HADIS-HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI
HADIS-HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI
( Studi Ma’āni al-Haditsׂ)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan sempurna memberi tempat sekaligus menyatukan unsur kehidupan lahir dan bathin dengan memayunginya di bawah prinsip keseimbangan atau dengan bahasa Afzalur Rahmān mengkombinasikan keduanya secara harmonis.[1]
Jelaslah bahwa Islam bukan ajaran tentang akhirat saja, yang menyuruh manusia hanya agar menyelamatkan jiwa mereka untuk akhirat melalui ritual ibadah belaka, akan tetapi juga kebutuhan fisik harus terpenuhi. Ajaran tentang perlunya keseimbangan ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari tujuan Islam itu sendiri, yaitu memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan adanya keseimbangan ini pula diharapkan manusia dapat mengambil kerahmatan dari Islam. Sistem ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah sistem yang membawa bahagia bagi seluruh umat manusia dan memimpinnya kepada kesempurnaan.[2]
Meskipun demikian, suatu kerahmatan pada dasarnya adalah sebuah potensi yang perlu diaktualisasikan. Islam tidak bisa menyebarkan kemaslahatan atau kerahmatan tanpa diaktualisasikan oleh manusia itu sendiri dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam kaitan ini, akan dikaji salah satu aspek kehidupan manusia, yaitu aspek hubungan dengan manusia yang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada dasarnya setiap manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tanpa adanya bantuan dari yang lain, hal ini disebabkan karena manusia itu kodratnya sebagai makhluk sosial.
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Mu'amalat menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosial disadari atau tidak selalu berhubungan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup tempat setiap orang melaksanakan pergaulan perbuatan dalam hubungannya dengan orang lain, dalam agama Islam disebut dengan istilah mu'amalat.[3] Masalah mu'amalat senantiasa berkembang di dalam kehidupan masyarakat, tetapi dalam perkembangannya perlu sekali adanya perhatian dan pengawasan, sehingga tidak menimbulkan kesulitan (mudarāt), ketidakadilan, dan penindasan atau pemaksaan dari pihak-pihak tertentu sehingga prinsip-prinsip dalam bermu'amalat dapat dijalankan.[4]
Sejarah telah membuktikan, bahwa lantaran perdagangan kekayaan dan kemakmuran, bangsa Quraisy terus berkembang. Perdagangan merupakan induk keberuntungan. Ia berkedudukan lebih tinggi dibanding pertanian, industri, dan jasa. Perdagangan merupakan pertanda baik dan kesejahteraan yang akan menjadi tulang punggung untuk memperoleh kekayaan.
Dunia perdagangan yang lengkap dengan seluk beluk di dalamnya, memungkinkan untuk memperluas wawasan pergaulan dan gerakan geografis menjelajahi dunia serta persaingan ketat sehingga memberikan dorongan untuk tidak menyerah.[5] Perdagangan merupakan jalan yang wajar dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia adalah jalan penuh liku yang menghendaki keuletan dan kepandaian untuk memperoleh keuntungan bersih dari pokok pembelian. Oleh karena itu ia memberlakukan kepintaran atau ilmu, karenanya ia sama sekali tidak merampas hak-hak milik orang lain, melainkan dilakukan secara timbal balik antara masing-masing pihak.[6] Seorang penjual berhak mendapatkan keuntungan dari usahanya, sedang seorang pembeli berkewajiban untuk memberikan konpensasi bagi jasa yang telah ia terima dari penjual. Dalam keuntungan yang wajar, tidak saja dimaksudkan untuk kebutuhan konsumtifnya saja tetapi juga ia mampu mengembangkan usahanya (produktif).[7]
Yūsuf al-Qaradawi dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam mengemukakan bahwa ekonomi Islam merupakan ekonomi Ilahiyyah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya untuk mencari ridha Allah, dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syari’at-Nya. Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi diikatkan pada prinsip Ilahiyyah dan pada tujuan Ilahi.[8]
Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad saw. merupakan sumber ajaran Islam.[9] Sebagai sumber ajaran yang kedua setelah al-Qur'an, kebenaran hadis disamping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan juga menjadi bahasan kajian yang menarik dan tiada henti-hentinya. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur'an. Al-Qur'an, semua periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawātir, sedang hadis Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara āhād.[10]
Oleh karena itu, al-Qur'an mempunyai kedudukan sebagai qat'i al wurūd, sedangkan hadis Nabi sebagian ada yang qat'i dan sebagian lagi bahkan sebagian besar berkedudukan sebagai zanni al-wurūd.[11] Dengan demikian, diihat dari periwayatannya al-Qur'an tidak perlu dilakukan penelitian tentang orisinilitasnya. Sedangkan hadis Nabi dalam hal ini yang berkategori āhād diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu akan diketahui apakah hadis yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi ataukah tidak.[12] Karena begitu pentingnya dilakukan penelititan baik dari segi sanad maupun matan hadis, maka kemungkinan besar penulis akan mendapatkan hasil penelitian yang semaksimal mungkin baik dari segi kualitas hadis itu sendiri maupun diterima atau tidaknya hadis tersebut di kalangan masyarakat. Sebab bagaimanapun juga suatu matan hadis itu adakalanya memerlukan pemahaman secara tekstual ataupun kontekstual. Tetapi ada juga hadis yang memerlukan pemahaman secara tekstual sekaligus kontekstual. Dengan memahami hadis secara tekstual dan kontekstual, maka menjadi jelaslah bahwa dalam Islam, ada ajaran yang bersifat universal, temporal dan lokal.[13]
Al-Qur'an maupun hadis telah terbentuk di masa Nabi, dengan demikian tidak dapat dimodifikasi dengan penambahan atau pengurangan. Sementara kehidupan yang dijalani dan dihadapi umat pasca Nabi mengalami perkembangan dalam berbagai bidang. Hal ini menurut penyesuaian dengan dan dari al-Qur'an maupun hadis. Penyesuaian ini dilakukan dengan mengkaji ulang keduanya demi mendapatkan ajaran yang sejati, orisinal dan sālih likulli zamān wa makān.
Pengkajian terhadap al-Qur'an lebih banyak dilakukan oleh para ulama melalui gagasan-gagasan dan pemikiran mereka yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir, sejarah dan lain-lain. Berbeda dengan hadis, para ulama lebih mengendalikan diri dan lebih mengutamakan sikap reserve (segan) untuk melakukan telaah ulang dan pengembangan pemikiran hadis secara apresiatif, karena khawatir adanya anggapan ingkar al-Sunnah.[14]
Mengingat hadis sebagai sumber tasyri' kedua, maka pengkajian ulang serta pengembangan pemikiran terhadap hadis perlu dilakukan dengan pemaknaan kembali terhadap hadis. Hal ini menjadi kebutuhan mendesak ketika wacana-wacana keislaman banyak mengutip literatur-literatur hadis yang pada gilirannya mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku umat Islam itu sendiri. Di samping itu juga dapat memberikan informasi, apakah kandungan hadis termasuk kategori temporal, lokal, atau universal sekaligus tekstual atau kontekstual.
Salah satu hadis Nabi yang perlu dikaji adalah hadis yang secara tekstual kaitannya dengan pernyataan tentang keuntungan dalam jual beli, hadis tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri, sebagai berikut:
عن عروة البارقى أنّ النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم أعطاه دينارا يشترى له به شاة فاشترى له به شاتين فباع إحداهما بديناروجاءه بدينار وشاة فدعاله بالبركة فى بيعه وكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه 15 [15]
Artinya : Dari ‘Urwah al-Bāriqi . "Bahwasannya Nabi saw. memberinya uang satu dinar untuk dibelikan kambing. Maka dibelikannya dua ekor kambing dengan uang satu dinar tersebut, kemudian dijualnya yang seekor dengan harga satu dinar. Setelah itu ia datang kepada Nabi saw. dengan membawa satu dinar dan seekor kambing. Kemudian beliau mendo'akan semoga jual belinya mendapat berkah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah, niscaya mendapat keuntungan pula"
Hadis di atas seringkali dijadikan patokan oleh para pedagang untuk mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya, dengan meminimalkan modal yang dikeluarkan, sehingga tujuan dari perdagangan yaitu untuk memperoleh laba semaksimal mungkin dapat cepat terwujud.
Berdasarkan latar belakang inilah, penulis menganggap bahwa hadis tentang keuntungan jual beli perlu dikaji untuk mendapatkan jawaban tentang bagaimana pemaknaan hadis tersebut dan bagaimana relevansinya pada masa sekarang. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan Ma’āni al-Hadisׂyang dipandang penting sebagai upaya elaborasi akademik dalam memahami hadis secara kontekstual dan kekinian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemaknaan hadis-hadis tentang keuntungan jual beli?
2. Bagaimana relevansi hadis tentang keuntungan jual beli dalam konteks kekinian?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Menerapkan metode Ma'āni al-Hadisׂ dalam memaknai hadis tentang keuntungan jual beli.
2. Mengetahui bagaimana relevansi hadis keuntungan jual beli dalam konteks sekarang.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian hadis lebih lanjut.
2. Diharapkan dapat menambah khazanah literatur studi hadis.
D. Telaah Pustaka
Telaah pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah yang berguna untuk memberikan kejelasan dan batasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, terutama yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
Berkenaan dengan masalah yang sedang dikaji, sepengetahuan penulis belum ada kitab yang secara khusus membahas tentang keuntungan jual beli. Namun ada beberapa pendapat ulama yang membahas tentang jual beli dalam berbagai kitab fiqih ataupun syarah hadis, misalnya dalam Kitab al-Fiqh 'Alā Mażāhib al-'Arba'ah, karya 'Abd al-Rahmān al-Juzairi. Buku ini cukup representativ membahas masalah yang berkenaan dengan jual beli dengan menunjuk kepada pendapat ulama-ulama fiqih empat mazhab.[16]
Di samping buku di atas, terdapat pula beberapa buku lain yang penulis jadikan acuan, di antaranya Sofyan Safri Harahap dalam bukunya Akuntansi Pengawasan dan Manajemen dalam Perusahaan Islam menyebutkan bahwa, pertama kalau yang menjadi dasar konsep manajemen Islam adalah konsep maksimasi yang meliputi kesejahteraan manajemen, pemilik modal dan sosial. Hal ini dapat dipahami bahwa, antara ketiga komponen itu harus tercipta keadilan (dapat haknya masing-masing secara layak).[17] Dalam bukunya Syeikh Gazali Syeikh Abad dan Zanbury yang berjudul Pengurusan Perniagaan Islam dijelaskan bahwa kedudukan untung atau laba itu sebagaimana upah dan gaji bagi pekerja, yang mana tanpa keuntungan stabil maka akan melumpuhkan perniagaan dan tidak memberikannya berarti kezaliman.[18] Yūsuf al-Qaradawi dalam bukunya yang berjudul Fatwa-fatwa kontemporer jilid II menyebutkan bahwa hakekat perdagangan adalah untuk mendapatkan keuntungan di mana tidak ada nas yang memberikan batasan tertentu dalam hal mendapatkan keuntungan ini. Dengan demikian jika tidak ada laba maka bukanlah perdagangan dan matilah dunia dagang.[19]
Ibnu Khaldūn dalam al-Mukaddimah mengemukakan bahwa keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan karena perdagangan kehilangan motivasi. Sebaliknya, bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi juga akan membuat lesu perdagangan karena lemahnya permintaan konsumen. Beliau menjelaskan akan pentingnya keuntungan yang wajar untuk memicu dunia perdagangan. Beliau juga menyebutkan bahwa tujuan satu-satunya yang sah bagi bisnis adalah maksimasi laba.[20]
Syauqi 'Abduhu al-Sāhi dalam kitabnya yang berjudul al-Māl wa al-Turūq Istismāruhū fi al-Islam menyatakan bahwa yang dimaksud laba adalah semata-mata hal dari pengembangan harta dalam kegiatan perdagangan atau produksi, untuk itu tidak diketahui secara jelas atau pasti serta tak terbatas banyaknya, karena ini tergantung kepada kondisi barang dan pasar serta kepandaian pedagang.[21] Adapun 'Abd Mannān al-Namr dalam kitabnya al-Ijtihād menyatakan larangan pembatasan laba perdagangan bagi pedagang karena hal ini menyebabkan lesunya kegiatan perdagangan, berbeda halnya jika hal ini diterapkan pada perusahaan maka penerapan harga itu harus dengan perhitungan Akuntansi mendetail.[22]
Mochtar Effendi dalam bukunya Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam menyebutkan bahwa prinsip keseimbangan itu tersirat makna Allah menyuruh kita untuk mencari rizki sebanyak mungkin. Karena itu untuk mendapatkannya harus mampu berbuat sosial dengan harta benda seperti mengeluarkan zakat dan menolong sesama. Selanjutnya dalam kajian titik impas sebagai ukuran efisiensi dalam Islam disebutkan bahwa pada badan usaha (industri maupun niaga) efisiensi diukur dari beberapa persen keuntungan yang didapat dari setiap rupiah yang dikeluarkan untuk biaya total dari seluruh output dalam nilai uang. Sedangkan keuntungan adalah penerimaan di atas titik impas, kalau tidak demikian maka perusahaan akan terancam kerugian.[23] Basu Swastha DH. dalam bukunya Pengantar Bisnis Modern disebutkan bahwa salah satu tujuan usaha adalah pencapaian laba maksimal.[24]
Penulis juga menjumpai dalam beberapa skripsi yang membahas tentang jual beli yaitu skripsi yang disusun oleh Siti Qamariyyah yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Maksimasi Laba Usaha Perdagangan Barang Konsumsi. Pada skripsi ini penulis meneliti laba atau keuntungan atas dasar motif ekonomi yaitu langkah yang ditempuh untuk mencapai hasil yang maksimal dengan modal yang minim.[25]
Dari berbagai teori yang terkumpul di atas, maka dapat diketahui bahwa pembahasan jual beli dilihat dari pemaknaan hadis, khususnya yang berkenaan dengan masalah keuntungan jual beli belum ada. Oleh karena itu, penelitian dalam skripsi ini akan lebih menekankan pada aspek pemahaman sebuah hadis yang tepat, khususnya tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan keuntungan jual beli. Dalam hal ini penulis mencoba untuk membuat analisa tentang keuntungan jual beli barang pokok (maksimasi laba) dengan menggunakan metode Ma'āni al-Hadisׂ.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research). Secara garis besar penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu pengumpulan data dan pengelolaan data. Pada tahap pertama, metode yang digunakan adalah metode dokumentasi,[26] yaitu menginventarisasi data sebanyak mungkin yang terkait dengan tema dan pada tahap kedua mengolah data berupa hadis-hadis yang terkumpul tersebut. Maka pertama penulis mengajukan data hadis serta menguraikannya secara objektif kemudian dianalisis secara konseptual dengan metode Ma'āni al-Hadisׂ yaitu metode pemaknaan hadis dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang terkait dengan tema.[27]
Penelitian ini menggunakan metode Ma'āni al-Hadisׂ yang digunakan oleh Yūsuf al-Qaradawi dengan tiga prinsip dasarnya, yakni: pertama, meneliti dengan seksama tentang kesahihan hadis yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang diterapkan oleh para pakar hadis yang dipercaya, yakni yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya. Kedua, dapat memahami dengan benar nas-nas yang berasal dari Nabi saw. sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau.[28] Untuk memahami nas (matan) hadis, terdapat delapan petunjuk yang diisyaratkan oleh Yūsuf al-Qaradawi, yaitu:
1. Memastikan makna kata-kata dalam hadis.
2. Memahami al-Sunnah sesuai petunjuk al-Qur'an.
3. Menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
4. Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang bertentangan.
5. Memahami hadis-hadis sesuai latar belakangnya, situasi dan kondisinya, serta tujuannya.
6. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap dari setiap hadis.
7. Membedakan antara fakta dan metafora dalam memahami hadis.
8. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata.[29]
Prinsip yang ketiga, memastikan bahwa nas tersebut tidak bertentangan dengan nas lainnya yang lebih kuat kedudukannya. Hal ini dimaksudkan untuk mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang śubūt-nya (atau keberadaannya sebagai nas).[30]
Dalam skripsi ini langkah-langkah yang ditawarkan Yūsuf al-Qaradawi di atas tidak diikuti secara ketat dikarenakan ada beberapa ketentuan yang tidak dapat diaplikasikan dalam menganalisis hadis-hadis tentang keuntungan jual beli tersebut. Dalam pengaplikasian metode Yūsuf al-Qaradawi yang dipakai atau digunakan dalam menganalisis hadis tentang keuntungan jual beli yang dikaji dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
- Kritik untuk membuktikan keotentikan sanad hadis.
- Memahami nas (matan) hadis untuk menentukan makna dan maksud hadis yang sesungguhnya. Susunan hirarkis lima pedoman tersebut adalah:
a. Memastikan makna kata-kata dalam hadis.
b. Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur'an.
c. Menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
d. Penggabungan atau pentarjihan hadis-hadis yang bertentangan.
e. Memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya.
F. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini diuraikan dalam lima bab, yaitu:
Bab pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, mencakup pemaparan seputar jual beli, makna jual beli, syarat dan sahnya jual beli, macam-macam jual beli, prinsip dan dasar ekonomi Islam.
Bab ketiga, kajian Ma'āni al-Hadisׂ mencakup hadis-hadis tentang keuntungan jual beli, kritik otentisitas hadis, dan pemaknaan hadis dengan menerapkan metode yang ditawarkan Yūsuf al-Qaradawi.
Bab keempat, keuntungan jual beli dalam pandangan praktisi ekonom Islam dan relevansi hadis tentang keuntungan jual beli dalam konteks kekinian.
Bab kelima, merupakan akhir yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan beberapa saran penulis yang perlu disampaikan berkaitan dengan hasil penelitian.
Tags: HADIS-HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI
0 komentar:
Posting Komentar