Hukum Umroh Studi Komparasi Antara Mazab Maliki dan Mazhab Syafi'i
Hukum Umroh Studi Komparasi Antara Mazab Maliki dan Mazhab Syafii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan manusia dengan Tuhannya, bukan hanya hubungan yang legal atau logis dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya, tunduk di hadapan-Nya dan mentaati perintah-perintah serta hukum-hukum-Nya. Melainkan sesuatu yang harus diiringi dan dihubungkan dengan kerinduan dan kecintaan.[2] Seorang Muslim membutuhkan suatu santapan hati dan bekal cinta. Ia merasa butuh untuk memenuhi harapannya, dan untuk memuaskan rasa dahaganya dari masa ke masa. Ia juga merasa butuh memenuhi gelasnya, namun apalah artinya sebuah gelas yang diisi namun tidak pernah terpenuhi? Ia pun merasa butuh untuk membanjiri gelas yang dipenuhi tapi tidak pernah banjir?[3]
Islam sebagai agama paripurna telah memberikan tuntunan kepada para pemeluknya agar melakukan berbagai kewajiban. Islam telah mensyari’atkan berbagai bentuk ibadah yang dapat membersihkan jiwa seseorang, mengangkat derajat rohani dan jasmaninya serta tidak menyia-nyiakan kepentingan manusia untuk memakmurkan dunianya. salah satu bentuk amal ibadah bagi orang Islam adalah melaksanakan ibadah ‘umrah.[4] Dalam hal ini, ka’bah dan syi’ar-syi’ar Allah yang ada di sekelilingnya, adalah sesuatu yang paling baik untuk merealisasikan keinginannya dan menghibur kerinduan serta kecintaannya.
Umat Islam diwajibkan melakukan berbagai ritual, yang adakalanya ritual tersebut pernah dilakukan umat-umat sebelumnya. Perintah salat, misalnya merupakan bentuk syari’at klasik pada masa Ibrahim AS dan Nabi-nabi sebelumnya, bahkan Gereja Kristen Ortodoks hingga kini juga melakukan ritual salat yang tidak berbeda jauh dengan umat Islam.
Di antara ritual yang amat menggoreskan kenangan dan magis bagi para pelakunya adalah ibadah haji dan ‘umrah. Sesungguhnya ibadah haji dan ‘umrah adalah menapak tilas leluhur kita, Nabi Ibrahim AS yang menginjakkan kaki di kota yang gersang dan tandus, Mekkah al-Mukarramah. Rangkaian ibadah haji meliputi ih}ra>m, wuqu>f di ‘Arafah, t}awa>f, sa’i, mabit di Muzdalifah dan Mina>, melempah jumrah, tahallul, dan dikerjakan secara berurutan. Sedangkan ibadah 'umrah dilaksanakan sama seperti ibadah haji, minus wuqu>f di ‘Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina>, serta melempar jumrah. Ibadah ‘umrah juga dapat dilakukan sewaktu-waktu, berbeda dengan ibadah haji yang telah ditentukan waktunya.
Dilihat dari aspek moral spiritualnya, ibadah ini merupakan puncak taqarrub ilahiyah (upaya pendekatan diri kepada Allah). Sedang dilihat dari aspek sosial edukatifnya ibadah ini merupakan upaya pendekatan kemanusiaan. Dengan demikian, di dalam pelaksanaannya nilai-nilai moral berpadu dengan nilai-nilai sosial. Di samping itu juga diorientasikan untuk menghayati perjuangan Nabi Ibrahim AS dalam meletakkan monumen ajaran tauhid (keesaan Tuhan), sesuatu yang kemudian secara serius juga diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW.[5]
Menurut pendapat jumhur ulama’, ibadah haji disyari’atkan pada tahun 6 H. Namun, menurut Ibnul-Qayyim ibadah haji disyari’atkan pada tahun 9/10 H.[6] Karena pada tahun itu, kaum muslimin di Madinah dan di seluruh tanah Arab menunaikan ibadah haji ke Mekkah yang telah bersih dari berhala-berhala.[7] Dalam pada itu, tidak seorang ulama’ pun yang berbeda pendapat tentang hukum haji. Kesemuanya tanpa kecuali sepakat, bahwa ibadah haji wajib dikerjakan oleh orang Islam yang mampu. Siapa yang mengingkarinya, berarti ia telah kafir.[8] Dalil kewajiban haji adalah firman Allah SWT:
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا [9]
وأتموا الحج والعمرة لله [10]
Sementara itu, para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum ‘umrah, apakah ‘umrah itu wajib atau sunnah hukumnya. Mereka terbelah ke dalam dua kubu. Kubu pertama, yaitu golongan ulama’ yang mewajibkan ‘umrah adalah ulama’ Sya>fi’iyyah [11] dan Hana>bilah. Pendapat ini juga sejalan dengan ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abba>s, dan Ja>bir bin ‘Abdullah dari kalangan sahabat, Sa’i>d bin Jubai>r dan Sa’i>d bin al-Musayyab dari kalangan tabi’in. Kubu kedua, yaitu golongan ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah adalah ulama’ Ma>liki>yyah dan Hana>fi>yyah. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Mas’u>d dari kalangan sahabat.[12]
Kedua pendapat yang berbeda ini tentu amat bertentangan secara diametral. Pendapat yang mewajibkan ‘umrah, mengharuskan seorang muslim agar mengerjakannya tatkala ia telah mempunyai kemampuan fisik dan finansial, dan apabila ia tidak mengerjakannya, maka ia berdosa. Sedang pendapat yang menyatakan ‘umrah itu sunnah, hanya menganjurkan dengan sangat seorang muslim agar mengerjakan ‘umrah, tanpa dikenai sanksi dosa.
Menilik dari kedua implikasi di atas, kiranya perbedaan pendapat tentang hukum umrah menarik untuk diperbandingkan. Dalam skripsi ini, akan diperbandingkan antara pendapat maz\hab Sya>>fi’i dan maz\hab Ma>liki. Maz\hab Sya>fi’i dipilih karena maz\hab inilah yang berkembang luas dan dianut hampir seluruh rakyat Indonesia. Sedang, maz\hab Ma>liki dipilih karena Ima>m asy-Sya>fi’i, sebagai pendiri maz|hab Sya>fi’i pernah berguru dan menimba ilmu dari Ima>m Ma>lik.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu dibahas yaitu:
1. Bagaimanakah istinba>t} yang dikemukakan maz\hab Sya>fi’i dan maz\hab Ma>liki mengenai hukum ‘umrah?
2. Bagaimanakah validitas dalil yang digunakan oleh kedua maz\hab tersebut mengenai masalah di atas?
3. Manakah di antara kedua pendapat di atas yang ra>jih?
C. Tujuan dan Kegunaan
Skripsi ini diharapkan mampu memberikan jawaban bagi pokok masalah yang telah dipaparkan. Untuk lebih jelasnya, tujuan pembahasan ini adalah:
1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai istinba>t hukum ‘umrah.
2. Untuk menjelaskan akurat-tidaknya dalil yang digunakan oleh kedua maz\hab tersebut.
3. Untuk mendapatkan pendapat yang ra>>jih antara kedua pendapat yang bertentangan ini.
Sementara, kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1. Diharapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam disiplin ilmu syari’ah, khususnya ilmu fiqh ibadah komparatif.
2. Diharapkan dapat memperluas cakrawala pemikiran fiqh ibadah dan menambah perbendaharaan informasi pengetahuan hukum Islam.
D. Telaah Pustaka
Sebelum menganalisa lebih lanjut, penyusun akan menela’ah karya-karya yang membahas seputar masalah ini. Salah satu rujukan penting dalam fiqh perbandingan, yaitu Bida>yah al-Mujtahid buah karya Ibn Rusyd secara sepintas membahas hukum ‘umrah. Beliau menerangkan adanya perbedaan pendapat antara kubu ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib, dan kubu ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah. Selain itu, diterangkan pula dalil-dalil apa saja yang menjadi landasan kedua kubu ulama tersebut. Sebab terjadinya pendapat ialah adanya perlawanan hadis-hadis dalam soal ini, serta tentang perintah menyempurnakan apakah berarti wajib atau tidak.Akan tetapi, Ibn Rusyd hanya memaparkan perbedaan pendapat ini, tidak sampai menerangkan mana pendapat yang rajih. [13]
‘Abd ar-Rahman al-Jaziri dalam karyanya kitab al-Fiqh ‘ala al-Maz\ahib al-‘Arba’ah juga menerangkan perbedaan pendapat tentang hukum ‘umrah ini. Beliau juga tidak lupa menerangkan secara ringkas dalil-dalil kedua golongan ulama’ itu. Menurut penyusun, Dalam kitab ini hanya dijelaskan bahwa suatu pekerjaan yang diwajibkan dalam haji juga diwajibkan dalam umroh, begitu juga pekerjaan yang disunnahkan dalam haji disunnahkan pula dalam umroh. Tetapi beliau agaknya cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib karena menempatkan pembahasan ulama yang mewajibkan ‘umrah di atas garis.[14]
M. ‘Ali> as}-S{a>bu>ni> dalam karyanya, Rawa>i’ al-Baya>n: Tafsi>r At al-Ah}ka>m secara sepintas menyinggung tentang hukum 'umrah. Beliau hanya menjelaskan perbedaan pendapat antara ulama Sya>fi’iyyah dan Hana>bilah dengan ulama’ Ma>likiyyah dan Hana>fiyyah dan menyertakan alasan berdasarkan dalil saja. . Beliau, dengan mengutip ucapan asy-Syauka>ni> lebih memilih pendapat yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah.[15]
Ima>m an-Nawa>wi, sebagai ulama’ Sya>fi’iyyah juga menerangkan perbedaan pendapat tentang hukum ‘umrah ini. Beliau menjelaskan bahwa Ima>m asy-Sya>fi’i, dalam qaul qadimnya menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah, dan dalam qaul jadidnya, ‘umrah itu wajib. Beliau juga secara sepintas membahas dalil ulama lain yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah.[16]
Ibn Quda>mah al-Maqdisi> dalam kitabnya, asy-Syarh al-Kabi>r menerangkan adanya perbedaan pendapat antara segolongan ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib dan segolongan ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah. Beliau juga tidak lupa menjelaskan dalil-dalil yang dijadikan pegangan masing-masing golongan tersebut. Namun, beliau sebagai ulama’ Hana>bilah jelas memilih pendapat yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib.[17]
Sejauh penelusuran penyusun, belum ada skripsi yang membahas mengenai hukum umrah pada umumnya.
E. Kerangka Teoritik
Kajian tentang hukum ‘umrah, apakah wajib atau sunnah tentu tidak terlepas dari kajian tentang dali>>l atau sumber hukum sebagai dasar tempat bertolak dalam melakukan penggalian hukum istinba>t al ahka>m. Tanpa lebih dahulu mengkaji dali>>l atau sumber hukumnya, kajian untuk menguaknya akan menjadi tidak utuh.
Para ulama membagi da>lil atau sumber hukum atas dua bentuk. Pertama, da>lil-da>lil yang disepakati keabsahannya, dan kedua, da>lil-da>lil yang tidak disepakati keabsahannya. Empat da>lil atau sumber hukum yang disepakati adalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Para ulama juga bersepakat bahwa istidla>l (proses pencarian sebuah dalil hukum) mengikuti hirarki di atas, yakni apabila ada suatu peristiwa atau kasus, maka seseorang yang ingin mengetahui hukumnya harus merujuk terlebih dahulu pada al-Qur’an. Apabila ia menemukannya, ia harus mengambil dan melaksanakannya. Bila ia tidak menemukannya, ia beralih ke as-Sunnah. Demikian pula, bila ia tidak menemukannya, ia akan menoleh ijma’ tentang kasus tersebut. Dan terakhir kali, bila ia tidak menemukannya, ia akan berijtihad menggunakan Qiyas.[18]
Dalam hukum melaksanakan ibadah Haji semua ulama’ sepakat bahwa ibadah Haji wajib dikerjakan oleh orang Islam yang mampu sekali seumur hidup. Dalil kewajiban haji dalam firman Allah SWT :
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا [19]
وأتموا الحج والعمرة لله [20]
Akan tetapi para fuqaha berbeda pendapat dalam hal kewajiban umrah. Dalam kajian ini, maz\hab Ma>liki mengatakan bahwa ‘umrah itu sunnah, dengan mengetengahkan dali>l h}adis\ berupa tanya jawab tentang hukum ‘umrah, yang kemudian dijawab Nabi bahwa hukumnya tidak wajib. H{{adis ini diriwayatkan oleh Ima>m at-Tirmi>zi>, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن عبد الأعلى الصنعاني حدثنا عمر بن علي عن الحجاج عن محمد بن المنكدر عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العمرة أواجبة هي؟ قال لا وأن تعتمروا هو أفضل [21]
Sedangkan maz\hab Sya>fi’i yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib mengemukakan dali>l h}adis\, mengenai pertanyaan ‘A kepada Nabi tentang kewajiban jihad terhadap wanita. Lalu dijawab Nabi, bahwa para wanita diwajibkan melakukan jihad yang tidak perlu menumpahkan darah, yaitu haji dan ‘umrah. H{{adis\ tersebut diriwayatkan oleh Ima>m Ahmad bin Hanba>l, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن فضيل قال ثنا حبيب بن أبي عمرة عن عائشة ابنة طلحة عن عائشة قالت قلت يا رسول الله هل على النساء من جهاد ؟ قال نعم عليهن جهاد لا قتال فيه الحج والعمرة [22]
Berbeda dengan al-Qur'an yang semuanya otentik dari Allah, kebenaran suatu h}adis\ Nabi tergantung pada kebenaran berita yang disampaikan pembawa berita tentang h}adis\.[23] Suatu h}adis\ bila berkualitas s}ah}i>h} dan atau h}asan, maka wajib diamalkan berdasarkan kesepakatan para pakar h}adis, ulama-ulama usu>li> terpercaya dan para fuqaha>’.[24] Sedangkan apabila h}adis\ itu berkualitas d}a’i>f, maka tidak dapat dijadikan hujjah.
Sebuah h}adis\ untuk dapat dikatakan berkualitas s}ah}i>h} harus memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni (1) Rangkaian sanad sejak Ima>m pentakhrij h}adis\ hingga sahabat harus bersambung. (2) Para perawi yang menuturkan h}adis\ itu merupakan orang-orang yang adil. (3) Para perawi yang menuturkan h}adis\ itu merupakan orang-orang yang sempurna hafalannya (tama>m ad}-d}abt}). (4) H{adis\ itu tidak sya>z\. (5) H{adis itu tidak ber’illat.[25]
Sedangkan kriteria h}adis\ h}asan sama seperti h}adis\ s}ah}i>h}, hanya saja kekuatan hafalan para perawinya di bawah para perawi h}adis\ s}ah}i>h}.[26] Sementara itu, suatu h}adis\ dikatakan d}a’i>f apabila tidak memenuhi kriteria-kriteria h}adis\ s}ah}i>h} dan h}asan. Hal ini adakalanya karena kredibilitas perawinya yang kurang adil atau karena terjadi keterputusan dalam sanadnya, atau pun sebab lainnya. H{adis\ d}a’i>f, di antaranya h}adis maqlu>b, mud}t}arib, mursal, munqat}i’, mu’d}al, munkar dan lain-lain.[27]
Dengan demikian, untuk mengetahui kualitas suatu h}adis\, harus dilakukan penelitian tentang para perawinya serta ditelusuri apakah h}adis\ itu sya>z\ dan atau ber’illat atau tidak.
Untuk menyelesaikan pertentangan dari dua dalil tersebut sebagai langkah awal, adalah dengan menggunakan al-jam´u wa at-taufiq, yakni dengan mengumpulkan dalil yang bertentangan itu, kemudian mengkompromikannya sesuai dengan syarat-syarat yang bertentangan. Bila solusi tersebut tak terselesaikan, maka dilakukan langkah lain, yaitu dengan na>sikh mansu>kh dengan membatalkan salah satunya. Dan alternatif terakhir yaitu tarji>h (mengunggulkan salah satunya) atau dengan tawaqquf (menangguhkan pengamalan keduanya hingga nampak dalil yang lebih kuat).[28] Dalam masalah ini, metode yang diterapkan pada perbenturan dua dalil di atas adalah metode tarji>h, sebab pada salah satu dua dalil tersebut terdapat indikasi yang lebih menguatkan daripada yang lain, sehingga tidak memungkinkan diterapkannya metode al-jam´u wa at-taufiq, na>sikh mansu>kh dan apalagi tawaqquf.
Metode tarji>h yang digunakan untuk menyelesaikan pertentangan dalil (Ta`'a>rud} al-Adilah) di atas adalah tarji>h ba`in an-nus}u>s}.[29] Dalam hal ini, penyusun akan menggunakan pendekatan melalui 'ulu>m al-h}adis\ dan us}u>l al-fiqh. Pendekatan melalui 'ulu>m al-h}adis\ dapat dilakukan dengan melihat beberapa aspek, yakni tarjih dengan melihat turunnya riwayat, cara periwayatan, usia perawi ketika meriwayatkan, penunjukan lafal (dengan memperhitungkan lafal yang ada dalam teks), kandungan matn atau teks yang diriwayatkan sebagai perantara hukum serta faktor-faktor lain yang mendukung dalil tersebut.[30] Dalam hal ini, penulis akan mengunakan kaidah-kaidah tarjih yang berkenaan dengan hal-hal yang menjadi tolak ukur pembedaan dua dalil di atas, sehingga mampu menggambarkan perbandingan, yang selanjutnya dapat diambil suatu kesimpulan mana yang paling kuat (ra>jih}) dari kedua pendapat tersebut. Kaidah-kaidah itu adalah sebagai berikut:
1. Dari segi sanad
a. Menurut jumhur ulama, dapat dilakukan dari sisi kuantitas para perawi, yaitu menguatkan h}adis\ yang sanadnya lebih banyak daripada h}adis\ yang bersanad relatif sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh banyak perawi sangat kecil.
b. H{adi>s\ yang perawinya lebih kuat ingatannya (d}a>bit}), lebih kuat agamanya, lebih bisa dipercaya (s\iqah), dan lebih taqwa ditarjih daripada h}adis\ yang tidak diriwayatkan oleh perawi h}adis\ lain yang tidak demikian.
c. Men-tarjih h}adis\ yang diterima dan dipelihara seorang perawi melalui hafalannya daripada h}adis\ yang diterima dan dipelihara hanya melalui tulisan.[31]
d. Men-tarjih h}adis\ sahabat yang mengalami sendiri peristiwa daripada h}adis\ riwayat sahabat yang tidak mengalaminya.
e. Men-tarjih h}adis\ riwayat orang yang menerimanya secara langsung daripada h}adis\ yang diriwayatkan seseorang yang menerimanya melalui perantara.
f. Men-tarjih h}adis\ riwayat orang yang menyebutkan sabab al-wurud-nya atas h}adis\ riwayat orang yang tidak menyebutkannya.
g. Men-tarjih h}adis\ riwayat yang keadilan perawinya diketahui melalui pernyataan banyak orang, praktek dalam kehidupan sehari-hari dan perawi yang mengamalkan h}adis\ yang diriwayatkan daripada yang tidak demikian.[32]
2. Dari segi matan
a. Teks umum yang belum dikhususkan lebih didahulukan daripada teks umum yang telah dikhususkan.
b. Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang mengandung perintah.
c. Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang menunjukkan kebolehannya saja.
d. Makna hakekat dari suatu lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya.
e. Teks yang sifatnya perkataan lebih didahulukan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
f. Teks yang muhkam lebih didahulukan daripada teks yang mufassar, karena lebih pasti.
g. Teks yang s}ari>h (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat kina>yah (sindiran).[33]
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan atau tatanan yang bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal dan optimal.[34]
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (Library research) yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menela’ah literatur atau penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan pustaka.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini berdasarkan analisis deskriptif-komparatif yaitu pemaparan apa adanya terhadap apa yang dimaksud oleh suatu teks dengan cara memparafrasekan dengan bahasa penyusun. Sehingga dari penelitian tersebut dapat menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat dari obyek kajian tersebut. Di samping itu, penelitian ini juga bersifat komparatif, [35] yakni membandingkan antara pendapat maz\hab Sya>fi’i dan maz\hab Ma>liki tentang hukum ‘umrah.
3. Sumber Data
Data-data yang penyusun kumpulkan terdiri dari dua kategori yaitu:
a) Data primer, berupa kitab al-Umm, al-Muwatta’, kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib, Bida>yah al-Mujtahid.
b) Data sekunder berupa kitab-kitab yang membahas tentang fiqh ibadah ditambah buku-buku lain yang berkaitan dengan masalah ini. Sedangkan mengenai kita>b h}adis\, akan digunakan kita>b-kita>b h}adis\ yang dikenal dengan nama al-kutub at-tis’ah.
Setelah pengumpulan bahan kepustakaan, kemudian dilakukan peninjauan data dan diklasifikasikan untuk mempermudah langkah analisis dengan menempatkan masing-masing data sesuai sistematika yang telah direncanakan.
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah:
a) Deduktif, yaitu metode penarikan kesimpulan yang diawali dari pernyataan yang bersifat umum menuju pernyataan yang bersifat khusus dengan menggunakan penalaran (berpikir rasional).[36]
b) Induktif, yaitu kerangka berpikir yang didahului oleh fakta-fakta secara khusus atau peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian ditarik ke hal-hal yang umum.[37]
5. Pendekatan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun menggunakan pendekatan ulu>m al-h}adis dan us}u>l fiqh untuk menilai sejauh mana kesahi>han h}adis yang digunakan dali>l dalam istinba>t hukum kedua maz\hab di atas dan kaidah-kaidah us}u>l yang dipakai dalam metode pen-tarjihan hukum.
G. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, yang terdiri atas satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan materi dan satu bab penutup.
Bab pertama adalah pendahuluan yang dirinci atas beberapa anak bab, yakni: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tela’ah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Pada dasarnya bab ini tidak termasuk dalam materi kajian, tetapi lebih ditekankan pada pertanggungjawaban ilmiah.
Pada bab kedua berisi tinjauan umum tentang ‘umrah yang dirinci dalam beberapa anak bab berupa pengertian, syarat-syarat dan waktu, serta rukun-rukun ‘umrah.
Pada bab ketiga, penyusun akan melihat riwayat kehidupan pendiri maz\hab mali>ki dan Sya>fi’i. Untuk itu, dalam bab ini dikemukakan riwayat kehidupan kedua ulama’ ini. Dan tidak lupa, dipaparkan pendapat kedua maz\hab ini beserta dali>l berupa h}adis\.
Pada bab keempat, penyusun mengkomparasikan pemikiran kedua maz\hab di atas serta melacak kesahi>han dali>l h}adis\ kedua maz\hab tersebut dan melakukan tarjih.
Akhirnya pada bab kelima, yakni penutup, penyusun mengemukakan kesimpulan umum dari kajian skripsi secara keseluruhan. Hal ini terutama dimaksudkan sebagai penegasan jawaban permasalahan yang telah dikemukakan, kemudian penyusun melengkapinya dengan daftar pustaka.
0 komentar:
Posting Komentar