DEMOKRASI TERPIMPIN DALAM PEMIKIRAN IDHAM CHALID
DEMOKRASI TERPIMPIN DALAM PEMIKIRAN IDHAM CHALID
Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi Terpimpin ( guided democracy ) adalah suatu fase politik dan realitas ketatanegaraan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebuah eksperimentasi sistem politik yang pernah dilakukan oleh tokoh dan pemimpin bangsa ini. Terlaksana secara formal antara tahun 1959-1965, atau tepatnya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga gagalnya kudeta 30 September ( G 30 S ) 1965. Suatu masa yang tidak lebih lama dari masa Demokrasi Parlementer yang sebelumnya pernah dijalankan di Indonesia.[1]
Demokrasi Terpimpin muncul karena ketidaksenangan sebagian dari masyarakat politik di Indonesia terhadap sistem demokrasi parlementer.[2] Adalah Soekarno yang menggagas Demokrasi Terpimpin. Seorang presiden yang hanya berposisi sebagai kepala negara, sebuah jabatan simbolik dan seremonial, di masa demokrasi parlementer.
Ia mengemukakan gagasannya ini dengan mengajak untuk menguburkan partai-partai politik pada 28 Oktober 1956. Sistem kepartaian yang dianut di Indonesia saat itu dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah nasional. “Demokrasi Liberal”, demikianlah Soekarno menyebutnya, mengizinkan pemaksaan mayoritas oleh minoritas, dan itu tidak sesuai dengan sifat orang Indonesia.
Dengan terinspirasi oleh model pengambilan keputusan di pedesaan, di mana setiap ada pihak yang belum yakin terhadap satu usul, maka musyawarah tetap akan dijalankan hingga dicapai kata mufakat. Tidak ada pemaksaan, tidak ada vooting. Keputusan-keputusan diambil sesudah pertimbangan-pertimbangan yang lama dan cermat dengan seorang pimpinan. Tata cara musyawarah mufakat yang khas Indonesia ini bersama dengan kepemimpinan, memungkinkan semua pendapat dipertimbangkan dengan menenggang perasaan minoritas ; dan ini seharusnya menjadi model untuk bangsa Indonesia. Demokrasi liberal didasarkan kepada pertentangan – tata kerja musyawarah-untuk-mufakat meningkatkan kerukunan.[3]
Dalam prakteknya, Soekarno menginginkan terbentuknya Kabinet Gotong-Royong yang terdiri dari empat partai besar pemenang pemilu yang dianggapnya sebagai manifestasi parlemen[4]. Empat partai dimaksud adalah PNI, mewakili golongan nasionalis, NU, mewakili muslim tradisionalis, Masyumi, mewakili muslim modernis, dan PKI, mewakili kaum komunis. Selain itu, perlu dibentuk suatu lembaga yang disebut Dewan Nasional yang terdiri dari wakil-wakil golongan karya, seperti buruh, petani, ulama dan sebagainya yang dipimpin oleh Soekarno yang bertugas menyusun arah kebijakan politik negara. Dewan ini dalam pandangan Soekarno merupakan cerminan dari seluruh rakyat Indonesia [5]
Gagasan ini disampaikan Soekarno seiring situasi politik nasional yang mulai memanas. Kabinet yang saat itu sedang menjalankan pemerintahan adalah kabinet Ali Sastroamijoyo II. Masalah terbesar yang mereka hadapi adalah semakin berkembangnya krisis politik di berbagai daerah. Ketidakpuasan beberapa daerah di luar Jawa atas berbagai kebijakan politik pemerintah pusat telah dirasakan sejak awal tahun 1950-an dan akhirnya mencapai puncaknya pada 1956.[6]
Aksi Kudeta di Sumatera menjadi penyebab timbulnya perpecahan dalam Kabinet Ali. NU dan PNI menentang segala bentuk perubahan dalam pemerintahan, sedangkan Masyumi dan Perti, dua partai yang banyak memiliki pengikut di Sumatera, mendukung pembentukan kabinet baru di bawah pimpinan Hatta. Masyumi dan Perti secara berturut-turut memutuskan untuk mengundurkan diri dari semua jabatan menteri pada tanggal 9 dan 15 Januari 1957. Pada tahun 1958 beberapa tokoh Masyumi dan PSI terlibat dengan panglima-panglima militer daerah dalam pendirian PRRI/ Parmesta. Tak ayal lagi ini merupakan pemberontakan yang terjadi di tengah carut-marut pertikaian politik.
Terjadinya krisis dalam kabinet dan kekecewaan masyarakat yang semakin mendalam terhadap partai-partai politik semakin meningkatkan dukungan terhadap mereka yang mengusulkan dilakukan perubahan politik secara menyeluruh untuk mengatasi berbagai masalah nasional. Reformasi politik secara menyeluruh inilah yang diajukan oleh Soekarno dan militer. Meskipun terdapat perbedaan mendasar antara Soekarno dan militer, namun keduanya sama-sama menginginkan agar kekuatan dialihkan dari tangan partai-partai politik dan parlemen ke lembaga eksekutif. Usulan yang mereka ajukan ini jelas bertujuan untuk memperluas peran politik mereka sendiri.[7]
Akhirnya setelah berbagai dinamika yang terjadi, kekuatan pendukung sistem baru ini terkonsolidasikan dengan baik dan mendapatkan kemenangan dengan “peresmiannya” dalam satu dekrit. Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 menandai kemenangan perebutan kekuasaan ini oleh koalisi Soekarno-Militer. Dekrit ini berhasil pula “menyelesaikan” beberapa masalah yang selama ini melanda. (Pertama), menyelesaikan perdebatan alot dan melelahkan mengenai dasar negara dengan “kembali ke UUD 1945” yang berarti Indonesia bukan negara agama, (kedua) mengalihkan kekuasaan dari parlemen kepada eksekutif yang berarti memberikan legitimasi pada kekuasaan Soekarno, dan (ketiga) membubarkan Majelis Konstituante. Konstelasi politik pun berubah: Partai-partai politik telah kehilangan kekuatan yang pernah mereka miliki semasa demokrasi parlementer.
Penguasa melanjutkan gebrakannya dengan melakukan penyederhanaan partai politik dan pembubaran parlemen lama hasil pemilu dan pembentukan parlemen baru (DPR-GR) dengan cara penunjukan atau pengangkatan. Parlemen tidak lagi punya hak interpelasi, pers diberangus, tokoh-tokoh politik oposisi dipenjarakan, tulisan-tulisan kritis dilarang beredar, dan sebagainya. Sebuah cara yang tidak demokratis bagi sistem politik yang menyebut diri Demokrasi. Tetapi, alasan yang dikemukakan adalah bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Segala bentuk demokrasi liberal kemudian digusur, dicap Barat dan dimusuhi hingga menjadi tidak populer dan partai-partai tak bisa berbuat banyak.
Hanya dua hal yang menjadi pilihan bagi partai-partai politik saat itu: menerima Demokrasi Terpimpin dan mau bekerja sama dengan elemen-elemen di dalamnya atau menolak dan terlempar dari percaturan politik secara menyakitkan. PNI, NU, (apalagi) PKI dan beberapa partai kecil lainnya memilih yang pertama sehingga mereka “diperbolehkan” terus terlibat di arena politik. Sementara pimpinan Masyumi dan PSI menolaknya dan mereka harus menerima kenyataan partainya dibubarkan dan banyak di antara anggotanya yang ditangkap.[8]
NU yang diketuai Idham menerima Demokrasi Terpimpin terutama karena alasan politis, yakni mempertahankan posisi NU di tengah percaturan politik nasional. Para pemimpin NU di masa ini menganggap politik adalah sarana utama untuk mewujudkan kepentingan keagamaan dan melayani ummat. Kehilangan tempat di peta politik berarti NU tak bisa mencapai tujuannya, baik sebagai organisasi keagamaan maupun partai politik. Selama masa transisi hingga pelaksanaan Demokrasi Terpimpin partai ini banyak menggunakan politik akomodasi sebagai strategi.[9]
Selain karena pertimbangan-pertimbangan politis, para pemimpin NU menyatakan kewajiban amr ma’ruf nahi mungkar[10] lebih mungkin dilakukan bila berada di dalam sistem. Kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah lebih besar jika NU masih diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan politik.
Pertimbangan keagamaan lainnya berasal dari Idham Chalid. Dia menyatakan bahwa Demokrasi Terpimpin yang menonjolkan musyawarah mufakat sejalan dengan syu>ra dalam Islam. Idham berpendapat bahwa “pertentangan” di antara partai-partai politik yang sangat khas di era Parlementer tidak diajarkan dalam Islam. Islam tidak mengajarkan pertentangan melainkan menawarkan syu>ra (musyawarah) untuk memecahkan masalah. Kata syu>ra sendiri berarti musyawarah atau dengar pendapat. Seorang pemimpin harus selalu bermusyawarah dengan para ahli (ahl hall wa al aqd) sebelum mengambil keputusan. Di dalam syu>ra yang diharapkan adalah munculnya pendapat-pendapat yang lebih tepat untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, diharapkan munculnya solidaritas dari masyarakat yang mencerminkan rasa tanggung jawab bersama. Dengan demikian tidak akan terjadi perdebatan untuk saling mengalahkan. Lagi pula, jika pendapat yang beredar dianggap tidak tepat, seorang pemimpin boleh saja memutuskan lain asalkan tindakannya itu dilandasi rasa tanggung jawab.[11]
Pemikiran Idham ini berbeda dengan rekan-rekannya dari Partai Masyumi. Mereka menolak gagasan Demokrasi Terpimpin karena menganggapnya sebagai sistem yang tidak demokratis. Hamka, seorang tokoh Masyumi misalnya, menyatakan bahwa Demokrasi Terpimpin hanyalah namanya pada lahirnya. Adapun hakikatnya ialah demokrasi funksionil dengan tujuan membulatkan kekuasaan kepada Presiden. “Dalam cara berfikir yang logis, apabila kekuasaan seluruhnya telah berkumpul ke dalam satu tangan, atau total ke dalam satu tangan bernamalah dia “totaliter”, ujarnya.[12]
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Hatta juga mengkritik keras tindakan-tindakan Soekarno sebagai “tidak konstitusional” bahkan merupakan “coup d’etat”. “Demokrasi Terpimpin Soekarno”, ujar mantan wakil presiden itu, “mendjadi suatu DIKTATUR jang didukung oleh golongan-golongan tertentu.”[13]
Pemikiran Idham tentang syu>ra yang dianggapnya sejalan dengan Demokrasi Terpimpin inilah yang menarik untuk dicermati. Bukan saja karena fungsi legitimasinya, tetapi terutama karena sebelumnya belum ada yang membicarakan syu>ra dalam konteks seperti ini. Bila sebelumnya kaum intelektual muslim membicarakan syu>ra dalam persinggungannya dengan konsep demokrasi Barat (baca: liberal), maka Idham menelaahnya dalam konteks Demokrasi Terpimpin yang khas Indonesia. Artinya, realitas politik Indonesia era Demokrasi Terpimpin telah membuat Idham memahami konsep syu>ra dari sisi yang lain dari biasanya.
B. Pokok Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas, penyusun akan merumuskan masalah yang akan diteliti dalam skripsi ini. Perumusan tersebut tercermin dari pertanyaan berikut :
1. Bagaimanakah pemikiran Idham Chalid tentang syu>ra yang dianggap sejalan dengan Demokrasi Terpimpin ?
2. Dalam konteks sosial-politik seperti apa pemikiran tersebut muncul dan bagaimanakah implikasinya bagi NU ?
C. Tujuan Penelitian
1. Menelaah pemikiran Idham Chalid tentang syu>ra yang dianggap sejalan dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Menelaah konteks sosial-politik di mana pemikiran tersebut muncul dan implikasinya bagi NU.
D. Kegunaan Penelitian
1. Menambah khazanah penelitian pemikira tokoh NU dan sejarah Islam politik di Indonesia.
2. Memberikan gambaran positioning seorang ulama yang sekaligus politisi.
E. Telaah Pustaka
Dari sekian penelitian mengenai Demokrasi Terpimpin, tidak ada yang secara khusus membahas pemikiran Idham mengenai sistem tersebut. Howard Federspiel sempat menyentuh secara sepintas pemikiran Idham, terkait dengan aktivitasnya dalam Yayasan Api Islam. Di dalam artikelnya berjudul “Soekarno dan Apolog-apolog Muslimnya”, Federspiel menjelaskan bahwa Idham senantiasa mendukung gagasan mendiang presiden pertama RI itu. Idham menerima konsep dasar revolusi Soekarno-isme dan menyatakan bahwa Islam harus menjadi bagian dari revolusi ini, karena ia telah dijegal kolonialisme. Idham juga mengatakan bahwa Pancasila dirumuskan dengan “inspirasi dari Allah” karenanya kaum muslim punya kewajiban untuk menerima dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menerapkan “konsep api Islamnya Soekarno”, ujar Idham, kaum muslim dapat melepaskan belenggu pemikirannya dan dengan semangat jihad akan bisa memerangi eksploitasi manusia oleh manusia, dan eksploitasi negara oleh negara.[14] Demikianlah, Federspiel tidak menjelaskan lebih mendalam pemikiran Idham, kecuali bahwa ia mendukung Soekarno-isme. Dan sebuah fakta yang lebih penting lagi, Federspiel tidak mencantumkan buku Idham “Islam dan Demokrasi Terpimpin” yang berisi pemikiran atas sistem politik yang dibawa Soekarno, sebagai salah satu sumbernya.
Penelitian lainnya lebih banyak memfokuskan pembahasan pada transisi kekuasaan menuju Demokrasi Terpimpin dan dinamika yang terjadi di sekitarnya. “The Transition to Guided Democracy : Indonesian Politics, 1957-1959”[15] yang ditulis Daniel S. Lev mengamati masa transisi menuju Demokrasi Terpimpin, baik kondisi sosial maupun politik. Sementara 3 buah artikel Herbert Feith yang diterbitkan menjadi satu buku berjudul “Soekarno - Militer dalam Demokrasi Terpimpin”[16] membahas dinamika Demokrasi Terpimpin. Yakni mengenai segi-segi penting kehidupan politik dan pemerintahan, struktur konstitusi dan ideologi Demokrasi Terpimpin, dan terakhir beberapa aspek interaksi politik dan ekonomi pada masa tersebut. Dalam dua penelitian di atas Idham hanya disebut sebagai pimpinan partai muslim tradisional yang cenderung oportunis dan sama sekali tidak menyentuh pemikirannya.
Salah satu penulis Indonesia yang mengkaji masa Demokrasi Terpimpin adalah Syafi’i Ma’arif. Kajiannya berfokus pada peran politik partai-partai Islam di masa Demokrasi Terpimpin. Dengan mengambil judul “ Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)”,[17] Syafi’i Ma’arif menggambarkan bahwa sistem baru ini menyebabkan partai-partai Islam harus menempuh jalan bersibak dua. Terlibat dalam sistem baru ini dan bisa terus hidup, atau mati dikubur sebagai kontra-revolusioner. Ia menyoroti betapa ukhuwwah Isla>miyyah (solidaritas Islam) tidak mampu menjadi perekat partai-partai Islam pada masa sulit itu.
Secara khusus dia memandang bahwa masa Demokrasi Terpimpin sebagai masa “kolaborasi” partai Islam dengan Soekarno. Dengan NU sebagai partai Islam yang memiliki kekuatan basis massa yang besar, yang lalu menjadi manifestasi politik golongan Islam di Indonesia saat itu, Soekarno membangun persatuan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Terakhir sebuah karya Greg Fealy harus diketengahkan di sini. Disertasi doktoral yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967”. [18] Sesuai dengan judulnya, buku ini membahas sejarah NU di tahun-tahun mana organisasi ini tengah giat bermain di kancah politik praktis. Walaupun demikian, di dalamnya Fealy menjelaskan banyak hal mengenai kondisi politik Indonesia pada awal 50-an, saat mana pertikaian politik menjadi-jadi. Partai-partai berebut menguasai parlemen, tentara mulai bergerak masuk ke kancah politik dan akhirnya Soekarno mulai membangun sistem Demokrasi Terpimpin sebagai tawaran solusi atas persaingan politik elit yang semakin negatif. Idham Chalid adalah ketua PBNU saat itu, sehingga di dalam buku ini namanya seringkali disebut. Idham Chalid bersama dengan Abdul Wahab Chasbullah, Saifuddin Zuhri dan juga Zainal Arifin digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang membentuk corak dan warna NU yang akomodatif pada masa Soekarno.
Argumen pokok buku ini bertujuan merevisi pandangan para peneliti sebelumnya terhadap NU yang dianggap oportunis, dalam pengertian tidak berprinsip. NU sebenarnya selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang sudah lama dianutnya. Ideologinya didasarkan pada fikih Sunni klasik yang meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya. Ideologi ini menuntut kaum muslimin, terutama para ulama yang memimpin mereka, agar menjauhi segala bentuk aksi yang dapat mengancam kesejahteraan fisik dan spritual masyarakat.
Karya-karya tersebut di atas secara umum dapat menjadi perbandingan dengan apa yang nantinya penyusun inginkan dalam penelitian ini. Penyusun akan lebih mengkonsentrasikan diri pada pandangan-pandangan Idham mengenai Demokrasi Terpimpin dan ingin melihat faktor-faktor apa saja yang mendorong pandangan tersebut muncul. Tetapi sebagaimana akan terlihat, karya-karya tersebut sangatlah membantu bahkan tergolong data primer dalam memahami konteks pemikiran Idham.
F. Kerangka Teoretik
Menelaah pemikiran Idham Chalid tentang Demokrasi Terpimpin berarti melihat sistem politik yang dicetuskan Soekarno tersebut dari kacamata seorang tokoh Islam. Tokoh yang menjadikan agama Islam sebagai cara pandang bagi dunianya, baik dalam menjalani kehidupan sosial maupun politik.
Idham menemukan konsep musyawarah atau syu>ra sebagai bentuk demokrasi di dalam Islam dan kemudian memberikannya makna baru dalam konteks Demokrasi Terpimpin. Dengan demikian Idham mengaitkan Demokrasi Terpimpin dengan ajaran-ajaran yang berasal dari tradisi Islam. Hal ini dapat dimaknai sebagai usaha memberikan warna Islam pada Demokrasi Terpimpin atau bahkan usaha untuk “meng-Islam-kan” Demokrasi Terpimpin.
Dua hal pokok di atas : konsep syu>ra yang dikaitkan dengan Demokrasi Terpimpin dan konteks sosio-politis dimana gagasan itu muncul, akan menjadi dua poin yang dianalisa dalam penelitian ini. Terkait dengan itu, berikut penulis akan memaparkan teori yang berhubungan dengan poin-poin tersebut.
Pembicaraan mengenai syu>ra dan demokrasi telah banyak dilakukan oleh para intelektual Muslim. Pertama, karena kemunculan wacana Demokrasi sebagai suatu sistem, baik sosial maupun politik, yang diterima oleh sebagian terbesar masyarakat dunia abad ini. Sejak negeri-negeri Arab mengalami masa-masa kejatuhan, dan penerapan beberapa ideologi politik menemui jalan buntu, tuntutan terhadap demokrasi tampak semakin nyaring terdengar. Hal ini disebabkan demokrasi tampak memberikan jalan menuju kebebasan dan persamaan, yang selama ini absen dalam memori kolektif umat Islam, karena hampir seluruh pengalaman historis umat Islam berjalan dalam koridor kekuasaan khalifah dan dalam bentuk monarki. Dan alasan kedua, karena Demokrasi berasal dari tradisi Barat yang nyaris selalu dikontraskan dengan tradisi Islam.
Salah satu tokoh pemikir Islam yang membahas mengenai hal ini adalah Muhammad ‘Abed al-Ja>biri>. Ia menyatakan bahwa demokrasi berbeda dengan syu>ra. Syu>ra berarti meminta pendapat kepada ahl al-hall wal-a’qd yang terdiri dari para ulama, fuqaha, pemuka-pemuka masyarakat sebelum melakukan tindakan apapun. Syu>ra dalam pengertian ini tidak mengikat penguasa: ia memang melakukan konsultasi, namun keputusan akhir tetap berada di tangannya sendiri, baik keputusan itu merupakan hasil konsultasi tersebut atau tidak sesuai dengan hasil keputusan tersebut.[19]
Hal ini karena syu>ra, sebagaimana dalam rujukan bahasa, berasal dari kata syara yang berarti mengambil. Contoh yang dikemukakan oleh kamus-kamus dalam menjelaskan arti kata ini adalah perkataan orang Arab: syartu al-‘as}al artinya aku mengambil madu dari tempatnya, juga ungkapan syawartu fulanan artinya aku mengemukakan pendapatku dan pendapatnya. Dengan demikian menurut al-Ja>biri>, syu>ra artinya mengambil sesuatu dari tempatnya, yaitu kepada seseorang yang memang pantas diambil pendapatnya. Mengambil pendapat seseorang sama sekali tidak berarti adanya keharusan mengikuti pendapat tersebut sebagaimana “orang-orang yang diambil pendapatnya” juga sama sekali tidak ditentukan dan dibatasi.[20]
Jadi syu>ra itu bukan hanya tidak mengikat penguasa, tapi juga tidak memberikan penentuan mengenai siapa yang harus diajak bermusyawarah selain istilah umum: ahl hall wa al-‘aqd. Yang dimaksud dengan istilah ini adalah setiap orang yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat baik karena ilmu, hubungan sosial, ekonomi atau agama, namun tanpa adanya batasan kuantitas, kualitas, ruang ataupun waktu.
Sedangkan demokrasi memiliki pola yang berbeda dengan syu>ra baik dalam pengalaman historis Eropa maupun dalam aplikasinya. Secara historis demokrasi pertama kali muncul di Yunani dan kemudian disusul oleh bangsa Romawi. Demokrasi berkaitan erat dengan kehancuran sistem kesukuan dan pudarnya kekuasaan kepala suku dan sebagai gantinya muncullah fenomena “masyarakat sipil” dan gagasan tentang “warga negara”.
Pada saat agama Kristen tampil, negara dan imperium benar-benar kokoh, agama menjadi medium resistensi terhadap kekuasaan imperium. Ini adalah awal dari rangkaian konflik yang sangat panjang antara agama dan negara di mana masing-masing ingin membatasi kekuasaan yang lain dan ingin menjadikan kekuasaanya di atas kekuasaan lainnya. Konflik seperti yang terjadi antara penguasa dan gereja ini juga terjadi pada kaum feodal melawan “para feodal besar” yang berkuasa atas nama mereka dengan bertopang pada fasilitas, alat-alat, uang dan tentara yang mereka kuasai. Konflik ini terus menerus terjadi sebagai satu bentuk pembatasan wilayah kekuasaan. Konflik ini kemudian melahirkan dewan-dewan “perwakilan” yang bersifat lokal maupun umum.
Sedangkan di abad modern, dimulai pada abad 17, konflik melawan kekuasaan tiranik semakin meluas dan mendalam seiring dengan munculnya kekuatan-kekuatan sipil, terbentuknya kelompok-kelompok pedagang dan kaum pengusaha industri sebagai kekuatan sosial yang kemudian menjadi kelas borjuis dan membawa panji perjuangan demi demokrasi dalam arti kontemporer, yaitu demokrasi berarti membangun pemerintahan melalui proses pemilihan bebas, adanya pengawasan terhadap penguasa dan pembagian kekuasaan: legislatif, eksekutif dan yudikatif[21]. Demikianlah, al-Ja>biri> menyimpulkan bahwa syu>ra berbeda dengan demokrasi.
Lebih lanjut bagaimana menilai pemikiran Idham (setelah mengetahui konteks sosio-politisnya). Hal ini bisa kita lihat dengan mencari tahu bagaimana Islam “digunakan” tokoh ini dan untuk tujuan yang seperti apa. Atau dengan kata lain bagaimanakah kedudukan dan fungsi Islam baginya.
Mengenai hal ini, Taufik Abdullah dalam tulisannya “Islam dalam Sejarah Nasional” menjelaskan bahwa Islam di Indonesia memiliki 3 kedudukan (dan fungsi).[22] Pertama, Islam sebagai dasar kesadaran yang membentuk etos dan pandangan hidup. Tak kurang pentingnya ialah Islam sebagai peletak dasar ukuran tentang sah atau tidaknya sesuatu. Dengan begini Islam menentukan pula corak interpretasi terhadap situasi yang mengitari diri. Dalam interpretasi inilah tersalur segala hasrat normatif dan pengetahuan akan kenyataan berbagai corak perilaku.
Kedua, Islam sebagai dasar ikatan solidaritas dari komunitas-komunitas pemeluknya. Hal ini akan menjadi jelas ketika kekuasaan politik dari masing-masing komunitas itu telah digerogoti ataupun ditiadakan oleh kolonialisme. Islam bahkan menjadi simbol perjuangan menghadapi penjajah dan dengan demikian Islam telah memberikan cita kesatuan dan anti-kolonialisme. Dan ketiga, sebagai agama yang universal, Islam memberikan kepada pemeluknya kosmopolitanisme Islam. Perasaan sebagai bagian dari masyarakat penganut yang menjembatani berbagai ikatan politik dan kultural, memberikan suatu corak komunitas yang bersifat antar bangsa. Dengan kosmopolitanisme, maka pengambilan inspirasi – atau bahkan peniruan dari apa yang telah terjadi pada masyarakat Islam di negeri lain – tidaklah dirasakan sebagai suatu peniruan atau imitasi.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini pertama-tama menggunakan model kepustakaan (librarian research). Artinya, bahan-bahan penelitian beroleh data dari sumber-sumber kepustakaaan, baik berupa buku-buku, hasil penelitian, naskah, jurnal, maupun majalah. Tetapi, penulis juga melakukan serangkaian wawancara untuk melacak informasi yang tidak direkam oleh sumber tertulis. Wawancara dilakukan bersama tokoh-tokoh yang mempunyai hubungan dengan Idham Chalid. Sumber tertulis yang akan menjadi rujukan utama penyusun yaitu : booklet yang berjudul “Islam dan Demokrasi Terpimpin”[23] yang ditulis oleh Idham Chalid sebagai bahan-bahan kuliah yang disampaikannya di Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama Surakarta dan kumpulan pidatonya sekitar tahun-tahun berlangsungnya Demokrasi Terpimpin, yang diberi judul “Mendajung dalam Taufan”.[24]
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dalam pengertian pemikiran Idham tentang demokrasi terpimpin dan konteks sosio-politisnya akan didiskripsikan secara sistematis dan sesudah itu akan dilakukan analisis terhadap kedua poin tersebut.
3. Pendekatan
Untuk memahami pemikiran Idham Chalid mengenai Demokrasi Terpimpin dan konteks sosio-politisnya, penulis menggunakan pendekatan historis. Artinya, pemikiran Idham Chalid dan alasan-alasan sosial dan politik yang melatar belakanginya dicari melalui rekaman perjalanannya di dalam sejarah Indonesia atau bahkan sejarah dunia.
4. Pengumpulan Data
Di dalam pengumpulan data tidak digunakan metode khusus. Hanya saja diupayakan agar data-data yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dikumpulkan selengkap mungkin, baik yang termasuk data primer maupun sekunder. Semua karya, maupun ceramah Idham Chalid merupakan sumber primer, sedangkan tulisan-tulisan orang lain tentang dia dijadikan bahan penunjang penelitian (data sekunder). Termasuk juga dalam data-data sekunder tulisan-tulisan yang memaparkan tulisan-tulisan tentang partai-partai politik di masa orde lama.
5. Analisis Data
Data yang telah dikelola akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode Induktif dan Deduktif secara bergantian. Dalam metode Induktif, kita punya kasus dan akibat, kemudian kita mengasumsikan sebuah aturan umum (generalisasi), hasilnya adalah probabilitas. Sementara dengan metode deduktif kita dapat menarik kesimpulan dengan berangkat dari aturan umum dan kasus, dan hasilnya adalah validitas logis.[25]
Metode deduktif dipakai saat menganalisa pemikiran Idham Chalid. Adapun metode induktif akan digunakan dalam menganalisa akibat-akibat dari pemikiran dan sikap politik Idham
H. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini akan terdiri dari lima bab di mana di dalamnya terdiri dari sub-sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut :
Bab pertama merupakan panduan umum penelitian ini. Berisi pemaparan masalah, urgensi penelitian, cara penulis menjawab permasalahan dan lain sebagainya.
Bab kedua menguraikan biografi singkat Idham Chalid. Biografi ini berguna untuk memahami lika-liku perjalanan hidup, karakter dan kepribadian, gaya berpolitik, serta orang-orang yang memiliki pengaruh besar terhadap dirinya.
Bab ketiga berisi pemikiran Idham Chalid tentang syu>ra yang dianggap sejalan dengan Demokrasi Terpimpin.
Bab keempat menjelaskan konteks sosial dan politik dimana pemikiran Idham Chalid muncul.
Bab kelima merupakan analisis poin-poin yang terdapat di bab ketiga dan keempat. Analisis diarahkan untuk mengungkap watak, menafsirkan konteks, dan implikasi dari pemikiran Idham Chalid bagi perjalanan NU selanjutnya.
Bab keenam berisi kesimpulan penelitian ini dan saran dari penulis
Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD
Tag: DEMOKRASI TERPIMPIN DALAM PEMIKIRAN IDHAM CHALID
0 komentar:
Posting Komentar