya adalah seluruh tubuh perempuan merupakan aurat.[16]
Dan diantara skripsi-skripsi yang telah ditulis mengenai permasalahan ini adalah skripsi saudara Nurul Huda, mahasiwa fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadist dengan judul Konsep Hijab dalam al-Qur’an (Studi terhadap Surat an-Nur dan al-Ahzab. Dalam tulisannya, ia mengungkapkan penafsiran ayat-ayat Hijab yang terdapat dalam kedua surat tersebut dengan mengemukakan pendapat tokoh-tokoh tafsir berlandaskan pada riwayat-riwayat hadis\. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, dia membagi hijab kepada hijab sebagai pakaian yang berfungsi untuk menutup aurat dari pandangan orang yang bukan muhrimnya, hijab yang berarti tabir yang memisahkan istri-istri Nabi dari dari laki-laki yang bukan muhrim dan hijab yang mengandung pengertian sebagai etika yang mengatur pergaulan antara laki-laki dengan perempuan bukan muhrim. Selanjutnya dia berpendapat bahwa yang dapat dilaksanakan pada masa sekarang adalah hijab jenis yang berarti pakaian sebagai penutup aurat dan hijab yang berarti etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan tidak semuhrim.
D. Kerangka Teoritik
Reinterpretasi terhadap nas al-Qur’an dan as-Sunnah yang jelas dan gamblang makna yang dikandung redaksinya, merupakan suatu keharuasan dalam setiap periode. Pedoman-pedoman sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab ia turun dalam konteks ruang dan waktu, bisa jadi akan mengalami kegagapan jika diterapkan dalam waktu dan ruang lain. Disamping itu, ketentuan hukum yang terjabar dalam kedua sumber tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh sosio kultural saat diturunkan. Pengaruh ini tentunya menjadi faktor yang harus diperhatikan di dalam memahami dan manafsirkan makna yang dikandungnya. 17
Untuk memahami al-Qur’an dengan benar, maka perlu dipahami posisi nabi Muhammad dengan risalah yang dibawanya, dimana satu sisi untuk memproklamirkan bahwa Nabi sebagai nabi terakhir, yang menimbulkan konsekwensi berupa relevansi dan kesesuaian ajaran beliau sepanjang masa18. Di sisi lain, kehadiran nabi untuk seluruh umat manusia dan seluruh alam. Konsekwensi ajaran yang dibawa nabi juga harus dapat menuntaskan masalah yang dihadapi ketika masa pewahyuan yang sarat dengan konteks masa itu. 19
Fazlur Rahman membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok besar. Pertama, ayat-ayat yang berhubungan dan membicarakan masalah teologi dan etika. Kedua, ayat-ayat kasus yang didalamnya termasuk ayat hukum. Rahman menulis, ajaran besar dalam al-Qur’an adalah monoteis, keadilan sosial, ekonomi, dan kesetaraan. Rahman juga menulis, ajaran dasar al-Qur’an adalah moral, yang dari ajaran moral tersebut mengalir pada penekanan terhadap monoteis dan keadilan sosial. Karenanya Rahman membagi ayat-ayat al-Qur’an kepada, 1) ayat-ayat yang mengadung prinsip umum yang jumlah ayatnya terbatas, dan 2) ayat yang mengandung ajaran khusus (kasuistik) yang jumlah ayatnya jauh lebih banyak.
Demikian juga halnya Tahrir al-Haddad, membedakan antara, 1) ayat-ayat yang mengadung ajaran umum seperti tauhid, etika, keadilan, dan kesetaraan, dengan 2) ayat-ayat yang mengadung ajaran perintah yang biasanya sangat tergantung pada kepentingan manusia, kehususnya sebagai jawaban terhadap masalah yang berkaitan dengan tradisi Arab pra-Islam. 20
Karena itu, sejalan dengan Rahman, al-Haddad membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok yaitu: 1) ayat yang mengandung ajaran prinsip yang bersifat universal yang berlaku dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain, dan 2) ayat-ayat berupa perintah atau ajaran yang aplikasinya bergantung pada konteks sosial.
Di antara ciri-ciri nas normatif universal adalah memiliki ajaran universal, prinsip, fundamental, dan tidak terikat dengan konteks, ruang waktu, tempat, situasi, dan sebagainya. Sementara nas praktis temporal adalah detail, rinci, bersifat terapan, dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Sifat lainnya adalah terikat dengan konteks, ruang, waktu, kondisi, situasi, dan lainnya. Pendeknya, nas praktis temporal adalah jabaran implementasi dari nas normatif universal. 21
Pembagian nas normatif universal dengan nas praktis temporal pada dasarnya sama dengan pembagian nas qat’i dan nas zanni. Dapat juga disebut dengan menggunakan terma nas muhkamat untuk kategori yang pertama dan nas juz’iyyat yaitu partikular atau teknis operasional untuk kategori yang kedua. Kalau nas yang pertama bersifat universal dan bebas dari dimensi ruang dan waktu, maka nas yang kedua sangat bergantung kepada ruang dan waktu. Sehingga dalam epistemologi hukum Islam muncul kaidah 22 :
لا تنكر تغير الاحكام بتغير الازمان و الامكان
Dalam Ijtihad, perbedaan konteks ruang dan waktu akan menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Selain itu, sebuah produk hukum akan kehilangan spiritnya jika ia gagal menyerap nilai-nilai baru dan tidak adaptif terhadap perubahan. Dalam usul fiqh juga kita temukan kaidah yang termasuk dalam lima kaidah pokok yaitu al-Adah Muhakkamah, yang berarti bahwa adat, baik yang bersifat umum ataupun bersifat khusus, dapat dijadikan dasar untuk menentukan suatu hukum.
Menurut al-Asymawi bahwa bercampurnya pemikiran dan retorika keagamaan dengan warisan budaya masyarakat (folklor), tradisi yang terbelakang, dan klise-klise murahan, sugguh berdampak buruk bagi pemikiran keagamaan. Hal ini telah menyebabkan banyaknya perkara yang bercampur-aduk dan menimbulkan kekaburan. Akibatnya, pemikiran keagamaan seolah-olah adalah folklor itu sendiri, demikian juga sebaliknya. Ini juga berakibat pada retorika syari’ah yang bersifat klise yang kemudian dinobatkan sebagai retorika keagamaan yang absah. Dengan iklim seperti ini, konsep-konsep berantakan, retorika bercampur-aduk, dan nilai-nilai dasar agama menjadi melemah. Akibatnya, masyarakat terperosok ke dalam jurang imajiasi dan khayalan yang tidak dapat membedakan antara realitas dengan mitos, tidak dapat memilih mana kebenaran dan mana propaganda belaka. 23
Misalnya, ketika politik mencampuri urusan agama, kepartaian mengintervensi syari’ah, maka keduanya akan membentuk idiologi (kemazhaban) yang totaliter (diktator), lalu perlahan berubah menjadi keyakinan (dogma) yang kaku. Dalam perjalanannya menuju totalitarianisme, dan guna meliputi semua perkara, menyentuh semua unsur, merambah semua aktifitas, maka dia mesti mencampuradukkan pemikiran dengan tradisi yang berkembang dalam masyarakat, menyingkat perjalanannya dengan tradisi yang usang, dan mencampurkan teks-teks dengan klise-klise tertentu. Dengan begitu, perkara menjadi kabur bagi banyak orang dan memusingkan. Kalau sudah begitu, tidak mudah dan tidak mungkin lagi membedakan antara pemikiran keagamaan yang genuin dengan tradisi masyarakat, antara teks-teks agama dan retorika-retorika klise. 24
Jilbab adalah persoalan yang paling jelas terkait dengan hal ini. Dalam masalah ini, sudah sangat jelas percampuran antara pemikiran keagamaan dengan tradisi masyarakat. Akibatnya, banyak yang kesulitan mengungkap akar masalah dan hakikatnya. Sebagian akhirnya mengangap bahwa jilbab adalah kewajiban agama. Sementara yang lain menganggapnya sebagai slogan politik belaka tanpa studi yang serius. 25
Maka untuk menjawab persoalan yang diangkat dalam pembahasan skripsi ini, maka diperlukan beberapa landasan teoritik. Dengan melihat adanya perbedaan yang nyata antara pendapat kedua tokoh, yang berangkat dari sudut pandang yang berbeda pula. Sehingga ada perbedaan dan pertentangan argimentasi, yang dalam istilah ilmu usul fiqh disebut dengan terma ta'arud al-Adillah.
Kata ta'arud secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argument, dan dalil.26
Maka untuk menyelesaikan pertentangan ini, akan dilakukan beberapa langkah, yaitu jam'u wa at-taufiq (mengumpulkan dan mempertemukan), tarjih, nasakh, dan tasaqut al-dalalain.
Yang dimaksud dengan jam'u wa at-taufiq adalah mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya. Sedangkan tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Dan nasakh adalah pembatalan dalil yang sudah ada dengan didasarkan dengan dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum berbeda. Dan tasaqut ad-dalalain adalah memggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah.
Oleh karena itu dari teori diatas, maka menurut penulis bahwa yang lebih cocok untuk membahas masalah ini dengan menggunakan teori jam'u wa at-taufiq, sebab dalil yang mereka kemukakan sama kuat.
Mereka sama-sama berargumen dengan menggunakan firman Allah swt:
وقل للمؤمنات يغضضن من ابصارهن و يحفظن فروجهن ولايبدين إلا ماظهر منها وليضربن بخمرهن علي جيوبهن 27
Lalu berargumen pula dengan firman Allah swt:
يأيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدنى ان يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما 28
Adapun cara yang digunakan untuk mengkompromikan kedua dalil tersebut adalah
1. Membagi kedua hukum yang bertentangan.
2. Memilih salah satu hukum.
3. Mengambil dalil yang lebuh khusus.29
Dalam Islam dikenal istilah maslahah. Maslahah ini dibagi kepada tiga tingkatan. Maslahah yang pertama disebut dengan maslahah ad-daruriyyah, yaitu perkara-perkara yang apabila ditinggalkan akan merusak kehidupan, menimbulkan kerusakan dan timbulnya fitnah kehancuran yang hebat. Perkara ini meliputi lima hal pokok yang harus dijaga ekistensinya, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kedua adalah maslahah hajjiyyah yaitu perkara yang diperlukan untuk menghilangkan dan menghindarkan diri dari kesempitan dan kesulitan dalam hidup. Maka peraturan hidup manusia tidak akan rusak, hanya saja tanpa adanya hal tersebut, maka akan mendatangkan kesulitan dalam menjalankan kehidupan sseperti kebolehan mengqasar salat bila dalam perjalanan. Ketiga, maslahah tahsiniyyah adalah perkara-perkara penyempurnaan yang dikembalikan harga diri, kemuliaan ahklaq dan kebaikan adat istiadat, yang sekiranya tidak ada, tidak akan merusak tatanan hidup dan tidak akan menjatuhkan manusia dalam kesempitan dan kesulitan, tetapi kehidupan akan sunyi dari kemuliaan dan kesempurnaan.30
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dalam menjawab masalah yang ada dalam kajian ini, tetap diperlukan ketiga macam maslahah tersebut. Disamping itu, sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
درء المفاسد و جلب المصالح 31
Maksud dari kaidah tersebut adalah apabila dalam suatu perkara terlihat adanya maslahah dan mafsadah, maka harus ditinggalkan perkara yang mengandung mafsadah. Dengan demikian apa yang dinginkan syari'at Islam dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan al-Qur'an dan al-Hadis\.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, majalah, artikel, dan lainnya yang berkaitan dengan masalah jilbab serta kedua tokoh tersebut, sehingga ditemukan data-data yang akurat dan jelas.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik komparatif yaitu berusaha memaparkan secara jelas pandangan al-Maududi dan al-‘Asymawi tentang jilbab. Dari hasil pemaparan pendapat kedua tokoh tersebut, penulis akan menganalisa serta membandingkan antara dua istdlal/ argumentasi hukum yang berbeda ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah dengan mengkaji dan menelaah berbagai buku, dan karya tulis yang memiliki relevansi dengan kajian ini. Data primer dari pembahasan ini adalah kitab al-Hijab karya al-Maududi dan buku Haqiqat al-Hijab wa Hujiyyat al-Hadis\\ karya al-‘Asymawi yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kritik atas Jilbab. Adapun data sekuder adalah kitab, buku, dan karya tulis lainnya yang membahas tentang masalah jilbab dan kedua tokoh ini.
3. Analisis Data
Adapun analisis data yang akan penulis gunakan adalah analisis kwalitatif yakni setelah data yang diperoleh terkumpul kemudian diuraikan dan akhirnya disimpulkan dengan metode:
a. Induktif ialah mwenganalisa data-data berupa pendapat kedua tokoh yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik menjadi kesimpulan umum.
b. Deduktif ialah menganalisa pendapat kedua tokoh yang bersifat umum untuk ditarik menjadi kesimpulan yang khusus.
c. Komparatif yaitu menganalisa data atau pendapat al-Maududi dan al-‘Asymawi tentang jilbab dengan cara membandingkan pendapat kedua tokoh.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab.
Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah putaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Pada bab Kedua akan dibahas gambaran umum tentang jilbab yang meliputi pengertian, sejarah jilbab, latar belakang diturunkanya ayat yang berbicara tentang jilbab dan wacana jilbab dalam Islam.
Pada bab Ketiga akan dibahas tentang biografi al-Maududi dan al-‘Asymawi yang meliputi riwayat hidup, kondisi sosial budaya, dan pandangan keduannya tentang jilbab. Berpijak dari hal ini, kita dapat membaca pola pemikiran kedua tokoh tentang jilbab ini.
Pada bab Keempat akan dibahas analisis terhadap pendapat al-Maududi dan al-‘Asymawi tentang jilbab.
Bab Kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan seluruh rangkaian yang telah dikemukakan dan merupakan jawaban atas permasalahan yang ada, dan saran-saran yang dapat diajukan sebagai rekomendasi lebih lanjut.
Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD
Tags: JILBAB DALAM PANDANGAN ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI DAN MUHAMMAD SA’ID AL-‘ASYMAWI
0 komentar:
Posting Komentar