Maqam Zuhud
MAQAM ZUHUDSecara terminologi zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT,
menyatukan kemahuan kepadaNya dan sibuk denganNya berbanding kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah memerhati dan memimpin seorang zahid (orang yang berperilaku zuhd).25 Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan:
“Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa pun dan pengosongan hati
daripada cita-cita”. Di sini seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan Tuhan yang dirasakannya dekat dengan dirinya. Sebagaimana juga Yahya ibn Mu`adh menyatakan bahawa zuhd adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan.
Seorang sufi meninggalkan harta benda dan kemewahan duniawi untuk
menuju Tuhan yang dicintai. Menurut Imam al-Ghazali bahawa hakikat zuhd
adalah “meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling daripadanya
kepada sesuatu yang lain yang terlebih baik daripadanya kerana menginginkan
sesuatu di dalam akhirat”. Seiring dengan pernyataan al-Ghazali, Ibn
Taymiyyah pula berkata bahawa zuhd itu bererti meninggalkan apa-apa yang
tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat.
Daripada pelbagai pengertian yang dikemukakan tergambar sebuah
kesinambungan pola pemikiran dalam bentuk sedikit berbeza. Namun
demikian zuhd seperti yang dipaparkan boleh menjadi kerangka acuan untuk
menelaah zuhd sebagai salah satu maqam dalam tasawuf. Definisi yang
dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dan Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah
misalnya merupakan penetapan atas pendekatan diri seorang hamba bersama
Tuhan dan hamba melihat sesuatu yang mengandungi nilai signifikan
terhadap ketaatan dirinya untuk kepentingan akhirat. Pernyataan yang agak
berbeza adalah ungkapan al-Junayd al-Baghdadi dan Yahya ibn Mu`adh
serta Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Mereka ini lebih memandang zuhd sebagai
satu kepentingan dalam mewujudkan cinta kepada Tuhan kerana Tuhan
bagi seorang zahid adalah harapan untuk mendapatkan Keredaannya. Allah
berfirman yang bermaksud:
“Mereka menjual Yusuf dengan harga murah, beberapa dirham sahaja,
sedang mereka itu orang yang zuhd (kurang suka) kepadanya. (QS.Yusuf:21)
Kandungan zuhd membangkitkan semangat spiritual yang tinggi. Pengabdian
serupa itu membawa zahid kepada ‘ubudiyyah yang sarat dengan muatan
kecintaan dan keredaan daripada Allah. Maka kebiasaannya seorang zahid
menahan jiwanya daripada pelbagai bentuk kenikmatan dan kelazatan hidup
duniawi, menahan daripada dorongan nafsu yang berlebihan agar memperoleh
kebahagiaan yang abadi. Seorang zahid juga mengikis habis nilai yang akan
menghalangnya untuk memperoleh rahmat dan kelazatan hidup di bawah
naungan Tuhan. Kecintaan kepada Tuhan mengalahkan segala alternatif
yang mendorong kepada hubb al-shahwat (cinta untuk menuruti hawa
nafsu). Perasaan naluri memberi kesaksian ke atas kecintaan, kedamaian dan
kebahagiaan hubungan dengan Rabb ketika ia lebih mengutamakan kebenaran
berbandingan dorongan hawa nafsu.
Hasan al-Basri seorang tokoh sufi zaman awal Islam dalam suatu
kesempatan mengatakan: “Jauhilah dunia ini kerana dia sebenarnya sama
dengan ular, licin pada rasa tangan tetapi racunnya membunuh”. Pelbagai
polemik telah terjadi dalam membincangkan kepentingan zuhd. Ada yang
memandangnya sebagai hal yang bersifat ukhrawi sehingga segala aktivitinya
berhubung dengan akhirat sahaja.
Bahkan ada juga yang melihat zuhd sebagaikehidupan faqir dengan memakan makanan kasar (tidak mementingkan kesihatan) atau memakai pakaian kusam dan kasar. Ulama’ salaf seperti Sufyan al-Thawri, Ahmad ibn Hanbal, ‘Isa ibn Yunus dan lain-lainnya menegaskan :
"bahwa zuhd di dunia bererti membatasi angan-angan dan keinginan".
Zuhd sebenarnya bukanlah mengharamkan yang halal atau sebaliknya
juga bukan membenci kekayaan duniawi tetapi ia menjadi perisai agar tidak
terpesong dan menafikan hal-hal yang penting daripada Islam (menyimpang
daripada ajaran Islam yang sebenarnya). Namun demikian persoalan zuhd tetap
menampung perbezaan dalam satu kesatuan yang utuh dengan meletakkan
posisi Rabb pada tempat yang tetap sebagai objek daripada kecintaan dan
harapan keredhaanNya.
Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat dan seruan agar mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya yang fana dan pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki setelah kematian. Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan yang sebenarnya.
Allah berfirman,
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu, batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai perhiasannya dan tempat untuk saling bermegah-megahan dengan kenikmatan yang ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.
Allah menyerupakan kehancuran dunia dan kefanaannya yang begitu cepat dengan hujan yang turun ke permukaan bumi. Ia menumbuhkan tanaman yang menghijau lalu kemudian berubah menjadi layu, kering dan pada akhirnya mati. Demikianlah kenikmatan dunia, yang pasti pada saatnya akan punah dan binasa. Maka barangsiapa mengambil pelajaran dari permisalan yang disebutkan di atas, akan mengetahui bahwa dunia ibarat es yang semakin lama semakin mencair dan pada akhirnya akan hilang dan sirna. Sedangkan segala apa yang ada di sisi Allah adalah lebih kekal, dan akhirat itu lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata dibandingkan dengan es. Apabila seseorang mengetahui dengan yakin akan perbedaan antara dunia dan akhirat dan dapat membandingkan keduanya, maka akan timbul tekad yang kuat untuk menggapai kebahagian dunia akhirat.
Definisi Zuhud
Banyak sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada makna yang hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat tersebut.
Makna secara bahasa:
Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.
Makna secara istilah:
Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam, yakni : 1) Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara halal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi. 2) Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.
Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan perbuatan hati:
Bagi seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari keyakinannya yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku tidak pernah takut miskin karena percaya kepada Allah, dan tidak pernah mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Engkau tidak takut miskin?” Beliau menjawab, “(Mengapa) aku harus takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi serta apa yang berada di antara keduanya.”
Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang lainnya, dia lebih mengharapkan pahala karenanya daripada mengharapkan kembalinya harta atau anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu besar, maka dia akan lebih memilih pujian daripada celaan. Hal itu akan mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela atau dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan hatinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran.
Hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah Nabi, teladan bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan istri. Demikian juga Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat zuhud yang sebenarnya.
TINGKATAN ZUHUD
Ada beberapa tingkatan zuhud sesuai dengan keadaan setiap orang yang melakukannya, yaitu:
Berusaha untuk hidup zuhud di dunia; sementara ia menghendaki (dunia tersebut), hati condong kepadanya dan selalu menoleh ke arahnya, akan tetapi ia berusaha melawan dan mencegahnya.
Orang yang meninggalkan dunia dengan suka rela, karena di matanya dunia itu rendah dan hina, meskipun ada kecenderungan kepadanya. Dan ia meninggalkan dunia tersebut (untuk akhirat), bagaikan orang yang meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan uang dua dirham (maksudnya balasan akhirat itu lebih besar daripada balasan dunia).
Orang yang zuhud dan meninggalkan dunia dengan hati yang lapang. Ia tidak melihat bahwa dirinya meninggalkan sesuatu apapun. Orang seperti ini bagaikan seseorang yang hendak masuk ke istana raja, terhalangi oleh anjing yang menjaga pintu, lalu ia melemparkan sepotong roti ke arah anjing tersebut sehingga membuat anjing tersebut sibuk (dengan roti tadi), dan ia pun dapat masuk (ke istana) untuk menemui sang Raja dan mendapatkan kedekatan darinya. Anjing di sini diumpamakan sebagai syaitan yang berdiri di depan pintu (kerajaan/surga) Allah, yang menghalangi manusia untuk masuk ke dalamnya, sementara pintu tersebut dalam keadaan terbuka. Adapun roti diumpamakan sebagai dunia, maka barangsiapa meninggalkannya niscaya akan memperoleh kedekatan dari Allah.
Untuk mengkaji makna zuhud, dapat dibedakan kepada tiga peringkat
yang meliputi:
1. Zuhd dalam shubhat setelah meninggalkan yang haram kerana tidak
menyukai celaan di mata Allah, tidak suka kepada kekurangan dan
tidak suka bergabung dengan orang-orang fasiq. Zuhd dalam shubhat
bermakna meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu
itu halal atau haram dalam pandangan zahid. Contohnya, shubhat
merupakan pembatas seperti kematian dan kehidupan sesudahnya
yang menjadi pembatas antara dunia dan akhirat, kederhakaan yang
menjadi pembatas antara iman dan kufur;
2. Zuhd dalam perkara-perkara yang berlebihan iaitu sesuatu yang lebih
daripada kelaziman dengan melepaskan kerisauan hati dan dengan
mencontohi para nabi dan siddiqin. Contohnya teladan doa dalam
aspek makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya.
Jika sufi memenuhi teladan ini untuk menambah kekuatan dalam
melakukan hal yang dicintai dan diredai Allah dan menjauhi yang
dimurkaiNya, maka itu dinamakan sebagai mengisi waktu sekalipun
dia mendapat kenikmatan kerana menggunakan hal tersebut
3. Zuhd dalam zuhd yang dapat dilakukan dengan tiga cara iaitu
menghina perbuatan zuhd, menyeimbangkan keadaan ketika
mendapat dan meninggalkan sesuatu dan ingin memperoleh balasan.
Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah
tidak layak melihat keduniaan yang ditinggalkannya sebagai suatu
pengorbanan. Sebagaimana seorang sufi, oleh kerana kecintaannya
kepada Allah, maka seorang ahli sufi beribadah dan meninggalkan
perkara-perkara lain seperti kepentingan dan kemewahan dunia
dengan tujuan untuk mencapai kecintaan Allah Ta’ala
Imam Al-Ghazali memberikan tiga tips cara zuhud, yakni : Pertama, memaksa diri untuk mengendalikan hawa nafsunya. Kedua, sukarela meninggalkan pesona dunia karena dipandang kurang penting. Ketiga, tidak merasakan zuhud sebagai beban, karena dunia dipandang bukan apa-apa bagi dirinya.
Sementara itu, Ibrahim bin Adham pernah ditanya seorang lelaki, “Bagaimana cara engkau mencapai derajat orang zuhud?” Ibrahim menjawab,”Dengan tiga hal, pertama, aku melihat kuburan itu sunyi dan menakutkan, sedang aku tidak menemukan orang yang dapat menentramkan hatiku di sana. Kedua, aku melihat perjalanan hidup menuju akherat itu amat jauh, sedang aku tidak memiliki cukup bekal. Ketiga, aku melihat Rabb Yang Maha Kuasa menetapkan satu keputusan atasku, sedang aku tidak punya alasan untuk menolak keputusan itu.” (Abu Ishak Ibrahim bin Adham Al Balkhi)
Hakikat zuhud adalah menyingkirkan apa apa yang semestinya disenangi dan diinginkan oleh hati, karena yakin ada sesuatu yang lebih baik untuk meraih derajat yang tinggi di sisi ALLAH.
Syeikh Abdul Samad Al Palimbani mengatakan bahwa ada rukun kezuhudan.
1. Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi
2. Meninggalkan keduniaan karena mengharapkan akhirat.
3. Meninggalkan segala sesuatu selain ALLAH karena mencintainya.
Sebagai contoh untuk zuhud tingkat ini, ada satu kisah seorang sahabat Nabi ternama, Haritsah. Nabi SAW bertanya "Bagaimana kamu hari ini, wahai Haritsah?"
Dia menjawab, "Aku sungguh beriman, ya Rasulullah."
"Apa buktinya?" Tanya Nabi. Dia menjawab, "Aku telah memalingkan jiwaku dari dunia ini. Itulah sebabnya di siang hari aku haus dan di malam hari kau terjaga, dan rasa rasanya aku melihat Arasy Tuhanku menghampiriku, dan para penghuni surga sedang bersuka ria dan para penghuni neraka sedang menangis. "Nabi SAW bersabda," itulah seorang mukmin yang hatinya telah dibukakan ALLAH. Kau telah tahu Haritsah, maka jangan lupa. "
Imam Ahmad Ibnu Hambal mengklasifikasikan tingkatan zuhud yakni: -
1. Zuhudnya orang sipil adalah meninggalkan hal hal yang haram
2. Zuhud orang orang yang khawas (khusus) yaitu meninggalkan hal yang berlebih lebihan (al fudhul) meskipun barang halal.
3. Zuhud orang Arif yaitu meninggalkan segala sesuatu yang dapat memalingkan dari mengingat ALLAH.
Al Imam Ghazali pula membagi zuhud atas tiga tingkat yakni: -
1. Tingkat terendah adalah menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman di akhirat
2. Tingkat kedua adalah mereka yang menjauhi dunia karena ingin mendapatkan imbalan di akhirat
3. Tingkat tertinggi adalah zuhud yang ditempuh bukan lagi karena takut atau harap, tapi semata mata karena cinta kepada ALLAH Ta'ala.
Menurut Syeikh Abdus Samad Al Palimbani, proses kehidupan zuhud itu ada 3 tingkat: -
1. Zuhud Awal
2. Zuhud Menengah
3. Zuhud tingkat Terakhir (muntahi)
Pada semua tingkat proses kezuhudan tersebut baik di tingkat awal maupun akhir, para zahid harus membentengi dirinya dengan sifat2 wara 'atau wira / I yaitu menjaga diri dari hal hal yang haram dan hal hal subahat serta segala sesuatu yang meragukan
Tingkat Pertama
Zuhud awal (mubtadi ') adalah kezuhudan seseorang yang dalam hatinya masih ada rasa cinta kepada keduniaan, namun demikian dia bersungguh sungguh melawan hawa nafsunya. Maka, pada tingkat awal inilah seorang zahid harus melatih diri untuk bersikap wara '. Wara 'bagi zahid pemula dapat diartikan sebagai sifat dan sikap hidup seseorang yang selalu meninggalkan hal hal subahat yaitu segala sesuatu yang belum jelas hala, atau haram. Sebagaimana di terangkan dalam hadis Nabi SAW
"Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Tapi di antara keduanya ada hal yang masih Samara Samara (subahat). Mengambil yang subahat dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam larangan Tuhan "
Tingkat Kedua
Zuhud orang yang hatinya sudah meninggalkan dunia, hatinya tidak lagi tertarik kepada dunia. Pada tahap ini orang orang zahid dituntut meningkatkan sikap wara'nya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu wira'I yang biasa diartikan sebagai sikap hidup meninggalkan segala sesuatu yang meragukan dalam hati, sebagaimana sabda Nabi SAW
"Tinggalkan apa yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukan"
Ini karena keraguan itu merupakan bagian dari angkara setan agar manusia menjadi was was atau syak. Nabi SAW juga pernah mengingatkan, bahwa hakikat dosa sesungguhnya terletak pada apa yang diragukan oleh hati nurani. Karena itu ia mengajarkan manusia agar selalu bertanya dan minta pertimbangan pada hati nuraninya yang benar.
Berdasarkan dua tahap proses kezuhudan tersebut di atas, seorang zahid dapat naik ke tingkat zuhud yang paling tinggi nilainya yaitu zuhud muntahi; zuhudnya golongan orang yang sudah makrifatullah (arifin). Bagi mereka, dunia dan segala isinya ini sudah tidak ada nilainya lagi sehingga segenap hati dan pikiran mereka sudah menghadap ke akhirat. Maka zahid pada tingkat yang tertinggi ini memilikki cirri cirri ruhaniah amat tinggi maqamnya. Hatinya tidak lagi bersuka ria karena memperoleh sesuatu dan tidak pula bersedih karena kehilangan sesuatu; orang yang memujinya, dan orang yang mencelanya dianggap sama saja, dan dia selalu merasa dekat dengan Tuhan dan merasakan nikmatnya ibadah.
Seiring dengan tingkat kezuhudan yang dicapai oleh para zahid muntahi ini, maka sifat sifat wira'I yang dimilikki mereka pun merupakan nilai nilai hakiki yang tinggi. Mereka menjalani wira'I dalam arti meninggalkan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang lalai dan lupa kepada ALLAH walau sekejap saja dianggap sebagai dosa. Inilah puncak hakikat zuhud dan wira'I yang sesungguhnya.
Zuhud tingkat pertama adalah kalangan orang awam, zuhud tingkat kedua adalah dikalangan para Salik yang saleh dan tingkat terakhir ini hanya dapat dimilikki oleh orang orang yang lebih khusus atau khawas al khawas yaitu para Sufi sebagai orang orang yang arif bijaksana
HAL YANG MENDORONG HIDUP ZUHUD
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan, kesusahan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Adapun hal-hal yang mendorong seseorang hidup zuhud :
1. Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya, yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat! betapa dahsyatnya peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan membuat kecintaannya terhadap dunia dan kelezatannya menjadi hilang dalam hatinya, kemudian meninggalkannya dan merasa cukup dengan hidup sederhana.
2. Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam berhubungan dengan Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang tinggi di akhirat kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang telah ia peroleh, sebagaimana firman Allah,
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur: 6)
Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup zuhud.
3. Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras, mengorbankan tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa harus bergaul dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda halnya jika menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah; jiwa menjadi tentram dan hati merasa sejuk, menerima takdir Allah dengan tulus dan sabar, ditambah akan menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu akan memilih yang lebih baik dan kekal.
4. Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang kehinaan dan kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia hanyalah tipu daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah mencela orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-39)
Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)
Semua dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang yang beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih mengharapkan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa hasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau hasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
ZUHUD YANG BERMANFAAT DAN SESUAI SYARIAT
Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya adalah zuhud yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu yang memberi manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya, maka termasuk salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari sesuatu yang bermanfaat merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda Nabi,
“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)
Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah, menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang menghalangi hal ini adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah. Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perkara yang diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan kebutuhannya seperti makan dan minum; memakan sesuatu yang dapat merusak akalnya sehingga tidak mampu menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar; meningalkan jihad di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang jahat mampu menguasai negeri mereka dikarenakan meninggalkan jihad dan amar ma’ruf -tanpa ada maslahat yang nyata-.
Allah berfirman,
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.’” (QS. Al-Baqarah: 217)
Allah menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu merupakan keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran, kezaliman dan berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari membunuh jiwa. Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan melakukan keburukan yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama orang yang tidak mau menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan tersebut termasuk aniaya terhadap hewan. Orang seperti ini adalah jahil, karena hewan tersebut pasti akan mati. Disembelihnya hewan tersebut untuk kepentingan manusia adalah lebih baik daripada mati tanpa mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih sempurna dari hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk manusia kecuali dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai kendaraan atau yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya dan tidak menunaikan hak-haknya yang telah tetapkan oleh Allah.
Nabi bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka jikalau kalian membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits no. 3615)
KHILAFIAH ZUHUD
Zuhud yang menyelisihi Sunnah tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya. Karena ia menganiaya hati dan membutakannya, membuat agama menjadi buruk dan hilang nilai-nilai kebaikannya yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, menjauhkan manusia dari agama Allah, menghancurkan peradaban, dan memberi kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menguasai mereka; merendahkan kemuliaan seseorang serta menjadikan seorang hamba menyembah kepada selain Allah. Berikut ini beberapa perkataan para penyeru zuhud yang menyelisihi petunjuk Nabi.
Perkataan Junaid, salah seorang penyeru zuhud yang menyelisihi syariat, “Saya senang kalau seorang pemula dalam kezuhudan tidak menyibukkan diri dengan tiga perkara agar tidak berubah keadaannya, yaitu bekerja untuk mendapatkan rezeki, menuntut ilmu hadist, dan menikah. Dan lebih aku senangi jika seorang sufi tidak membaca dan menulis agar niatnya lebih terarah.” (Kitab Qutul-Qulub 3/135, kitab karya Junaid).
Perkataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Jika seseorang telah menuntut ilmu, pergi mencari rezeki atau menikah, maka dia telah bersandar kepada dunia.” (Kitab Al-Futuhat Al-Makiyah, 1/37).
Padahal telah dimaklumi bahwa semua peradaban di dunia ini tidak mungkin tegak dan berkembang kecuali dengan tiga perkara, yaitu dengan bekerja, mencari ilmu, dan menikah demi meneruskan keturunan manusia. Rasulullah sendiri telah memerintahkan kita bekerja mencari rezeki sebagaimana dalam sabda beliau,
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah, Dawud, makan dari hasil kerja tangannya.” (HR. Bukhari, III/8 hadits no. 1930)
Dan Rasulullah telah memerintahkan umatnya untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan (lahir dan batin) untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Sedangkan untuk yang tidak mampu, hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat menjaganya (yaitu benteng nafsu).” (HR. Bukhari, VI/117)
Beliau juga memerintahkan kaum muslimin menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun dunia, sebagaimana sabdanya,
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (Ibnu Majah hadits no. 220. Hadist Sahih, lihat Kitab Al-Jami’ As-Shahih no. 3808 karya Al-Bani)
Wajib di sini adalah dalam menuntut ilmu agama. Adapun ilmu duniawi, tidak ada seorang pun yang berselisih tentang pentingnya ilmu tersebut, baik berupa ilmu kesehatan, ilmu perencanaan maupun ilmu lainnya yang manusia tidak mungkin terlepas darinya. Terpuruknya kaum muslimin ke dalam jurang kehinaan dan kemunduran pada masa sekarang ini tidak lain akibat kelalaian mereka dalam menuntut ilmu agama yang benar, merasa cukup dengan ilmu duniawi yang mereka ambil dari musuh-musuh mereka dalam berbagai macam aspek kehidupan, baik yang besar maupun yang kecil, banyak maupun sedikit, yang semuanya berujung kepada kebinasaan, hilangnya agama, akhlak, dan hal-hal utama lainnya.
Bukanlah yang disebut Zuhud itu meninggalkan harta, tetapi yang disebut zuhud itu meninggalkan dunia karena tahu kerusakannya dan berpaling pada akhirat yang kekal. Firman ALLAH SWT: “Apa-apa yang di sisimu akan sirna, dan apa yang disisi ALLAH kan kekal” (QS An-Nahl 16/96). Berkata al-Fudhail: ALLAH menciptakan keburukan dalam satu rumah dan menjadikan cinta dunia sebagai kuncinya, dan ALLAH menciptakan kebaikan dalam satu rumah dan menjadikan Zuhud sebagai kuncinya.
Tingkatan Zuhud ada 3, yakni :
1. Tingkat Pertama adalah orang yang berusaha untuk Zuhud terhadap dunia dan ia merasa berat, tetapi ia terus berusaha sekuat tenaga, orang ini disebut sebagai mutazahhid dan ini tingkatan yang terendah.
2. Tingkat Kedua adalah ia telah mampu zuhud dengan sukarela tanpa harus menguras kemampuan, tetapi ia dapat melihat kezuhudannya dan dapat merasakan bahwa ia telah meninggalkan dunia dan merasa senang karenanya.
3. Sementara derajat ketiga dan yang tertinggi adalah yang zuhud dengan mudah, dan ia sudah demikian zuhud sehingga merasa biasa saja dengan kezuhudannya karena ia sudah merasa bahwa dunia itu tidak ada nilainya sedikitpun, maka jadilah ia seperti orang yang membuang kotoran dan pergi tanpa menoleh ataupun mengingat lagi, padahal dunia jika dibandingkan dengan sampah masih lebih hina lagi nilainya
Zuhud dilakukan terhadap berbagai hal sbb:
1. Zuhud terhadap makanan, dalam hadits Nabi SAW disebutkan kata A’isyah ra kepada keponakannya ‘Urwah: “Telah berlalu atas kami bulan baru, bulan baru, bulan baru (3 bulan) sementara tidak pernah menyala api di dapur rumah Nabi SAW dan keluarganya, maka ditanyakan oleh ‘Urwah: Wahai bibinda maka dengan apa kalian makan? Dijawab: Dengan air dan kurma.” (HR Bukhari 8/121 dan Muslim 8/217)
2. Zuhud terhadap pakaian, diriwayatkan dari Abi Bardah: “Telah keluar A’isyah ra pada kami membawa sehelai selendang kasar dan selembar kain keras sambil berkata: Telah dibungkus jasad Nabi SAW dengan kain seperti ini.” (HR Bukhari 7/195, Muslim 6/145, Abu Daud 4036 dan Turmudzi 1733) Dan berkata Al-Hasan ra: Umar ra pernah berkhutbah saat ia menjabat presiden sementara di bajunya aku hitung ada 12 bekas jahitan.
3. Zuhud terhadap tempat tinggal, dalam hadits disebutkan: “Seorang muslim diberi pahala dari semua harta yang dinafkahkannya, kecuali dari apa yang dibuatnya dari tanah ini (bangunan).” (HR Ibnu Maajah 4163), berkata al-Hasan ra: Aku jika memasuki rumah Nabi SAW, maka kepalaku menyentuh atap daun kurmanya.
4. Zuhud dalam alat rumah tangga, dalam hadits disebutkan kata Umar ra: “Saya masuk ke dalam rumah Nabi SAW, sedang ia bertelekan pada sebuah tikar kasar sehingga berbekas pada tubuhnya, maka aku melihat pada perabotannya hanya kulihat segenggam tepung sebanyak 1 sha’.” (HR Bukhari 7/38, Muslim 4/189, 191)
Zuhud yang terbaik menurut Ibnul Mubarak adalah yang menyembunyikan kezuhudannya dari manusia, ciri-cirinya adalah:
1. Ia tidak merasa senang dengan adanya sesuatu dan tidak merasa sedih dengan ketiadaannya, sebagaimana firman ALLAH SWT: “Agar engkau tidak berputus asa atas apa yang hilang darimu dan merasa senang dengan apa yang ada padamu.” (QS al-Hadiid 23) Dan inilah zuhud dalam harta.
2. Sama baginya dicela atau dipuji, ini merupakan tanda zuhud terhadap kedudukan.
3. Sangat dekat ia dengan ALLAH, dan hatinya dikuasai kelezatan taat pada ALLAH SWT.
Ketahuilah bahwa antara cinta pada ALLAH dengan cinta pada dunia sebagaimana air dengan udara dalam sebuah bejana, jika air masuk maka udara akan keluar dari bejana itu sebanyak air yang masuk, maka ada bejana yang dipenuhi air, 2/3 nya, 1/2 nya, dan seterusnya sampai ada yang kosong sama sekali dari air. Maka dimanakah letak hatimu ?!
Khatimah
Sebagai penutup tulisan ini, marilah kita lihat bagaimana kehidupan generasi pertama dan terbaik dari umat ini, generasi sahabat yang hidup di bawah naungan wahyu Ilahi dan didikan Nabi. Salah seorang tokoh generasi tabi’in, Imam al-Hasan al-Bashri berkata, “Aku telah menjumpai suatu kaum dan berteman dengan mereka. Tidaklah mereka itu merasa gembira karena sesuatu yang mereka dapatkan dari perkara dunia, juga tidak bersedih dengan hilangnya sesuatu itu. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah. Salah seorang di antara mereka hidup satu atau dua tahun dengan baju yang tidak pernah terlipat, tidak pernah meletakkan panci di atas perapian, tidak pernah meletakkan sesuatu antara badan mereka dengan tanah (beralas) dan tidak pernah memerintahkan orang lain membuatkan makanan untuk mereka. Bila malam tiba, mereka berdiri di atas kaki mereka, meletakkan wajah-wajah mereka dalam sujud dengan air mata bercucuran di pipi-pipi mereka dan bermunajat kepada Allah agar melepaskan diri mereka dari perbudakan dunia. Ketika beramal kebaikan, mereka bersungguh-sungguh dengan memohon kepada Allah untuk menerimanya. Apabila berbuat keburukan, mereka bersedih dan bersegera meminta ampunan kepada Allah. Mereka senantiasa dalam keadaan demikian. Demi Allah, tidaklah mereka itu selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada mereka.”
Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar