GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggarakan tatacara kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubugan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan khaliq-Nya.
Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup manusia. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global, yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia baik yang meliputi aspek ritual (ibadah) maupun sosial (mualamah). Dengan demikian akan dapat digali (diistimbat) berbagai pemecahan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan manusia.
Dalam menjawab permasalahan yang timbul nampaknya peranan hukum Islam dalam era moderen dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat lagi dihindarkan. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring dengan berkembangnya zaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.
Oleh karena itu dalam hubungan antara sesama manusia diberi kebebasan untuk berijtihad sepanjang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana yang dinyatakan dalam suatu hadis Nabi SAW :
أنتم أعـلم بأمـوردنـياكم([1] Dengan dasar ini maka manusia diberi kebebasan untuk mengatur segala kebutuhan hidupnya yang serba dinamis asalkan aturan itu tidak bertentangan dengan nas maupun maksud syar’i.
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya agar supaya hidup saling tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman.
Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, maka barang jaminan boleh dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam Fiqih Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.[2])
Salah satu bentuk muamalah yang disyari’atkan oleh Allah adalah Gadai berdasarkan firman Allah sebagai berikut :
وان كـنـتم عـلي سفـر ولم تجـد وا كاتبا فـرهـن مـقــبـو ضـة فان ا مـن بـعـضكـم بـعـضـا فـلـيـوء د الـذ ي اوء تـمـن امـا نـتـه و لـيـتـق االله ولاتـكــتمـوا الشــهـا دة و مـن يـكـتـمـهـا فـا نـه ا ثـم قـاـبـه وا الله بـمـا تـعــمـلـو ن عــلـيم ([3]
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Praktek seperti ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-menolong.
Dalam masalah gadai, Islam telah mengaturnya seperti yang telah diungkapkan oleh ulama fiqh, baik mengenai rukun, syarat, dasar hukum maupun tentang pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai yang semua itu bisa dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan dari aturan yang ada.
Gadai atau ar-rahn dalam bahasa Arab (arti lughat) berarti al-s|ubut wa al-dawam (tetap dan kekal). Sebahagian ulama lughat memberi arti ar-rahn dengan al-habs (tertahan)[4])
Menurut Ahmad Azhar Basyir gadai menurut istilah ialah :
Menjadikan benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang ; dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[5])
Sedangkan unsur-unsur gadai (rahn) adalah orang yang menyerahkan barang gadai disebut rahi>n, orang yang menerima (menahan) barang gadai disebut murtahin. Barang gadai disebut Marhu>n dan sigat akad.[6])
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa gadai adalah penahanan suatu barang atau jaminan atas utang, jika utang sudah dilunasi maka jaminan itu akan dikembalikan kepada yang punya.
Di masyarakat Indonesia praktek gadai mengalami perkembangan yang sangat pesat karena mengadaikan benda (barang) baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jalan keluar bagi orang-orang yang membutuhkan bantuan. Dalam masyarakat adat sering terjadi suatu perbuatan untuk mengadaikan tanah (sawah). Di dalam hukum adat gadai tanah biasa dikenal dengan istilah jual gadai. Jual gadai merupakan penyerahan tanah dengan pembayaran kontan, dengan ketentuan sipenjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.[7]) Gadai tanah tidak dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum perdata karena tanah merupakan benda tak bergerak dikategorikan dalam hipotik.
Setelah undang-undang pokok agraria berlaku maka gadai diatur dalam PERPU No. 56 Tahun 1960 tentang “ PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN”.[8])
Selanjutnya penyusun akan menggambarkan pelaksanaan praktek gadai tanah sawah yang ada di masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng kebupaten Sidrap.
Kecamatan Watang Sidenreng secara geografis termasuk daerah yang subur bila dilihat dari tanah dan pengairan yang berasal dari sungai Saddang di kabupaten Pinrang, sehingga sawah mampu panen dua kali dalam setahun.
Masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng mayoritas beragama Islam. Akan tetapi masih perlu adanya peningkatan kualitas keagamaan, karena pada umumnya mereka belum mementingkan akan pentingnya pendidikan. Hal ini terjadi dalam praktek gadai tanah sawah (masyarakat Watang Sidenreng menyebutnya Nappakateniang). Menurut penyusun perlu adanya penelitian karena status gadai tersebut belum jelas. Dalam praktek gadai tersebut Murtahin (penerima gadai) diperbolehkan mengambil manfaat dari sawah rahin (yang menggadaikan).
Di dalam masyarakat Bugis terutama di kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan sering kali terjadi transaksi utang piutang yang mana tanah dijadikan sebagai barang jaminan atas utang mereka. Menurut pengamatan penyusun praktek gadai dalam masyarakat tersebut terdapat hal yang bisa menyebabkan penggadai (pemilik tanah) rugi, karena penerima gadai sering kali mendapat keuntungan yang lebih besar dari pada uang yang dipinjamkan.
Selain itu tidak adanya ketetapan diantara kedua belak pihak tentang masa waktu/jangka waktu gadai tersebut, sehingga penerima gadai akan mengembalikan tanah gadai tersebut sampai pemiliknya mampu melunasi utangnya. Dengan praktek yang semacam itu maka akan terjadi keuntungan yang lebih besar bagi penerima gadai (Murtahin).
Praktek jual gadai dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap dilakukan dengan cara : si A sebagai orang yang ingin mengadaikan tanahnya (sawah) datang kepada si B dengan maksud untuk meminjam uang. Dalam transaksi tersebut si A memberikan tanah (sawah) sebagai jaminan utangnya. Namun di dalam perjanjian itu tidak disepakati tentang siapa yang akan mengelolah tanah (sawah) tersebut. Tetapi pada kenyataannya yang mengelolah tanah (sawah) tersebut adalah si B (Murtahin).
Dalam praktek gadai tersebut murtahin (penerima gadai) mengambil manfaat dari sawahnya rahin. Dalam fiqh Mu’amalah dijelaskan bahwa :
Hak murtahin kepada marhun hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mengandung nilai, tidak pada penggunaan dan pemungutan hasilnya.[9]
Oleh karena itu peneliti ingin mengadakan penelitian dengan tema gadai tanah pada masyarakat bugis dalam perspektif hukum Islam dan selanjutnya akan dianalisis dari segi hukum adat dan hukum Islam. Disamping itu juga untuk mengetahui apakah pemanfaatan barang gadai (tanah gadai) tersebut sesuai dengan norma-norma dalam ajaran Islam?.
B. Pokok Masalah.
Dari dasar pemikiran tersebut di atas, maka dapat ditarik pokok masalah, yakni sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktek gadai tanah serta pemanfaatannya dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan?
C. Tujuan dan Kegunaan
- Tujuan Penelitian adalah :
- Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang gadai tanah dalam masyarakat Bugis di Kecamatan watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.
- Untuk menjelaskan pemanfaatan tanah gadai dalam perspektif hukum Islam.
- Kegunaan Penelitan adalah :
- Penelitan ini diharapkan dapat menambah khasana keilmuan Islam khususnya tentang konsep gadai terutama gadai tanah.
- Juga dapat dimanfaatkan untuk merumuskan program pembinaan dan pemantapan kehidupan beragama, yang berkenaan dengan perkara mu’amalah, khususnya dalam praktek gadai tanah.
D. Telaah Pustaka
Beberapa karya tulis yang membahas tentang gadai tanah ini sudah banyak, diantaranya adalah karya Iman Sudiyat dengan judul Hukum Adat, Sketsa Asas, Dan karya Muhammad dan Sholikul Hadi dengan judul Pegadaian Syariah. Kedua buku tersebut merupakan proyeksi perbandingan antara Hukum Adat, dan Hukum Islam. Diantara pembahasan dari kedua buku tersebut adalah tentang hukum tanah, Transaksi Tanah, Transaksi yang berhubungan dengan tanah, Konsep dan asas legal pegadaian syariah (Rahn) dan Pegadaian dalam perspektif Islam.
Karya-karya lain yang penyusun dapatkan adalah Karya Dr. H. Chuzaimah T. Yanggo dan Drs. HA. Hafiz Anshary AZ, MA dengan judul Problematika Hukum Islam Kontemporer buku ketiga. Karya Prof Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan SH dengan judul Hukum Perdata : Hukum Benda. Karya-karya di atas menghasilkan hasilkan suatu kajian yang menyeluruh dan utuh serta kritis dan falid.
Selain itu karya yang lain adalah Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq. Menurur beliau barang gadai tidak boleh dimanfaatkan barangnya, kecuali jika yang digadai itu berbentuk binatang, ia boleh memanfaatkan sebagai imbalan memberi makan binatang tersebut.[10])
Tindakan memanfaatkan barang gadaian adalah tak ubahnya qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba. Ini sesuai hadis Nabi SAW :
كل قـر ض مـنـفـعـة فـهـو ربـا([11] Menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mugny menyebutkan sebagai berikut :
“Penerima gadai tidak boleh menerima hasil dari atau manfaat dari gadaian sedikitpun kecuali dari yang bisa ditunggangi dan diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan”[12])
Di sini penyusun tidak terlalu banyak mungkin untuk menyebutkan buku-buku apa saja yang ditelaah dalam membatu penyusunan penelitian ini. Karena menurut penyusun yang namanya telaah pustaka adalah hasil penelitian orang lain yang sudah pernah meneliti dalam kasus yang sama tapi di tempat atau permasalahan yang berbeda.
Adapun penelitian yang sudah pernah dilakukan dalam tenggang yang sama ada beberapa skripsi yang penyusun telah baca, diantaranya adalah :
Skripsi Antoni Eka Putra, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Gadai Tanah Sawah di Desa Talang Kecamatan Perwakilan Mungka kab. 50 Kota Sumatera Barat”, hanya membahas tentang batasan waktu yang tidak terjadi dalam praktek gadai tanah sawah kemudian dianalisis. Skripsi tersebut tidak membahas masalah yang sedang penyusun bahas.
Skripsi Arifatul Latifah, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Gadai Tanah Sawah di Desa Gondowangi Kec. Sawangan, Magelang, Jawa Tengah”, hanya menjelaskan kategori sistem gadai yang memerlukan pembiayaan dan dimanfaatkan oleh penerima gadai.
Melihat dari dua uraian skripsi di atas serta sekian banyak buku yang penyusun baca, belum terdapat pembahasan mengenai praktek gadai tanah (sawah) pada masyarakat Bugis terutama di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, sehingga kami mengambil keputusan untuk melakukan penelitian tentang hal tersebut di daerah setempat. Dengan demikian penelitian ini layak untuk dilakukan.
E. Kerangka Teoritik.
Gadai adalah merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu pinjaman barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[13])
Sedangkan menurut hukum Islam gadai diistilakan dengan “rahn” dan dapat juga dinamai dengan “al-habsu” Secara etimologi kata rahn berarti “tetap atau lestari”, sedangkan al-habsu berarti “penahanan”. Adapun pengertian yang terkandung dalam istilah tersebut “ menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya tersebut. Demikian menurut defenisi para ulama.[14])
Menurut pengertian di atas terutama gadai dalam kitab undang-undang hukum perdata dijelaskan bahwa benda yang dapat dijadikan barang gadai adalah benda bergerak baik yang bertubuh maupun tidak bertubuh. Sedangkan benda yang tidak bergerak tidak dapat digadaikan. Perbedaan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak dalam kitab undang-undang hukum perdata mempunyai konsekuensi dimana lembaga jaminan juga dibagi dua yaitu gadai untuk benda bergerak sedangkan hipotik untuk benda tidak bergerak.[15])
Sebenarnya pengertian gadai dan hipotik itu mempunyai pengertian yang sama, hanya saja bedanya kalau gadai dapat diberikan melulu atas benda-benda yang bergerak, sedangkan hipotik hanya melulu atas benda-benda yang tidak bergerak. Kedua hal kebendaan ini (gadai dan hipotik) memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan sebagai jaminan bagi hutang seseorang semata.[16])
Secara umum gadai merupakan tindakan atau perbuatan dalam bidang perekonomian. Orang yang menggadaikan suatu barang mendapatkan uang sebagai imbalannya, uang tersebut merupakan utang dengan jaminan barang yang diserahkan kepada kreditur. Kegiatan perekonomian terutama perekonomian syari’ah tidak terbatas hanya merujuk pada bebasnya dari suatu riba, garar, dan maisir. Para ahli ekonomi Islam dan fuqaha mendiskusikan tentang perekonomian yang Islami dengan menyepakati bahwa perekonomian Islam harus memenuhi sekurang-kurangnya dua kreteria, yaitu :
- Diselenggarakan dengan tidak melanggar rambu-rambu syari’ah.
- membantu mencapai tujuan sosio-ekonomi umat dan masyarakat dengan berdasar pada ajaran agama.
Dalam prakteknya pelaku bisnis harus memperhatikan segala tindakannya apakah berada dalam bingkai ajaran Islam dengan memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etika atau bahkan sebaliknya. Karena hal ini sangat berimplikasi pada seluruh aspek kehidupan manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu kegiatan ekonomi (Muamalah) Islam, termasuk di dalamnya gadai (gadai tanah) harus didasarkan pada empat prinsip muamalah, yaitu :
- Pada dasarnya, segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan sunah Rasul.
- Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
- Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam kehidupan masyarakat.
- Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.[17])
Disamping itu pada dasarnya Islam memberi kebebasan pada seseorang untuk melakukan akad (perjanjian). Kebebasan itu sepanjang tidak melanggar aturan umum dan nilai kesusilaan. Oleh karena itu dikenal kaedah ushul fiqh yang berbunyi :
الاصل في العقدرضي المتعاقد ين و نتجته ما التزما ه با لتعاقد([18]
Maksud dari qaidah tersebut adalah bahwa seseorang tidak harus terkait dengan rumusan-rumusan perjanjian yang telah ditetapkan nash, atau bahkan formulasi akad para ulama klasik. Atas dasar itu, maka tidak menutup kemungkinan dilakukan perjanjian gadai, baik itu gadai terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
Gadai tanah (benda tidak bergerak), sebagaimana yang berlaku dalam hukum perdata dan hukum adat di Indonesia, tidak ditemukan secara khusus yang membahas dalam fiqh. Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripannya dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun hanya dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu.[19])
Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual beli gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripan dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfatkannya dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn (Jaminan) adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. [20])
F. Metode Penelitian
- Jenis Penelitian.
Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan (Field Reseach). Penelitian ini dilaksanakan di Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan khususnya di kecamatan Watang Sidenreng, kabupaten Sidrap.
- Sifat Penelitian
Penelitian ini dilihat dari sifatnya termasuk penelitian deskriptif-analitik, yaitu penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan, menggambarkan dan menguraikan suatu masalah (Gadai Tanah) secara obyektif dari obyek yang diselidiki tersebut[21]). Yaitu praktek gadai tanah sawah yang dilakukan dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng. Selanjutnya, guna mendapatkan manfaat yang lebih luas, maka data yang telah didapatkan tersebut dianalisis dan diagnosis menggunakan metode normatif untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas tentang gadai tanah dalam hukum Islam.
- Pendekatan Masalah.
Pendekatan yang digunakan adalah normatif, pendekatan ini dapat didefenisikan sebagai berikut :
- Normatif, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat suatu masalah yang dikaitkan dengan keadaan yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini adalah gadai tanah yang terjadi di kecamatan Watang Sidenreng yang telah menjadi adat kebiasaan.
- Teknik Pengumpulan data.
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.[22]) Ini penyusun gunakan untuk memperoleh data yang diperlukan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam melakukan observasi selama penelitian ini dilaksanakan, terjadi praktek gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat.
b. Wawancara
Dilakukan sebagai pelengkap untuk memperoleh data dengan memakai pokok-pokok wawancara sebagai pedoman agar wawancara terarah. Wawancara ini dilakukan dengan mengambil responden dari pihak penggadai dan penerima gadai, dan sebagai informannya adalah tokoh masyarakat setempat dan pihak pemerintah agar wawancara ini lebih kuat.
c. Dokumentasi
Pengumpulan data dengan cara mengambil data dari dokumen yang merupakan suatu pencatatan formal dengan bukti otentik.
d. Populasi dan Penentuan Sampel.
1. Populasi
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah para penggadai dan penerima gadai yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng khususnya di 3 kelurahan yaitu kelurahan Empagae, Sidenreng dan kelurahan Kanyuara. Karena di kecamatan Watang Sidenreng karakter masyarakat dan perilaku dalam praktek gadai tanah sawah hampir sama.
2. Penentuan Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling, yaitu cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi yang dijadikan obyek penelitian, penyusun menggunakan.[23]) Penelitian ini mengambil Sampel dari populasi yaitu penggadai dan penerima gadai yang ada di kelurahan Empagae, Sidenreng dan Kanyuara kecamatan Watang Sidenreng masing-masing 10 orang. Penyusun menggunakan non-random sampling karena tidak semua populasi melaksanakan praktek gadai tanah sawah.
e. Angket.
Untuk mengetahui lebih mendalam praktek gadai tanah sawah di kecamatan Watang Sidenreng penyusun menggunakan angket yang diberikan kepada masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat memberikan jawaban atas pertanyaan dalam angket tersebut. Jumlah angket seluruhnya ada 60 buah dan setiap kelurahan 20 buah. Penggunaan angket dalam penelitian ini untuk memperkuat pengamatan dan wawancara yang penyusun lakukan.
- Analisis Data.
Setelah data mengenai gadai tanah terkumpul, maka kemudian dilakukan analisis dan diagnosis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan cara menganalisis data tanpa mempergunakan perhitungan angka-angka melainkan mempergunakan sumber informasi yang relevan untuk memperlengkap data yang penyusun inginkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keadaaan dan kondisi masyarakat tersebut mempengaruhi eksistensi kasus-kasus yang ada dalam data yang didapatkan tersebut. Selanjutnya, data yang terhimpun tersebut dianalisis berdasarkan hukum Islam. Dengan metode analisis data seperti ini diharapkan akan didapatkan suatu kesimpulan akhir mengenai status gadai tanah dalam perspektif hukum Islam dari kasus yang ada dalam data tersebut.
G. Sistematika Pembahasan.
Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab. Sistematika pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :
Untuk bab pertama, adalah membicarakan pendahuluhan yang merupakan abstraksi dari keseluruhan isi skripsi ini yang akan menguraikan latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian yang diterapkan serta yang terakhir sistematika pembahasan.
Pada bab dua, membahas gambaran umum gadai menurut hukum Islam. Pada bab ini penyusun mencoba memaparkan tentang pengertian dan dasar hukum gadai menurut hukum Islam, selain itu penyusun juga menjelaskan tentang mekanisme pelaksanaan gadai dan pemanfaatan barang gadai menurut hukum Islam. Nilai penting dari pembahasan ini adalah sebagai kerangka dasar tentang gadai, juga dijadikan alat analisis dan diagnosis pada pembahasan inti dalam penelitian ini.
Kemudian bab tiga, bab ini penyusun membahas deskripsi daerah penelitian yang meliputi keadaan geografis, demografi,ekonomi, pendidikan dan keagamaan dan data obyektif di lapangan yaitu praktek yang dilakukan masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap dalam melakukan gadai tanah. Pada bab ini juga akan dibahas tentang mekanisme pelaksanaan gadai tanah dalam masyarkat tersebut. Selain itu juga akan dibahas pemanfaatan tanah gadai oleh penerima gadai.
Bab empat, bab ini membahas tentang analisis pelaksanaan gadai tanah dalam masyarakat tersebut sesuai dengan norma-norma hukum Islam. Dalam bab ini dimuat analisis dari praktek dan mekanisme pelaksanaan gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat bugis di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap serta pemanfaatan tanah gadai menurut hukum Islam.
Terakhir bab lima, bab ini merupakan penutup yang mana penyusun akan mengambil kesimpulan dari hasil penelitian, dan saran-saran yang dirasa dapat memberikan alternatif bagi solusi masalah-masalah hukum.
Tags: GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
0 komentar:
Posting Komentar