Syekh Yusuf al-Makasary
Syech Yusuf al-Taj al-Khalwatiyyah dari Makasar dan baru diangkat sekitar tanggal 9 November 1995 sebagai salah satu Pahlawan Nasional, dikarenakan juga ikut berjuang melawan kekejaman kolonial Belanda pada abad ke-17 M. Beliau telah dibai'at lebih dari 17 macam tarekat yang berlainan, seperti Qodiriyyah, Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, Syatariyyah, Suhrawardiyyah, Dasukiyyah, Jistiyyah, Aidrusiyyah, Kabrutiyyah, Khalwatiyyah, Ba'alawiyyah, Rifa’iyyah, Maduriyyah, Mahmudiyyah,Madyaniyyah, Kawabiyyah dan lainnya. Beliau telah mengarang kurang lebih 23 kitab, adapun ringkasan dari kitab-kitab beliau yang dapat kami petik dan diulas disini adalah :1.Al-Barakat al-Saylaniyyah
Kitab ini ditulis Syech Yusuf sekitar tahun 1221 H/1806 M di Sailan, pada saat pembuangan zaman Belanda. Adapun isi kitab mengulas 3 macam Dzikir :
•Dzikir lafadz “Laa Ilaaha Illa Allah” adalah dzikir lisan yang diamalkan oleh orang-orang awam
•Dzikir Lafadz “Allah..Allah” adalah dzikir hati (Qolb) yang diamalkan oleh orang-orang khusus
•Dzikir Lafadz “Hu..Hu..(Huwa)” adalah dzikir Rahasia atau Perasaan (Sirri) yang diamalkan oleh orang khususnya orang khusus (Syech, dzikir ini tidak semua orang dapat mengalaminya, disebabkan dzikirnya orang paling istimewa (akhas al-khawas)
Kitab ini juga menerangkan bahwa wujud yang benar itu hanya berdiri sendiri, sedangkan yang fana wujudnya hanya khayal dan tidak sebenarnya. Allah disebut alam dan juga disebut al-wujud, al-adam dan al-ma’dum. Al-Ma’dum karena tidak ada wujudnya, meskipun kita melihat wujud, akan tetapi ia tidak berdiri sendiri. Allah disifati “Tidak ada sesuatu yang menyerupaiNya dan Dia yang mempunyai segala sesuatu” (As-Syura:11). Allah memperlihatkan diriNya dengan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan tempat maqam hambaNya. Sedangkan tempat maqam hambaNya yang tertinggi adalah orang istimewa (Akhas al-khawas) yang hatinya menjadi singgasana Allah (Arasy-Nya), jika sampai maqam ini maka hambaNya tidak terkena dosa sama sekali.
Imam Junaid Al-Baghdady mengatakan “ Jika orang menuju kepada Allah 1000 tahun, maka Allah hanya memperlihatkan diriNya hanya sekejab mata”.
Abul Hasan Al-suri mengatakan “bahwa kita semua harus bertaubat dari segala sesuatu selain Allah”,siapa yang tidak bertaubat, maka dia tidak mempunyai tempat dan tidak akan pernah bertemu denganNya. Tanda Taubat adalah hati terbebas dari segala hawa nafsu.
2.Bidayat al-Mubtadi
Kitab ini menerangkan bahwa ilmu yang diberikan kepada seseorang harus sesuai dengan maqam atau kemampuan mereka untuk menerimanya, sebagaimana Sabda Rosul “ Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan tingkat kemampuan/kesanggupan akal mereka”. Adapun Maqam para Wali Allah adalah bersifat mulia, tawakkal, sabar, syukur, menjalankan sunnah, suka menolong, rendah hati dan tidak sombong, rela pada Qodlo dan Qodar.
Dikatakan pula tentang pentingnya mengerjakan amalan dan ibadah bersifat Syar’i (Syari’at). Tiap-tiap syariat tanpa hakekat adalah Batil (fasiq), sedangkan hakekat tanpa Syariat adalah zindiq (sesat). Para Ahli Tasawuf bersepakat “Bahwa sesungguhnya syarat jadi Wali Allah adalah keterikatan pada Syariat, lebih-lebih memegang teguh Hakekat”. Kalau tidak demikian, maka selamanya ia tidak dapat menjadi seorang wali-wali Allah, meskipun ia telah menunjukkan hal-hal atau kehebatan yang sangat luar biasa, kehebatan tersebut dikatakan “istidraj” bukan “karomah”.
3.Kaifiyyat al-Dzikir
Kitab ini berisi ringkasan tentang penting dzikir lafadz Laa Ilaaha Illa Allah diucapkan lisan maupun di hati. Hal ini amat penting bagi seorang hamba agar selalu ingat/dekat pada Allah dan mengetahi bahwa tiada yang pantas di sembah/dituju selain Allah. Adapun selain Allah yang perlu ditiadakan seperti berhala, matahari, bulan, bintang, api, gunung, laut, dan lain sebagainya. Tiada yang dimaksud/dituju selain Allah.
Tentang Adab dan tata cara dzikir ada 20 hal, yaitu 5 hal sebelum dzikir, 12 hal pada saat dzikir dan 3 hal sesudah dzikir. Seperti contoh 5 hal sebelum dzikir yang perlu dilakukan, 1)Tobat dari segala dosa besar/kecil, 2) Wudlu/Mandi Besar, 3) Tidak berbicara kecuali untuk Dzikir, 4) Wasilah melalui Guru (syech) untuk membimbing cara dzikir, 5) Memahami bahwa guru (syech) adalah pewaris/pengganti Rosulullah. Para ulama Arif menyatakan “Barang siapa mencari jalan/ilmu tanpa petunjuk jalan/ilmu berarti ia mencari jalan yang mustahil. Oleh karena itu siapa yang tidak mempunyai Guru (Syech), maka Syetan yang menjadi gurunya.
Sebagai contoh kesungguhan al-Junaid ketika ditanya “bagaimana ia sampai kepada Allah (Ma’rifatullah), beliau menjawab sambil menunjuk pipinya “Dengan meletakkan ini dipintu rumah guruku selama 40 tahun lamanya”.
4.Hazimi Fawaid Lazimah Dzikir Laa Ilaaha Illa Allah
Kitab berisi tentang kewajiban seorang hamba mengucapkan Lafadz Dzikir Laa Ilaaha Illa Allah untuk memperhatikan maksud dan arti yang luhur. Maksudnya Allah yang memiliki wujud mutlak yang Maha sempurna serta disifati dengan semua sifat yang sempurna. Dia adalah pemersatu dua hal yang berlawanan , Ia Yang Awal tanpa awalan dan Yang Akhir tanpa akhiran. Ia Yang Lahir dan Yang Batin, Ia yang tiada sesuatu tanpa Dia, Allah itu tiada sesuatu bersamaNya.
Selain itu, disini juga diulas tentang dzikir Hu atau Huwa, wajiblah seorang hamba memperhatikan maksud isyarat kata tersebut, yaitu “Huwiyyah” atau Ke-Dia-Nya dirahasiakan dalam segala sesuatu dari Yang Kuasa diatas semua hambaNya. Dia Yang Menang tiada terkalahkan, Dia Yang Menggerakkan tanpa digerakkan. Segala sesuatu yang buruk tidak kembali kepadaNya, sedangkan segala sesuatu itu dari Dia dan kepadaNya segala sesuatu akan kembali.
Harus diingat bahwa mengerjakan segala sesuatu harus secara ikhlas dengan niat karena Allah semata. Bukan karena dunia atau Akhirat, dunia itu haram bagi orang-orang akhirat, begitu juga akhirat haram bagi orang dunia. Sedangkan kedua-duanya haram bagi orang yang mengenal Allah Ta’ala.
Ada pula yang berkata “bahwa dikehidupan akhirat nanti, orang-orang dunia akan dilayani oleh budak lelaki dan budak perempuan, orang-orang akhirat dilayani oleh orang-orang merdeka dan pembesar, sedangkan orang yang mengenal Allah di akhirat nanti akan dilayani oleh para raja dan sultan.
5.Kaifiyyat al-Nafy wal al-Istbat bi al-Hadits al-Qudsi
Kitab ini ditulis Syech Yusuf pada waktu masa pembuangan zaman Belanda di Pulau Sandib atau Sailan. Beliau mengemukakan Hadits Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah, bahwa “Rosulullah selalu mengerjakan dzikir kepada Allah setiap waktu dan segala keadaan. Hal ini diperkuat oleh Firman Allah “Ingatlah kepadaku, nicaya aku ingat kepadamu” (Al-Baqarah: 152). Sejumlah besar Hadits Rosulullah maupun Hadits Qudsi menyebut tentang kemuliaan dan keutamaan akan pentingnya Dzikir kepada Allah, sebagaimana sabda Rosul yang artinya “Jika Allah menghendaki kebaikan pada hambaNya, maka ia diilhami dengan memperbanyak Dzikir”. Dalam Hadits Qudsi juga diperkuat yang artinya “Berdzikir (Ingat kepadaKU) secara bersama-sama adalah lebih baik”. Firman Allah dalam Hadits Qudsi, yang artinya “ Laa Ilaaha Illa Allah adalah bentengKu, barang siapa masuk bentengku, maka ia aman dari siksaKu”.
Wujud hakiki hanya wujud Al-Haq Ta’ala karena ia berdiri sendiri. Wujud selain Dia dikatakan wujud majazi, bukan wujud hakiki, dikarenakan ada ketergantungan dengan yang lain dan tidak dengan sendirinya. Hal ini disebut juga ‘ma siwallah, artinya apa yang ada selain Allah. Wujud Majazi ini kita umpamakan seperti sebuah bayangan yang pada hakikatnya tidak ada.Wujud selain Allah hanya fenomena dari wujud yang berdiri sendiri dan yang memberi wujud bagi lainnya, wujud yang berdiri sendiri dan yang memberi wujud itulah wujud al-Haq Ta’ala.
6.Matalib Al-Salikin
Kitab ini mengulus 3 hal pokok yang perlu diketahui oleh para ahli salik, yakni tauhid, Ma’rifat dan ibadah. Ketiga hal tersebut digambarkan syech Yusuf seperti pohon.
Tauhid diibaratkan akarnya pohon, Ma’rifat seperti dahan atau daun, sedangkan ibadah adalah buahnya. Jika engkau menemukan sebatang pohon, maka engkau akan menemukan akar dan juga dahan serta daunnya, tentu engkau juga berharap menemui buahnya. Jika engkau tidak mendapatkan akar dan dahannya, maka pasti tidak ada buahnya. Jika engkau memahami Tauhid, maka akan sampai kepada Ma’rifat, dan jika engkau telah sampai pada Ma’rifat, maka engkau akan sampai ke ibadat, oleh karena itu, perbanyaklah amal ibadahmu. Barang siapa tidak tahu Tauhid maka kafirlah ia, dan siapa yang tidak tahu akan ma’rifat, maka Jahillah ia, dan siapa tidak beribadat maka fasiqlah ia. Para ulama sufi berkata “ tidak ada yang maujud dalam lahir dan batin kecuali wujud Yang Esa, Dzat yang Esa dan Hakikat Yang satu.
Kata Allah terdiri atas 3 huruf, yaitu: Alif, Lam dan Ha’ , Huruf Alif yang berdiri tegak melambangkan ke-Esaan (Ahadiyah), Huruf Lam melambangkan isyarat kesempuraan (Kamaliyyah), huruf ha’ melambangkan ke-DiaanNya (Huwiyyah).
Allah itu Esa dalam DzatNya, Esa dalam sifat-sifatnya termasuk sifat kalamNya, mengetahui, melihat, hidup, kuasa, mendengar dan sifat-sifatNya yang lain. Ajaran tauhid menjadikannya (Syech Yusuf) sebagai seorang sufi yang melihat Tuhan dalam setiap benda yang ada disekelilingnya. Hal ini sesuai dengan ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan “Saya tidak melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan di dalamnya (dalam kekuasaanNya dan kebesaranNya). “
7.Qurrat al-Aini
Kitab ini berkisar pada wali-wali dan orang-orang yang terkenal dalam ma’rifat kepada Allah, dan tentang pentingnya mengamalkan syariat bagi orang arif serta tafakkur kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasul “ Tafakkur sesaat lebih mulia dari ibadah seribu tahun”.
Selain itu kitab ini menguraikan tafsir surat Al ikhlas sebagai dasar tauhid, dan membicarakan kemuliaan Nabi Muhammad SAW atas semua para Nabi dan Rasul sebelumnya, termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam. Dikatakan pula, tidak boleh berijtihat dengan kebodohan, melainkan harus berdasarkan dengan ilmu.
Ketahuilah “Hukum syariat menjadi lemah karena lemahnya pemerintah kerajaan, dan rusaknya aturan kekuasaan”. Kuatnya pemerintah kerajaan dapat menjamin dan menyebabkan tegaknya syariat dan aturan-aturan agama Islam, karena kedua hal tersebut adalah bersaudara. Penguasa yang menegakkan agama dapat menjamin terlaksananya ajaran syariat, hal ini sesuai dengan istilah “din wa daulah”.
8.Gayat al-ikhtisar wa nihayat al-intizar
Pada bagian awal kitab ini dikatakan oleh penulis bahwa “Dengan takdir dan Qodlo Allah yang berada di bumi Sailan, tempat turunnya Adam as. Yang terkenal dengan nama pulau Sarandib tempat pengasingan para pemberontak.
Kitab ini menjelaskan hukum-hukum al-a’yan al-sabitah dan tawajjuh atau bagaimana menghadapkan diri kepada Allah dengan menyebut nama-namaNya. Al-a’yan sabitah bagi orang arif itu ialah gambaran bentuk yang diketahui/ dikenal dari benda-benda dalam pengetahuan Allah yang qadim dan Azali. Ilmu ilahi itu qadim, karena dzatNya itu qadim. Adapun hubunganya dengan al-sabitah dan sifatnya al-a’yan itu karena ia tetap di dalam ilmu ilahi, tidak lepas dan keluar daripadanya. Arti al-a’yan di sini: Benda-benda yang terang ada di dalam ilmu. Ia mempunyai nama-nama lain dari jumlah al-ma’lumat al-ilmiah.
Hakikat dalam bahasa itu bukan benda itu sendiri: ia itu ia. Dalam istilah orang arif yang sempurna; hakikat itu berada dengan siapa benda itu berdiri, dari bab ini diketahui bahwa al-haq itu hakikatnya benda-benda, karena benda-benda itu berdirinya karena Allah ta’ala.Telah berkata beberapa orang alim, bahwa wujud alam ini wajib, maka dijawab betul, jika tahu apa yang dimaksud dengan kata-kata itu. Ini ibarat ciptaan Tuhan terhadap dia. Jika ia menemukan Allah, maka ia harus ada karena adanya Allah ta’ala, maka wujudnya itu ibarat wajib, bukan mungkin. Sebetulnya wujud alam itu mungkin sebelum ada hubungan dengan ciptaan Allah tetapi sesudahnya maka adanya alam itu wajib dan wujudnya karena Allah dengan arti bahwa alam itu harus ada karena dicipta oleh Allah al-Malik. Adapun kata ‘Adamiyah (tidak ada) itu ibaratnya tidak ada wujudnya di luar. Sedangkan yang dimaksud dengan perkatan wujudiyah itu ibarat ma’lumiyah-nya, sedang yang diketahui itu mesti maujud. Yang Qodim, wujudnya di luar itu hanya al-haq ta’ala, sedang yang hadist dan maujud di luar itu hanya alam. Maka a’yan sabitah itu bukan al-Haq ta’ala, sehingga qadim itu maujud di luar dengan sendirinya.
9.Safinat al-Najat
Kitab ini ditulis pada saat Syech Yusuf berada di pulau Sarandib atau Sailan, disanalah beliau bertemu dengan para ulama dari negeri Islam, seperti Syech Abu al-Ma’ani Ibn Mian. Disebutkan juga beliau telah menerima bai’at tarekat dari 17 macam tarekat, yaitu Qodiriyyah, Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, Syatariyyah, Suhrawardiyyah, Dasukiyyah, Jistiyyah, Aidrusiyyah, Kabrutiyyah, Khalwatiyyah, Ba'alawiyyah, Rifa’iyyah, Maduriyyah, Mahmudiyyah,Madyaniyyah, Kawabiyyah dan Ahmadyaniyyah.
Silsilah tarekat Khalwatiyyah disebut Syech-Syechnya mulai Muhy al-Din ibn ‘Arabi. Silsilah tarekat Syatariyyah diambil ijazahnya dari Syech Ibrahim al-Hasan Ibn Syihab al-Din al-Kurdi al-Kurani al-Madani (Ibrahim al-Kurani), melalui jalur Syech al-Qusyasyi Ahmad Ibn Muhammad Yunus al-Muqalli, melalui jalur Syech Ahmad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Quraisyi al-Abbasi al-Massa’i di madinah dan akhirnya sampai ke Ali Ibn Abi Thalib yang mengambil langsung ke Rosulullah.
Silsilah Tarekat Naqsyabandiyyah diambil ijazahnya dari Syech Abu Abdullah Muhammad Abd al-Baqi al-Mazjaji al-Yamani al-Zaidi al-Naqsyabandidi Nuhita Yaman, Melalui Jalur Imam al-Qutub al-Farid Taj Muhammad Ibn Zakariyyah al-Naqsyabandy al-Usmani di Mekkah. Melalui Jalur Imam al-Mulla Khaajaki terus keatas Salman al-Farisi al-Sahabi dari Abu Bakar al-Shiddiq dan ke Rosulullah.
Silsilah Qodiriyyah beliau dapat ijazah dari Syech Nuruddinal-Raniri, melalui jalur Sayid Umar Ibn Abdullah Ibn Abd Rochman Saiban al-Hadrami al-Burhanpuri. Melalui Jalur Syech Abdullah al-Aidrusi dari Ahmadabad, beliau mendapatkan dari Abu Bakar Ibn Abdullahal-Aidrusi (tokoh Hadramaut Yaman) dan ke terus sambung ke Syech Abd Qodir al-Jailani terus sambung keatas sampai Rosulullah SAW
10.Sirr al-Asrar
Kitab menerangkan tentang beberapa pedoman pokok dan ajaran bagi para sufi, seorang harus mengetahui bahwa Allah selalu bersamanya kapanpun dan dimanapun ia berada, sebagaimana Firman Allah “ Dia bersamamu dimanapun kamu berada”.
Pada awal kitab telah disebutkan dalam permulaan sulukmu harus kamu sebut Laa Ilaaha Illa Allah terus menerus di setiap waktu dan keadaan. Wajib atas hamba mengetahui bahwa apa yang didengarnya dari bermacam-macam suara merupakan tasbih dan dzikir kepada Allah, karena tiap-tiap benda dan makhluk selalu bertasbih kepadaNya. Sabda Rasul yang artinya “Setiap suara ombak itu tasbihnya”, Sebagaimana juga Imam Muhy al-Din Ibn Arabi mengatakan “Tiap-tiap yang ada mempunya roh, dan Tasbih itu hanya untuk sesuatu yang mempunyai roh”. Roh itu hati dan maknanya.
Tarekat itu dhohirnya syariat dan batinnya adalah hakikat, sebab pada dasarnya Rosulullah diutus untuk membawa ajaran syariat dan hakikat. Secara Dhohir hamba hendaklah takut kepada Allah, sedangkan secara batin ia mengharap kepadaNya, kita takut kepadaNya di tempat harap, dan kita mengharap ditempat takut. Seorang hamba kalau hanya berharap saja, tanpa disertai rasa takut maka hal ini amat bertentangan dengan Firman Allah. Sebab Allah pemersatu 2 hal yang bertentangan, Allah itu disifati Jalal dan Jamal, sperti sifat pengampun dan penyiksa. Sebagaimana Hadits Qudsi menyebutkan “RahmatKu mendahului marahKu”. Hal ini senada sebagaimana Rosulullah ditanya “siapa yang paling dekat kepadanya dihari kiamat? Rosul menjawab “Yang terbaik akhlaqnya”. Syech Abd al-Qodir al-Jailani yang ahli ibadah sholat dan puasa pernah ditanya “Bagaimana ia sampai kepada tempat maqam ma’rifat? Namun beliau menjawab, “Rendah hati, berakhlaq yang baik, berjiwa besar, berbaik hati, sabar dan tawakkal kepada Allah.
11.Taj al-Asrar Fi Tahqiq Masyarib al-Arifin
Kitab menjelaskan tentang al-ihatah (liputan) dan al-ma’iyyah (kebersamaan). Dekatakannya kebersamaan Allah dengan hambaNya seperti kebersamaan Roh dengan Jasad, seperti pekerjaan dengan yang mengerjakan. Keliputan (ilmu Tuhan) terhadap sesuatu terbatas dengan sifatNya. Seperti diibaratkan kayu bakar, kayu berdiri sendiri, sedang api berdiri dengan kayu bakar. Akan tetapi pada hakikatnya api itu api dan kayu bakar itu kayu bakar. Oleh karena itu hamba tetap jadi hamba, meskipun ia naik bersatu dengan Tuhan, demikian juga Tuhan tetap Tuhan meskipun ia turun. Hamba tetap jadi hamba, meskipun ia fana dan baqa ke dalam diri Tuhan dan tetap padaNya dan disifati dengan beberapa sifat Tuhan. Tuhan tetap Tuhan meskipun ia Dzahir ke dalam diri hambaNya dan disifati dengan sifat hamba.
Ketika Abu Sa’id al-Kharraz ditanya, “Dengan apa saya dapat mengenal Tuhan”? beliau menjawab “ Dengan mempersatukan dua hal yang berlawanan”. Allah disifati dengan Tiapa sesuatu yang serupa denganNya dan segala sesuatu itu adalah milikNya” (As-Syu’ara:11)
Syech Fadl Allah al-Burhanpuri berkata “Semua yang ada itu dari sudut wujudnya adalah ain al-Haq, dan dari segi ketentuannya bukan Dia. Dari segi hakikat semua yang ada adalah al-Haq Ta’ala. Bagaimana tidak demikian sedangkan Dia adalah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dialah Yang Tiada sesuatu menyerupaiNya. Ini suatu keanehan, karena dua hal yang bertentangan tidak dapat bertemu, sedangkan Dialah yang menyatukan dua hal yang bertentangan. Maka kata Syech Yusuf, fahamilah baik-baik, sebab kesalah pahaman dalam hal ini dapat menyebabkan orang tergelincir.
12.Tuhfat al-AbrarLi Ahl al-Asrar
Bagi ahli rahasia-rahasia ilahi, Syech Yusuf menguraikan dzikir dan akhlaq yang baik dan terpuji. “Tasawuf adalah Akhlaq yang mulia”, berakhlqa baik terhadap Allah maupun sesama, demikian perkataan beberapa orang sufi. Tasawuf bermula dengan menuju kepada Allah Ta’ala dan akhirnya berakhlaq dengan Akhlaq Allah. Hamba harus mempunyai sangkaan baik terhadap Allah dan semua manusia. Sebagaimana Firman dalam Hadits Qudsi “ Aku adalah menurut sangkaan hambaKu, maka sangkalah terhadapKu yang baik-baik”.
Selain itu disebut pula tentang macam-macam kiblat, terdapat 3 macam kiblat :
1.Kiblat Amal disebut kiblat orang-orang awam, bagi orang awam tidak sah sholat apabila tidak menghadap arah ke kiblat masjil haram
2.Kiblat ilmu disebut kiblat orang-orang khusus (al-khawas), sebagaimana Firman Allah “ Kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah” (Al-Baqarah : 115)
3.Kiblat al-sirr disebut kiblat khususnya orang khusus atau ahli ma’rifat ( akhas al-khawas), kiblat ini adalah kiblat rahasia yang meliputi segala sesuatu yang tampak, dalam segala sesuatu, atas segala sesuatu, menurut segala sesuatu, bersama segala sesuatu, kepada segala sesuatu dan Dialah Segala sesuatu itu.
13.Zubdal Al-asrar
Kitab ini ditulis Syech Yusuf dalam bulan safar tahun 1087 H (tepat bulan april-mei 1676 M). Kitab mengulas macam-macam dzikir
•Dzikir lafadz “Laa Ilaaha Illa Allah” adalah dzikir lisan yang diamalkan orang-orang awam, Firman Allah dalam Hadits Qudsi, yang artinya “ Laa Ilaaha Illa Allah adalah bentengKu, barang siapa masuk bentengku, maka ia aman dari siksaKu”.
•Dzikir Lafadz “Allah..Allah” adalah dzikir hati (Qolb) yang diamalkan orang-orang khusus
•Dzikir Lafadz “Hu..Hu..(Huwa)” adalah dzikir Rahasia atau Perasaan (Sirri) yang diamalkan oleh orang khususnya orang khusus (Syech, dzikir ini tidak semua orang dapat mengalaminya, disebabkan dzikirnya orang paling istimewa (akhas al-khawas), Lafadz Allah, apabila dihilangkan huruf Alif nya maka terbaca “Lillahi”, berarti untukNya dan karenaNya segala sesuatu .Apabila huruf kedua Lam dihilangkan, maka terbaca “Lahu” berarti milikNya dan KepunyaanNya segala sesuatu. Apabila huruf ketiga Lam di hilangkan, maka terbaca “Hu” berarti Dia, Dialah segala sesuatu tersebut. Dalam bacaan “Hu atau Huwa” dalam lafadz Allohu terdapat huruf wawu sukun, akan tetapi secara lafadz tidak tertulis. Hal ini menandakan Dia itu Maha Ghaib, seperti ghaibnya huruf wawu dalam Lafadz Allohu.
Sang salik dalam awal perjalanan memasuki dunia tasawuf adalah melakukan Tobat Nasuha, yakni bertaubat dengan penuh penyesalan atas segala dosa besar dan kecil yang dilakukan oleh dhohir maupun batin, baik disengaja maupun tidak disengaja. Sebagaimana Firman Allah, yang artinya “ Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri”. Selain itu pada hari kiamat yang mendapat syafaatnya dari Rosulullah adalah umat Islam yang berdosa, hal ini seperti disabdakan Rosulullah, yang artinya “Aku siapkan syafaatku untuk umatku yang berdosa besar”(Kitab Tauhid shohih Bukhori), “seluruh umatku akan diampuni kecuali yang terang-terangan berbuat dosa” (al-Mujaharoh,Shohih Bukhori-Muslim).
Tasawuf adalah Akhlaq yang mulia, permualan tasawuf adalah ilmu, pertengahannya adalah amal dan akhirnya adalah karunia. Manusia yang sempurna adalah manusia yang telah mengenal Allah dan sampai kedalam maqam Ma’rifatullah. Manusia sempurna yang selalu ingat kepada Allah dalam segala urusannya, atas kehendakNya, untuk Allah dan selalu disisinya. Manusia sempurna adalah manusia yang dipilih Tuhan untuk menampakkan diriNya, lalu diberikan segala macam sifatNya pada manusia tersebut, seolah-olah hamba tersebut berakhlaq dengan Akhlaqullah.
Dalam perjalanan mencapai tahapan ma’rifat ini sang salik harus membutuhkan seorang guru (mursyid) yang bisa mengantarkan perjalanan spiritualnya. Guru atau syech tersebut membimbingnya setelah calan sufi tersebut dinyatakan dan dibai’at masuk ke dalam salah satu tarekat.
Syech tarekat bagaikan Khalifah Allah di muka bumi ini, yang mempunyai sejumlah sifat Tuhan. Oleh sebab itu, sang murid harus mengetahui dan meyakinan bahwa ketika dia dibai’at gurunya, seakan-akan dibai’at Tuhan. Adapun faedah ikut sertanya sang murid dalam bai’at tersebut, tidak akan diketahui hakekatnya kecuali setelah ia meninggal. Sebagai contoh kesungguhan al-Junaid ketika ditanya “bagaimana ia sampai kepada Allah (Ma’rifatullah), beliau menjawab sambil menunjuk pipinya “Dengan meletakkan ini dipintu rumah guruku selama 40 tahun lamanya
Selain itu disebut pula tentang macam-macam kiblat, terdapat 4 macam kiblat :
1.Kiblat Amal disebut kiblat orang-orang awam, bagi orang awam tidak sah sholat apabila tidak menghadap arah ke kiblat masjil haram
2.Kiblat ilmu disebut kiblat orang-orang khusus (al-khawas), sebagaimana Firman Allah “ Kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah” (Al-Baqarah : 115)
3.Kiblat al-sirr disebut kiblat khususnya orang khusus atau ahli ma’rifat ( akhas al-khawas), kiblat ini adalah kiblat rahasia yang meliputi segala sesuatu yang tampak, dalam segala sesuatu, atas segala sesuatu, menurut segala sesuatu, bersama segala sesuatu, kepada segala sesuatu dan Dialah Segala sesuatu itu.
4.Kiblat Tawajjuh, adalah kiblat yang ada di hatisanubari dan sejajar dengan hakekat hati, yang telah diisyaratkan dalam sebuah Hadits “ Hati seorang Mukmin adalah Arsyullah”.Sebagian ulama sufi menyatakan “ Hati itu ghaib, al-Haq juga ghaib, sehingga yang ghaib lebih layak dengan pendekatan yang ghaib pula.
Kitab ini juga menjelaskan tentang ajaran Widat al-Wujud yang mutlak dan menghapuskan dualisme serta menghapuskan keberadaan apapun selain Allah dan menjauhkan diri dari segala yang berbau syirik yang nyata, maka ia akan melihat segala sesuatu adalah al-Haq. Ketahuilah itu dan renungkanlah, karena itu adalah ilmu yang sangat dalam. Dalam hal ini Abu Bakar Shiddiq juga berkata “Kelemahan dalam mengetahui adalah suatu pengetahuan”, lalu Ali menambahkan “Mencari Hakikat itu termasuk Syirik”. Sebagian ahli hakekat mengatakan :”Syarat kesempuan ibadat seorang hamba adalah mengetahui bahwa yang disembah itu tampak pada dirinya, kalau tidak demikian, ia tidak dapat menjadi penyembah yang sebenarnya, sebab ia dapat memasuki lautan syirik yang tersembunyi. Bagaimana tidak, sedangkan ia menjadi seorang penyembah karena ia menerima perintah dariNya Ta’ala dan Dia adalah yang disembah, karena segala sesuatu kembali kepadaNya. Ia juga harus mengetahui dan mengerti bahwa setiap kali ia menghadapi sesuatu apakah itu gambaran atau pengertian , ia mendapati al-Haq tampak padanya dan nyata olehnyadengan pengadaan dan penciptaaNya secara umum. Hal ini dapat dicapai setiap orangsesuai dengan kemampuannya dalam penerimaan penampakan itu secara khusus.
Sebagaimana Abu Yazid al-Bhistami menyatakan “ Aku adalah yang mencintai dan yang dicintai adalah Aku”. Abu Bakar al-Shiddiq berkata berkata “ Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sebelumnya”, Umar Ibn al-Khattab berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sesudahnya”, Usman ibn Affan berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan bersamanya, Sedangkan Ali Ibn Abi Thalib berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan di dalamnya. Perkatan para sufi dalam hal ini tujuannya sama. Adapun perbedaanya adalah terletak pada penyaksian perkataan mereka tersebut terhadap masing-masing dari mereka sesuai dengan tingkatan ma’rifatnya dalam kesufian.
Demikianlah Petikan dari beberapa kitab hasil karya Syech Yusuf Taj al-Makasari, semoga petikan ini dapat bermanfaat bagi para ahli suluk yang lagi berjalan menuju kehadllirat Allah SWT.
Wallohu A'lam
0 komentar:
Posting Komentar