Maqam Ridlo
MAQAM RIDHORidha berasal dari kata radhiyah yang memiliki arti “rela” dan “menerima dengan suci hati”. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
Ridha hamba terhadap hukum Allah. ORang yang ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajat hamba-Nya tersebut.
Rida adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas
menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Rida
merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hambaNya daripada
usahanya yang maksima dalam pengabdian dan munajat. Rida juga merupakan
manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya
tersebut. Allah berfirman yang bermaksud:
“Dan keredhaan Allah adalah lebih besar.” (QS.At-Taubah:72)
”Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS 98: 8).
“Hai jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diredhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu.”(QS.Al-Fajr:27-30)
Bagi al-Ghazali kelebihan rida Allah SWT merupakan manifestasi daripada
keredhaan hamba.Rida terikat dengan nilai penyerahan diri kepada
Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan
Tuhannya agar sentiasa dekat dengan Tuhannya.
Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahawa seorang sufi tidak merasa terbeban dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.Adalah suatu kewajiban bagi seorang sufi untuk rela di atas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at. Rida pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana’ ini.
Ibn Khatib mengatakan: “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”
Dalam hadits atha’, Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulullah SAW menemui sahabat – sahabat Anshor, Beliau bersabda: ”apakah kamu orang – orang mukmin?” , lalu mereka diam, maka berkatalah Umar : “ Ya, Rasulullah”. Beliau SAW bersabda lagi: “ apakah tanda keimananmu?”, mereka berkata: “ kami bersyukur menghadapi kelapangan, bersabar menghadapi bencana, dan ridha dengan qada’ ketentuan Allah”, kemudian Nabi SAW bersabda lagi:”Orang- orang mukmin yang benar, demi Tuhan Ka’ba”.
Dalam hadits diatas diterangkan dengan jelas bahwa ridha merupakan tanda dari keimanan seseorang, ridha adalah suatu maqam mulia karena didalamnya terhimpun tawakal dan sabar.
Ridha tidak berarti menerima begitu saja cobaan yang diberikan oleh Allah swt. Walaupun dalam pengertiannya, ridha berarti menerima apa yang diberikan Allah dengan sabar dan ikhlas, bukan berarti tanpa ada keinginan maupun usaha untuk mengubah situasi yang telah terjadi menjadi lebih baik lagi.
Mereka yang ridha, dapat merasakan hikmah dan kebaikan Dzat yang mendatangkan ujian. Mereka tidak berburuk sangka kepadaNya. Disaat yang lain menghayati betapa Dia Maha Agung, Maha Mulia dan Maha Sempurna. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang menimpanya, karena mereka tahu bahwa musibah itu datangnya dari Dzat yang dicintainya.
Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridha. Hal ini berarti kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha. Allah berfirman, ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS 13: 11).
Ridha berbeda dari sabar dan pasrah
Sabar berarti menahan diri dari amarah dan kekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang. Pasrah adalah menerima segala ketetapan Allah, tanpa ada ikhtiar untuk mengubahnya sedikitpun. Ridha berbeda dari keduanya dan ridha merupakan salah satu sifat yang diutamakan (dimuliakan) oleh Allah swt.
Anas bin malik meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda :
اِنَّ اللهَ اِذَا اَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ لَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ عَلَيْهِ السُّخْطِ
“Sesungguhnya jika Allah menyayangi suatu kaum maka Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha maka baginya kerdihaan Allah dan siapa yang marah maka baginya murka Allah s.w.t.”
Keutamaan Ridha juga telah tercantum dalam Al-Quran
Jika mereka sungguh-sungguh rida dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).
(QS 9:59)
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.
(QS 58:22)
Ridha menurut sufi wanita Rabi'ah al-Adawiyah mengatakan:''kapan seorang hamba menjadi orang yg ridha? lalu Rabi'ah menjawab, ''Bila kegembiraanya waktu ditimpa bencana sama dengan kegembiraanya dikala mendapat karunia''.
Pangkal dari segala ridha adalah akad.artinya ,keabsahan akad itu tergantung keridhaan pihak pihak yg berkad.untuk itu suatu akad bila dilakukan dengan terpaksa makan akadnya tidak sah seperti sabda Rasul saw:''Umatku tidak diminta pertanggung jawabanya jika mereka tersalah,terlupa ,dan terpaksa{HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah}.
Mereka yang ridha adalah yang dapat menghayati hikmah dan kebaikan Dzat yang mendatangkan ujian. Mereka tidak berburuk sangka kepadaNya. Disaat yang lain menghayati betapa Dia Maha Agung, Maha Mulia dan Maha Sempurna. Ia terhanyut dalam persaksianya atas semua itu, sehingga ia tidak lagi merasakan derita. Hanya saja, Cuma mereka yang benar-benar berma’rifah dan bermahabbah saja yang dapat mencapai tingkatan ini. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang menimpanya, karena mereka tahu bahwa musibah itu datangnya dari Dzat yang dicintainya.
Sabar berbeda dengan ridha. Sabar adalah menahan diri dari amarah dan kekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang. Sementara ridha adalah berlapang dada atas ketetapan Allah swt dan membiarkan keberadaan rasa sakit, walaupun ia merasakannya. Keridhaannya meringankan deritanya. Karena hatinya dipenuhi oleh ruh yakin dan ma’rifah. Bila ridha semakin kuat, ia mampu menepis seluruh rasa sakit dan derita.
Anas bin malik meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda :
اِنَّ اللهَ اِذَا اَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ لَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ عَلَيْهِ السُّخْطِÂ
Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum Dia menguji mereka. Barang siapa yang ridha niscaya ia akan mendapatkan murkaNya.[1]
Ibnu Mas’ud berkata, sesunguhnya Allah swt dengan keadilan dan ilmuNya menjadikan kesejahteraan dan kegembiraan pada yakin dan ridha, serta menjadikan kesusahan dan kesedihan pada keraguan dan kekesalan dan kemurkaan.
Allah berfirman :
وَمَنْ يُؤْ مِنُ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهَÂ Â
Barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan menunjuki hatinya. (at-Taghabun : 11)
Berkenaan dengan ayat diatas, Alqamah berkata, Ini tentang musibah yang menimpa seseorang yang mengerti bahwa musibah itu datang dari Allah, lalu ia pasrah kepada Allah dan ridha.
   فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَو'ةً طَيِّبَةً
Maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (An-Nahl : 97)
Abu Mu’awiyah al-Aswar menjelaskan maksud kehidupan yang baik adalah ridha dan qana’ah.
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib mendapati ‘Ady bin Hatim tengah bersedih. Beliau bertanya, Mengapa kamu bermuram durja? Ady menjawab, Apa tidak boleh, sedangkan dua anakku baru saja terbunuh, pun mataku baru saja tercungkil?†Ali bertutur, Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap ketetapan Allah maka sesungguhnya ketetapan Allah itu tetap terjadi dan amalan orang itu pun terhapus.
Adalah Abu Darda mengunjungi seseorang yang menjelang ajal sambil memuji Allah swt. Abu Darda berujar, Anda benar. Sesungguhnya jika Allah menetapkan sesuatu Dia senang jika diridhai.
Hasan al-Bashri berkata, Barangsiapa ridha terhadap bagiannya, Allah akan meluaskan dan memberkahinya. Begitu pula sebaliknya.
Umar bin Abdul Aziz berkata, Aku tidak memiliki kebahagiaan selain menerima apa yang ditakdirkan bagiku. Dan beliau pernah ditanya, Dan apa yang paling anda senangi?, beliau menjawab, Semua yang ditetapkan oleh Allah.
Abdul wahid bin Zaid berkata, Ridha adalah pintu Allah yang terbesar, surga dunia dan tempat istirahatnya para ahli ibadah.
Sebagian ulama berkata, Diakhirat nanti tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh orang-orang yang ridha kepada Allah dalam segala situasi. Maka barangsiapa dianugerahi ridha sungguh ia telah mendapat derajat yang paling utama.
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah).
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam ridha sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām ridha dan maqām tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām ridha dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan ridha, hal ini jelas, karena seorang yang ridha maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya ridha telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol. Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.
Ridha dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan ridha atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah kepada qadhā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan. Dalam sebuah hadits qudtsi yg mengatakan:''Barang siapa yg tidak rela dengan qadha dan qadar-Ku hendaklah ia mencari Tuhan selain daripada Aku''.{HR.at-Thabrani}
TINGKATAN RIDHA
Ada tiga darjat rida yang disimpulkan oleh Abdullah al-Ansari al-Harawi dalam Kitab Manazil Sairin, yaitu :
1. Rida secara umum, iaitu rida kepada Allah sebagai Rabb dan
membenci ibadah kepada selainNya. Rida kepada Allah sebagai
Rabb ertinya tidak mengambil penolong selain Allah yang
diserahkan kekuasaan untuk menangani dirinya dan menjadi
tumpuan keperluannya;
2. Rida terhadap Allah. Dengan rida inilah dibacakan ayat-ayat yang
diturunkan. Rida terhadap Allah meliputi rida terhadap qadha dan
qadarNya yang merupakan perjalanan orang-orang khawwas;
3. Rida dengan rida Allah. Seorang hamba tidak melihat hak untuk
rida atau marah lalu mendorongnya untuk menyerahkan keputusan dan pilihan kepada Allah. Dia tidak mahu melakukannya sekalipun akan diceburkan ke dalam nyalaan api.
Seorang sufi yang membina dirinya dengan keredhaan kepada Rabbnya
mencapai kemanisan iman. Dia akan merasakan bahawa Tuhan dengan asma’
dan sifatNya, sentiasa memberikan makna bererti dalam berperilaku dan
beramal. Setidak-tidaknya Ibnu Qoyyim al-Jauzi menjelaskan ada beberapa hal penting dalam membina keredhaan ke dalam diri iaitu:
1. Seorang sufi akan berada pada sisi hamba yang pasrah, ia akan
menerima kepasrahan dengan kesempurnaan hikmah, rahmat dan
kurnia;
2. Terjadinya sesuatu adalah berdasarkan kehendak Tuhan semata-mata;
3. Seorang sufi adalah seorang hamba yang menerima keputusan Tuhannya dengan keredhaan;
4. Seorang sufi adalah seorang yang mencintai, ia berbuat apa sahaja
untuk Kekasih yang dicintainya;
5. Seorang sufi akan meyakini keredhaannya terhadap keputusan
Tuhannya dan ini akan memberikan reaksi positif bagi pengembangan dirinya;
6. Seorang sufi merasakan terbukanya pintu-pintu keredhaan menuju Tuhan yang kemudiannya melahirkan kegembiraan dan kenikmatan.
0 komentar:
Posting Komentar