HADIS-HADIS TENTANG TERPUTUSNYA SALAT KARENA MELINTASNYA ANJING, KELEDAI DAN WANITA
HADIS-HADIS TENTANG TERPUTUSNYA SALAT KARENA MELINTASNYA ANJING, KELEDAI DAN WANITA (Kajian Ma’ãnī al-Hadīs)
Oleh www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang semua ayatnya diterima secara mutawãtir. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Al-Qur’an periwayatan semua ayat-ayatnya secara mutawătir, sedang hadis Nabi, sebagian periwayatannya secara mutawătir dan sebagian lagi secara ãhăd. Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan qaţ’ī al-wurūd dan sebagian lagi zannī al-wurūd[1], sehingga tidak diragukan lagi orisinalitasnya. Berbeda dengan hadis Nabi yang berkategori ãhăd, diperlukan penelitian terhadap orisinalitas dan otentisitas hadis-hadis tersebut.
Untuk hadis-hadis yang periwayatannya secara mutawătir, setelah jelas kesahihannya, maka diperlukan pemaknaan yang tepat, proporsional dan representatif terhadap hadis tersebut melalui beberapa kajian, di antaranya kajian
linguistik,[2] kajian tematis komprehensif,[3] kajian konfirmatif[4] dan kajian-kajian lainnya dalam rangka pemahaman teks hadis tersebut.[5]
Hadis dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual. Tekstual dan kontekstual adalah dua hal yang saling berseberangan, seharusnya pemilahannya seperti dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan secara dikotomis, sehingga tidak semua hadis dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual. Di samping itu ada hal yang harus diperhatikan yang dikatakan Komaruddin Hidayat[6] bahwa di balik sebuah teks sesungguhnya terdapat, sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar mendekati kebenaran mengenai gagasan yang disajikan oleh pengarangnya.
Asbãbul wurūd hadis akan mengantarkan pada pemahaman hadis secara kontekstual, namun tidak semua hadis terdapat asbãbul wurūdnya. Pengetahuan akan konteks suatu hadis, tidak bisa menjamin adanya persamaan pemahaman pada setiap pemerhati hadis. Menurut Komaruddin Hidayat, hal ini disebabkan oleh keadaan hadis yang pada umumnya merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan sahabat. Oleh karena itu, menurutnya pemahaman ulama yang mengetahui sejarah hidup Rasul akan berbeda dengan yang tidak mengetahuinya.[7] Di samping itu muatan sejarah secara detail telah banyak tereduksi, sehingga dalam sejarah pun sering didapatkan perbedaan informasi.
Permasalahan makna adalah konsekuensi logis dari adanya jarak yang begitu jauh antara pengarang, dalam hal ini Rasulullah dengan pembaca, yaitu umatnya, yang kemudian dihubungkan oleh sebuah teks yaitu hadis. Dengan terpisahnya teks dan pengarangnya serta dari situasi sosial yang melahirkannya maka implikasinya lebih jauh yaitu sebuah teks bisa tidak komunikatif lagi dengan realitas sosial yang melingkupi pihak pembaca. Di samping itu adanya jarak, perbedaan bahasa, tradisi dan cara berpikir antara teks dan pembaca, merupakan problematika tersendiri bagi penafsiran teks, karena bahasa dan muatannya tidak bisa dilepaskan dari kultural.[8]
Menurut Dilthey, satu peristiwa itu, termasuk peristiwa munculnya teks, dapat dipahami dengan tiga proses; yaitu memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah dan menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan yang bersangkutan hidup.[9]
Senada dengan pandangan Dilthey tersebut, Carl Braaten berpandangan bahwa berusaha memahami suatu teks berarti mencoba memahami horizon zaman yang berbeda untuk dipahami dan diwujudkan dalam situasi konteks masa kini.[10]
Hadis yang disebut sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an telah mengalami perjalanan yang panjang, bukan hanya dalam kodifikasi dan penelitian validitasnya, tapi juga berkembang pada “pemaknaan” yang tepat untuk sebuah matan hadis yang dapat membumikan keuniversalan ajaran Islam. Pemaknaan hadis merupakan probematika yang rumit. Pemaknaan hadis dilakukan terhadap hadis yang telah jelas validitasnya minimal hadis-hadis yang dikategorikan bersanad hasan.[11]
Dalam pemaknaan hadis diperlukan kejelasan apakah suatu hadis akan dimaknai dengan tekstual ataukah kontekstual. Pemahaman akan kandungan hadis apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal atau universal, serta apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapan saja atau mencakup mitra bicara kondisi sosial ketika teks itu muncul.
Memahami hadis itu tidak “mudah” khususnya jika terdapat hadis-hadis yang saling bertentangan. Terhadap problem yang demikian, para ulama hadis menggunakan metode al-jam’u, al-tarjīh, al-nãsikh wa al-mansūkh, atau al-tawaqquf.[12]
Dari berbagai problem-problem pemahaman hadis secara global tersebut, maka penulis meneliti dan mengkaji pemaknaan dan pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita.
Identifikasi awal adalah apa makna salat dan bagaimana tata cara pelaksanaan salat menurut ketentuan syariat termasuk hal-hal yang dapat membatalkan salat menurut syariat. Para fuqaha memberikan pengertian shalat adalah
اَقْوَالٌ وَاَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِمُخْتَتَمَة ٌبِالتَّسْلِيْمِ يَتَعَبَّدُ بِهَا بِشَرَائِطِ مَخْصُوْصَةٌ
"Beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadat kepada Allah, menurut syarat-syarat yang ditentukan”.[13]
Salat merupakan ritual ibadah bagi muslimin sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mewujudkan ketakwaan kepada Ilahi Rabbi. Dalam salat itu terdapat aturan-aturan pelaksanaannya sesuai ketentuan syariat, di antaranya syarat sah salat, rukun-rukun salat dan hal-hal yang dapat membatalkan salat. Adapun syarat-syarat sah salat adalah mengetahui telah masuk waktu salat, suci dari hadas besar dan kecil, suci badan, pakaian dan tempat salat, menutup aurat dan menghadap kiblat.[14]
Selain itu ada beberapa hal yang membatalkan salat, yakni makan, minum dengan sengaja, berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan salat, mengerjakan pekerjaan yang banyak dengan sengaja, meninggalkan (merusakkan) suatu rukun atau dan syarat dengan sengaja dan tak ada udzur.[15]
Di sisi lain ada beberapa hadis yang menjelaskan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Menurut al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfăz al-Hadīs al-Nabawī[16], hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita didapatkan dalam kitab sebagai berikut : Şahīh Bukhărī sebanyak 2 buah, Şahīh Muslim sebanyak 4 buah, Sunan al-Tirmiżī sebanyak 2 buah, Sunan Abū Dăwud sebanyak 3 buah, Sunan an-Nasă’ī sebanyak 2 buah dan Sunan Ibn Măjah sebanyak 5 buah, Sunan ad-Darimī sebanyak 1 buah dan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal sebanyak 15 buah. Sehingga jumlah keseluruhan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam Kutub al-Tis'ah sebanyak 34 buah.
Di antara bunyi redaksi hadis – hadis tersebut yang didapatkan dalam Şahīh Bukhărī adalah[17] :
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ ح قَالَ الْأَعْمَشُ وَحَدَّثَنِي مُسْلِمٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِيَ الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafs bin Ghiyãs berkata, telah menceritakan kepada kami Abi (ayahku) berkata, telah menceritakan kepada kami al-A'masy berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahīm dari al-Aswãd dari 'Āisyah: Disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang dapat memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, jika melintas di hadapan orang yang salat, maka berkata 'Āisyah: “Tuan-tuan samakan (wanita) dengan keledai dan anjing. Sesungguhnya saya lihat Nabi saw. salat dan aku berbaring di atas tempat tidur antara Nabi dan kiblat (di hadapan Nabi), kemudian ada bagiku suatu keperluan dan saya tidak suka duduk mengganggu Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat kaki Nabi.”
Adapun hadis yang dimuat Sunăn Ibn Măjah sebagai berikut[18] :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ وَالْمَرْأَةُ الْحَائِضُ
Artinya:
Telah mewartakan kepada kami Abū Bakar bin Khallãd al-Bãhilī, telah mewartakan kepada kami Yahyã bin Sa'īd, telah mewartakan kepada kami Syu'bah, telah mewartakan kepada kami Qatãdah, dari Jãbir, dari Ibnu Abbãs, dari Nabi saw., beliau bersabda: Dapat memutuskan salat, yaitu anjing hitam dan wanita yang sudah balig-usia haid-.
Dengan melihat hadis di atas, perlu kiranya menemukan pemaknaan yang tepat terhadap hadis tersebut. Problemnya adalah apakah melintasnya anjing, keledai dan wanita dapat memutuskan salat (membatalkan salat). Kedudukan hadis-hadis tersebut adalah hadīs hasan sahīh sehingga pemasalahan selanjutnya adalah memberikan pemaknaan yang tepat, proporsional dan representatif terhadap hadis tersebut. Apakah hadis yang sahih akan selalau representatif untuk dijadikan hujjah yang kemudian mampu diaplikasikan dalam realitas kekinian.
Dengan demikian, problem yang paling urgen adalah bahwa secara sekilas ada perbedaan apa yang dipaparkan ketentuan syariat tentang hal-hal yang dapat membatalkan salat dan pernyataan hadis bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Dengan demikian, bagaimana seharusnya hadis tersebut dipahami secara tekstual atau kontekstual dan kandungan hadis tersebut bersifat temporal, lokal atau universal. Dalam redaksi hadis tersebut, mengapa hanya melintasnya anjing, keledai dan wanita saja yang dapat memutuskan salat. Mengapa hal ini dikhususkan pada tiga hal tersebut saja, apa sebenarnya variabel yang terkandung di balik teks tersebut.
Dalam hadis yang lain lebih dikhususkan kepada melintasnya anjing hitam dan wanita haid saja yang dapat memutuskan salat.[19] Apakah yang membedakan antara anjing hitam, anjing merah dan anjing putih kemudian apa yang menyebabkan anjing hitam saja yang dapat memutuskan salat. Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa mengenai anjing hitam dapat memutuskan salat, sedangkan wanita dan keledai masih ada keraguan.[20]
Hal yang lebih fatal lagi adalah adanya anggapan penyerupaan seorang perempuan dengan seekor anjing dan keledai dalam hal merusak salat orang yang kebetulan dilewati ketiga-tiganya.[21] Hal inilah keunikan dari interpretasi teks hadis tersebut sehingga perlu dikaji ulang dan mendalam, karena perempuan sebenarnya memiliki berbagai keistimewaan dan kesetaraan serta kesejajaran antara laki-laki dan perempuan.
Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah problem kebahasaan (linguistik). Bagaimana seharusnya pemaknaan terhadap lafal قطع الصلاة. Menurut Abū 'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī dalam kitab Syarh Sunăn Ibn Măjah[22] bahwa secara dhahir yang dimaksud memutuskan salat di sini adalah membatalkan salat. Sedangkan menurut al-Nawãwī[23] maksud dari قطع الصلاة, memutuskan salat adalah merusak salat, yakni mengurangi kesibukan hati dan mengganggu kekhusyukan hati menghadap Tuhan dalam salat, artinya hanya mengurangi essensi dan substansi daripada salat, bukan membatalkan salat. Implikasinya adalah salat itu tidak mencapai puncak kesempurnaan dan kekhusyukan salat, sebagai upaya mendekatkan diri dan ketakwaan kepada Allah.[24]
Dengan melihat kondisi kekinian dengan adanya masjid telah diterapkan konsep satir dengan adanya dinding. Mengapa melintasnya ketiga hal tersebut dapat berimplikasi besar dalam pelaksanaan salat. Di samping itu adanya perbedaan pemahaman hal-hal yang dapat membatalkan salat menurut ketentuan syariat dan menurut teks hadis tersebut. Inilah kemudian menjadikan hadis tersebut perlu dikaji ulang untuk mencapai pemahaman yang tepat.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang masalah di atas dapat diketahui bahwa hadis tersebut perlu penjelasan yang lebih tepat. Oleh karena itu, sekiranya dapat dirumuskan beberapa permasalahan dari penelitian hadis tersebut :
- Bagaimana hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut dipahami ? Apakah hadis tersebut dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual, dan apakah kandungan hadis tersebut bersifat universal, temporal atau lokal ?
- Bagaimana implikasi hadis tersebut terhadap ritual ibadah (salat) bagi muslim dalam kehidupan sehari – hari ?
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan :
- Untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dan juga mengetahui kandungan hadis tersebut bersifat universal, temporal atau lokal.
- Untuk mengetahui implikasi hadis tersebut terhadap ritual ibadah muslim sehingga penulis mendeskripsikan pemaknaan hadis-hadis tersebut untuk memperoleh pemaknaan yang tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah :
- Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan pemikiran wacana keagamaan dan menambah khazanah literatur studi hadis di Indonesia.
- Secara sosial, penelitian ini diharapkan berguna bagi pelaksanaan salat umat Islam sehingga dapat melaksanakan ibadah salat sesuai ketentuan syariat.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah untuk memberikan kejelasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, yang relevan dengan tema yang terkait. Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dimuat di berbagai kitab-kitab hadis di antaranya kutub al-tis'ah.
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw. antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual dijelaskan pemaknaan terhadap hadis-hadis terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut dengan berbagai versi redaksi hadis yang setema dan beberapa pendapat ulama.[25]
Kajian pemaknaan terhadap hadis tersebut, secara tekstual dipahami bahwa hadis itu terdapat bias gender dengan mendiskursuskan hanya perempuan yang melintas, yang dapat memutuskan salat, bukan demikian halnya dengan laki-laki, sehingga digunakan juga buku-buku yang mengkaji jender sebagai analisis wacana kesetaraan jender dalam Islam yang terdapat dalam hadis tersebut. Di antara buku-buku tersebut adalah Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender karya PSW IAIN Sunan Kalijaga[26] yang memaparkan bagaimana mengkontekstualisasikan hadis dalam studi jender dan Islam dengan menggunakan berbagai prinsip metodologi, yaitu prinsip ideologi, prinsip otoritas, prinsip klasifikasi dan prinsip regulasi terbatas.
Fatima Mernissi melalui karya-karyanya, seperti Wanita di dalam Islam[27], Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Patriarkhi[28], dengan menghadirkan hadis-hadis misoginis yang menurutnya mengandung bias jender sehingga perlu dikaji ulang. Dalam diskursusnya ini, ia menganggap pemahaman agama telah tereduksi karena kentalnya budaya patriarkis yang menyebabkan perempuan selalu berada dalam posisi subordinat, sehingga tanpa adanya pembongkaran tradisi Islam yang melahirkan kecenderungan-kecenderungan misoginis, perempuan akan tetap terdiskriminasi.
Asghar Ali Engineer, seorang tokoh yang sezaman dengan Fatima Mernissi yang menawarkan teologi pembebasan sekaligus memperjuangkan liberasi dan humanisasi (pembebasan dan kemanusiaan) dalam mewujudkan kesetaraan jender. Asghar juga tak jarang mengupas aspek sejarah Islam sebelum dan sesudah Islam datang. Ide dan pemikirannya tertuang dalam tulisannya yang berjudul Hak-Hak Perempuan dalam Islam[29] serta Islam dan Teologi Pembebasan[30].
Kajian terhadap hadis tersebut, dilihat juga dari perspektif fikih dengan menggunakan buku-buku, di antaranya adalah Ibn Hazm dalam kitab al-Muhallã[31] menjelaskan berbagai pemahaman ulama terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dengan membandingkan dari berbagai jalur sanad dan juga hadis-hadis yang setema dihadirkan untuk menguatkan pemaknaan terhadap hadis tersebut. Dimanakah Shalat yang Khusyu[32] karya Muhammad Yunus bin Abdullah as-Saffar, mengemukakan berbagai pendapat ulama dalam merespons adanya hadis yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Dalam Fikih Sunnah[33] karya Sayyid Sabiq mengupas hal-hal yang dapat membatalkan salat karena anjing, keledai dan wanita tidak dapat memutuskan salat. Abdul Qadir al-Rahbawi dalam buku Shalat Empat Madzhab[34] dipaparkan makna dan essensi dari salat, syarat sah salat, rukun salat dan hal-hal yang dapat membatakan salat sebagai acuan awal untuk melangkah pada pemaknaan hadis tersebut.
Hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita ini pernah dikaji oleh Kadarusman dalam skripsinya yang berjudul Kritik Hadis Perspektif Gender: Studi atas Pemikiraan Fatima Mernissi, yang hanya mengkaji hadis dari satu jalur sanad saja dengan menghujat eksistensi dari Abu Hurairah secara singkat.
Buku-buku di atas belum cukup memadai, walaupun penulis sendiri mengakui bahwa masing-masing saling melengkapi dalam memberikan informasi dalam penelitian ini. Sementara, sejauh penelusuran dari berbagai literatur, belum terdapat karya tulis yang khusus membahas makna hadis di atas dengan kajian ma’ãnī al-hadīs dan menjelaskan relevansi hadis tersebut. Dengan demikian, penulis mengadakan penelitian hadis yang dituangkan dalam karya tulis yang khusus membahas makna hadis tersebut dengan kajian ma’ãnī al-hadīs.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan sumber-sumber data dari bahan-bahan tertulis dalam bentuk kitab, buku, majalah dan lain-lain yang relevan dengan topik pembahasan.
Sumber utama penelitian ini adalah Kutub al-Tis'ah yang memuat hadis-hadis tersebut dengan syarh-nya. Dalam pelacakan dan penelusuran hadis tersebut dalam Kutub al-Tis’ah, penulis menggunakan metode takhrīj hadis dengan menggunakan kamus hadis melalui petunjuk lafal hadis dengan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfãz al-Hadīs dan kata kunci (tema) hadis dengan kitab Miftãh Kunūz al-Sunnah. Di samping itu, digunakan juga jasa komputer dengan program CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf yang mampu mengakses sembilan kitab sumber primer hadis. Sedangkan sumber penunjangnya adalah kitab-kitab dan buku-buku yang relevan dengan kajian ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu sebuah metode yang bertujuan memecahkan permasalahan yang ada, dengan menggunakan teknik deskriptif yakni penelitian, analisa dan klasifikasi.[35] Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan linguistik, pendekatan historis, dengan melihat kondisi pada saat hadis itu muncul, dan pendekatan sosiologis, dengan analisis kesetaraan jender. Dalam proses pelaksanaannya, dengan menggunakan langkah kerja ma’ãnī al-hadīs, yaitu[36]:
1. Kritik Historis, menentukan validitas dan otentisitas hadis dengan menggunakan kaedah kesahihan dari ulama-ulama kritikus hadis.
2. Kritik Eidetis, pemaknaan hadis dengan mengadakan berbagai analisis, yakni:
1. Analisis Isi, muatan makna hadis melalui kajian linguistik, kajian tematis-komprehensif[37] dan kajian konfirmatif.[38]
2. Analisis Realitas Historis, pemahaman terhadap makna hadis dari problem historis ketika hadis muncul, baik makro maupun mikro.
3. Analisis Generalisasi, pemahaman terhadap makna universal dari teks hadis.
3. Kritik Praksis, pengubahan makna hadis yang dihasilkan dari proses generalisasi alam realitas kehidupan kekinian sehingga maknanya praksis bagi problematika hukum dan kemasyarakatan masa sekarang.
F. Sistematika Pembahasan
Bahasan studi ini, disusun dalam bab dan sub bab. Adapun sistematika pembahasan penelitian ini sebagai berikut :
Bab Pertama, Pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan latar belakang masalah, sebagai ungkapan inspirasi awal dari penelitian, kemudian pembatasan terhadap masalah yang tertuang dalam rumusan masalah. Langkah berikutnya menentukan tujuan dan kegunaan penelitian, kemudian dijelaskan pula tinjauan pustaka sebagai acuan untuk membedakan penelitian ini dengan kajian yang serupa. Selanjutnya dijelaskan metode yang digunakan dalam penelitian hadis ini dan diakhiri dengan rangkaian sistematika pembahasan.
Bab Kedua, Tinjauan umum tentang Salat, yang memaparkan seputar tata cara melaksanakan salat yang meliputi syarat sah salat dan rukun-rukun salat. Pada sub bab kedua dijelaskan hal-hal yang dapat membatalkan salat. Pada bab ini akan dijelaskan salat sesuai ketentuan syariat dengan hujjah al-Qur’an dan Hadis.
Bab Ketiga, pemaparan redaksional hadis-hadis yang variatif dengan mengkategorisasikan berdasarkan perbedaan redaksional dan juga mengungkap kritik historis, untuk menentukan validitas dan otentisitas hadis tersebut. Di samping itu, akan dijelaskan kritik Eidetis yang mencakup kajian linguistik, kajian tematik-komprehensif dan kajian konfirmatif. Pada sub bab ketiga dipaparkan analisis hadis, yang meliputi analisis pemaknaan hadis, analisis historis dan analisis generalisasi.
Bab Keempat, kontekstualisasi hadis sesuai konteks turunnya terhadap kondisi kekinian dengan kajian linguistik, tematik-komprehensif, konfirmatif dan generalisasi makna hadis. Selanjutnya merelevansikan teks dan konteks hadis tersebut pada realitas kehidupan kekinian.
Bab kelima, Penutup adalah bagian akhir penelitian ini yang berisi kesimpulan, saran-saran dan kata penutup dari pembahasan-pembahasan sebelumnya.
Selengkapnya Silahkan >>>> DOWNLOAD
Tags: HADIS-HADIS TENTANG TERPUTUSNYA SALAT KARENA MELINTASNYA ANJING, KELEDAI DAN WANITA
0 komentar:
Posting Komentar